Sesuai ucapan Endara kemarin, hari ini mereka berdua berangkat bulan madu ke luar negeri. Alasan Endara tidak hanya bulan madu saja, melainkan sedang menjalankan bisnis juga. Dara tidak mempermasalahkan hal itu, jika suaminya ingin bekerja maka Dara mempersilahkan, dan jika ingin berdua Dara juga selalu siap.
Enam belas jam lamanya Endara dan Dara berada di udara, akhirnya mereka berdua tiba di Amerika dengan selamat. Tidak ada kendala saat penerbangan, hanya saja Dara sedikit mual karena terbang di atas udara adalah pengalaman Dara untuk pertama kalinya. Sekarang mereka berdua sudah tiba di hotel yang akan menjadi tempat menginap mereka selama beberapa hari berada di Amerika.
“Masih pusing?” Endara menghampiri Dara yang sedang meringkuk di atas kasur.
Dara hanya bisa menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, karena di saat Dara banyak berbicara maka perut dan kepalanya seperti di putar-putar.
“Oleskan minyak ini, siapa tahu bisa mengurangi mual dan pusing.” Endara memberikan botol minyak angin itu kepada Dara.
“Terima kasih, Mas,” ucap Dara, dengan suara lirih seraya menerima botol minyak angin dari Endara.
“Butuh bantuan?” tanya Endara, dengan suara dingin.
Lima detik kemudian seluruh wajah Endara merah menahan malu karena baru saja lelaki itu menyadari ucapannya tadi. Endara merutuki kebodohannya sendiri karena seharusnya tidak menawarkan bantuan itu.
“Tidak, Mas, terima kasih.” Dara menolaknya secara halus.
“Sudahlah, tadi saya hanya basa basi saja.” Endara berdiri dari tempatnya duduk memasukkan tangan kanannya ke dalam saku celana.
“Istirahat saja dulu, saya mau menyelesaikan pekerjaan.” Lalu Endara pergi, lelaki itu memilih duduk di samping jendela kaca besar berdekatan dengan balkon hotel.
Melihat Endara yang duduk sedikit jauh dari tempat tidur membuat Dara menghela napasnya lega. Sekarang gilirannya untuk mengoleskan minyak angin pemberian Endara ke seluruh bagian perut dan pelipisnya. Setelah merasa cukup hangat di tubuhnya Dara meletakkan botol minyak itu ke atas nakas yang ada di samping tempat tidur, kemudian Dara memutuskan untuk istirahat agar rasa pusing dan mualnya cepat hilang.
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore dan Dara baru saja bangun dari tidurnya yang sangat nyenyak. Gadis itu baru saja menyadari ternyata suaminya belum juga selesai bekerja.
“Belum selesai, Mas?” Dara berjalan mendekati Endara yang sedang sibuk di depan laptop.
Mendengar suara lembut dan halus itu membuat fokus Endara pecah. Lelaki itu menoleh ke samping dan sudah mendapati Dara berdiri di sampingnya.
“Belum,” jawab Endara, kemudian matanya kembali fokus pada layar laptop.
“Badannya sudah enakan?” tanya Endara, tanpa menatap wajah Dara.
“Alhamdulillah, sudah Mas,” jawab Dara. Bibir Dara melengkung ke atas ketika mendengar pertanyaan Endara yang menunjukkan sisi perhatiannya.
“Mas Endara sudah shalat belum?” tanya Dara, dengan sangat hati-hati.
Endara kembali menoleh, tetapi kali ini hanya gelengan kepala sebagai jawabannya. Dara menghela napasnya pelan, ingin meminta suaminya untuk segera menunaikan kewajiban seorang muslim, tetapi Dara tidak memiliki keberanian tersebut.
“Kalau begitu Dara izin bersih-bersih dulu ya Mas.”
“Iya, silahkan.”
Setelah mendapatkan persetujuan dari Endara, barulah Dara berani masuk ke dalam kamar mandi yang sebelumnya gadis itu sudah menyiapkan baju untuk ganti di dalam kamar mandi.
Dara masuk ke kamar mandi sekaligus membawa baju tidur. Endara merasa Dara sudah cukup lama berada di dalam kamar mandi. Tidak terdengar suara kran air yang melanyala membuat Endara semakin khawatir.
“Dara.” Endara mengetuk pintu kamar mandi cukup kencang agar Dara yang sedang berada di dalam sana mendengarnya.
“Dara, buka pintunya!” Endara semakin kuat mengetuk pintu kamar mandi itu, tidak peduli dengan suara bising yang ia ciptakan.
“Bercandanya tidak lucu, Dara.” Endara semakin marah ketika Dara tidak kunjung membuka pintu kamar mandi.
“Buka pintunya atau saya dobrak!” ancam Endara, karena kesabarannya sudah mulai habis.
Tidak berselang lama pintu kamar mandi terbuka, muncullah Dara di hadapan Endara dengan kepala menunduk.
“Kamu tuli atau bagaimana? Kenapa lama sekali membuka pintunya?” terlihat jelas rasa khawatir dari wajah Endara.
“Jawab!” Endara semakin meninggikan suaranya karena sudah tidak bisa lagi mengendalikan emosinya.
“Maaf, Mas.” Suara Dara bergetar menahan rasa takut yang sekarang sedang menyelimutinya. Tatapan tajam dan suara tinggi yang keluar dari mulut Endara membuat Dara membeku di tempatnya.
“Saya tidak butuh kata maaf dari kamu yang saya ingin kamu menjawab pertanyaan saya, Dara!” Lagi-lagi Endara dengan suara tegas.
“Dara datang bulan, Mas.” Gadis itu semakin menyembunyikan wajahnya karena tidak sanggup melihat kemarahan dari wajah Endara.
Mendengar jawaban Dara membuat Endara mengusap wajahnya frustasi. Lelaki itu mencoba untuk mengatur napasnya agar emosinya tidak semakin meledak-ledak. Cukup lama Endara diam untuk mengendalikan emosinya.
“Lalu kamu pikir kita berada di sini hanya sebatas liburan saja?” Rahang Endara terlihat mengeras dan sorot matanya semakin tajam saat menatap Dara.
“Dara juga tidak tahu kalau datangnya sekarang, Mas,” ujar Dara, nadanya terdengar lirih karena takut dengan kemarahan Endara.
“Bagaimana kamu bisa tidak tahu dengan jadwal bulanan kamu sendiri? Kamu tahu kan tujuan utama saya mengajak kamu ke sini untuk apa?” tanya Endara, kilatan amarah masih terlihat jelas di wajahnya.
“Maaf, Mas, tapi Dara benar-benar tidak tahu karena baru dua minggu yang lalu Dara selesai datang bulan.” Dara menjawab dengan kepala menunduk.
“Sudahlah. Sana minggir, saya mau bersih-bersih.” Endara menarik Dara agar keluar dari kamar mandi.
Dara memejamkan matanya saat mendengar suara pintu kamar mandi yang ditutup secara kasar oleh Endara. Dara tahu Endara sedang kecewa kepadanya, karena dengan datangnya tamu bulanan Dara untuk melakukannya pun menjadi tertunda.
Sambil menunggu suaminya selesai membersihkan diri, Dara memutuskan untuk menunggu di atas kasur. Dara merasa tidak tenang ketika membuat suaminya marah besar kepadanya. Jujur saja Dara memang tidak tahu akan secepat ini datangnya, biasanya selalu tepat waktu jika tidak sedang dalam kondisi stress.
Tidak berselang lama pintu kamar mandi terbuka. Endara sudah berganti baju dan wajah yang kembali segar, tetapi raut amarah itu masih terlihat jelas di wajahnya.
“Mas.” Dara mengubah posisinya menjadi menghadap Endara yang sudah naik ke atas kasur.
“Berisik, saya mau tidur.” Endara membelakangi Dara menutup seluruh tubuhnya menggunakan selimut. Endara tidak mau lagi mendengar penjelasan dari Dara, intinya lelaki itu sangat kecewa.
Tangan Dara terangkat ke udara, sejajar dengan bahu Endara yang tertutupi oleh selimut. Dari raut wajahnya terdapat keraguan saat ingin menyentuh pundak suaminya itu. Setelah mengumpulkan banyak keberanian, akhirnya untuk pertama kalinya Dara menyentuh Endara meskipun terhalang oleh selimut.
“Dara tahu Mas Endara kecewa, tapi semua yang terjadi sudah takdir dari Yang Maha Kuasa, Dara tidak bisa mencegahnya,” ujar Dara, dengan suara lirih dan terdengar lembut di telinga Endara.
“Lepas! Saya tidak mau disentuh oleh tangan kamu.” Endara menyingkirkan tangan Dara secara kasar. Bahkan tanpa lelaki itu sadari tindakannya itu membuat tangan mungil Dara merah dan nyeri.
Dara menghela napasnya pelan dan mencoba untuk menahan tangisnya yang sebentar lagi akan pecah. Gadis itu mulai merebahkan tubuhnya ikut membelakangi Endara. Diam-diam Dara mengusap punggung tangannya yang merah akibat ulah Endara tadi dengan perasaan campur aduk.
“Asal Mas tahu, baru beberapa minggu yang lalu Dara selesai datang bulan, tapi entah kenapa sekarang datang lagi.” Dara mencoba menjelaskan agar Endara tidak semakin salah paham dan berakibat fatal.
“Tidak apa Mas Endara marah sama Dara,” ucap Dara, lirih. Meskipun begitu, Endara masih bisa mendengarnya.
Seketika keadaan menjadi hening, padahal kedua mata Dara dan Endara masih sama-sama terbuka. Banyak hal yang mereka pikirkan, terutama Dara yang sedang meratapi nasibnya menjadi istri ketiga yang sampai kapan pun tidak akan pernah mendapatkan perlakuan manis dari suaminya.
“Kamu tahu kan saya sangat menginginkan seorang anak?” Endara mulai membuka suara setelah keheningan terjadi cukup lama.
Sekarang giliran Dara diam, gadis itu ingin tahu seberapa jauh Endara mengucapkan kata-kata.
“Jujur, selama ini saya sudah lelah berjuang dan berharap. Di satu sisi saya ingin membahagiakan Mama dan di satu sisi lain saya tidak mau menyakiti hati istri-istri saya dengan terus mengekang mereka untuk cepat hamil,” sambung Endara.
“Hanya kamu satu-satunya harapan saya untuk memiliki keturunan Dara.” Endara berucap lirih penuh beban di dalam dirinya.
Lagi-lagi Dara tidak merespon lebih, gadis itu hanya diam di tempatnya dengan posisi yang masih sama. Seluruh tubuh Dara membeku saat merasakan kasurnya bergoyang, Dara ketakutan berpura-pura memejamkan mata. Tidak berselang lama Dara mendengar suara helaan napas kasar, di detik itu juga Dara bernapas lega dan kembali membuka mata.
“Semua keluarga terpukul dengan kabar pernikahan ketiga saya, terutama Vega. Saya hanya tidak ingin membuat mereka kecewa lagi.”
“Saya juga sangat merasa bersalah kepadamu, Dara. Sejujurnya saya sudah menganggap kamu sebagai putri saya, tapi keadaan malah memaksa saya untuk menikahi kamu. Seharusnya kamu bisa mencari lelaki yang mencintaimu agar kamu bisa merasakan bahagianya orang berumah tangga. Maaf, maafkan saya yang sudah menghancurkan masa depan kamu.”
“Tidak ada yang perlu disesali, Mas, karena setelah Dara hamil dan berhasil melahirkan anak, kita akan langsung berpisah,” ucap Dara, akhirnya gadis itu buka suara.
Keheningan kembali terjadi. Endara hanya diam melihat punggung mungil Dara dengan tatapan penuh dengan rasa bersalah.
Beberapa hari setelah acara aqiqah Brian, Afifa dan Riy kembali pada aktivitas masing-masing apa lagi kalau bukan bekerja dari pagi sampai malam, namun entah mengapa pagi ini bos yang ada di kantor Afifa meminta agar Afifa libur saja padahal sebelumnya bosnya itu tidak pernah meminta Afifa libur. Karena Afifa sangat bosan pagi ini, ia pun memutuskan ke dapur untuk membuat makanan sebagai cemilannya hari ini kebetulan sekali di dalam kulkas masih ada sayuran untuk dijadikan bakwan. Afifa memotong kol dengan senandung kecil yang keluar dari bibirnya, namun tiba-tiba saja ponselnya berdering.“Hao, Roy.” Afifa menyapa seseorang yang ada di seberang sana. Tumben sekali Roy pagi-pagi sudah menelepon?“Aku tidak berangkat kerja, bos meminta aku untuk libur,” jawab Afifa.“Oh, tentu sangat boleh. Bawa saja Jasmin ke sini, aku juga tidak ada teman di rumah. Iya, sama-sama.”Kemudian sambungan telepon dimatikan. Sangat kebetulan sekali hari ini dirinya sedang libur dan Jasmin tidak ada teman d
Satu minggu sudah usia buah hati Dara dan Endara dan sekarang mereka berdua akan menggelar acara aqiqah untuk sang putra sekaligus memberikan nama untuk buah hatinya itu.“Persiapannya sudah selesai semua, Mas?” Dara bertanya saat suaminya masuk ke dalam kamar. Selama beberapa hari ini Dara hanya berada di dalam kamar karena takut meninggalkan sang putra sendirian di sana. Dara takut jika putranya harus dirinya tidak ada di dekatnya.“Sudah sayang, semuanya sudah selesai kok. Mulai dari makanan dan lain sebagainya. Kamu tidak usah khawatir, kamu fokus saja mengurus si Dedek yah,” kata Endara, lelaki itu duduk di tepian ranjang memperhatikan sang putra yang sedang asyi meminum asi dari sumbernya. Melihat sang putra begitu menikmati asi dari sumbernya itu membuat Endara menelan ludah karena ia juga ingin merasakan.“Hayo, lagi mikirin apa.” Dara melambaikan tangannya di depan sang suami, sebab wajah sang suami terlihat sangat mencurigakan.“Emangnya Mas nggak boleh nyoba ya sayang? Mas
Afifa terdiam haru pada saat melihat seorang bayi yang sedang tertidur pulas di atas pangkuan Dara. Bayi laki-laki itu baru saja tertidur pulas setelah minum asi yang Dara berikan. Afifa tidak bisa menahan air matanya, wanita itu benar-benar sangat terharu.“Dara, apa boleh Mbak menggendong anakmu?” tanya Afifa dengan sangat hati-hati. Ia takut jika Dara akan marah jika anaknya digendong olehnya karena biasanya seorang wanita yang baru saja merasakan menjadi ibu akan sangat sensitif jika anaknya digendong oleh orang lain.“Tentu saja boleh Mbak,” kata Dara, dengan senyum mengembang di wajahnya.Mendengar persetujuan dari Dara membuat Afifa bahagia sampai rasanya tidak bisa dijelaskan. Wanita itu duduk di tepian brankar rumah sakit memposisikan tubuhnya senyaman mungkin agar ia nyaman menggendong bayi laki-laki tersebut. Ke dua matanya terus menatap bayi yang sedang ada di dalam pangkuannya, rasanya Afifa seperti punya bayi kecil sekarang.“Dia sangat imut sekali,” kata Afifa, tanpa sa
Sekarang Endara sedang berada di ruangan bersalin, karena Dara ingin lahiran secara normal, jadilah Endara harus bersiap mendengar jeritan sang istri. Sebenarnya Endara tidak mau melihat Dara kesakitan seperti ini, tapi istrinya itu adalah perempuan yang keras kepala.“Atur napasnya ya Ibu, soalnya belum pembukaan sempurna,” kata sang dokter yang akan membantu proses Dara bersalin kali ini.“Tapi saya sudah tidak tahan Dok, rasanya ingin mengejan,” kata Dara, tangan kanannya ia gunakan untuk memegang pinggiran brankar rumah sakit dan tangan yang satunya lagi setia menggenggam tangan suaminya dan tentunya bukan hanya sekedar genggaman saja tangan Endara nyaris berdarah karena Dara terlalu kencang memegangnya.“Ditahan sayang, tunggu pembukaannya lengkap dulu baru kamu boleh mengajan,” kata Endara, lelaki itu terus berada di samping Dara meskipun dirinya sendiri nyaris pingsan karena terus mendapat siksaan secara fisik oleh istrinya.“Pokoknya Dara nggak mau hamil lagi Mas, ini sakit ba
Beberapa bulan kemudian ….“Aduh sayang, kan sudah aku bilang jangan naik turun tangga, perut kamu sudah besar banget itu,” kata Endara, lelaki itu meringis ngilu melihat Dara yag sejak tadi hanya naik turun tangga saja padahal perut wanita itu sudah sangat besar. Di usia kehamilan Dara yang sudah sembilan bulan itu membuat Endara sangat ketat menjaga gerak istrinya itu, tapi Dara tetap lah Dara yang ingin melakukan semua hal sendirian. “Habisnya kalau Dara di kamar terus nggak enak Mas, bosen,” kata Dara. “Lagian kata dokternya juga harus banyak gerak supaya biar cepat kontraksi dan pembukaannya,” sambung Dara. “Tapi kan kau bisa minta tolong sama aku.” Endara menghampiri Dara yang masih berada di tengah-tengah anak tangga lelaki itu membantu sang istri untuk naik dan mengantarkan ke kamar. “Mulesnya belum rutin sayang?” Endara bertanya sambil mengusap perut Dara yang terlihat sangat buncit dan besar. semalam Endara harus begadang karena kata Dara perutnya sudah sesekali mengalam
Makan malam bersama dengan keluarga Roy pun sedang berlangsung, tidak ada percakapan di sana yang terdengar hanyalah denting sendok dan piring yang sesekali beradu. Afifa merasa sangat terharu karena akhirnya ia kembali merasakan kehangatan yang namanya keluarga. Jika orang tuanya masih ada pasti ia akan sering melakukan makan bersama seperti ini.“Afifa, ditambah lagi itu nasinya,” ujar Aryan, kepada Afifa. sejak tadi lelaki itu melihat Afifa seperti ada yang sedang dipikirkan terkadang tatapan mata wanita itu terlihat kosong.“Iya Om, ini saja nasinya masih banyak,” kata Afifa, dengan senyum di wajahnya. Afifa kembali terlihat baik-baik saja meskipun sebenarnya di dalam hati wanita itu menjerit ingin menumpahkan semuanya.“Afifa.” Mariam menyentuh bahu Afifa karena kebetulan posisi duduk Mariam dan Afifa hanya bersebelahan saja.“Kamu kenapa? Dari tadi Tante perhatikan wajah kamu sedih.” Mariam melihat jelas bahwa wanita yang berada di sampingnya itu sedang dalam keadaan tidak baik-