Share

Pria Kaya Raya

Penulis: Peonny274
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-11 18:15:46

Bab 2

Langit belum sepenuhnya terang saat Anindya tiba di stasiun Semarang. Udara pagi masih menggigit, dan tubuhnya terasa lelah setengah mati. Ia memasang kacamatanya—bukan untuk membantu melihat, tapi untuk menyembunyikan matanya yang sembab.

Di luar stasiun, mobil pick up tua sudah menunggu. Tetangga sebelah, Pak Raji, duduk di kursi pengemudi.

“Anin ya?” sapa Pak Raji, suaranya pelan.

"Iya, Pak. Makasih udah jemput.” ucap Anindya pelan. Ia membuka pintu depan dan duduk di samping sopir.

Kendaraan mulai melaju. Tapi arah yang mereka tuju… bukan rumah sakit.

Anin ingin bertanya, tapi urung. Mungkin, pikirnya, ibu menyuruhnya pulang dulu agar istirahat sebentar sebelum ke ICU. Lagipula matanya berat. Kepalanya berdenyut. Badannya menggigil. Ketegangan semalam belum juga reda.

Sesampainya di depan rumah, dia dibangunkan oleh suara pak Raji, “Anin, wis tekan.”

Ia membuka mata, mengucek pelan. Dan seketika seluruh tubuhnya membeku. Di teras rumah kecil itu, ayahnya—yang semestinya di ICU—duduk Memakai sarung dan jaket, menyandarkan punggung di kursi plastik hijau. Wajahnya tampak biasa saja. Matanya menatap langit, lalu beralih pada Anindya. Tatapan itu kosong. Tidak penuh rindu seperti yang dibayangkannya. Tidak juga lemah seperti orang yang baru keluar dari ICU.

Jantung Anin berhenti sejenak. Pandangannya berpindah ke ibunya yang berdiri di ambang pintu.

“Bu, ini kenapa? Bapak—”

“Masuk, Nduk.” Suara ibunya terdengar lirih.

Ia menatap ibunya, bingung. Mulutnya ingin bertanya. Tapi Ibu sudah menggamit tangannya, menyeretnya pelan ke dalam rumah.

“Ibu, tadi katanya Bapak—”

“Sudah. Masuk dulu,” potong ibunya.

Begitu pintu tertutup, dan sebelum Anin sempat bicara, ibunya mulai menangis. Bukan tangis pelan. Tapi pecah. Seperti tangki penuh yang dibuka tiba-tiba.

“Maafin Ibu, nduk… Maafin Ibu…”

Anin mundur setapak. “Kenapa, Bu? Kenapa ibu bilang Bapak masuk ICU?”

Ibu menunduk. Bibirnya gemetar.

"Karena kalau nggak gitu… kamu nggak bakal pulang.”

“Ibu...”

Air mata langsung turun di pipi ibu. Tapi bukan karena sedih biasa. Kali ini ada rasa bersalah yang berat.

“Bapakmu… ditipu orang, Nduk… Sawah warisan dijual… tapi uangnya dibawa kabur. Bapak pinjam ke rentenir buat nutup modal.”

Anin masih berdiri kaku.

“Jumlahnya... lima ratus juta,” lanjut Ibu dengan suara patah.

Sunyi. Bahkan detik jam dinding pun terdengar terlalu nyaring.

“Lima ratus juta, Bu?” suara Anin nyaris tak terdengar. Bukan karena pelan, tapi karena nafasnya tercekat. Ia seperti baru saja ditarik dari dunia nyata dan dijatuhkan ke ruang hampa

Ibu mengangguk, menangis. “Waktunya cuma dua minggu, Nduk…”

Anindya tertawa—pahit. Tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena amarah yang tidak bisa ditahan.

“Bu…” katanya akhirnya. “Dari mana aku harus cari uang sebanyak itu…?”

Ibunya menggenggam tangannya. “Ibu nggak tau harus ngapain lagi nduk, cuma kamu satu-satunya harapan kami.”

Anin menggeleng, pelan. Kepalanya penuh, seolah dipenuhi kabut tebal.

“Aku bukan orang kaya, Bu. Tabungan aku nggak segitu… kerjaanku juga gitu-gitu aja. Bahkan kemarin aku baru mikir mau ambil cuti karena capek…”

Ia tertawa kecil, getir. “Lucu, ya. Baru semalam aku pengen istirahat. Sekarang harus cari lima ratus juta.”

Ibunya menunduk. “Kami nggak maksud nyusahin mu, Nduk…”

“Bukan nyusahin, Bu,” potong Anin cepat, tapi suaranya tetap lemah. “Aku ngerti. Keadaannya darurat. Tapi aku benar-benar… nggak tahu harus gimana.”

Ibunya tak menjawab. Hanya duduk di sisi lain ruangan, meremas-remas ujung kerudungnya yang basah oleh air mata.

“Kenapa nggak bilang dari dulu…?” suara Anin nyaris tak terdengar. “Mungkin aku bisa nyicil, bisa cari tambahan. Tapi sekarang tinggal dua minggu…”

Ia mendongak, menatap ibunya. Bukan dengan amarah, tapi dengan wajah seseorang yang baru saja kehilangan pijakan.

“Karena kamu sibuk, Nduk…” suara ibu lirih. “Kami nggak mau ganggu…”

Ia menatap ibunya, matanya mulai berkaca.

Ibu duduk di kursi. Menangis. Tapi Anin sudah terlalu jauh tenggelam dalam kecewa.

Anin duduk di sudut ruangan. Pelan-pelan melepas kacamatanya. Membiarkan mata sembabnya terlihat. Ia tak punya tenaga lagi untuk menyembunyikan apapun.

“Lalu sekarang… kalian mau aku gimana?” tanyanya datar.

Ibu mengusap wajahnya. “Kalau bisa… kamu pinjam dulu ke tempat kerja, ke teman-temanmu. Atau ke bank…”

“Percuma Bu, ujungnya sama aja. Kita nggak punya jaminan. Mana ada yang mau kasih pinjaman setengah miliar ke orang biasa kayak aku?”

Nafasnya berat.

“Apa aku jual diri aja ya Bu?”

Ibu langsung melotot, air matanya jatuh semakin deras. “Anin… ojok ngomong ngono, Nduk… astaghfirullah. Ibu njaluk… ojok sampe kowe mikir sing aneh-aneh.”

“Ibu minta maaf nduk…” kata ibu akhirnya, suara pelan seperti angin.

Anin berbisik, “Aku coba, Bu. Aku nggak janji bisa, tapi aku coba.”

Ibunya memeluknya pelan. “Makasih, Nduk…”

*ੈ✩‧₊˚༺☆༻*ੈ✩‧₊˚

Pagi mulai menghangat ketika ibu menyodorkan uang dua puluh ribu rupiah dan sebuah catatan kecil kepada Anindya.

“Belikan kangkung, tomat, sama tempe, ya, Nduk. Di warung Bu Sarti aja. Sekalian angin-angin…”

Anin hanya mengangguk. Ia belum bicara sepatah kata pun sejak tamparan kemarin. Wajahnya tenang, tapi matanya masih menyimpan bekas luka yang belum reda.

Ia melangkah melewati gang kecil, menuruni jalan tanah yang setengah becek. Suara ayam dan sapu lidi berpadu membentuk orkes pagi desa. Tak sampai lima menit, ia sampai di warung sederhana di pinggir jalan—atap seng, dinding triplek, dan bau rempah yang menyeruak dari panci-panci besar.

Di sana, sudah berkumpul lima orang ibu-ibu yang sedang sibuk memilah daun bawang dan menggiling cabai. Obrolan mereka ramai, seperti biasa. Dunia gosip tak pernah absen.

Begitu melihat Anin datang, percakapan seketika berubah.

“Lhooo… itu to Anindya! Anak'e Bu Lastri?! Ya Allah, cantiknyaaa!”

“Iki bener to, lho? Putih, halus, bersih banget kulitnya. Kayak artis TV!”

“Iyo, iyo. Lihat bajunya, kayak orang kota! Tapi ya tetep sopan. Adem.”

Anin tersenyum seadanya. “Iya, Bu. Saya Anindya…”

“Kerja di Jakarta to, Nduk?” tanya Bu Sarti sambil menimbang tempe.

“Iya, Bu… biasa, kerja kantoran…”

“Wah, cocok banget kamu. Pinter, ayu, sopan. Anak lanangku dulu tak suruh ke Jakarta juga, malah betah di sini terus kerja tambal ban!”

Tawa pun pecah.

Anin hanya tersenyum tipis. Ia menunduk, memilih tomat yang paling segar. Ia ingin cepat selesai. Tapi seperti biasa, obrolan tak bisa berhenti begitu saja. Setelah ia menyebut pekerjaannya sepintas, topik langsung berbelok tajam.

“Eh, eh, ngomong-ngomong, pada tau kabar Juragan Arjuna belum?” Bu Rini berbisik.

“Lah, kabar apa, Bu?” tanya Bu Sarti sambil nyengir. “Dia kan begitu-begitu aja…”

“Belum nikah-nikah juga, padahal usianya udah mau kepala empat. Ganteng, sugih, rumahnya aja dua tingkat. Tapi… ya itu, katanya… ndak suka perempuan…”

“Sssttt…” Bu Jumiati menukas. “Jangan asal nuduh, lho. Juragan Arjuna itu banyak bantu warga. Bayarin renovasi masjid, kasih beasiswa anak-anak SD. Kalau dia… ya begitu, bukan urusan kita.”

“Iyo, iyo. Tapi masak iya lelaki seganteng itu nggak naksir siapa-siapa?” Bu Tati nyengir. “Apa jangan-jangan… naksir Anin ini, ya?”

Semua mata beralih ke Anin.

Anin mengangkat alis. “Lho, saya baru pulang tadi pagi, Bu…”

Tawa pecah lagi, tapi kini ada rasa kikuk di wajah Anin. Ia menyerahkan uang dan daftar belanja ke Bu Sarti.

“Ini belanjaannya, Bu. Totalnya berapa?”

“Lima belas ribu aja, Nduk. Tomatnya dua ribu, tempe sepotong, kangkung dapet dua ikat.”

Anin mengangguk. “Terima kasih ya, Bu…”

Saat ia berbalik, semua mata mengantar kepergiannya. Ia merasa tatapan itu menancap seperti jarum halus di tengkuknya. Ia tahu. Tahu betul bahwa langkahnya belum akan dibiarkan tenang.

Dan benar saja, baru lima detik setelah ia menghilang di tikungan, nada percakapan berubah tajam.

“Wong ayu, pinter, tapi kasian ya… keluargane hutang setengah milyar…”

“Beneran tho, Bu? Kok bisa segitu?”

“Bapak’e katanya ditipu orang pas jual sawah warisan. Uangnya dibawa kabur. Akhirnya pinjam ke rentenir. Sekarang… kelimpungan. Katanya dua minggu harus lunas.”

“Makanya Bu Lastri sampe nangis-nangis semalam. Katanya minta bantuan ke anaknya. Tapi anaknya itu… ya gimana, masih kerja juga, belum punya apa-apa…”

“Yowes… wong tuane juga salah. Lha mosok sawah satu-satunya dijual gegara janji investasi…”

“Lha itu. Kalo anaknya nggak bisa bantu, bisa-bisa rumahnya disita. Hutangnya segitu lho. Rentenir kampung sini tuh galak!”

Bu Sarti menimpali pelan, “Tapi aku kasihan sama Anin. Dia tuh beda. Sopan, diem. Nggak neko-neko. Tapi dipulangin cuma buat dimintain duit…”

*ੈ✩‧₊˚༺☆༻*ੈ✩‧₊˚

Baru saja sendok berisi nasi mengambang di depan mulutnya, suara nyaring Bu Minah membuyarkan selera makan Arjuna

“Udah tua kok masih makan sendiri sih, Le? Harusnya ada yang nyuapin gitu loh!” sindir ibunya sambil mencuci piring dengan suara air mengucur keras-keras, seolah disengaja.

Juragan Arjuna menoleh pelan, tak menjawab. Perlahan ia meletakkan sendok di atas piring, bersiap berdiri.

“Heh! Ibu bercanda!” seru Bu Minah cepat-cepat, melirik ke arah anaknya yang mulai bangkit dari kursi makan. “Koe kok baperan tenan sih, Le. Baru digoda dikit udah manyun.”

Juragan Arjuna hanya menghela napas. Ia tahu arah pembicaraan ini—dan itu membuat kepalanya berdenyut perlahan.

“Le, kamu mau sama anaknya Bu Lastri nggak?”kata Bu Minah sambil tersenyum lebar. “Cuantik tenan anak e! Putih, halus. Kerja kantoran di kota.”

Arjuna hanya melirik ibunya sekilas.

“Dia cewek ke-10 yang Ibu kenalin ke aku minggu ini,” balasnya datar.

“Lho, apa salahnya coba? Koe iki umur wes tuek! Ibu pingin nimang cucu, Le! Lihat si Joko itu, umur 19 anaknya udah dua!”

“...Istrinya meteng diluar nikah Bu,” balas Arjuna datar sambil mengambil gelas air putih.

“Heh! Cangkem mu itu loh!” Bu Minah melemparkan sendok ke udara, nyaris mengenai pipi anaknya.

Arjuna tertawa kecil. Tapi gelak tawanya langsung berhenti saat sang ibu menyambung dengan suara pelan namun tajam:

“Ibu serius, Le. Ibu udah ngomong ke Bu Lastri… kalau kamu bakal lunasin utang keluarga mereka. Asal anaknya nikah sama kamu.”

Hening sejenak.

Arjuna menatap ibunya dengan mata membelalak. “Bu, sampeyan ngomong opo barusan?” tanyanya pelan tapi tegas.

“Ibu udah janji, Le,” jawab Bu Minah enteng. “Lha wong kamu kaya raya, masa bantu orang susah aja mikir-mikir?”

Arjuna terbatuk, bukan karena nasi yang tersangkut, tapi karena omongan ibunya seperti menampar keras di kepalanya.

“Bu!” tegurnya. “Ndak boleh gitu caranya. Saya enggak setuju!”

kepalanya mulai berdenyut. “Berapa...?”

“500 juta,” kata Bu Minah ringan, seperti menyebut harga pisang.

Arjuna memejamkan matanya sejenak. Pelipisnya mulai terasa berdenyut hebat. 500 juta memang tidak seberapa baginya—uang sebesar itu bisa ia dapat dari dua truk hasil panen kambing etawa dan sekarung beras organik yang biasa ia jual ke pasar premium di kota.

“Bu, jangan main asal jodoh-jodohin gitu, dong. Saya yang nikah, bukan Ibu.”

“Ibu ini mikir masa depanmu, Le. Kamu itu udah waktunya. Usaha udah mapan, tanah ada, ternak ada, rumah luas. Tinggal istri sama anak. Lagian, kasihan keluarga Bu Lastri itu. Bapaknya bakal penjara kalau hutangnya belum dibayar sampai jatuh tempo. Anaknya cantik, lho. Cocok sama koe yang guanteng tenan!”

"Bu, membantu orang lain itu baik, tapi menjadikan pernikahan sebagai imbalannya bukan solusi. Saya ingin menikah karena cinta, bukan kasihan.”

Bu Minah terdiam sebentar, lalu berkata dengan suara lebih lembut. “Kamu itu anak laki-laki ibu satu-satunya . Kalau kamu terus begini, sendiri terus, nanti kalau ibu nggak ada, kamu sama siapa?”

“Kamu kerja terus Le! nggak pernah beneran ketawa lagi setelah Laras ninggalin kamu.”

Jantung Arjuna seperti tersengat listrik kecil. Nama itu—Laras—masih punya daya rusak yang cukup untuk mengusik hatinya.

“Ibu... tolong jangan bahas itu lagi.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Kesayangan Juragan   Bab 7 || Lamaran

    Juragan Arjuna berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putih bersih yang baru saja disetrika. Napasnya ditahan sejenak, menenangkan degup jantung yang berdetak tak karuan. Malam ini bukan malam biasa—malam ini ia akan melamar seorang gadis, perempuan cantik bernama Anindya Kirana.Ibu masuk ke kamar sambil memeriksa rambutnya yang dibalut kerudung satin."Nanti ibu mau cucu dua ya, Le," bisik Bu Minah sembari merapikan bros di dadanya."Apasih Bu, ini aja baru lamaran loh," jawab Arjuna sambil geleng-geleng.Bu Minah nyengir, lalu langsung keluar kamar. "Ibu belum siap dandan!"Arjuna menghela napas panjang, lalu berjalan ke teras, tempat ayahnya, Pak Wiryono, sudah duduk sejak beberapa menit lalu sambil menyeruput kopi panas.Pak Wiryono menoleh pelan, menatap anak lelakinya dengan mata yang tenang. "Koe memang siap dengan semua ini, kan, Le?"Arjuna mengangguk pelan. "InsyaAllah saya siap, Pak."Pak Wiryono menarik napas dalam. "Jangan pernah anggap pernikahan itu permainan ya, Le

  • Istri Kesayangan Juragan    Mendapat Restu

    Mentari sudah bergeser ke barat ketika suara langkah kaki berat terdengar di teras rumah keluarga Wiryono. Juragan Arjuna terduduk di teras rumah orangtuanya, tubuhnya bersandar lesu di kursi kayu tua yang biasa dipakai mendiang kakeknya duduk sore-sore. Wajahnya datar, tapi matanya menyiratkan kebingungan yang dalam.Di seberangnya, duduk Bu Lastri. Matanya sembab, bekas air mata belum benar-benar kering. Ia menggenggam tangan Bu Minah, seakan masih berharap ini semua hanya mimpi."Jadi gini, Le..." suara Bu Minah membuka percakapan. Suaranya terdengar tenang tapi tak memberi ruang untuk penolakan. "Anin, anaknya Bu Lastri, bersedia menikah sama kamu.”"Kamu mau kan, Le?" tanya Bu Lastri akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.Arjuna diam. Wajah Anin terlintas di benaknya. Gadis kota yang jarang pulang, yang selalu sibuk bekerja, dan kini... rela menikah dengannya demi menyelamatkan keluarganya? Perasaan iba dan bingung menyatu, bergolak dalam dadanya.Dengan nafas berat, Arjuna men

  • Istri Kesayangan Juragan   Pasrah Pada Takdir

    Sudah dua minggu sejak Anin pulang ke kampung, ia sibuk meminjam ke sana sini. Namun tak satupun yang berhasil. Semuanya menolak halus atau tak sanggup membantu. Terdesak waktu, akhirnya Anin memberanikan diri mengajukan pinjaman ke kantor—meski hatinya penuh ragu.Sekarang Anin tengah duduk di kursi empuk ruang HRD, tangannya menggenggam map pengajuan pinjaman yang mulai lemas di pangkuannya. Di seberangnya, Mbak Linda—staf HRD—tersenyum tipis, berusaha ramah walau jelas sulit menyampaikan kabar buruk.“Maaf ya, Anindya… jumlah yang kamu ajukan terlalu besar. Kami hanya bisa bantu lima puluh juta. Itu pun lewat approval manajemen.”Anin tersenyum kecil, meski matanya tampak sayu.“Iya, nggak apa-apa, Mbak. Saya maklum. Terima kasih banyak sudah diusahakan.”Ia berdiri, membungkuk sopan, lalu melangkah keluar dari ruangan dengan pelan. Begitu pintu tertutup, suara lembut langsung menyapanya.“Gimana, Nin?” tanya Dita, rekan kerjanya, dengan nada penuh harap.Anin hanya menggeleng pela

  • Istri Kesayangan Juragan   Kecupan Hangat

    Bab 4 Tangisan bayi memecah keheningan pagi. Di tengah ruangan yang sederhana namun hangat itu, Juragan Arjuna berdiri tegap, mengumandangkan adzan lembut di telinga kanan anak mereka yang baru lahir. “Allahu Akbar… Allahu Akbar…” Suaranya tenang. Matanya berkaca-kaca. Ia menatap anak itu seolah dunia telah berubah maknanya sejak kehadirannya. Selesai adzan, Arjuna menoleh pada Anin yang duduk bersandar lemah pada ranjang rumah sakit. “Dek,” katanya pelan. Anin mengangguk pelan, senyum di bibirnya mengembang meski tubuhnya masih lelah. Dengan hati-hati, Arjuna menyerahkan si kecil ke dalam pelukannya. Anin menyambutnya dengan tangan gemetar, seolah baru pertama kali menyentuh sesuatu yang begitu suci. Arjuna menunduk, mengecup kening Anin penuh kasih. “Makasih ya, Dek… Udah mau jadi istri Mas… Udah ngasih Mas gelar baru—sebagai ayah…” Anin tersenyum, air matanya mengalir tanpa suara. Ia menatap wajah suaminya, yang kini tampak begitu berbeda dari laki-laki yang dulu sekadar be

  • Istri Kesayangan Juragan   Mas Arjuna

    Bab 3“Anin, bangun sebentar, Nduk.” Suara itu samar, bagai gema dalam mimpi buruk. Anin meringkuk di atas kasur tipisnya, masih terlilit sisa kantuk. Namun tangan ibu mengguncang pelan pundaknya. “Ibu ada pengajian. Rantang ini tolong diantar ke sawah, ya. Bapak belum makan.” Dengan setengah sadar dan berat sebelah mata terbuka, Anin duduk. “Kenapa Ibu nggak bilang dari awal sih…” gerutunya sambil mengucek mata. Tapi tangannya tetap menyambut rantang putih dua susun yang diberi ibu. “Ibu titip ya. Pulangnya bawa rantangnya juga. Jangan ditinggal. Nanti ilang.” Ibu pergi meninggalkan kamar. Anin mematung sebentar, menghela napas panjang, lalu bergerak seperti zombie. Pertama, ia oleskan sunscreen dan sun block ke leher dan lengan—ritual wajib untuk kulit putih mulusnya. Lalu dipakainya cardigan tipis, karena di baliknya ia hanya pakai daster tidur. Rambut dijedai asal, dan tak lupa, sandal jepit. Langkahnya berat saat menuju teras. Scoopy putih susu yang dibelinya dengan hasil k

  • Istri Kesayangan Juragan   Pria Kaya Raya

    Bab 2 Langit belum sepenuhnya terang saat Anindya tiba di stasiun Semarang. Udara pagi masih menggigit, dan tubuhnya terasa lelah setengah mati. Ia memasang kacamatanya—bukan untuk membantu melihat, tapi untuk menyembunyikan matanya yang sembab. Di luar stasiun, mobil pick up tua sudah menunggu. Tetangga sebelah, Pak Raji, duduk di kursi pengemudi. “Anin ya?” sapa Pak Raji, suaranya pelan. "Iya, Pak. Makasih udah jemput.” ucap Anindya pelan. Ia membuka pintu depan dan duduk di samping sopir. Kendaraan mulai melaju. Tapi arah yang mereka tuju… bukan rumah sakit. Anin ingin bertanya, tapi urung. Mungkin, pikirnya, ibu menyuruhnya pulang dulu agar istirahat sebentar sebelum ke ICU. Lagipula matanya berat. Kepalanya berdenyut. Badannya menggigil. Ketegangan semalam belum juga reda. Sesampainya di depan rumah, dia dibangunkan oleh suara pak Raji, “Anin, wis tekan.” Ia membuka mata, mengucek pelan. Dan seketika seluruh tubuhnya membeku. Di teras rumah kecil itu, ayahnya—yang semest

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status