Pernikahan sudah tidak terhindarkan. Di sebuah kamar, Clara sedang dihias secantik mungkin seperti seorang pengantin pada umumnya. Clara duduk di depan cermin, menatapi pantulan wajahnya sembari meremas-remas jemarinya sendiri. Di sampingnya, ada seorang penata rias yang begitu telaten merias wajahnya.
Meski nampak cantik, semburat wajah sendu dan pias tidak bisa terelakkan. Clara gugup, takut, panik dan juga ingin berlari. Namun, dia seperti sudah diikat dengan tali yang begitu kuat.
"Nona sangat cantik," puji penata rias pada Clara.
Clara kembali menatap dirinya dari pantulan cermin dan sedikit melengkungkan senyum. Ingin menangis, huh! Itu sungguh tidaklah mungkin. Martabat dan kondisi keluarga yang dipertaruhkan di sini.
Sementara di ruangan lain, Noah sudah siap dengan setelan jas berwarna putih yang senada. Wajahnya yang gagah rupawan, akan segera memukau para tamu undangan. Bukan sekedar karena pria tampan yang mereka kagumi, akan tetapi sosok Noah yang tertutuplah yang membuat para tamu tidak sabar menunggu di luar sana.
"Cih! Aku akan menikah." Noah melengos dari hadapan cermin persegi panjang. Ia menarik jasnya lebih erat, kemudian berjalan keluar.
"Anda sudah siap?" tanya Daniel selaku asisten pribadi Noah.
Noah hanya memberi anggukan kemudian kembali melangkah. Tak jauh di hadapannya, wanita berparas cantik dengan dress mocca tengah mendekat.
"Wah! Wah!" Angela menggelengkan kepala sambil menahan senyum. Kedua tangannya tak lupa bertepuk tangan. "Sungguh gagah calon pengantin di hadapanku."
"Sialan kau!" sembur Noah.
"Pengantinmu sudah siap," kata Angela kemudian.
Noah tidak menjawab melainkan kembali berjalan menuju ruangan yang sudah disiapkan.
Sampai di tempat yang akan digunakan untuk mengucapkan janji suci, Noah sudah berdiri di samping sang pendeta. Tidak jauh darinya, berdiri kedua orang tuanya yang melengkungkan senyum. Sementara di sepanjang red carpet, sedang melangkah seorang wanita bergaun putih dengan ditutup kain tutu di bagian wajah. Dia berjalan dengan elegan di gandeng sang ayah.
Setiap pasang mata yang menghadiri acara pernikahan ini, nampak terkagum-kagum melihat betapa cantiknya rupa Clara meski masih samar-samar tertutup kain tutu. Mereka sangatlah penasaran seperti apa jika kain itu terbuka. Pastilah sangat cantik dan luar biasa.
"Apakah wajahnya sungguh seperti Chloe?" batin Noah sembari terus mengamati langkah Clara yang kian mendekat.
Dan detik berikutnya, Bill melepaskan sang putri saat sudah sampai di hadapan sang pendeta dan calon suami. Sudah berdiri di hadapan Noah sambil memegang buket bunga, Clara mulai gemetaran. Keringat dingin mulai terasa di sela-sela jarinya.
"Diakah pria bernama Noah?" batin Clara. "Tampan. Em, tapi dia terlihat garang. Alasan apa sampai Chloe meninggalkannya? Benarkah hanya sekedar ingin menggapai mimpi?" Clara masih saja membatin sampai tidak mendengar panggilan dari sang pendeta.
"Apa Nona sudah siap?" tanya pendeta.
Clara nampak gelagapan. "I-iya, aku siap."
"Sangat mirip, sungguh mirip. Dia mengingatkanku pada Chloe." Kini Noah yang membatin.
Pengucapan janji suci pun segera dilaksanakan. Sang pendeta dengan khidmat mempersatukan dua insan hingga menjadi sepasang suami istri yang sah.
"Sudahkah?" batin Clara usai cincin berlian melingkar di jari manisnya. "Sudahkah aku sah menjadi suaminya?" sambungnya lagi.
Ya, semua sudah terjadi. Clara milik Noah, pun sebaliknya. Sebuah pernikahan yang sama sekali tidak mereka berdua sangka-sangka.
Riuh tepuk tangan pun kini terdengar nyaring di telinga mereka berdua. Dan di saat sesi sang pendeta mempersilahkan pengantin pria untuk mencium pengantin wanita, di saat itulah semua terasa terhenti. Jantung berdegup kencang, panik dan bingung dirasakan Clara.
Sementara di hadapan Clara, dengan santainya Noah sudah membuka kain tipis yang menutupi wajah dan siap mrmberi sebuah ciuman untuk Clara.
"Astaga! Ini terlalu dekat!" batin Rania sambil menggigit bibir.
Begitu wajah Noah semakin dekat, dan tinggal menunggu detik hingga bibir itu saling bersentuhan, tiba-tiba Rania mundur.
"Lakuan saja saat hanya berdua."
Sontak semua tamu tertawa dengan perkataan Clara. Tidak terasa kedua pipi Clara pun memerah menahan rasa malu. Sementara Noah, dia diam-diam mengamati raut wajah Clara.
"Dia berbeda, sungguh beda," kata Noah dalam hati.
Kini beralih pada para tamu undangan bergiliran mengucapkan kata selamat pada sepasang pengantin baru. Mau tidak mau, mereka berdua harus melengkungkan bibir membentuk senyuman.
Setelah acara selesai dan para tamu undangan sudah pergi, keluarga dari kedua mempelai mengantar putra putri mereka di halaman rumah untuk menuju rumah baru yang akan mereka tinggali.
"Selamat ya, sayang." Lily mencium kedua pipi Clara bergantian. "Selamat menempuh hidup baru."
Clara yang gugup hanya mengangguk dan tersenyum.
"Semoga kalian bahagia," imbuh Josh sambil menepuk pundak Noah.
Sudah berpamitan, mereka berdua pun masuk ke dalam mobil yang sudah dipersiapkan. Satu mobil dengan hiasan bunga besar di bagian punggung dan pita-pita cantik yang mengitarinya.
Di dalam perjalan, tentu saja tidak ada sebuah percakapan. Entah Noah maupun Clara, mereka sama-sama diam. Begitu mobil memasuki area halaman rumah mewah nan megah, Clara sedikit menundukkan kepala ke arah jendela kaca mobil.
"Inikah rumahnya?" batin Clara penuh rasa kagum. "Besar sekali?"
Dalam keadaan terkagum-kagum, beberapa orang yang berpakaian sama datang berlari mendekat ke arah mobil. Mulanya Clara nampak bingung dan takut, tapi setelah menyadari siapa mereka, Clara pun semakin terkagum.
"Selamat datang, Tuan Noah dan Nona Clara?" Mereka bersamaan menyambut kedatangan Noah dan Clara.
Clara yang heran hanya tersenyum tipis. Sungguh keluarga Noah sangatlah kaya raya. Bisa Clara hitung, kemungkinan ada lima lelayan wanita dan empat pelayan pria.
"Pst! Apa mereka semua ini pelayanmu?" Clara menarik baju lengan Noan dan berbisik.
Noah hanya menoleh dan memberi tatapan aneh. Clara yang sadar sudah ceroboh karena bertanya, akhirnya mendecih dan buang muka.
"Dia sungguh mengerikan!"
"Apa dia baru saja menjelekkanku?" batin Noah sembari melirik Clara yang berjalan di sampingnya. "Kau bahkan jauh lebih pendek dari Chloe! Cih! Sungguh bukan wanita idaman."
Oh astaga! Clara kembali terkagum-kagum begitu sampai di dalam rumah tersebut. Saking bagusnya, Clara tidak akan bisa menjelaskan apa yang ia lihat saat ini.
Noah yang cuek kini berjalan menaiki tangga menuju lantai dua tanpa mengajak Clara. Clara yang memang enggan ikut malah hanya diam saja dan masih menyapu pandangan pada setiap dekorasi di dalam rumah ini.
"Mari saya antar, Nona." Salah satu melayan mengajak Clara ikut menaiki tangga.
"Em, aku di sini saja."
"Tapi kamar Nona ada di atas," ujar pelayan tersebut.
Clara terdiam sebentar memandangi punggung Noah yang sudah jauh di atas sana.
"Apa aku sekaram dengannya?"
"Tentu saja, Nona."
"Eh!" Clara segera menepuk bibirnya yang ternyata berkata terlalu keras.
"Mari, Nona." Pelayan itu kembali mempersilahkan Clara segera menyusul Noah.
"I-iya, baiklah."
Noah sudah mengeraskan rahang dan mencengkeram kuat bundaran setir saat melihat rekaman yang dikirim dari para pengawalnya yang ia tugaskan untuk mencari Clara. Seberapa kencang laju mobilnya, Noah tidak peduli asal bisa cepat sampai di tujuan."Kamu harusnya sadar diri, Clara." Chloe membungkuk dan kembali mencengkeram pipi Clara. "Selamanya, Noah akan menjadi milikku. Paham!"Chloe tertawa lebar, membuat suaranya bergema di gedung kosong ini. Cara tertawanya, seperti seorang yang sudah dirasuki sesuatu yang lain. Suaranya yang menggelegar bahkan membuat Clara merinding ketakutan. Meski mustahil, Clara bahkan sampai coba berontak melepas kedua tangannya yang terikat.Jelas itu bukan Chloe. Pikir Clara begitu. Rasa cintanya pada Noah membuat Chloe mati rasa dan memilih apapun akan ia lakukan asalkan yang ia inginkan bisa didapatkan.Tidak jauh dari mereka, para pengawal suruhan Noah sedang memantau lebih detail keadaan di sana. Sebelum menyergap, tentu mereka akan lebih dulu memastika
Lily sudah kembali pulang. Sampai di rumah dia langsung menghubungi Noah karena sudah saking khawatirnya dengan keadaan Clara."Kenapa kau tidak bilang pada ibu!" Lily langsung menyalak.Noah sedang duduk di ruang kerjanya sambil menunggu kabar dari para pengawalnya. "Aku harus fokus dulu, Bu. Aku tidak mau buat semuanya panik."Lily berdecak. Di sampingnya ada sang suami yang juga sudah tidak sabar menunggu kabar."Kabari ibu secepatnya!" tegas Lily sebelum panggilan tetutup.Setelah itu, Noah menghela napas panjang lalu bersandar pada sofa. Ia memijat panggal hidungnya masih sambil berdoa supaya lekas dapat kabar dan Clara dalam keadaan baik-baik saja."Sebaiknya aku memastikan di rumah saja." Noah bangkit. Dia menjambret kontak mobil dan jasnya lalu pergi meninggalkan ruangannya.Tidak lama kemudian, Noah sampai di tempat tujuan. Dia sudah berada di halaman rumah di mana istri tercintanya dilahirkan. Sebelum turun, Noah melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Terpampang j
Noah berangkat ke kantor tentunya dengan perasaan gelisah. Yang ada di kepalanya saat ini tentu sang istri tercinta. Noah jadi berpikir mungkin Clara marah karena dirinya sempat membentak semalam. Noah sungguh tidak bermaksud, ia hanya sedang kelelahan.Noah coba menghubungi orang kepercayaannya untuk mencari tahu keberadaan Clara. Karena ponsel Clara berada di tangan Chloe, tentu akan sedikit butuh waktu mencarinya.Semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan Clara."Segera temukan dia!" tekan Noah sebelum panggilan terputus.Noah melempar ponsel ke dasbor lalu memukul bundaran setir diikuti erangan kuat."Aku bahkan hampir melakukannya dengan wanita itu. Gila!" seru Noah lagi. "Untung aku segera menyadarinya."Hari ini Noah berangkat ke kantor tanpa diantar sopirnya. Pak Rey mengantar Tuan Muda Jou ke tempat kakek dan neneknya.Sekitar pukul sebelas, sepulangnya dari sekolah Jou sudah sampai di rumah Josh dan Lily."Bu, aku menitipkan Jou untuk sementara waktu," kata Noah di telpon."M
"Kau dari mana?" tanya Noah saat tiba-tiba Clara muncul dari balik pintu kamar.Sudah berkali-kali Noah coba menghubungi, tapi tidak kunjung tersambung. Dan tiba-tiba ternyata Clara sudah sampai di rumah."Maaf, tadi aku keluar sebentar," sahut Clara.Noah mengerutkan dahi. Wanita di hadapannya saat ini terlihat aneh."Untuk apa? Apa kau marah padaku karena hal tadi?" tanya Noah lagi.Clara menggeleng. "Tidak, aku hanya cari udara segar."Noah terdiam beberapa saat seperti tengah memikirkan sesuatu. Diam-diam, Noah mengamati wanita cantik di hadapannya saat ini. Tidak ada yang salah sepertinya, tapi entah kenapa Noah merasa aneh saja."Ada apa?" tanya Clara. "Apa kau marah padaku?"Noah bergidik seraya berkedip. "Ah, tidak. Aku tidak marah. Aku yang minta maaf karena tadi membentakmu."Clara lantas tersenyum lalu merangkul pinggang Noah. "Aku ngantuk. Ayo kita tidur!"Noah masih terlihat seperti orang bingung. Karena tidaka mau berpikiran macam-macam, Noah balas merangkul pundak Clara
Hari-hari mulai Noah lalui dengan sekumpulan celotehan Clara yang terasa tidak masuk akal. Clara menjadi sensitif dan begitu manja pada Noah. Sudah satu minggu ini, Noah menghadapi Clara hingga beberapa kali mengeluh pada ibunya. Bukan mengeluh untuk menyerah, melainkan hanya melapor karena tidak percaya wanita hamil bisa bertingkah di luar kendali."Wanita hamil memang begitu." Itulah yang selalu ibu katakan akhir-akhir ini.Jika sebelumnya Noah jarang bertemu atau menelpon ibunya, kini hampir tiap sore Noah melapor bagaimana keadaan di rumah. Terkadang Noah menggeram, menjerit dan menghentak-hentak merengek seperti anak kecil.Lily terkadang tidak tega, tapi mau menolong pun tidak bisa. Pada akhirnya Lily coba menenangkan. Dan hanya begitu terus yang Lily bisa lakukan."Kau sedang apa, Sayang!" Seru Noah saat melihat Clara tengah menaiki tangga besi.Clara terlihat berjinjit, sementara bagian leher ke atas tidak nampak karena masuk ke balkon langit-langit. Noah yang was-was segera m
Hari berikutnya Clara mendapat panggilan dari hunian rumah orang tuanya. Clara ragu untuk ke sana karena Noah pasti tidak akan memberi ijin. Akan tetapi, kalau tidak datang, tentu Clara tidak enak hati. Karena masih belum yakin, Clara akhirnya mengatakan akan minta ijin pada sang suami dan kemungkinan baru bisa datang esok hari.Selesai panggilan, Clara mendengar suara pintu ruang tamu diketuk. Saat Clara hendak berdiri, dengan sigap Mela berlari lebih dulu menuju ruang tamu. Melihat tingkah Mela, Clara mengulum senyum dan kembali duduk menatap layar tv yang sedari tadi terabaikan."Sore, Sayang," sapa Lily dari arah belakang Clara.Mendengar suara tak asing itu, Clara menoleh dan seketika senyumnya melebar. "Ayah, ibu?" ceplosnya. "Kalian datang? Dan ayah, em … kapan pulang?"Clara lantas berdiri menyambut kedua mertuanya dengan antusias. Barang bawaan mereka begitu banyak, Mela bahkan sampai meminta pelayan lain untuk membantu membawa ke belakang."Silakan duduk!" Clara mempersilahk