" Kamu istriku! Apa salahnya aku meminta hakku?! Kamu berlagak suci dengan memakai kerudung, tapi menolak keinginan suami. Percuma kamu berjilbab! Perempuan sok suci! Buka saja hijab kamu itu! Istri durhaka.."
" Hah!" Olivia tergelak sinis." Apa hubungannya dengan jilbab yang aku pakai? Aku menolak karena kamu tidak bersih. Pulang-pulang ingin meminta hak dengan alasan istri tidak boleh menolak keinginan suami? Istri durhaka? Cih! Kamu tidak pantas bicara seperti itu padaku. Kamu itu sudah berzina dengan wanita lain dan aku menolak kamu dengan alasan yang syar'i karena aku takut terkena penyakit gara-gara perbuatan kamu di luar sana. Dan tak ada dosa bagiku! Aku bukan istri durhaka, aku hanya menjaga diriku! Paham kamu!" Sentak Olivia, ia lebih tahu apa yang ia lakukan. Elgard berdiri, merasa kesal. Ternyata istrinya bukan wanita lemah yang bisa ia intimidasi terus-terusan. Olivia berjalan menuju pintu kamar. Namun sebelumnya, ia menoleh ke belakang pada Elgard yang belum rela ia tinggalkan." Satu lagi!" Ucapnya dengan raut wajah dingin. " Aku menyerah! Aku tidak akan menahan kamu lagi untuk berada di sisiku. Terserah kamu mau berhubungan dengan wanita itu, aku memilih berpisah. Kalau kamu tidak mau melakukannya, maka aku akan mengurus sendiri perceraian kita. Aku sudah mengumpulkan bukti-bukti perselingkuhan kamu selama ini, dan itu akan memudahkan pengadilan menerima gugatanku!" Blam! Olivia pergi dari kamar, menutup pintu dari luar. Mana mau dirinya berada di satu kamar dengan pria yang telah mengkhianati pernikahan mereka. Elgard terpaku. Baru kali ini dirinya melihat seorang Olivia yang berbeda, tegas dan tak lagi menatap dirinya dengan tatapan memuja. Dari raut wajah serta sorot mata, terlihat jelas jika Olivia tidak main-main dengan ucapannya. 'Dia ingin bercerai???' Elgard seketika ketar-ketir. 'Bisa jadi masalah ini... Aku bisa kehilangan semuanya..' Elgard menjambat rambutnya sendiri, panik. 'Tidak! Aku tidak akan membiarkan Olivia menggugat cerai diriku. Tepatnya sebelum aku resmi menjadi pimpinan perusahaan papa.. aku tidak mau bercerai!!' ia menggeleng-gelengkan kepala, mengusap kasar wajahnya. Tadinya ia pikir Olivia tidak akan berani mengambil keputusan tersebut, mengingat wanita itu sangat menjaga kesehatan ayahnya. Bahkan dulu saat menerima perjodohan kedua keluarga mereka, Olivia bersedia demi sang ayah. Ia juga tak percaya Olivia menolak dirinya untuk melakukan apa yang seharusnya suami istri lakukan. Ia pikir wanita itu begitu memuja dan mendambakan dirinya, namun ternyata yang ia dapatkan adalah penolakan. Entah mengapa perasaan Elgard seakan tak terima. Tak suka di tolak seperti tadi. Dirinya merasa terhina oleh wanita yang selama ini ia anggap bukan siapa-siapa dan tak ada daya tarik sama sekali di matanya. ***** Pagi mulai merekah usai semalam di liputi suasana yang menyesakkan. Olivia sudah bangun pagi-pagi sekali dan berjalan menuju dapur dengan langkah pasti. Dalam sekejap, ia mengeluarkan bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat sandwich daging yang menjadi favoritnya. Roti gandum, selada segar, tomat, keju dan tentu saja daging sapi yang sudah di panggang sebelumnya. Ia mengambil pisau tajam dan mulai memotong tomat menjadi irisan tipis, lalu mengiris keju dengan hati-hati. Selada di cuci bersih, dan roti gandum di olesi dengan sedikit mayonaise. Setelah semua bahan siap, Olivia mulai menyusun sandwich-nya. Dengan cermat, ia meletakkan selada, irisan tomat, dan keju di atas selembar roti gandum. Kemudian, menambahkan daging sapi yang telah di panggang dan menutupinya dengan selembar roti gandum lagi. Terakhir, memanggangnya sebentar dengan sedikit olesan margarin di atas wajan datar yang panas. Olivia tersenyum puas melihat hasil masakannya yang cantik dan menggoda selera. Sementara itu, Elgard keluar dari kamar utama yang biasa di tempati Olivia, dimana sebenarnya merupakan kamar untuk mereka berdua sebagai suami istri. Namun tidak pernah didatangi apalagi ditempati pria itu selama enam bulan pernikahan mereka. Ia telah rapi dengan pakaian kantornya, melangkah menapaki satu per satu anak tangga, turun ke lantai bawah. Matanya nyalang penuh dengan rasa penasaran, dimana Olivia tidur semalam? Ia berniat untuk mencari keberadaan wanita itu. Hingga bunyi suara orang tengah memasak, terdengar di telinganya dari arah dapur. Itu pasti Olivia pikirnya, mengingat di rumah itu hanya ada istrinya saja ditambah kehadiran dirinya sekarang. Elgard melangkah cepat menuju dapur, detang jantungnya semakin kencang seiring mendekati pintu. Di depan matanya, Olivia berdiri anggun menghadap meja kompor, fokus memasak. Elgard masuk, berjalan menghampiri kulkas untuk mengambil sebotol air mineral yang sejuk. Sesekali matanya melirik ke arah Olivia yang tak menoleh padanya sedikit pun. Sedangkan Olivia mematikan kompor setelah memasukkan masakannya ke dalam sebuah piring. Ia menempatkan sandwich buatannya di atas piring putih, lalu menuangkan secangkir teh hangat kedalam cangkir putih bermotif shabby sebagai teman sarapannya. Dengan kesibukannya sendiri, wanita itu berjalan membawa piring berisi sandwich beraroma lezat dan secangkir teh tadi ke meja di ruang makan, tanpa sedikit pun menghiraukan kehadiran Elgard. ' Hah! Dia sok banget!' gerutu Elgard dengan senyum miring, kesal tak disapa dan dihormati. Pria itu meneguk air mineralnya dengan tergesa-gesa, lalu bergegas menyusul Olivia ke ruang makan. Di ruang makan. Dengan wajah tenang, Olivia meletakkan sarapannya di atas meja. Ia duduk di kursi favoritnya menghadap jendela, menikmati sarapan pagi yang di buatnya sendiri sambil menatap pemandangan indah diluar jendela. Olivia merasa nyaman karena bisa menyajikan sarapan sehat dan lezat untuk dirinya, menyempurnakan pagi yang cerah itu. Krieet! Suara kursi di geser keluar dari dalam meja, membuat Olivia menoleh ke samping. Elgard ternyata duduk di sana, pasang wajah dingin sembari menatap makanan yang ada di hadapan Olivia. Olivia jengah. Ia kemudian bangkit dari duduk, tanpa berucap apapun, langsung membawa nampan berisi sarapannya, pergi dari meja makan. Elgard mengernyit heran," Mau kemana kamu?!" Ketusnya. Olivia berhenti sejenak sebelum keluar dari pintu." Ke kamarku!" Jawabnya datar. " Kalau mau sarapan, disini! Sejak kapan orang sarapan di kamar? Kamu gak pernah di ajar adab makan?" Sentak Elgard tak suka diabaikan. " Terserah aku!" Olivia tak peduli, tak ada keinginan berlama-lama di dekat laki-laki yang telah mengkhianati pernikahan mereka. " Aku bilang makan disini! Kamu paham?" Titah Elgard, tegas. Olivia menghembus napas panjang, ia tatap pria itu dengan sorot mata penuh kekesalan. Dapat Elgard rasakan jika istrinya itu sangat benci padanya. " Apa masalah kamu sebenarnya? Bukankah kamu gak suka melihat aku di dekat kamu? Aku pergi menjauh demi kenyamanan masing-masing." Balas Olivia dingin. Elgard terdiam. Ya, memang ia tak pernah suka melihat Olivia ada di dekatnya. Namun sebelum tujuannya mendapatkan jabatan tertinggi di perusahaan keluarga Nugroho berhasil, maka ia harus memperlakukan wanita ini seperti istrinya mulai sekarang.“Udah, Sayang. Oliv jangan terlalu banyak diajak bicara. Lihatlah dia masih pucat sama lemas gitu,” tegur Virendra, ingin menghentikan Syafira yang masih saja mengajak Olivia mengobrol. Virendra begitu iba melihat menantu perempuannya dalam keadaan lelah. Pasti sangat sangat capek dan inginnya tidur tenang untuk merehatkan badan setelah berjuang melahirkan bayi yang ditunggu-tunggu oleh kedua belah pihak keluarga. “Waduh, maafkan Mommy ya Sayang. Kamu jadi terganggu,” Ucap Syafira pada Olivia. “Enggak kok, Mom.” Olivia terkekeh, dirinya malah selalu senang jika ibu mertuanya itu ada. Membuat suasana semakin hidup dan ramai. Syafira mengusap lembut lengan menantunya, kemudian mendekati Amanda yang berdiri di samping box bayi Olivia. Virendra mengambil kesempatan. la dekati Olivia, lalu membelai dan mengecup pucuk kepala menantunya. “Istirahat yang cukup ya, Nak,” ucapnya lembut, tersenyum dengan sorot mata penuh kasih sayang. “Ya, Dad,” Jawab Olivia ikut tersenyum. Di saat
Olivia ditempatkan di ruang rawatan President Suite-Royal Hospital dengan segala fasilitas lengkapnya. Aroma harum khas bayi baru lahir, menyebar ke seluruh penjuru ruangan, memberi ketenangan tersendiri. Ibu muda itu berbaring dengan kepala sedikit ditinggikan di atas tempat tidur pasien, tubuhnya nyaman ditutupi selimut halus. Di sampingnya, Barra duduk sambil menggenggam tangannya dengan mesra. Mata pria yang kini telah resmi menjadi seorang ayah itu, tak lepas memandangi wajah lelah Olivia yang tampak sedikit pucat. Cinta dan perhatian tergambar jelas dalam tatapan hangat Barra. la sesekali mengecup tangan Olivia, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang semakin besar saja pada istrinya itu. Rasa bangga terhadap Olivia yang telah melahirkan buah cinta mereka, kian membuncah. Sedang Olivia yang telah melewati proses persalinan, tampak lelah namun sumringah. Mata sayunya tertuju pada bayi yang kini berada dalam dekapan sang kakek. Tampak bayi mungil mereka tertidur lelap d
Dengan hati-hati, Barra membantu Olivia berjalan ke mobil, sambil terus memastikan bahwa istrinya itu merasa nyaman. “Udah yakin gak ada yang tertinggal, Sayang?” tanya Amanda sebelum pintu mobil ditutup. “InsyaAllah yakin, Bu.” “Ok. Jagain Oliv ya Bar. Ibu dan Kakek di belakang ngikutin mobil kalian.” “Ya, Bu.” Barra mengangguk, berdebar-debar karena Olivia menahan sakit sambil menggenggam kuat jemarinya. Amanda menutup pintu mobil Barra dari luar. Mobil pun segera melaju, menuju rumah sakit Royal Hospital. Amanda dan Tuan Rawless dengan mobil mereka sendiri, akan ikut ke rumah sakit untuk menunggui persalinan Olivia. Wajah keduanya cukup tegang, ini waktunya cucu Amanda sekaligus cicit Tuan Rawless akan hadir ke dunia ini. Sebentar lagi. Hujan masih terus mengguyur, menambah dramatis perjalanan mereka ke rumah sakit di dini hari yang dingin dan basah itu. “Aduh Mas, makin sakiiiit...” Olivia menggenggam erat tangan Barra. Kontraksinya terasa semakin kencang daripada sebelumn
_Dua bulan kemudian_ Pukul 01.00 wib. Suara gemericik hujan di luar jendela kediaman Rawless, semakin membuat malam terasa pekat. Di dalam kamar yang temarm oleh lampu tidur, Barra dan Olivia masih berbaring di bawah selimut tebal yang membalut tubuh keduanya. AC yang sejak awal diatur dengan suhu rendah, menambah kesejukan ruang kamar yang luas itu, serasi dengan dinginnya malam yang diselimuti hujan. Olivia dengan perutnya yang besar menonjol, tidur miring ke kiri membelakangi Barra dengan kepala bertumpu pada lengan suaminya sebagai bantal empuk. Sedang Barra memeluknya dari belakang, seperti salah satu kebiasaan mereka saat tidur. “Uugh...” Olivia mulai menggeliat. Rasa tak nyaman di perut yang dirasakannya sebelum tidur tadi, kembali lagi, malah semakin intens. Perutnya seperti mengencang, seakan menjadi sebuah tanda bahwa kontraksi sesungguhnya telah dimulai. “Nak, kok gerak-gerak terus ya? Apa udah mau lahir?” lirihnya dengan mengusap-usap perut. Dengan wajah meringis
Tampak penghulu datang, langsung disambut ramah oleh Tuan Rawless, Virendra dan Haris. Setelah berbasa basi, semuanya akhirnya duduk di tempat masing-masing. Penghulu, Barra dan Tuan Rawless sebagai saksi nikah. Yang terpenting, Jefri dan Haris duduk berhadap-hadapan untuk mengucapkan ijab qobul sebentar lagi. Sementara keluarga besar sudah menempati kursi mereka masing-masing, ikut tak sabar menyaksikan acara sakral ini. Tak berselang lama, Syafira dan Ayuma masuk ke dalam ballroom hotel. Suara riuh hadirin di dalam ruangan megah itu, sontak menarik perhatian Jefri. Ada ungkapan takjub dengan melafazkan kalimat MasyaAllah, terdengar dari suara-suara mereka yang melihat ke arah pintu masuk. Degup Degup Jantung Jefri berdegup sekencang mungkin. la menelan saliva, matanya tak berkedip. Clarissa masuk digandeng Syafira dan Ayuma, itu gadis yang sebentar lagi akan ia halalkan. Tak sampai hitungan jam lagi. ‘Ya Allah!’ ‘Indahnya cıptaanMu...’ Batin Jefri, terpesona melihat calon
Tiga minggu berlalu... Ballroom hotel bintang lima tempat Jefri dan Clarissa akan melangsungkan akad nikah sekaligus resepsi pernikahan, telah bertransformasi menjadi sebuah mahakarya keindahan, seperti sebuah istana mewah bak pernikahan putri raja. Di sekeliling ballroom, meja-meja tamu tersusun rapi dan elegan, ditata dengan linens putih bersih dan peralatan makan perak yang berkilau, dihiasi centerpiece yang terdiri dari bunga-bunga segar dan lilin-lilin yang menambahkan nuansa romantis. Di setiap sudutnya, terdapat rangkaian bunga yang mewah berwarna-warni sedemikian rupa, menambah semerbak aroma floral yang menggoda indra. Di bagian depan ballroom, sebuah meja berukuran sedang namun unik, telah disiapkan dengan kursi spesial untuk calon pengantin pria yang akan melangsungkan ijab qobul bersama wali nikah pengantin perempuan, tak lupa kursi khusus penghulu dan dua orang saksi nikah. Atmosfer di aula ini bukan hanya tentang keindahan visual, namun juga perasaan penuh harapan y