Share

Serba Salah

Pagi harinya ….

Endara bangun lebih awal dari pada Dara, lelaki itu langsung menuju ke kamar mandi hanya sekedar sikat gigi dan cuci muka untuk sarapan pagi. Endara terlihat tidak peduli dengan Dara yang sedang tidur pulas di atas kasur dengan posisi meringkuk dan seluruh tubuh ditutup oleh selimut. Setelah menyelesaikan kegiatan di kamar mandi, Endara langsung berganti baju. 

“Dara, bangun” Endara mengguncang pelan tubuh mungil Dara yang ditutup oleh selimut. 

Dara mulai mengerjapkan matanya saat kedua telinganya mendengar suara Endara yang cukup dekat dengan dirinya. 

“Mas Endara.” Dara mencoba untuk bangun, tetapi tubuh gadis itu lemas seakan tidak bertulang, wajahnya juga terlihat sangat pucat. 

“Jika tidak bisa jangan dipaksakan,” ujar Endara, kembali membantu Dara untuk berbaring. Melihat kondisi gadis itu membuat Endara tidak tega, pasti penyebab utama Dara lemas seperti ini karena sedang datang bulan. 

“Saya bawakan ini, siapa tahu nyerinya sedikit reda.” Endara memberikan botol minum berisi air hangat untuk mengompres perut Dara. 

“Dari mana Mas Endara tahu perut Dara sakit?” tanya Dara, menampilkan wajah polosnya. 

“Meskipun Vega dan Afifa tidak pernah sakit perut saat datang bulan, tapi saya tahu sedikit gejala perempuan saat haid,” jelas Endara. Vega dan Afifa memang tidak pernah mengeluh saat sedang datang bulan, itu sebabnya Endara kebingungan saat melihat Dara kesakitan akibat datang bulan. 

“Terima kasih, Mas.” Dara meletakkan botol berisi air hangat itu tepat di atas perutnya. Meskipun rasa nyeri itu tidak hilang sempurna, tetapi setidaknya mampu meredakan. 

Endara merasa hatinya lega melihat Dara sedikit membaik akibat pertolongannya. Setidaknya Endara tidak melihat wajah pucat Dara saat menahan sakit, karena pemandangan seperti itu membuat Endara tidak tega. 

“Hari ini kamu mau sarapan apa?” tanya Endara, setelah beberapa menit terjadi keheningan. 

“Apapun yang Mas Endara makan, Dara juga makan kok, Mas,” jawab Dara, masih dengan suara yang pelan dan sesekali meringis menahan sakit di perut bagian bawahnya. 

“Biasanya kalau haid seperti ini minum apa untuk mengurangi rasa sakitnya?” Endara semakin tidak tega melihat Dara menahan sakit seperti ini. Biasanya Endara melihat Dara yang selalu ceria penuh senyuman kini harus terbaring di atas kasur menahan sakit akibat datang bulan. 

“Dara biarkan saja Mas, nanti sakitnya akan sembuh sendiri,” jawab Dara. 

“Baiklah. Kalau begitu saya ke bawa dulu, mau pesan sarapan untuk kita berdua.” Endara beranjak dari tempat duduknya kemudian keluar dari kamar hotel. 

Setelah kepergian Endara membuat kamar itu sepi, Dara yang ditinggal sendirian pun mulai bosan. Dara hanya bisa bergerak ke kanan dan ke kiri untuk meredakan rasa nyeri sekaligus menghilangkan rasa bosannya. Tiba-tiba saja Dara teringat ucapan Endara semalam, ketika lelaki itu berbicara hanya dirinya lah satu-satunya perempuan yang Endara harapkan. Dara takut jika nanti tidak bisa mengandung anak Endara dalam waktu dekat. Saat Dara sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri, tiba-tiba ponselnya bunyi menandakan ada telepon masuk. Dara pun bergegas mengangkatnya. 

“Halo, Mbak.”  Dara menyapa seseorang di seberang sana dengan suara dibuat ringan agar terdengar baik-baik saja. 

“Halo, Dara. Kamu sedang bersama Mas Endara tidak?” tanya Vega. 

“Tidak, Mbak. Beberapa menit yang lalu Mas Endara sedang turun ke bawah untuk mencari sarapan,” jelas Dara. 

“Kok kamu tidak ikut?” nadanya penuh rasa penasaran. 

“Dara sedang datang bulan, Mbak,” jawab Dara, terdengar sangat pelan. 

“Apa, datang bulan?” Vega bertanya dengan nada tinggi karena wanita itu terkejut. 

“Bagaimana bisa? Kamu itu bagaimana sih, kenapa bisa datang bulan? Tujuan kamu dan Mas Endara pergi itu untuk bulan madu agar proses kehamilan kamu lebih cepat. Kamu pikir aku rela melepaskan Mas Endara hanya berdua dengan kamu di sana? Tidak, Dara! Aku di sini menangis memikirkan suamiku sedang berdua mesra bersama istri ketiganya.” Vega berucap penuh amarah, meluapkan emosinya yang selama beberapa hari ini ia pendam sendirian. 

“Dara juga tidak tahu, Mbak. Mungkin karena Dara terlalu banyak pikiran,” jelas Dara, agar tidak membuat Vega semakin marah. 

“Apa yang sedang kamu pikirkan? Jelas-jelas derajat kamu naik di sini, yang awalnya menjadi asisten rumah tangga menjadi istri ketiga majikannya sendiri. Semua kebutuhan hidup kamu dan keluarga kamu sudah ditanggung Mas Endara, Dara. Lalu, apa lagi yang menjadi beban pikiran kamu?”

Dara diam mendengar luapan emosi yang keluar dari mulut Vega. Baru pertama kalinya Dara mendengar amarah Vega setelah bertahun-tahun bekerja. 

“Dara tahu, Mbak. Kehadiran Dara di kehidupan rumah tangga kalian membuat semuanya kacau, tapi semua yang terjadi bukan keinginan Dara,” ujar Dara, mencoba untuk membela dirinya sendiri. 

“Halah, bilang saja sekarang kamu bahagia atas keberhasilan kamu masuk ke dalam rumah tangga orang lain.” 

Sambungan telepon pun dimatikan secara sepihak oleh Vega. Sementara Dara, gadis itu membeku di tempatnya dengan linangan air mata yang mulai membasahi kedua pipinya setelah telepon itu dimatikan. Tidak berselang lama Endara pun kembali membawa beberapa bungkus makanan untuk dirinya dan juga Dara, namun lelaki itu bingung saat melihat Dara menangis tanpa suara. Endara menghampiri Dara dengan raut wajah khawatir. 

“Dara, apa yang terjadi?” Endara mengguncang tubuh Dara. 

“Apa perutnya masih sakit?” tanya Endara, wajahnya semakin terlihat khawatir ketika Dara tidak menjawab pertanyaannya. 

Kedua mata Endara melihat ponsel Dara yang masih berada di dalam genggaman. Endara langsung mengambilnya tanpa menunggu persetujuan dari Dara. Endara langsung membuka panggilan terakhir dan wajahnya seketika berubah menjadi marah saat melihat panggilan terakhir bernama Vega. Endara langsung mengambil ponselnya dan menelepon istri pertamanya. 

“Halo, Vega.” Nada suara Endara terdengar datar pada saat menyapa Vega yang berada di seberang sana. 

“Halo, Mas, kamu kemana saja sih dari tadi aku telepon nggak diangkat-angkat?” tanya Vega, langsung memarahi Endara pada saat lelaki itu mengabaikan panggilan teleponnya. 

“Aku tidak dengar ada panggilan masuk, Vega,” jawab Endara, masih dengan nada yang datar. 

“Apa yang kamu ucapkan sampai membuat Dara menangis?” tanya Endara, langsung ke intinya. 

“Jadi dia mengadu?” tanya Vega, nadanya terdengar tidak bersalah. 

“Pertanyaan Itu tidak penting untuk aku jawab. Jadi benar kamu yang sudah membuat Dara menangis?” Endara mencoba menahan emosinya agar tidak meluap supaya tidak membuat Vega sakit hati. 

“Aku hanya menasehatinya, tidak perlu banyak beban pikiran karena semua kebutuhannya dan kebutuhan keluarganya sudah kamu cukupi. Aku juga marah sama dia kenapa jadwal datang bulan saja tidak tahu, apa jangan-jangan hanya alibinya saja?” Vega semakin menuduh Dara tidak jelas. 

“Datangnya tamu bulanan tidak bisa diprediksi, Vega, seharusnya kamu sebagai wanita paham dengan masalah yang satu itu. Aku pikir kamu sudah dewasa, tapi ternyata masih sama saja.”

“Hanya karena perempuan itu kamu tega menyalahkan aku, Mas?” 

“Aku tidak pernah menyalahkan kamu, kecuali kamu yang berbuat ulah. Jangan hubungi aku selama aku dan Dara berada di sini.” Endara langsung mematikan sambungan teleponnya tanpa menunggu persetujuan Vega.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status