~ Pukul 23.00 wib ~
' Jadi dia sering tidur dengan wanita itu? ' Olivia tersenyum sinis dengan hati yang geram. Sebuah pesan masuk di ponsel yang ia pegang, menginformasikan apa yang terjadi hari ini dari seorang informan bayaran yang ia tugaskan untuk mencari tahu apa saja yang di lakukan Elgard di luar sana. Olivia menatap tajam layar ponsel yang menampilkan rekaman video Elgard sedang berpelukan dengan Chelsea di butik wanita itu. Pria itu masuk ke dalam butik di gandeng Chelsea dengan mesra dan tak keluar dari tempat itu hingga sore tadi. Sudah jelas apa saja yang mereka lakukan selama ini. Tak ada batasan. Wajahnya merah padam oleh amarah yang memuncak.' Aku benar-benar tak bisa mentolerir lagi apa yang kamu perbuat, Elgard! ' ujarnya dengan suara parau, seraya mengepalkan kedua telapak tangan hingga mengeluarkan suara berdecit. ' Kamu kira apa pernikahan ini? Sandiwara? Aku sudah berusaha mempertahankan rumah tangga kita, tapi kamu malah semakin keterlaluan! ' napasnya terasa semakin memburu. ' Tidak ada lagi yang perlu di pertahankan! Aku muak dan jijik melihat tingkah lakumu! Kali ini aku benar-benar akan mundur! ' lirih Olivia, air mata kesedihan menciptakan bening di sudut matanya. Suara langkah kaki menaiki anak tangga, terdengar dari arah pintu kamar yang tak tertutup. ' Siapa itu? ' lirih Olivia pelan sembari menyeka air mata.' Apa dia pulang? Tumben.' Olivia bergegas mengambil hijab, segera memakainya. Selama enam bulan menikah, Elgard jarang pulang ke rumah. Mungkin bisa di hitung hanya beberapa kali pria itu menginjakkan kakinya di rumah ini, itupun tidak untuk menginap. Ia lebih memilih tinggal di apartemen pribadi miliknya atau menghabiskan waktu bersama kekasihnya entah di mana. Hal tersebut di lakukan Elgard sejak hari pertama pernikahan mereka, tepatnya hari yang seharusnya menjadi malam pertama mereka, tetapi pria itu malah bersama Chelsea, tak sudi tinggal bersama Olivia apalagi menyentuhnya sebagai istri. Elgard bahkan tak pernah sekalipun melihat aurat istrinya sendiri dari balik baju panjang dan hijab yang wanita itu kenakan, tak tertarik bahkan merasa jijik. Tampak Elgard berdiri di depan pintu kamar. Pria itu terlihat kacau. Olivia pasang wajah dingin, berdiri di jendela kamar tanpa menyambut kedatangan suaminya tersebut. Tak berucap sepatah katapun, Elgard masuk ke dalam kamar. Ia menatap Olivia yang diam seribu bahasa, tak menyambut kepulangan nya dengan senyuman seperti yang wanita itu lakukan biasanya jika dirinya datang untuk sekedar singgah sebentar demi membuat keluarga besarnya tak curiga. " Aku mau mandi!" Ucap Elgard ketus. Olivia mengernyit heran, sejak kapan pria itu mandi di rumah ini? " Kenapa diam? Siapkan air mandiku, aku mau berendam air hangat." Titahnya dengan keangkuhan. Olivia tergelak, mencibir." Aku bukan pembantu! Kalau kamu butuh bantuan, minta tolong baik-baik. Bukan memerintah!" Balas Olivia tak kalah dingin. Elgard terhenyak, wanita itu membalas ucapannya dengan bergaya angkuh juga. " Minta tolong baik-baik? Kamu pikir kamu siapa? Di mataku, kamu lebih rendah dari seorang pembantu, aku tidak butuh bantuanmu!" Elgard senang sekali menyerang mental Olivia. " Ya sudah! Urus dirimu sendiri!" Olivia tak ada keinginan untuk berdebat, rasa mual melihat pria yang seharian ini bersama wanita lain, semakin besar. Ia berjalan untuk keluar kamar, tak ingin berada di ruangan yang sama dengan Elgard. " Kamu! Siapa yang menyuruhmu pergi?! Aku belum selesai!" Bentak Elgard, tak suka di abaikan. " Apa aku butuh izin dari kamu untuk keluar dari kamar ini? Bahkan untuk keluar dari rumah ini pun aku tidak akan meminta izin darimu. Siapa kamu?!" Balas Olivia sinis. Elgard terkesiap, Olivia semakin berani melawannya? Ia berjalan mendekati istrinya itu, geram. " Aku suamimu! Jangan coba-coba keluar dari rumah ini tanpa izin dariku!" Tegasnya. " Sejak kapan kamu merasa menjadi suamiku? Bukankah setiap bertemu, kamu selalu ingin menceraikan ku? Kamu ingin menikahi kekasih kamu itu kan? Maka silahkan! Aku tidak akan menghalangi lagi hubungan kalian karena aku tidak peduli." Olivia menantang mata Elgard dengan sorot mata tajam. Elgard merasa panas mendengar Olivia bicara dengan nada angkuh seperti itu. Hanya dirinya saja yang boleh, wanita itu tak punya hak untuk melawan balik. " Aku tidak akan menceraikanmu!" Olivia terkejut mendengar ucapan Elgard, sekarang berbeda lagi. " Kenapa? Kamu takut papa Haris menghapus nama kamu sebagai pewarisnya? " Sindir Olivia dengan tersenyum miring. Elgard terperanjat, ternyata Olivia tahu akan hal itu. " Apa yang kamu bicarakan? Kamu tau_" Elgard agak tergugup, ia menatap Olivia dengan tatapan menyelidik. " Amu tau semuanya, Elgard! Aku juga tau kalau kamu sedang tidur sepuasnya dengan kekasih kamu itu, lalu di pergoki oleh papa kamu, kan? " Olivia bersidekap dada dengan senyuman mencemooh. Elgard cukup kaget, bagaimana Olivia bisa tahu? " Kamu yang adukan ini semua ke papa sampai aku di ancam akan di hapus dari ahli warisnya?" Tuduh Elgard. " Aku mengadu? Maaf ya, kalau aku mau, aku bisa mengadukannya sejak awal dulu. Tapi itu tidak aku lakukan. Karena aku masih mencoba menutupi aib kamu. Dan sekarang aku tidak peduli sama sekali tentang kamu!" Cibir Olivia. Elgard merasa kesal, Olivia benar-benar angkuh. " Kamu tidak peduli? Lalu apa namanya? Kamu mendatangi Chelsea dan menyuruhnya untuk menjauhiku? Kamu cemburu kan? Kami takut kehilangan aku kan? Kamu takut kehilangan fasilitas mewah seperti yang kamu nikmati sekarang setelah menikah denganku!" Elgard berdecih, memandang rendah pada Olivia. " Aku tidak cemburu apalagi takut kehilangan kamu. Aku cuma sedang berusaha mempertahankan pernikahan kita. Karena aku sangat menghormati sebuah ikatan suci pernikahan. Tapi sayang, kamu yang tidak mau menjaganya. Dan sekarang, aku tidak akan melakukan apapun lagi untuk mempertahankannya. Aku pikir melepas kamu adalah jalan terbaik untuk hidupku!" Elgard semakin mendekat pada posisi berdiri Olivia, tak terima akan ucapan wanita itu. " Sayangnya, aku yang tidak akan menceraikanmu." Ucapnya menegaskan." Benar! Aku masih mempertahankan pernikahan ini demi jabatan sebagai pengganti papaku di perusahaan keluarga Nugroho. Kamu mau apa?!" Elgard tertawa menyeringai, menertawakan Olivia yang ia lihat begitu menyedihkan. Di pertahankan bukan karena cinta, tapi harta. " Wow, kamu merasa hebat? Dengar tuan Elgard. Lakukan apa yang kamu mau, maka aku akan melakukan apa yang aku mau!" Olivia berlalu dari hadapan Elgard, muak melihat tinggah pria itu. " Apa yang akan kamu lakukan?" Elgard menahan langkah Olivia, memegang pergelangan tangan istrinya. Olivia menatap tangannya di sentuh, sontak menepis kasar tangan Elgard. Tak sudi, kulit pria itu bekas bertukar keringat dengan wanita lain yang tak halal untuknya. Elgard terhenyak, Olivia menampakkan wajah jijik padanya. Hatinya tak terima dengan sikap wanita itu. " Aku tidak ada niat hidup bersamamu lagi. Kalau kamu tidak mau menceraikanku, maka aku yang akan menggugat cerai kamu!" Tegas Olivia berwajah serius. " Oh ya?" Elgard tertawa mengejek." Memangnya kamu bisa apa? Kamu mau bercerai? Kamu tidak takut penyakit ayah kamu semakin parah? Jangan merasa hebat kamu, OLIVIA SERAPHINA!" " Itu yang selalu kamu katakan, bahwa aku tidak bisa bercerai dari kamu karena penyakit ayahku. Jangan sok tau kamu. Itu ayahku, kamu tidak usah memikirkannya. Aku bisa mengatasi masalah keluargaku. Yang penting aku bisa lepas dari pria seperti kamu!" Olivia balik menertawakan Elgard yang terlalu percaya diri. " Hei! Kamu pikir kamu bisa melakukannya? Amu tidak akan membiarkannya. Kita tidak akan bercerai!" Elgard mulai terbakar emosi. " Terserah! Lakukan apa yang kamu mau. Aku bebas melakukan apapun yang aku mau. Kamu pikir aku takut padamu? Kamu pikir aku tergila-gila padamu? Kamu pikir aku takut kehilangan kamu dan semua fasilitas mewah yang ada di rumah ini? Tidak! Kamu bukan satu-satunya laki-laki menawan dan berharta di dunia ini, jangan besar kepala. Keputusanku sudah bulat, aku ingin bercerai!" Olivia lagi-lagi beranjak dari hadapan Elgard, namun di halangi pria itu. " Jangan memancing kemarahanku, Olivia Seraphina!!! Aku bisa menghancurkan hidup kamu dengan mudah kalau kamu berbuat macam-macam ," ancam Elgard memegang tangan Olivia. " Lepaskan! Jangan pernah sentuh aku, Elgard! Aku tidak sudi." Olivia menghempaskan tangan Elgard ke udara, wajahnya semakin menunjukkan rasa jijik pada pria itu. " Mmh, kamu mulai sok suci ya sekarang... Tidak mau aku sentuh? Bukankah selama ini kamu mendambakan sentuhan dariku Olivia? Jangan munafik kamu!" Elgard mengikis jarak di antara mereka, tubuhnya yang tinggi seakan mengungkung tubuh Olivia hingga tak bisa melepaskan diri. " Ka-kamu mau apa??!" Olivia menelan ludah. Tatapan pria di hadapannya ini terlihat berbeda, mengerikan. " Kalau kamu ingin sentuhan dariku, maka aku akan memberikannya mulai sekarang. Aku bisa memuaskan mu sampai ketagihan. Tapi jangan pernah lagi ucapkan kata cerai, itu tak akan terjadi!" Elgard mendesak tubuh Olivia yang berusaha mundur ke belakang, hingga punggungnya membentur dinding kamar. " Kamu menjijikan! Kamu pikir aku mau bekas wanita itu? Aku jijik! Aku tidak sudi kamu sentuh. Minggir kataku!!" Perut Olivia serasa mual mendadak, tak rela di sentuh Elgard yang seharian ini bersama wanita lain, lalu malamnya hendak menyentuhnya dengan maksud menghina. Elgard merasa panas. Ia tak terima dengan ucapan istrinya barusan. Dengan cepat, kedua pergelangan tangan Olivia ia genggam erat, bahkan di cengkeram kuat. Lalu di tempelkan ke dinding di samping wajah Olivia yang tubuhnya telah bersandar di dinding tersebut. " Kamu merasa suci dan aku yang kotor? Ok, kita lihat, apa setelah ini kamu bisa menolak? Aku pastikan kamu yang akan terus-terusan memohon agar aku sentuh!" Elgard hendak mencium Olivia dengan brutal, namun dengan cepat Olivia mengelak. " Menjauh dariku Elgard!! Kamu menjijikan!!" Pekik Olivia, ia merasa di rendahkan dan ini sebuah penghinaan. Elgard sudah terlalu menginjak-injak harga dirinya. Elgard semakin tertantang. Melihat penolakan secara angkuh dari wanita yang selama ini ia benci dan abaikan, membuatnya penasaran. Harum aroma dari tubuh Olivia begitu menyenangkan di penciumannya. Tanpa ia sadari justru membangkitkan hasratnya. Ia paksa tuk memeluk tubuh Olivia akan membawanya ke kasur. Ingin mencoba mencicipi rasa wanita itu. Arrghh!! Elgard mengerang kesakitan, aset berharganya di bawah sana, di tendang tiba-tiba oleh Olivia. Sontak membuatnya terjatuh sembari mengerang kesakitan memegang area dalam pangkal pahanya tersebut. " Olivia, apa.. yang kamu... Lakukan? Ini aset berhargaku!" Lirihnya terbata-bata saking sakitnya. Olivia yang sudah menjauh, menatap Elgard dengan penuh kebencian. " Jangan pernah macam-macam pada Elgard!! Aku tidak selemah yang kamu pikirkan. Kamu belum puas menyakiti perasaanku dengan berselingkuh? Bahkan berhubungan badan dengan selingkuhan kamu itu! Masih belum cukup?? Sekarang kamu mau menyentuhku dengan maksud menghinaku setelah seharian ini kamu bersama dia! Kamu benar-benar kejam! Aku sangat membencimu!" Umpat Olivia murka.“Udah, Sayang. Oliv jangan terlalu banyak diajak bicara. Lihatlah dia masih pucat sama lemas gitu,” tegur Virendra, ingin menghentikan Syafira yang masih saja mengajak Olivia mengobrol. Virendra begitu iba melihat menantu perempuannya dalam keadaan lelah. Pasti sangat sangat capek dan inginnya tidur tenang untuk merehatkan badan setelah berjuang melahirkan bayi yang ditunggu-tunggu oleh kedua belah pihak keluarga. “Waduh, maafkan Mommy ya Sayang. Kamu jadi terganggu,” Ucap Syafira pada Olivia. “Enggak kok, Mom.” Olivia terkekeh, dirinya malah selalu senang jika ibu mertuanya itu ada. Membuat suasana semakin hidup dan ramai. Syafira mengusap lembut lengan menantunya, kemudian mendekati Amanda yang berdiri di samping box bayi Olivia. Virendra mengambil kesempatan. la dekati Olivia, lalu membelai dan mengecup pucuk kepala menantunya. “Istirahat yang cukup ya, Nak,” ucapnya lembut, tersenyum dengan sorot mata penuh kasih sayang. “Ya, Dad,” Jawab Olivia ikut tersenyum. Di saat
Olivia ditempatkan di ruang rawatan President Suite-Royal Hospital dengan segala fasilitas lengkapnya. Aroma harum khas bayi baru lahir, menyebar ke seluruh penjuru ruangan, memberi ketenangan tersendiri. Ibu muda itu berbaring dengan kepala sedikit ditinggikan di atas tempat tidur pasien, tubuhnya nyaman ditutupi selimut halus. Di sampingnya, Barra duduk sambil menggenggam tangannya dengan mesra. Mata pria yang kini telah resmi menjadi seorang ayah itu, tak lepas memandangi wajah lelah Olivia yang tampak sedikit pucat. Cinta dan perhatian tergambar jelas dalam tatapan hangat Barra. la sesekali mengecup tangan Olivia, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang semakin besar saja pada istrinya itu. Rasa bangga terhadap Olivia yang telah melahirkan buah cinta mereka, kian membuncah. Sedang Olivia yang telah melewati proses persalinan, tampak lelah namun sumringah. Mata sayunya tertuju pada bayi yang kini berada dalam dekapan sang kakek. Tampak bayi mungil mereka tertidur lelap d
Dengan hati-hati, Barra membantu Olivia berjalan ke mobil, sambil terus memastikan bahwa istrinya itu merasa nyaman. “Udah yakin gak ada yang tertinggal, Sayang?” tanya Amanda sebelum pintu mobil ditutup. “InsyaAllah yakin, Bu.” “Ok. Jagain Oliv ya Bar. Ibu dan Kakek di belakang ngikutin mobil kalian.” “Ya, Bu.” Barra mengangguk, berdebar-debar karena Olivia menahan sakit sambil menggenggam kuat jemarinya. Amanda menutup pintu mobil Barra dari luar. Mobil pun segera melaju, menuju rumah sakit Royal Hospital. Amanda dan Tuan Rawless dengan mobil mereka sendiri, akan ikut ke rumah sakit untuk menunggui persalinan Olivia. Wajah keduanya cukup tegang, ini waktunya cucu Amanda sekaligus cicit Tuan Rawless akan hadir ke dunia ini. Sebentar lagi. Hujan masih terus mengguyur, menambah dramatis perjalanan mereka ke rumah sakit di dini hari yang dingin dan basah itu. “Aduh Mas, makin sakiiiit...” Olivia menggenggam erat tangan Barra. Kontraksinya terasa semakin kencang daripada sebelumn
_Dua bulan kemudian_ Pukul 01.00 wib. Suara gemericik hujan di luar jendela kediaman Rawless, semakin membuat malam terasa pekat. Di dalam kamar yang temarm oleh lampu tidur, Barra dan Olivia masih berbaring di bawah selimut tebal yang membalut tubuh keduanya. AC yang sejak awal diatur dengan suhu rendah, menambah kesejukan ruang kamar yang luas itu, serasi dengan dinginnya malam yang diselimuti hujan. Olivia dengan perutnya yang besar menonjol, tidur miring ke kiri membelakangi Barra dengan kepala bertumpu pada lengan suaminya sebagai bantal empuk. Sedang Barra memeluknya dari belakang, seperti salah satu kebiasaan mereka saat tidur. “Uugh...” Olivia mulai menggeliat. Rasa tak nyaman di perut yang dirasakannya sebelum tidur tadi, kembali lagi, malah semakin intens. Perutnya seperti mengencang, seakan menjadi sebuah tanda bahwa kontraksi sesungguhnya telah dimulai. “Nak, kok gerak-gerak terus ya? Apa udah mau lahir?” lirihnya dengan mengusap-usap perut. Dengan wajah meringis
Tampak penghulu datang, langsung disambut ramah oleh Tuan Rawless, Virendra dan Haris. Setelah berbasa basi, semuanya akhirnya duduk di tempat masing-masing. Penghulu, Barra dan Tuan Rawless sebagai saksi nikah. Yang terpenting, Jefri dan Haris duduk berhadap-hadapan untuk mengucapkan ijab qobul sebentar lagi. Sementara keluarga besar sudah menempati kursi mereka masing-masing, ikut tak sabar menyaksikan acara sakral ini. Tak berselang lama, Syafira dan Ayuma masuk ke dalam ballroom hotel. Suara riuh hadirin di dalam ruangan megah itu, sontak menarik perhatian Jefri. Ada ungkapan takjub dengan melafazkan kalimat MasyaAllah, terdengar dari suara-suara mereka yang melihat ke arah pintu masuk. Degup Degup Jantung Jefri berdegup sekencang mungkin. la menelan saliva, matanya tak berkedip. Clarissa masuk digandeng Syafira dan Ayuma, itu gadis yang sebentar lagi akan ia halalkan. Tak sampai hitungan jam lagi. ‘Ya Allah!’ ‘Indahnya cıptaanMu...’ Batin Jefri, terpesona melihat calon
Tiga minggu berlalu... Ballroom hotel bintang lima tempat Jefri dan Clarissa akan melangsungkan akad nikah sekaligus resepsi pernikahan, telah bertransformasi menjadi sebuah mahakarya keindahan, seperti sebuah istana mewah bak pernikahan putri raja. Di sekeliling ballroom, meja-meja tamu tersusun rapi dan elegan, ditata dengan linens putih bersih dan peralatan makan perak yang berkilau, dihiasi centerpiece yang terdiri dari bunga-bunga segar dan lilin-lilin yang menambahkan nuansa romantis. Di setiap sudutnya, terdapat rangkaian bunga yang mewah berwarna-warni sedemikian rupa, menambah semerbak aroma floral yang menggoda indra. Di bagian depan ballroom, sebuah meja berukuran sedang namun unik, telah disiapkan dengan kursi spesial untuk calon pengantin pria yang akan melangsungkan ijab qobul bersama wali nikah pengantin perempuan, tak lupa kursi khusus penghulu dan dua orang saksi nikah. Atmosfer di aula ini bukan hanya tentang keindahan visual, namun juga perasaan penuh harapan y