Mentari sudah bergeser ke barat ketika suara langkah kaki berat terdengar di teras rumah keluarga Wiryono. Juragan Arjuna terduduk di teras rumah orangtuanya, tubuhnya bersandar lesu di kursi kayu tua yang biasa dipakai mendiang kakeknya duduk sore-sore. Wajahnya datar, tapi matanya menyiratkan kebingungan yang dalam.
Di seberangnya, duduk Bu Lastri. Matanya sembab, bekas air mata belum benar-benar kering. Ia menggenggam tangan Bu Minah, seakan masih berharap ini semua hanya mimpi. "Jadi gini, Le..." suara Bu Minah membuka percakapan. Suaranya terdengar tenang tapi tak memberi ruang untuk penolakan. "Anin, anaknya Bu Lastri, bersedia menikah sama kamu.” "Kamu mau kan, Le?" tanya Bu Lastri akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. Arjuna diam. Wajah Anin terlintas di benaknya. Gadis kota yang jarang pulang, yang selalu sibuk bekerja, dan kini... rela menikah dengannya demi menyelamatkan keluarganya? Perasaan iba dan bingung menyatu, bergolak dalam dadanya. Dengan nafas berat, Arjuna mengangguk pelan. "Inggih... saya siap." "Alhamdulillah, Pak!" seru Bu Minah dengan mata berkaca-kaca, menoleh ke suaminya, Pak Wiryono, yang hanya tersenyum tenang sambil mengangguk perlahan. Bu Minah langsung berdiri. "Ya sudah, kamu antar duitnya ke rentenir ya, Le. Biar urusan ini cepat selesai." Juragan Arjuna mengangguk, lalu bangkit dari kursinya. Ia berjalan ke dalam rumah, mengambil jaket dan kunci motor trail-nya. Langkahnya berat, tapi ia tahu ini harus dilakukan. Tak butuh waktu lama, suara knalpot motor trail-nya menggema keluar dari halaman rumah. Ia melaju menuju bank, menyelesaikan proses pengambilan uang tunai. Uang itu—500 juta rupiah, dimasukkan ke dalam tas hitam tebal, dikunci resletingnya dengan hati-hati. Setelah itu, ia langsung menuju rumah si rentenir, sebuah bangunan besar dengan pagar tinggi dan kamera pengawas di tiap sudutnya. Setelah mengetuk pintu besi yang berat itu, seorang anak buah rentenir membukakan pintu dengan ekspresi curiga. Namun saat melihat siapa yang datang, rautnya langsung berubah. "Pak Arjuna? Monggo, masuk..." Di dalam, rentenir itu sedang duduk di kursi empuk, mengisap cerutu dengan malas. Tapi begitu melihat Arjuna datang, ia langsung bangkit. "Lho, Juragan! Ada angin apa ini?" Tanpa basa-basi, Arjuna meletakkan tas hitam di atas meja kopi. "500 juta. Hutang atas nama Pak Minan. Saya lunasi hari ini." Pak Gondo membelalakkan mata. Tangannya cepat menghitung, jemarinya cekatan memisah tumpukan. Matanya berbinar. "Wah... wah... ini baru juragan sejati. Bayar kontan! Hehehe..." Arjuna tetap diam. Tatapannya tajam, membuat senyum di wajah Pak Gondo memudar sedikit. "Catet ya, lunas atas nama Minan. Tidak ada lagi tagihan. Keluarga mereka bebas dari hutang," tegas Arjuna. "Tentu... tentu... Ini kwitansinya..." Pak Gondo buru-buru menulis bukti pelunasan, menyerahkannya pada Arjuna dengan dua tangan, penuh hormat palsu. Arjuna menerima kertas itu, melipatnya rapi, lalu memasukkan ke dalam saku dalam jaketnya. *ੈ✩‧₊˚༺☆༻*ੈ✩‧₊˚ Matahari telah tenggelam sempurna di ufuk barat. Lampu gantung di ruang makan keluarga Pak Wiryono menyala redup namun hangat. Di atas meja makan kayu jati yang mulai kusam termakan usia, tersaji pecel, tahu bacem, tempe goreng, dan semangkuk besar sayur asem kesukaan keluarga. Bu Minah sedang duduk di sisi meja, mengunyah pelan sambil menekan layar ponselnya. Ia mengaktifkan loud speaker dan menelpon putri bungsunya yang tengah kuliah di ITB, Ayu. Nada sambung terdengar lama sebelum akhirnya disambut suara riang dari seberang. “Halo, Bu! Lagi makan ya?” “Iyo, Nduk. Ibu sama bapak sama abangmu lagi makan ini,” jawab Bu Minah sambil melirik Arjuna yang duduk tenang di ujung meja. Ayu tertawa kecil. “Kangen pecelnya ibu.” “Yo pulang, ben bisa makan bareng.” “Iya iya, akhir bulan insyaAllah.” Tiba-tiba Bu Minah membuka suara dengan nada penuh rahasia. “Ayu, abangmu mau nikah, Nduk. Nanti kamu pulang ya?” Sekejap, suara piring beradu terdengar dari seberang. Pak Wiryono spontan menggeleng, “Koe iki anak wedok kok teriak-teriak koyo ngono. Jangan kayak orang kesurupan, Ayu.” “Abang mau nikah, Bu? Tumben mau juga akhirnya!” cibir Ayu sambil tertawa geli. “Hus! Cangkemu itu. Yo jelas mau. Wes tuek juga, masamu gak nikah-nikah. Ibumu iki sampe khawatir tiap malam.” Pak Wiryono terkekeh pelan. “Sakjane ibumu itu wes pingin mantu sejak lima tahun lalu, tapi anakmu iki lho terlalu milih-milih.” “Lha iya, Bu, Pak. Tapi sama siapa coba? Siapa sih cewek beruntung yang bisa menaklukkan abang?” Bu Minah langsung menjawab mantap, “Itu loh, anak e Bu Lastri. Kamu kenal, Anin.” “Anin ya…” Ayu terdengar merenung sebentar. “Oh! Mbak Anin yang kerja di Jakarta itu? Yang dulu pas SMA pinter banget itu?” “Iyo!” seru Bu Minah semangat. “Yang rambutnya lurus, putih, halus. Orangnya alus, gak neko-neko. Sekarang kerja di kota, tapi tetep ngelingi wong tuwo. Gusti Allah paring jodoh seng apik.” Ayu tertawa lagi, kali ini lebih pelan. “Kalau itu sih Ayu setuju. Tapi jangan kayak waktu ibu jodohkan Abang sama Bu Yati itu lho. Inget gak? Janda anak dua. Dulu Abang sampai ndelik di sawah.” Bu Minah memonyongkan bibir dan mendengus. “Ndak usah diinget itu, Ayu! Sudah lama. Ibu juga kapok. Pokoknya sekarang ini yang cocok. Anin itu cocok banget sama abangmu. Pinter, sopan, mandiri, gak neko-neko. Persis kriteria istri idaman.” "Emangnya mau kapan acaranya, Bu?" tanya Ayu sambil terdengar sedang membuka-buka sesuatu di kamarnya. "Yo belum tahu pastinya, tapi rencananya besok malam lamarannya." "Alah, Ibu ini! Masih lama, Ayu kira tiga hari lagi." "Lho, lha iya, kudu siap-siap tho. Kamu kan belum tentu bisa pulang pas hari-H." Pak Wiryono akhirnya menurunkan korannya dan menatap ke arah ponsel. "Ayu, kamu pulang yo. Iki acara penting. Seko cilik kowe wes ngerti siapa Anin, yo?" Ayu di seberang terdengar menghela napas. “Iya deh. Kalau bisa Ayu pulang. Tapi Ayu seneng kok, akhirnya abang nemu jodohnya. Dan itu Mbak Anin pula. Fix! Ayu restu full!” "Nah, cocok tho?" timpal Bu Minah. "Makanya ibu seneng banget. Meski awalnya agak kaget juga sih abangmu langsung setuju." "Kenapa kaget, Bu?" "Ya soalnya biasanya abangmu itu... kalo dibilang soal perempuan, jawabannya selalu, ‘nanti saja, Bu’. Tapi begitu dengar soal Anin, langsung diem, terus bilang ‘ya’." Juragan Arjuna hanya tersenyum simpul, mengaduk teh nya lebih lama dari biasanya. Ia tidak menjawab, tapi di dalam hati, ada gejolak yang sulit dijelaskan. “Hehehe, abang deg-degan ya?” canda Ayu. “Biasa aja, kok,” jawab Arjuna, tapi matanya melirik ke arah ibunya yang sudah senyum-senyum sendiri. Bu Minah langsung menimpali, “Deg-degan piye. Tadi sampe tiga kali nyetrika bajunya sendiri, loh!” Semua tertawa.Juragan Arjuna berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putih bersih yang baru saja disetrika. Napasnya ditahan sejenak, menenangkan degup jantung yang berdetak tak karuan. Malam ini bukan malam biasa—malam ini ia akan melamar seorang gadis, perempuan cantik bernama Anindya Kirana.Ibu masuk ke kamar sambil memeriksa rambutnya yang dibalut kerudung satin."Nanti ibu mau cucu dua ya, Le," bisik Bu Minah sembari merapikan bros di dadanya."Apasih Bu, ini aja baru lamaran loh," jawab Arjuna sambil geleng-geleng.Bu Minah nyengir, lalu langsung keluar kamar. "Ibu belum siap dandan!"Arjuna menghela napas panjang, lalu berjalan ke teras, tempat ayahnya, Pak Wiryono, sudah duduk sejak beberapa menit lalu sambil menyeruput kopi panas.Pak Wiryono menoleh pelan, menatap anak lelakinya dengan mata yang tenang. "Koe memang siap dengan semua ini, kan, Le?"Arjuna mengangguk pelan. "InsyaAllah saya siap, Pak."Pak Wiryono menarik napas dalam. "Jangan pernah anggap pernikahan itu permainan ya, Le
Mentari sudah bergeser ke barat ketika suara langkah kaki berat terdengar di teras rumah keluarga Wiryono. Juragan Arjuna terduduk di teras rumah orangtuanya, tubuhnya bersandar lesu di kursi kayu tua yang biasa dipakai mendiang kakeknya duduk sore-sore. Wajahnya datar, tapi matanya menyiratkan kebingungan yang dalam.Di seberangnya, duduk Bu Lastri. Matanya sembab, bekas air mata belum benar-benar kering. Ia menggenggam tangan Bu Minah, seakan masih berharap ini semua hanya mimpi."Jadi gini, Le..." suara Bu Minah membuka percakapan. Suaranya terdengar tenang tapi tak memberi ruang untuk penolakan. "Anin, anaknya Bu Lastri, bersedia menikah sama kamu.”"Kamu mau kan, Le?" tanya Bu Lastri akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.Arjuna diam. Wajah Anin terlintas di benaknya. Gadis kota yang jarang pulang, yang selalu sibuk bekerja, dan kini... rela menikah dengannya demi menyelamatkan keluarganya? Perasaan iba dan bingung menyatu, bergolak dalam dadanya.Dengan nafas berat, Arjuna men
Sudah dua minggu sejak Anin pulang ke kampung, ia sibuk meminjam ke sana sini. Namun tak satupun yang berhasil. Semuanya menolak halus atau tak sanggup membantu. Terdesak waktu, akhirnya Anin memberanikan diri mengajukan pinjaman ke kantor—meski hatinya penuh ragu.Sekarang Anin tengah duduk di kursi empuk ruang HRD, tangannya menggenggam map pengajuan pinjaman yang mulai lemas di pangkuannya. Di seberangnya, Mbak Linda—staf HRD—tersenyum tipis, berusaha ramah walau jelas sulit menyampaikan kabar buruk.“Maaf ya, Anindya… jumlah yang kamu ajukan terlalu besar. Kami hanya bisa bantu lima puluh juta. Itu pun lewat approval manajemen.”Anin tersenyum kecil, meski matanya tampak sayu.“Iya, nggak apa-apa, Mbak. Saya maklum. Terima kasih banyak sudah diusahakan.”Ia berdiri, membungkuk sopan, lalu melangkah keluar dari ruangan dengan pelan. Begitu pintu tertutup, suara lembut langsung menyapanya.“Gimana, Nin?” tanya Dita, rekan kerjanya, dengan nada penuh harap.Anin hanya menggeleng pela
Bab 4 Tangisan bayi memecah keheningan pagi. Di tengah ruangan yang sederhana namun hangat itu, Juragan Arjuna berdiri tegap, mengumandangkan adzan lembut di telinga kanan anak mereka yang baru lahir. “Allahu Akbar… Allahu Akbar…” Suaranya tenang. Matanya berkaca-kaca. Ia menatap anak itu seolah dunia telah berubah maknanya sejak kehadirannya. Selesai adzan, Arjuna menoleh pada Anin yang duduk bersandar lemah pada ranjang rumah sakit. “Dek,” katanya pelan. Anin mengangguk pelan, senyum di bibirnya mengembang meski tubuhnya masih lelah. Dengan hati-hati, Arjuna menyerahkan si kecil ke dalam pelukannya. Anin menyambutnya dengan tangan gemetar, seolah baru pertama kali menyentuh sesuatu yang begitu suci. Arjuna menunduk, mengecup kening Anin penuh kasih. “Makasih ya, Dek… Udah mau jadi istri Mas… Udah ngasih Mas gelar baru—sebagai ayah…” Anin tersenyum, air matanya mengalir tanpa suara. Ia menatap wajah suaminya, yang kini tampak begitu berbeda dari laki-laki yang dulu sekadar be
Bab 3“Anin, bangun sebentar, Nduk.” Suara itu samar, bagai gema dalam mimpi buruk. Anin meringkuk di atas kasur tipisnya, masih terlilit sisa kantuk. Namun tangan ibu mengguncang pelan pundaknya. “Ibu ada pengajian. Rantang ini tolong diantar ke sawah, ya. Bapak belum makan.” Dengan setengah sadar dan berat sebelah mata terbuka, Anin duduk. “Kenapa Ibu nggak bilang dari awal sih…” gerutunya sambil mengucek mata. Tapi tangannya tetap menyambut rantang putih dua susun yang diberi ibu. “Ibu titip ya. Pulangnya bawa rantangnya juga. Jangan ditinggal. Nanti ilang.” Ibu pergi meninggalkan kamar. Anin mematung sebentar, menghela napas panjang, lalu bergerak seperti zombie. Pertama, ia oleskan sunscreen dan sun block ke leher dan lengan—ritual wajib untuk kulit putih mulusnya. Lalu dipakainya cardigan tipis, karena di baliknya ia hanya pakai daster tidur. Rambut dijedai asal, dan tak lupa, sandal jepit. Langkahnya berat saat menuju teras. Scoopy putih susu yang dibelinya dengan hasil k
Bab 2 Langit belum sepenuhnya terang saat Anindya tiba di stasiun Semarang. Udara pagi masih menggigit, dan tubuhnya terasa lelah setengah mati. Ia memasang kacamatanya—bukan untuk membantu melihat, tapi untuk menyembunyikan matanya yang sembab. Di luar stasiun, mobil pick up tua sudah menunggu. Tetangga sebelah, Pak Raji, duduk di kursi pengemudi. “Anin ya?” sapa Pak Raji, suaranya pelan. "Iya, Pak. Makasih udah jemput.” ucap Anindya pelan. Ia membuka pintu depan dan duduk di samping sopir. Kendaraan mulai melaju. Tapi arah yang mereka tuju… bukan rumah sakit. Anin ingin bertanya, tapi urung. Mungkin, pikirnya, ibu menyuruhnya pulang dulu agar istirahat sebentar sebelum ke ICU. Lagipula matanya berat. Kepalanya berdenyut. Badannya menggigil. Ketegangan semalam belum juga reda. Sesampainya di depan rumah, dia dibangunkan oleh suara pak Raji, “Anin, wis tekan.” Ia membuka mata, mengucek pelan. Dan seketika seluruh tubuhnya membeku. Di teras rumah kecil itu, ayahnya—yang semest