Share

Serba Salah

Author: Chokolate_21
last update Last Updated: 2022-11-01 11:00:13

Pagi harinya ….

Endara bangun lebih awal dari pada Dara, lelaki itu langsung menuju ke kamar mandi hanya sekedar sikat gigi dan cuci muka untuk sarapan pagi. Endara terlihat tidak peduli dengan Dara yang sedang tidur pulas di atas kasur dengan posisi meringkuk dan seluruh tubuh ditutup oleh selimut. Setelah menyelesaikan kegiatan di kamar mandi, Endara langsung berganti baju. 

“Dara, bangun” Endara mengguncang pelan tubuh mungil Dara yang ditutup oleh selimut. 

Dara mulai mengerjapkan matanya saat kedua telinganya mendengar suara Endara yang cukup dekat dengan dirinya. 

“Mas Endara.” Dara mencoba untuk bangun, tetapi tubuh gadis itu lemas seakan tidak bertulang, wajahnya juga terlihat sangat pucat. 

“Jika tidak bisa jangan dipaksakan,” ujar Endara, kembali membantu Dara untuk berbaring. Melihat kondisi gadis itu membuat Endara tidak tega, pasti penyebab utama Dara lemas seperti ini karena sedang datang bulan. 

“Saya bawakan ini, siapa tahu nyerinya sedikit reda.” Endara memberikan botol minum berisi air hangat untuk mengompres perut Dara. 

“Dari mana Mas Endara tahu perut Dara sakit?” tanya Dara, menampilkan wajah polosnya. 

“Meskipun Vega dan Afifa tidak pernah sakit perut saat datang bulan, tapi saya tahu sedikit gejala perempuan saat haid,” jelas Endara. Vega dan Afifa memang tidak pernah mengeluh saat sedang datang bulan, itu sebabnya Endara kebingungan saat melihat Dara kesakitan akibat datang bulan. 

“Terima kasih, Mas.” Dara meletakkan botol berisi air hangat itu tepat di atas perutnya. Meskipun rasa nyeri itu tidak hilang sempurna, tetapi setidaknya mampu meredakan. 

Endara merasa hatinya lega melihat Dara sedikit membaik akibat pertolongannya. Setidaknya Endara tidak melihat wajah pucat Dara saat menahan sakit, karena pemandangan seperti itu membuat Endara tidak tega. 

“Hari ini kamu mau sarapan apa?” tanya Endara, setelah beberapa menit terjadi keheningan. 

“Apapun yang Mas Endara makan, Dara juga makan kok, Mas,” jawab Dara, masih dengan suara yang pelan dan sesekali meringis menahan sakit di perut bagian bawahnya. 

“Biasanya kalau haid seperti ini minum apa untuk mengurangi rasa sakitnya?” Endara semakin tidak tega melihat Dara menahan sakit seperti ini. Biasanya Endara melihat Dara yang selalu ceria penuh senyuman kini harus terbaring di atas kasur menahan sakit akibat datang bulan. 

“Dara biarkan saja Mas, nanti sakitnya akan sembuh sendiri,” jawab Dara. 

“Baiklah. Kalau begitu saya ke bawa dulu, mau pesan sarapan untuk kita berdua.” Endara beranjak dari tempat duduknya kemudian keluar dari kamar hotel. 

Setelah kepergian Endara membuat kamar itu sepi, Dara yang ditinggal sendirian pun mulai bosan. Dara hanya bisa bergerak ke kanan dan ke kiri untuk meredakan rasa nyeri sekaligus menghilangkan rasa bosannya. Tiba-tiba saja Dara teringat ucapan Endara semalam, ketika lelaki itu berbicara hanya dirinya lah satu-satunya perempuan yang Endara harapkan. Dara takut jika nanti tidak bisa mengandung anak Endara dalam waktu dekat. Saat Dara sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri, tiba-tiba ponselnya bunyi menandakan ada telepon masuk. Dara pun bergegas mengangkatnya. 

“Halo, Mbak.”  Dara menyapa seseorang di seberang sana dengan suara dibuat ringan agar terdengar baik-baik saja. 

“Halo, Dara. Kamu sedang bersama Mas Endara tidak?” tanya Vega. 

“Tidak, Mbak. Beberapa menit yang lalu Mas Endara sedang turun ke bawah untuk mencari sarapan,” jelas Dara. 

“Kok kamu tidak ikut?” nadanya penuh rasa penasaran. 

“Dara sedang datang bulan, Mbak,” jawab Dara, terdengar sangat pelan. 

“Apa, datang bulan?” Vega bertanya dengan nada tinggi karena wanita itu terkejut. 

“Bagaimana bisa? Kamu itu bagaimana sih, kenapa bisa datang bulan? Tujuan kamu dan Mas Endara pergi itu untuk bulan madu agar proses kehamilan kamu lebih cepat. Kamu pikir aku rela melepaskan Mas Endara hanya berdua dengan kamu di sana? Tidak, Dara! Aku di sini menangis memikirkan suamiku sedang berdua mesra bersama istri ketiganya.” Vega berucap penuh amarah, meluapkan emosinya yang selama beberapa hari ini ia pendam sendirian. 

“Dara juga tidak tahu, Mbak. Mungkin karena Dara terlalu banyak pikiran,” jelas Dara, agar tidak membuat Vega semakin marah. 

“Apa yang sedang kamu pikirkan? Jelas-jelas derajat kamu naik di sini, yang awalnya menjadi asisten rumah tangga menjadi istri ketiga majikannya sendiri. Semua kebutuhan hidup kamu dan keluarga kamu sudah ditanggung Mas Endara, Dara. Lalu, apa lagi yang menjadi beban pikiran kamu?”

Dara diam mendengar luapan emosi yang keluar dari mulut Vega. Baru pertama kalinya Dara mendengar amarah Vega setelah bertahun-tahun bekerja. 

“Dara tahu, Mbak. Kehadiran Dara di kehidupan rumah tangga kalian membuat semuanya kacau, tapi semua yang terjadi bukan keinginan Dara,” ujar Dara, mencoba untuk membela dirinya sendiri. 

“Halah, bilang saja sekarang kamu bahagia atas keberhasilan kamu masuk ke dalam rumah tangga orang lain.” 

Sambungan telepon pun dimatikan secara sepihak oleh Vega. Sementara Dara, gadis itu membeku di tempatnya dengan linangan air mata yang mulai membasahi kedua pipinya setelah telepon itu dimatikan. Tidak berselang lama Endara pun kembali membawa beberapa bungkus makanan untuk dirinya dan juga Dara, namun lelaki itu bingung saat melihat Dara menangis tanpa suara. Endara menghampiri Dara dengan raut wajah khawatir. 

“Dara, apa yang terjadi?” Endara mengguncang tubuh Dara. 

“Apa perutnya masih sakit?” tanya Endara, wajahnya semakin terlihat khawatir ketika Dara tidak menjawab pertanyaannya. 

Kedua mata Endara melihat ponsel Dara yang masih berada di dalam genggaman. Endara langsung mengambilnya tanpa menunggu persetujuan dari Dara. Endara langsung membuka panggilan terakhir dan wajahnya seketika berubah menjadi marah saat melihat panggilan terakhir bernama Vega. Endara langsung mengambil ponselnya dan menelepon istri pertamanya. 

“Halo, Vega.” Nada suara Endara terdengar datar pada saat menyapa Vega yang berada di seberang sana. 

“Halo, Mas, kamu kemana saja sih dari tadi aku telepon nggak diangkat-angkat?” tanya Vega, langsung memarahi Endara pada saat lelaki itu mengabaikan panggilan teleponnya. 

“Aku tidak dengar ada panggilan masuk, Vega,” jawab Endara, masih dengan nada yang datar. 

“Apa yang kamu ucapkan sampai membuat Dara menangis?” tanya Endara, langsung ke intinya. 

“Jadi dia mengadu?” tanya Vega, nadanya terdengar tidak bersalah. 

“Pertanyaan Itu tidak penting untuk aku jawab. Jadi benar kamu yang sudah membuat Dara menangis?” Endara mencoba menahan emosinya agar tidak meluap supaya tidak membuat Vega sakit hati. 

“Aku hanya menasehatinya, tidak perlu banyak beban pikiran karena semua kebutuhannya dan kebutuhan keluarganya sudah kamu cukupi. Aku juga marah sama dia kenapa jadwal datang bulan saja tidak tahu, apa jangan-jangan hanya alibinya saja?” Vega semakin menuduh Dara tidak jelas. 

“Datangnya tamu bulanan tidak bisa diprediksi, Vega, seharusnya kamu sebagai wanita paham dengan masalah yang satu itu. Aku pikir kamu sudah dewasa, tapi ternyata masih sama saja.”

“Hanya karena perempuan itu kamu tega menyalahkan aku, Mas?” 

“Aku tidak pernah menyalahkan kamu, kecuali kamu yang berbuat ulah. Jangan hubungi aku selama aku dan Dara berada di sini.” Endara langsung mematikan sambungan teleponnya tanpa menunggu persetujuan Vega.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Ketiga Mas Endara    BAB 116

    Beberapa hari setelah acara aqiqah Brian, Afifa dan Riy kembali pada aktivitas masing-masing apa lagi kalau bukan bekerja dari pagi sampai malam, namun entah mengapa pagi ini bos yang ada di kantor Afifa meminta agar Afifa libur saja padahal sebelumnya bosnya itu tidak pernah meminta Afifa libur. Karena Afifa sangat bosan pagi ini, ia pun memutuskan ke dapur untuk membuat makanan sebagai cemilannya hari ini kebetulan sekali di dalam kulkas masih ada sayuran untuk dijadikan bakwan. Afifa memotong kol dengan senandung kecil yang keluar dari bibirnya, namun tiba-tiba saja ponselnya berdering.“Hao, Roy.” Afifa menyapa seseorang yang ada di seberang sana. Tumben sekali Roy pagi-pagi sudah menelepon?“Aku tidak berangkat kerja, bos meminta aku untuk libur,” jawab Afifa.“Oh, tentu sangat boleh. Bawa saja Jasmin ke sini, aku juga tidak ada teman di rumah. Iya, sama-sama.”Kemudian sambungan telepon dimatikan. Sangat kebetulan sekali hari ini dirinya sedang libur dan Jasmin tidak ada teman d

  • Istri Ketiga Mas Endara    BAB 115

    Satu minggu sudah usia buah hati Dara dan Endara dan sekarang mereka berdua akan menggelar acara aqiqah untuk sang putra sekaligus memberikan nama untuk buah hatinya itu.“Persiapannya sudah selesai semua, Mas?” Dara bertanya saat suaminya masuk ke dalam kamar. Selama beberapa hari ini Dara hanya berada di dalam kamar karena takut meninggalkan sang putra sendirian di sana. Dara takut jika putranya harus dirinya tidak ada di dekatnya.“Sudah sayang, semuanya sudah selesai kok. Mulai dari makanan dan lain sebagainya. Kamu tidak usah khawatir, kamu fokus saja mengurus si Dedek yah,” kata Endara, lelaki itu duduk di tepian ranjang memperhatikan sang putra yang sedang asyi meminum asi dari sumbernya. Melihat sang putra begitu menikmati asi dari sumbernya itu membuat Endara menelan ludah karena ia juga ingin merasakan.“Hayo, lagi mikirin apa.” Dara melambaikan tangannya di depan sang suami, sebab wajah sang suami terlihat sangat mencurigakan.“Emangnya Mas nggak boleh nyoba ya sayang? Mas

  • Istri Ketiga Mas Endara    BAB 114

    Afifa terdiam haru pada saat melihat seorang bayi yang sedang tertidur pulas di atas pangkuan Dara. Bayi laki-laki itu baru saja tertidur pulas setelah minum asi yang Dara berikan. Afifa tidak bisa menahan air matanya, wanita itu benar-benar sangat terharu.“Dara, apa boleh Mbak menggendong anakmu?” tanya Afifa dengan sangat hati-hati. Ia takut jika Dara akan marah jika anaknya digendong olehnya karena biasanya seorang wanita yang baru saja merasakan menjadi ibu akan sangat sensitif jika anaknya digendong oleh orang lain.“Tentu saja boleh Mbak,” kata Dara, dengan senyum mengembang di wajahnya.Mendengar persetujuan dari Dara membuat Afifa bahagia sampai rasanya tidak bisa dijelaskan. Wanita itu duduk di tepian brankar rumah sakit memposisikan tubuhnya senyaman mungkin agar ia nyaman menggendong bayi laki-laki tersebut. Ke dua matanya terus menatap bayi yang sedang ada di dalam pangkuannya, rasanya Afifa seperti punya bayi kecil sekarang.“Dia sangat imut sekali,” kata Afifa, tanpa sa

  • Istri Ketiga Mas Endara    BAB 113

    Sekarang Endara sedang berada di ruangan bersalin, karena Dara ingin lahiran secara normal, jadilah Endara harus bersiap mendengar jeritan sang istri. Sebenarnya Endara tidak mau melihat Dara kesakitan seperti ini, tapi istrinya itu adalah perempuan yang keras kepala.“Atur napasnya ya Ibu, soalnya belum pembukaan sempurna,” kata sang dokter yang akan membantu proses Dara bersalin kali ini.“Tapi saya sudah tidak tahan Dok, rasanya ingin mengejan,” kata Dara, tangan kanannya ia gunakan untuk memegang pinggiran brankar rumah sakit dan tangan yang satunya lagi setia menggenggam tangan suaminya dan tentunya bukan hanya sekedar genggaman saja tangan Endara nyaris berdarah karena Dara terlalu kencang memegangnya.“Ditahan sayang, tunggu pembukaannya lengkap dulu baru kamu boleh mengajan,” kata Endara, lelaki itu terus berada di samping Dara meskipun dirinya sendiri nyaris pingsan karena terus mendapat siksaan secara fisik oleh istrinya.“Pokoknya Dara nggak mau hamil lagi Mas, ini sakit ba

  • Istri Ketiga Mas Endara    BAB 112

    Beberapa bulan kemudian ….“Aduh sayang, kan sudah aku bilang jangan naik turun tangga, perut kamu sudah besar banget itu,” kata Endara, lelaki itu meringis ngilu melihat Dara yag sejak tadi hanya naik turun tangga saja padahal perut wanita itu sudah sangat besar. Di usia kehamilan Dara yang sudah sembilan bulan itu membuat Endara sangat ketat menjaga gerak istrinya itu, tapi Dara tetap lah Dara yang ingin melakukan semua hal sendirian. “Habisnya kalau Dara di kamar terus nggak enak Mas, bosen,” kata Dara. “Lagian kata dokternya juga harus banyak gerak supaya biar cepat kontraksi dan pembukaannya,” sambung Dara. “Tapi kan kau bisa minta tolong sama aku.” Endara menghampiri Dara yang masih berada di tengah-tengah anak tangga lelaki itu membantu sang istri untuk naik dan mengantarkan ke kamar. “Mulesnya belum rutin sayang?” Endara bertanya sambil mengusap perut Dara yang terlihat sangat buncit dan besar. semalam Endara harus begadang karena kata Dara perutnya sudah sesekali mengalam

  • Istri Ketiga Mas Endara    BAB 111

    Makan malam bersama dengan keluarga Roy pun sedang berlangsung, tidak ada percakapan di sana yang terdengar hanyalah denting sendok dan piring yang sesekali beradu. Afifa merasa sangat terharu karena akhirnya ia kembali merasakan kehangatan yang namanya keluarga. Jika orang tuanya masih ada pasti ia akan sering melakukan makan bersama seperti ini.“Afifa, ditambah lagi itu nasinya,” ujar Aryan, kepada Afifa. sejak tadi lelaki itu melihat Afifa seperti ada yang sedang dipikirkan terkadang tatapan mata wanita itu terlihat kosong.“Iya Om, ini saja nasinya masih banyak,” kata Afifa, dengan senyum di wajahnya. Afifa kembali terlihat baik-baik saja meskipun sebenarnya di dalam hati wanita itu menjerit ingin menumpahkan semuanya.“Afifa.” Mariam menyentuh bahu Afifa karena kebetulan posisi duduk Mariam dan Afifa hanya bersebelahan saja.“Kamu kenapa? Dari tadi Tante perhatikan wajah kamu sedih.” Mariam melihat jelas bahwa wanita yang berada di sampingnya itu sedang dalam keadaan tidak baik-

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status