Share

Mendapat Restu

Penulis: Peonny274
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-18 12:43:36

Mentari sudah bergeser ke barat ketika suara langkah kaki berat terdengar di teras rumah keluarga Wiryono. Juragan Arjuna terduduk di teras rumah orangtuanya, tubuhnya bersandar lesu di kursi kayu tua yang biasa dipakai mendiang kakeknya duduk sore-sore. Wajahnya datar, tapi matanya menyiratkan kebingungan yang dalam.

Di seberangnya, duduk Bu Lastri. Matanya sembab, bekas air mata belum benar-benar kering. Ia menggenggam tangan Bu Minah, seakan masih berharap ini semua hanya mimpi.

"Jadi gini, Le..." suara Bu Minah membuka percakapan. Suaranya terdengar tenang tapi tak memberi ruang untuk penolakan. "Anin, anaknya Bu Lastri, bersedia menikah sama kamu.”

"Kamu mau kan, Le?" tanya Bu Lastri akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.

Arjuna diam. Wajah Anin terlintas di benaknya. Gadis kota yang jarang pulang, yang selalu sibuk bekerja, dan kini... rela menikah dengannya demi menyelamatkan keluarganya? Perasaan iba dan bingung menyatu, bergolak dalam dadanya.

Dengan nafas berat, Arjuna mengangguk pelan. "Inggih... saya siap."

"Alhamdulillah, Pak!" seru Bu Minah dengan mata berkaca-kaca, menoleh ke suaminya, Pak Wiryono, yang hanya tersenyum tenang sambil mengangguk perlahan.

Bu Minah langsung berdiri. "Ya sudah, kamu antar duitnya ke rentenir ya, Le. Biar urusan ini cepat selesai."

Juragan Arjuna mengangguk, lalu bangkit dari kursinya. Ia berjalan ke dalam rumah, mengambil jaket dan kunci motor trail-nya. Langkahnya berat, tapi ia tahu ini harus dilakukan.

Tak butuh waktu lama, suara knalpot motor trail-nya menggema keluar dari halaman rumah. Ia melaju menuju bank, menyelesaikan proses pengambilan uang tunai.

Uang itu—500 juta rupiah, dimasukkan ke dalam tas hitam tebal, dikunci resletingnya dengan hati-hati. Setelah itu, ia langsung menuju rumah si rentenir, sebuah bangunan besar dengan pagar tinggi dan kamera pengawas di tiap sudutnya.

Setelah mengetuk pintu besi yang berat itu, seorang anak buah rentenir membukakan pintu dengan ekspresi curiga. Namun saat melihat siapa yang datang, rautnya langsung berubah. "Pak Arjuna? Monggo, masuk..."

Di dalam, rentenir itu sedang duduk di kursi empuk, mengisap cerutu dengan malas. Tapi begitu melihat Arjuna datang, ia langsung bangkit.

"Lho, Juragan! Ada angin apa ini?"

Tanpa basa-basi, Arjuna meletakkan tas hitam di atas meja kopi.

"500 juta. Hutang atas nama Pak Minan. Saya lunasi hari ini."

Pak Gondo membelalakkan mata. Tangannya cepat menghitung, jemarinya cekatan memisah tumpukan. Matanya berbinar.

"Wah... wah... ini baru juragan sejati. Bayar kontan! Hehehe..."

Arjuna tetap diam. Tatapannya tajam, membuat senyum di wajah Pak Gondo memudar sedikit.

"Catet ya, lunas atas nama Pak Minan. Tidak ada lagi tagihan. Keluarga mereka bebas dari hutang," tegas Arjuna.

"Tentu... tentu... Ini kwitansinya..." Pak Gondo buru-buru menulis bukti pelunasan, menyerahkannya pada Arjuna dengan dua tangan, penuh hormat palsu.

Arjuna menerima kertas itu, melipatnya rapi, lalu memasukkan ke dalam saku dalam jaketnya.

*ੈ✩‧₊˚༺☆༻*ੈ✩‧₊˚

Matahari telah tenggelam sempurna di ufuk barat. Lampu gantung di ruang makan keluarga Pak Wiryono menyala redup namun hangat. Di atas meja makan kayu jati yang mulai kusam termakan usia, tersaji pecel, tahu bacem, tempe goreng, dan semangkuk besar sayur asem kesukaan keluarga.

Bu Minah sedang duduk di sisi meja, mengunyah pelan sambil menekan layar ponselnya. Ia mengaktifkan loud speaker dan menelpon putri bungsunya yang tengah kuliah di ITB, Ayu. Nada sambung terdengar lama sebelum akhirnya disambut suara riang dari seberang.

“Halo, Bu! Lagi makan ya?”

“Iyo, Nduk. Ibu sama bapak sama abangmu lagi makan ini,” jawab Bu Minah sambil melirik Arjuna yang duduk tenang di ujung meja.

Ayu tertawa kecil. “Kangen pecelnya ibu.”

“Yo pulang, ben bisa makan bareng.”

“Iya iya, akhir bulan insyaAllah.”

Tiba-tiba Bu Minah membuka suara dengan nada penuh rahasia.

“Ayu, abangmu mau nikah, Nduk. Nanti kamu pulang ya?”

Sekejap, suara piring beradu terdengar dari seberang.

"Apa! Abang mau nikah?!!"

Pak Wiryono spontan menggeleng, “Koe iki anak wedok kok teriak-teriak koyo ngono. Jangan kayak orang kesurupan, Ayu.”

“Abang mau nikah, Bu? Tumben mau juga akhirnya!” cibir Ayu sambil tertawa geli.

“Hus! Cangkemu itu. Yo jelas mau. Wes tuek juga, masamu gak nikah-nikah. Ibumu iki sampe khawatir tiap malam.”

Pak Wiryono terkekeh pelan. “Sakjane ibumu itu wes pingin mantu sejak lima tahun lalu, tapi anakmu iki lho terlalu milih-milih.”

“Lha iya, Bu, Pak. Tapi sama siapa coba? Siapa sih cewek beruntung yang bisa menaklukkan abang?”

Bu Minah langsung menjawab mantap, “Itu loh, anak e Bu Lastri. Kamu kenal, Anin.”

“Anin ya…” Ayu terdengar merenung sebentar. “Oh! Mbak Anin yang kerja di Jakarta itu? Yang dulu pas SMA pinter banget itu?”

“Iyo!” seru Bu Minah semangat. “Yang rambutnya lurus, putih, halus. Orangnya alus, gak neko-neko. Sekarang kerja di kota, tapi tetep ngelingi wong tuwo. Gusti Allah paring jodoh seng apik.”

Ayu tertawa lagi, kali ini lebih pelan. “Kalau itu sih Ayu setuju. Tapi jangan kayak waktu ibu jodohkan Abang sama Bu Yati itu lho. Inget gak? Janda anak dua. Dulu Abang sampai ndelik di sawah.”

Bu Minah memonyongkan bibir dan mendengus. “Ndak usah diinget itu, Ayu! Sudah lama. Ibu juga kapok. Pokoknya sekarang ini yang cocok. Anin itu cocok banget sama abangmu. Pinter, sopan, mandiri, gak neko-neko. Persis kriteria istri idaman.”

"Emangnya mau kapan acaranya, Bu?" tanya Ayu sambil terdengar sedang membuka-buka sesuatu di kamarnya.

"Yo belum tahu pastinya, tapi rencananya besok malam lamarannya."

"Alah, Ibu ini! Masih lama, Ayu kira tiga hari lagi."

"Lho, lha iya, kudu siap-siap tho. Kamu kan belum tentu bisa pulang pas hari-H."

Pak Wiryono akhirnya menurunkan korannya dan menatap ke arah ponsel. "Ayu, kamu pulang yo. Iki acara penting. Seko cilik kowe wes ngerti siapa Anin, yo?"

Ayu di seberang terdengar menghela napas. “Iya deh. Kalau bisa Ayu pulang. Tapi Ayu seneng kok, akhirnya abang nemu jodohnya. Dan itu Mbak Anin pula. Fix! Ayu restu full!”

"Nah, cocok tho?" timpal Bu Minah. "Makanya ibu seneng banget. Meski awalnya agak kaget juga sih abangmu langsung setuju."

"Kenapa kaget, Bu?"

"Ya soalnya biasanya abangmu itu... kalo dibilang soal perempuan, jawabannya selalu, ‘nanti saja, Bu’. Tapi begitu dengar soal Anin, langsung diem, terus bilang ‘ya’."

Juragan Arjuna hanya tersenyum simpul, mengaduk teh nya lebih lama dari biasanya. Ia tidak menjawab, tapi di dalam hati, ada gejolak yang sulit dijelaskan.

“Hehehe, abang deg-degan ya?” canda Ayu.

“Biasa aja, kok,” jawab Arjuna, tapi matanya melirik ke arah ibunya yang sudah senyum-senyum sendiri.

Bu Minah langsung menimpali, “Deg-degan piye. Tadi sampe tiga kali nyetrika bajunya sendiri, loh!”

Semua tertawa.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Kesayangan Juragan   Hasutan Setan.

    Bab 25.Pagi itu langit mendung, tapi suasana kampung tetap hidup. Anak-anak bermain sepeda di jalanan kecil, ibu-ibu sibuk menjemur pakaian, dan suara ayam bersahutan dari kandang belakang rumah warga. Bu Minah, dengan daster batik dan kerudung tipis yang dililit asal, baru saja memberikan uang kebersihan kepada pemuda desa yang datang menagih iuran rutin.“Makasih ya, Buk,” ucap pemuda itu, tersenyum ramah.“Sami-sami, Le. Sing semangat bersih-bersih desane,” balas Bu Minah, senyum tipis menghiasi wajahnya yang mulai berkeriput.Pemuda itu melanjutkan langkahnya menuju rumah tetangga sebelah, dan Bu Minah pun kembali memperhatikan pot bunga kesayangannya yang baru saja ia siram tadi pagi—pot besar berisi anggrek bulan, ditaruh rapi di tepi halaman rumahnya.Tiba-tiba…Brakkk!Sebuah sepeda kecil melaju kencang dan menabrak pot bunga itu. Potnya pecah, tanah berhamburan, dan si anak laki-laki jatuh terguling di tanah sambil menangis kencang.“Hehh! Astaghfirullah!” teriak Bu Minah pa

  • Istri Kesayangan Juragan   Rahasia Terpendam.

    Bab 24.Anin melirik jam di handphone-nya. Sudah hampir pukul dua siang. Uap dari nasi yang tadi mengepul hangat perlahan menghilang, menyisakan dingin di meja makan. Ayam goreng yang digorengnya sebelum dzuhur sudah tak lagi renyah. Sambal tomat buatan sendiri pun mulai mengering di pinggir piring kecil.Ia duduk di kursi, diam. Tidak ada suara selain denting jam dinding dan bunyi kipas angin yang menderu pelan. Tangannya menahan dagu, matanya sayu. Arjuna belum juga pulang.Anin menghela napas berat. Ia tahu suaminya sibuk. Tapi tetap saja, ada rasa kesal. Tak ada kabar, tak ada pesan, hanya menunggu dan menunggu sampai rasa lapar berubah menjadi malas.Tak lama kemudian, suara berat memecah kesunyian.“Assalamualaikum…” suara Arjuna terdengar dari luar.Anin menjawab pelan, “Waalaikumsalam.”Arjuna masuk dengan langkah santai. Tanpa banyak bicara, ia langsung menuju kamar mandi. Seperti kebiasaannya, walaupun hanya duduk di ruang kerja atau keliling kandang, Arjuna tetap mencuci ta

  • Istri Kesayangan Juragan   Orang Masa Lalu.

    Bab 23.Pagi itu, matahari baru saja naik malu-malu di balik bukit. Anin sudah bangun sejak Subuh, menyiapkan sarapan untuk Arjuna: nasi hangat, tempe goreng, dan sambal tomat kesukaan suaminya. Setelah Arjuna berangkat ke sawah, Anin membereskan dapur sebentar, lalu mengisi alat penyiram tanaman dari keran di samping rumah.Sambil bersenandung kecil, ia menyiram koleksi bunga yang ia tanam di luar pagar: mawar merah, kenanga, dan beberapa pot bunga krisan yang baru ia beli dari pasar minggu lalu. Tanah masih basah, aroma embun bercampur wangi bunga menyeruak pelan.Di seberang jalan, seorang ibu-ibu dengan daster batik berjalan sambil menenteng belanjaan di tangan kiri. Wajahnya terlihat lelah tapi semangat. Ia melambai ketika melihat Anin.“Eh Anin, lagi nyiram bunga ya?” sapa Bu Sri, tetangga depan rumah yang terkenal cerewet tapi juga cepat akrab.“Iya Bu, biar nggak layu,” jawab Anin ramah.Bu Sri melangkah pelan mendekat, meletakkan kantong belanjaan di pinggir jalan, lalu memic

  • Istri Kesayangan Juragan   Uang Bulanan.

    Bab 22. Di dalam kamar yang luas dan hangat, Arjuna membungkuk di depan lemari, memutar kombinasi angka di brankas kecil miliknya. Suara klik terdengar saat kunci terbuka, dan pintu besi pelan-pelan terbuka, memperlihatkan beberapa bundel uang yang disusun rapi. Di sofa sudut kamar, Anin duduk bersila, memainkan jari-jarinya sambil memperhatikan suaminya. Hembusan angin dari celah tirai membuat kain itu berkibar pelan. "Tirainya ditutup dulu, Dek," ujar Arjuna tanpa menoleh. "Nanti ada tuyul yang masuk." Anin tertawa kecil. “Iya, Mas. Siap.” Ia berdiri dan menarik tirai tebal itu sampai menutup sempurna. Kamar menjadi sedikit lebih redup, tapi tetap nyaman. Arjuna meletakkan dua bundel uang di atas meja kecil di hadapan Anin. "Ini untuk kebutuhan bulan ini," ucapnya singkat. Anin bergeser, duduk lebih dekat. Ia membagi uang itu dengan telaten. “Yang ini untuk makan,” ujarnya sambil menyisihkan sebagian. “Ini buat kebetulan rumah. Yang ini pakan ternak, dan ini pupuk.” Arj

  • Istri Kesayangan Juragan   Foto tersembunyi.

    Bab 21.Matahari sudah tinggi ketika Arjuna terbangun, lalu terkesiap melihat jam di dinding.“Dek... kita kesiangan,” gumamnya seraya bangkit dari tempat tidur.Anin, yang masih malas membuka mata, hanya berguling pelan. “Iya mas. Aku enggak sempat masak.”Arjuna mengenakan kaos dan celana santai. “Mas ke warung depan ya, beli sarapan dulu. Kamu beresin kamar aja.”“Hmm, iya mas... hati-hati,” jawab Anin sambil duduk di pinggir ranjang, menyisir rambut dengan jari.Setelah Arjuna keluar, Anin mulai membereskan tempat tidur. Ia merapikan bantal, menarik sprei, dan menata selimut. Tapi saat ia berjalan ke sisi ranjang tempat Arjuna biasanya tidur, matanya menangkap sesuatu yang tergeletak di meja kecil.Dompet kulit kecokelatan.“Mas pasti lupa bawa dompet,” gumamnya.Ia mengambil dompet itu, niatnya hanya ingin mengantarkan. Tapi jemarinya berhenti di sana. Ada rasa penasaran yang menggelitik, entah datang dari mana. “Cuma lihat sebentar, kok. Kan ini dompet suami sendiri...” bisikny

  • Istri Kesayangan Juragan   Ada Yang Cemburu.

    Bab 20.Angin lembut mengayun dedaunan, membawa suara jangkrik dan aroma tanah yang lembab selepas petang. Di teras rumah, Arjuna dan Anin duduk berdampingan. Lampu mewah menggantung cantik di teras rumah, memantulkan cahaya lembut di wajah pasangan pasutri itu.Arjuna menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, mengusap pelan tengkuknya yang terasa pegal setelah seharian beraktivitas. Anin duduk tenang di sebelahnya, tangannya diletakkan di sandaran tangan kursi, sambil sesekali menatap langit yang mulai menghitam sempurna.“Beberapa kambing tadi pagi lahiran, Dek,” ucap Arjuna memecah keheningan. Senyumnya mengembang, suaranya tenang seperti biasa.Anin menoleh, bibirnya tersenyum kecil. “Alhamdulillah... banyak, Mas?”“Empat ekor. Semuanya sehat. Yang dua kembar. Nanti kamu lihat deh, lucu-lucu.”Anin mengangguk, tapi senyumnya tak bertahan lama. Matanya kembali menerawang jauh ke depan, ke arah jalan desa yang kini sepi. Di kepalanya, suara-suara asing bergaung kata-kata yang men

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status