"Bukankah ini sudah siap?" Aruna bertanya dengan mata menatap sebentar, demi memastikan sekali lagi.Aruna menatap milik Erland yang sudah berdiri. Tapi, tangan Aruna sepenuhnya berada di sana. Erland tersenyum melihat Aruna yang menelan ludah."Gerakkan tanganmu, Sayang," tuntun Erland.Atas permintaan itu, Aruna mulai menggerakkan tangannya membuat Erland memejamkan mata. Dia menikmati perbuatan Aruna. Namun, Erland yang tak sabar langsung merebahkan dirinya.Aruna sendiri menatap tangannya dengan tak percaya. Pasalnya, ia merasakan bagaimana tekstur milik suaminya. Aruna yang sibuk dengan pemikirannya sendiri, tersentak dengan tubuh yang sudah bersatu mulai bergerak karena Erland."Ah sebentar."Jemari Aruna yang mendorong pundak, langsung digenggam oleh Erland. Lantas kembali menusuk dengan cukup kasar."Pelan-pelan," keluhnya."Tenang saja, kau akan lebih puas nanti," bisik Erland kemudian menyesap lehernya sangat kasar.Aruna menggigit bibir yang dipoles lipstik, guna meredam su
Aruna benar-benar kesal hingga memukul Erland dengan kasar. Erland mengadu kesakitan dan sepenuhnya berhenti meraba. Apalagi tatapan tajam dari sang istri."Aku istrimu, bukan wanita bayaran yang bisa kau ajak main di mana saja!" sewotnya.Erland menatap dalam diam, lantas mulai bicara, "justru sudah jadi istri, di mana saja boleh.""Kau masih bicara?" tegurnya kesal.Mata Erland tetap membingkai wajah sang istri. Diam jauh lebih lama, dan membiarkan Aruna keluar dari mobil. Dia mengikuti tubuh sang istri dengan tatapan mata."Sial," gerutu Erland pelan dan menarik napas.Lantas, dia ikut keluar dari mobil. Membiarkan mata Aruna menatap sangat tajam sekaligus marah."Kita ke sini untuk apa? Belanja atau tidak!""Belanja!" sahut Erland sama kesalnya.Aruna mulai berjalan lebih dulu, meninggalkan Erland yang menghela napas. Dia kerap membandingkan Aruna dengan Irene, yang memiliki karakter terbalik. Terkadang Erland merasa menyenangkan hidup bersama Aruna, dengan sifat berbedanya. Tapi
"Kau bilang apa?" tanya Erland dengan amarah yang jelas.Aruna masih terlihat santai. "Iya, aku ingin menambahkan foto baru di dinding."Erland diam dengan mata menatap ke arah lain. Sementara Aruna yang melihat suaminya tak menyahut, membuatnya kembali bicara."Aku lihat hanya foto lama, jadi aku ingin berfoto dan memajangnya di sisi yang kosong. Bagaimana menurutmu?""Jadi, kau ingin mengisi dinding yang masih kosong?" tanya Erland setelah mendengar dan amarah sedikit menghilang."Benar." Aruna terdengar antusias.Hal itu, mengundang Erland untuk menatap tertarik pada sang istri. Kehidupan seperti apa yang Aruna jalani dahulu? Itulah yang dia pikirkan. Sosok wanita cerita sekaligus galak, Erland penasaran dengan segala hal tentang Aruna."Baiklah. Aku akan mendatangkan fotografer ke rumah, kemudian mencetaknya." Erland setuju kalau soal menambahkan, bukan mengganti."Oke," sahutnya masih terlihat senang.Jemari Erland mengusap wajahnya. "Apa kau mengantuk?""Belum. Aku masih ingin m
Meski kesal atas pukulan telapak tangan Aruna yang membuat hidung bangir berdenyut. Tapi, Erland memutuskan untuk berhenti sejenak, karena sang istri kesakitan dalam berhubungan."Apa dengan bantal cukup?" tanya Erland."Akan lebih cukup, jika kau berhenti dan biarkan aku istirahat."Erland tak menurut. "Kita akan pakai bantal dan aku akan lebih lembut."***Erland mengetuk meja dengan jemari. Dia nampak tak tenang, memikirkan fotografer yang datang ke rumah. Mengarahkan Aruna berpose."Kau yakin fotografernya seorang wanita?" tanya Erland membuat Daffa yang membereskan meja langsung melirik."Bukankah Anda sudah memastikannya sendiri, Tuan?"Lantas, mata Erland menatap ponsel yang menunjukkan proses pemotretan. Memang seorang wanita yang mengarahkan sekaligus memfoto Aruna."Meski begitu, aku tetap tidak suka orang lain tahu wajahnya, bahkan menyentuhnya," ujar Erland membuat Daffa menatap dalam diam.Dia takut membiarkan Aruna seorang diri, dengan pintu terbuka dan fotografer bebas
"Irene!"Mata Aruna langsung tertuju pada Erland yang keluar dari mobil dan bergegas mendekat. Aruna sendiri menyembunyikan kartu nama yang diberikan padanya. Curiga dengan identitas sendiri, tentunya bukanlah hal yang dilarang.Tapi, Aruna memutuskan untuk tidak membiarkan Erland tahu. Karena pria ini orang pertama yang akan mencegahnya mengetahui masa lalunya."Kau siapa?" tanya Erland dengan sengit.Lantas menyembunyikan dirinya di belakang tubuh. Namun, Aruna yang masih kesal. Langsung memundurkan diri membuat mata Erland sempat melirik."Ah saya hanya tukang kurir Pak. Saya hanya tanya nama pak Sudirman saja rumahnya di mana," ujar pria ini terdengar ramah.Mata Aruna dan Erland menatap penerima dari paket yang disodorkan. Aruna sendiri mengerutkan dahi. Kenapa penerima paketnya tidak sama dengan yang dirinya lihat tadi."Kami tidak kenal, lebih baik tanya pada orang lain saja!" Erland terdengar ketus."Kalau begitu terima kasih Pak, Bu."Setelah memastikan pria itu mengendarai m
Yuda nampak marah atas ucapan Aruna. "Kamu mengira aku sedang bercanda?"Lantas mata Aruna memandang Yuda dengan merendahkan. "Berapa yang kamu butuhkan?"Yuda mendengkus kesal. "Kamu baru saja bicara nominal denganku?""Jujur saja, aku muak berurusan dengan orang miskin sepertimu."Sepenuhnya Yuda dibuat kesal oleh Aruna yang rupanya telah berubah. Pria itu yakin, Aruna sudah tertular sifat Erland.Yuda mengeluarkan sebuah bingkai foto. Di sana berdiri beriringan Aruna dengan Yuda mengenakan baju pernikahan sembari sama-sama tersenyum. Lantas benda yang paling sering Aruna pakai ketika bepergian."Kalung ini, kamu sering pamer pada temanmu. Karena aku membelinya sewaktu valentine, dan kamu anggap ini sangat berharga," jelas Yuda.Aruna menatap lama benda yang Yuda keluarkan. "Oh benarkah? Tapi kenapa aku tidak merasa pernah menerimanya."Mata Yuda menjadikan wajahnya sebagai objek. "Kamu mengalami kecelakaan, mungkin saat itu kamu lupa ingatan."Sempat Aruna terdiam sejenak. Merasa b
"Kenapa harus tiba di waktu yang tidak tepat."Itu bukan keluhan dari Erland. Melainkan keluar dari mulut Aruna sendiri. Dia mengulas senyum, menjadi saksi seolah sang istri yang paling tidak rela kesenangan hari itu telah gagal."Kamu mau ke mana, Sayang?" tanya Erland begitu Aruna mulai beranjak dari ranjang."Mandi, lantas memakai pembalut dan istirahat," sahutnya.Erland nampak mengangguk mengerti. Dia begitu cekatan mengambilkan pembalut di laci sebelum Aruna bergerak. Lantas, Erland berdiri di hadapannya."Ayo.""Ke mana?" tanya Aruna heran."Aku temani kamu pakai pembalut, Irene."Atas ucapan itu, Aruna melotot dengan kesal. "Kamu tidak waras ya? Kamu kira aku anak puber yang baru kali pertama pakai?"Erland langsung tersenyum. "Hanya mengingatkan saja, takut kau lupa. Nanti perekatnya malah tidak di dalaman, malah menempel pada milikmu."Aruna menghela napas mendengar ucapan suaminya. Aruna merampas pembalut dari tangan Erland dan bergegas ke kamar mandi. Mengunci pintu, membu
Netra Aruna membingkai mawar yang telah tersimpan rapi di dalam vas bunga. Lantas, bibir mengulas senyum. Aruna begitu menyukai momen ketika bunga tetap memancarkan aura kehidupan, dan hampir tak layu."Bukankah bunganya sangat indah?" Aruna bertanya masih dengan perhatian tertuju pada mawar.Sedangkan, tatapan Erland mengunci wajahnya. Dia mengulas senyum atas pertanyaan dari sang istri. Lantas, mulai menyahut tanpa penuh rasa beban."Benar, sangat indah, cantik dan berkilau."Pemikiran Aruna pun menjadi fokus. Hingga pertanyaan mawar mana yang berkilauan dalam benaknya. Kepala Aruna menoleh dan mendapati Erland sedang menatapnya dengan bibir penuh senyuman.Jadi, yang indah, cantik serta berkilauan itu bukanlah bunga mawar. Jemari Aruna pun menangkup wajah suaminya, membuat kepala Erland sedikit melengos. Meski diperlakukan demikian oleh Aruna, tapi Erland masih tetap tersenyum."Aku bertanya perihal bunga, kenapa kamu menjawab lain?" tegurnya pelan.Erland melepaskan tangannya dan