LOGINBAB 5: Istri ke 3
"Kamu siap?" tanya Ethan menatap Maudy yang terlihat gelisah. Maudy menggeleng, tentu dirinya belum siap dan mungkin tidak akan pernah siap. Perjalanan hidupnya saat ini terasa terlalu lucu dan konyol. Menikah dengan pria asing karena insiden satu malam, tidak ada lamaran romantis dan perkenalan dua keluarga. Yang ada malah transaksi jual beli dirinya dari sang ayah yang langsung mematok uang dengan jumlah besar. "Kenapa?" tanya Ethan lagi melihat sang istri mudanya menggelengkan kepala. Dalam hati Maudy mengutuk, bisa-bisanya pria yang sekarang berstatus menjadi suami malah bertanya kenapa. Harusnya pria itu tahu kalau dirinya tidak akan siap karena memang semuanya terlalu mendadak dan terpaksa. Parahnya, keluarga dari Ethan belum ada yang tahu. Lalu dirinya tiba-tiba datang berstatus istri dari seorang pria keluarga kaya. Perempuan itu menghela napas besar, membuat kerutan langsung muncul di dahi Ethan. "Aku gak siap dengan semuanya. Bisakah kita tidak usah memberitahu pernikahan konyol ini kepada semuanya, juga keluargamu?" pinta Maudy dengan melas. Semalaman dirinya berkutat dengan pikirannya sendiri, ketakutan atas respon keluarga Ethan. "Pernikahan konyol? Pernikahan sah dan suci ini kamu sebut konyol?" Mata Ethan langsung menajam, membuat Maudy gelapan lalu menggelengkan kepala. Perempuan muda itu terlalu takut dengan Ethan, pria asing yang dalam sekejap menjadi suami. Parahnya, sampai pagi ini dirinya pun belum mengetahui nama pria tersebut dan entah dirinya harus memanggilnya apa. "Bu... bukan seperti itu maksudku," sahut Maudy. "Aku hanya belum siap dengan semuanya." Suaranya pelan dan sarat akan kesedihan, kepalanya menunduk menahan segala gemuruh di dadanya yang bercampur aduk. "Aku bahkan tidak tahu namamu," sambungnya semakin lirih. Ethan tersentak, kalimat terakhir yang dia dengar membuatnya terkejut. Dia baru teringat kalau dirinya memang belum mengenalkan diri sama sekali kepada Maudy. Dia tahu nama Maudy juga karena gadis itu bekerja di club yang sering dia kunjungi, jadi tidak susah baginya mengetahui nama gadis itu. Sekarang dirinya sepakat kalau pernikahan mereka memang konyol dan dirinya juga masih terus bertanya kenapa sampai sejauh ini. "Sudah terlanjur, sekarang ayo berangkat ke rumah saya. Kita sarapan di sana!" putus Ethan tidak ingin memusingkan diri. "Tapi...." Maudy ingin menolak, tapi dia melihat Ethan sudah keluar dari pintu lalu berteriak memanggil namanya. Tidak ada pilihan lain, dengan berat hati Maudy mengikutinya. Sedari kecil dirinya tidak memiliki pilihan dalam hidupnya, tapi dia tidak menyangka sampai pernikahan pun dirinya tidak bisa memilih sendiri. Cukup lama perjalanan dari apartemen ke rumah Ethan, sekitar dua jam. Ethan sengaja menempatkan dua istrinya sedikit jauh dari dirinya bekerja agar tidak terus merecoki dirinya dan apa yang dia lakukan. Mobil Ethan terparkir asal di halaman rumah yang luas, tidak memasukkan langsung ke garasi yang berada di samping rumahnya. Sedangkan, Maudy sibuk mengagumi rumah mewah di depannya dan melupakan sejenak bagaimana orang di dalam akan menyambut dirinya. Ethan menatap wajah polos Maudy, gadis miskin yang dia nikahi. Mata itu memandang penuh kekaguman, tidak seperti dua istri tuanya yang memang sudah terlahir dari keluarga kaya. Mereka dinikahkan karena ingin memperbesar kekayaan dengan bekerja sama dan menjalin kekeluargaan. Dengan mengorbankan anak-anak mereka, meski dua perempuan itu begitu senang bersanding dengan Ethan, tapi tidak dengan Ethan yang merasa frustasi. "Ayo, masuk!" ajak Ethan menegur Maudy dari rasa kagumnya. Gadis itu menoleh, kesadarannya kembali dan wajahnya langsung pucat ketakutan. "Kita akan tinggal di sini? Bersama keluargamu?" Suara Maudy bergetar ketakutan, dia teringat film atau cerita yang dia baca kalau orang kaya selalu memandang orang miskin rendah. "Bagaimana kalau keluargamu menolak?" tanyanya memandang sendu Ethan. Sosok yang dipandang hanya menatap datar tanpa berniat membalas. Dia juga sudah tahu jawabannya kalau Maudy memang jauh dari kriteria keluarganya, ditambah dua istrinya yang pasti tidak akan menerima gadis muda itu. "Ada saya. Ayo!" Tidak ingin memperlama, Ethan lebih memilih menggandeng tangan Maudy. Gadis itu juga langsung tersentak karena pertama kali dirinya bersentuhan tangan dengan pria asing. Kakinya melangkah kaku mengikuti langkah lebar Ethan yang tidak mendengar ketakutannya sama sekali. Mereka sampai di depan pintu dengan ukiran merak yang indah. Maudy meneguk ludahnya kasar, dari pintunya saja sudah begitu mewah apalagi di dalamnya. Dia merasa kalau dia menginjakkan kaki di dalamnya, suasana kemewahan langsung tercemar karena kehadirannya. Tangan kiri Ethan mendorong pintu, sementara tangan kanannya masih menggandeng tangan Maudy yang semakin menegang. Pintu terbuka lebar, pemandangan di dalamnya langsung terlihat dan kembali Maudy dibuat kagum atas kemewahan dan keindahan ukiran demi ukiran yang tersaji padahal itu baru ruang tamu. Kakinya membeku membuat Ethan kembali menoleh karena tidak ada pergerakan dari gadis muda tersebut. "Ayo!" Suaranya menekan untuk menyadarkan Maudy kesekian kalinya. "Aku takut," cicit Maudy hampir menangis. Rasanya dia sangat tidak pantas untuk menginjakkan kaki apalagi sampai menempati rumah tersebut. Namun, Ethan tidak ingin tahu dan mendengar karena pria itu malah menyeret sedikit kasar agar Maudy bergerak. "Ethan, aku pikir kamu lupa punya rumah dan istri di sini!" Suara sinis itu terdengar begitu keduanya sampai di ruang tamu. Seorang wanita cantik dan terlihat dewasa berjalan dengan anggun ke arah keduanya. Maudy kembali menggumi kecantikan wanita tersebut dan cara berjalannya yang terlihat berkelas. Namun, dirinya tersadar kalimat wanita tersebut yang membuatnya mendelik karena terkejut. "Istri?" gumam Maudy penuh tanya juga terkejut. Sekali lagi, matanya menatap wanita tersebut dan dirinya pun tengah ditatap balik dengan sorot tanya. Lalu tatapan wanita itu turun pada tangan Ethan yang masih menggandeng tangan Maudy. "Siapa dia, Ethan?" Suaranya semakin terdengar dingin dan menusuk, tatapannya juga semakin tajam memperlihatkan kecemburuan. Belum ada yang bersuara, suara langkah kaki kembali terdengar. Tak lama muncul sosok wanita yang lebih cantik dan terlihat lebih muda menatap terkejut atas apa yang dia lihat sekarang. Dahi Maudy kembali berkerut, sekilas memandang perempuan itu, dirinya tahu betapa cantiknya perempuan yang baru datang tersebut. "Ethan, kamu pulang? Siapa gadis muda itu?" Suaranya terdengar lebih santai dibanding wanita yang pertama tadi. Tetap saja, Maudy merasa terintimidasi dengan dua perempuan yang belum dia ketahui siapanya Ethan. "Dia istri ketiga, adik madu kalian!" Maudy terbelalak, tangannya melepaskan diri dari genggaman tangan Ethan. Telinganya mendadak berdengung dan kepalanya berdenyut sakit. Dunianya yang selama ini sudah retak sekarang runtuh seketika saat tahu bagaimana hidupnya sekarang. Matanya juga semakin mengabur, dengan tubuh yang semakin lemas. "Aku? Istri ketiga?" gumamnya penuh kekalutan.Tidak pernah ada bayangan dari seseorang menjadi istri kesekian, semua perempuan pasti menginginkan menjadi satu-satunya untuk seorang suami. Begitu pula Maudy, memikirkan menikah muda saja belum pernah dan tidak berani, apalagi sampai kepikiran menjadi istri kesekian. Tidak ada seorang perempuan pun yang memiliki pikiran demikian.Kehidupannya lucu sekali, untuk berhadapan dengan mertuanya saja, dia ketakutan. Malah sekarang, dirinya harus berhadapan dengan dua orangtua lainnya, tak lain adalah orangtua kakak madunya. Para orangtua, para pengusaha yang bersatu untuk meluaskan usahanya.Jangan ditanya apa yang Maudy rasakan sekarang, tentu semua rasa bercampur dalam perasaan dan pikirannya. Matanya bergerak gelisah selama mobil melaju menuju rumah utama Ethan. Di sampingnya, ada sang suami yang terlihat tenang sekali, berbanding terbalik dengan dirinya.Sedangkan, di depan ada Rafly yang mengemudi dengan wajah santai seperti biasa. Lagian, apa yang harus mereka takutkan, mereka pria k
Hening menyapa ketiga orang yang duduk di sofa ruang tamu apartemen, belum ada yang membuka suara sejak mereka memutuskan untuk pindah duduk. Di sofa single ada Ethan yang menatap tajam dua sosok di hadapannya. Mereka adalah Maudy dan Rafly yang duduk di sofa panjang.Tangan Maudy meremas tangan Rafly yang masih setia di sampingnya. Dia sadar yang dilakukan ini tidak benar, apalagi di depan suaminya sendiri. Namun, Maudy butuh seseorang di sampingnya untuk berbagi perasaan campur aduk yang sekarang dirasakan.Maudy tidak mungkin melakukan demikian dengan Ethan, dia ragu pria itu peduli dengannya. Sedangkan, Rafly telah memberikan kenyamanan layaknya kakak kepada adiknya. Yang dirasakan Maudy juga demikian, dia nyaman dengan Rafly sebagai seorang adik yang butuh perlindungan."Tenanglah, saya nanti akan mengurus masalah ini. Saya akan meminta tuan Jenkins untuk membuat pernyataan kalau apa yang dikatakan tadi tidak benar."Rafly membuka suara karena merasakan tangan Maudy yang masih be
Zaman yang canggih di mana manusia tidak perlu saling bertemu dan berbicara langsung, tapi mereka sudah bisa mengetahui banyak hal. Termasuk hal-hal yang jauh dari jangkauannya. Hanya bermodalkan ponsel pintar yang tersambung dalam jaringan, semuanya bisa diakses dengan mudah. Tidak perlu menunggu untuk bertemu dan saling bertukar kabar, hanya duduk manis di tempat, semuanya bisa diketahui. Sebenarnya, ini bagus untuk memudahkan komunikasi antar sesama terlebih yang memiliki hubungan jarak jauh dengan orang-orang yang terdekatnya. Namun, ini juga berdampak negatif saat berita yang disebar tidak sesuai, hanya ingin menarik atensi publik. Seorang gadis muda dengan air mata yang masih mengalir, tubuhnya bersandar di pintu apartemen. Matanya menatap nanar pada video yang ditampilkan lewat ponselnya. Setelah menerima telepon dari Rafly, gadis itu gegas berselancar di dunia maya dan video yang baru beberapa saat terjadi sudah meluas dengan cepat. Satu akun yang mempublish, dan banyak aku
Takdir memang lucu, sering mempermainkan hidup seseorang, seolah menguji tapi terlalu sering yang terkadang membuat beberapa orang menjadi putus asa. Banyak orang-orang dengan pikiran pendek, menghadapi takdir yang tidak diinginkan dengan kabur dari dunia dengan memaksakan diri. Rasa lelah karena tak kunjung mendapatkan hal indah.Untung saja, Maudy bukan tipe orang dengan pikiran pendek, meski takdir terus mengujinya. Ayahnya adalah sebuah ujian terbesar baginya, mungkin Maudy hanya berpikir kalau saja dia bukan menjadi anak seorang Jenkins. Hanya pikiran berandai-andai dengan kehidupannya sebagai bentuk protes dan rasa lelah dari takdir yang dijalaninya.Beberapa orang yang mendengar seruan kasar dan tidak bermoral dari Jenkins menjadikan tontonan menarik. Beberapa bibir bahkan sudah membuat ruang terbuka untuk mendiskusikan berita yang sedang berlangsung di depannya. Menunggu momen selanjutnya dari tontonan gratis yang tersaji di parkiran supermarket itu."Dasar anak tidak tahu dir
Istilah manusia bisa merencanakan tapi takdir yang menentukan adalah hal yang sudah jelas dalam kehidupan. Manusia selalu berencana yang terbaik untuknya, dan terkadang melupakan alam juga ikut bekerja. Berharap pada rencananya sendiri, lalu kekecewaan akan dirasakan saat tidak sesuai karena terlalu bergantung pada apa yang diinginkan saja.Pagi menyapa, kebiasaan Maudy yang bangun lebih awal membuat perempuan itu segera bergegas untuk membersihkan diri. Hanya sepuluh menit, dia keluar dengan tubuh yang kedinginan. Saat melihat jam, dia meringis karena waktu masih pukul setengah lima.Kakinya melangkah kembali ke kasur, bermaksud kembali menghangatkan diri di bawah selimut sebentar. Tadinya dia ingin melihat keluar, tapi tubuhnya masih menyesuaikan rasa dingin dan dirinya lupa kalau tidak membawa jaket.Dia bahkan dari kemarin memakai kaos milik Ethan yang kebesaran di tubuhnya. Kalau tahu, Ethan akan mengajaknya ke apartemen, mungkin dia bisa bersiap membawa beberapa helai pakaian. E
Gemerlap bintang, sinar rembulan dan lalu lalang kendaraan menjadi pemandangan malam ini. Seorang gadis muda, berdiri di pembatas balkon kamar apartemen memandang dengan binar senang. Untuk pertama kalinya, seharian ini dirinya merasakan bagaimana kehidupan manis yang sesungguhnya.Sehari tidak mendengar kalimat negatif, patut dia catat sebagai sejarah. Perasaan tenang dan nyaman membuatnya terlihat lebih cerah dari biasanya. Serta senyuman tipis yang sering dia perlihatkan saat melihat sesuatu yang membuatnya tertarik."Inikah yang dinamakan hidup sesungguhnya?" bisiknya pelan dengan sapuan angin lembut di pipinya."Andai, ketenangan ini bisa terus berlanjut," sambungnya sambil bergumam. Wajahnya mendongak, melihat pemandangan langit yang lebih tenang ketimbang pemandangan di depannya yang tidak kenal lelah. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, tapi pengguna jalan belum juga surut.Berbeda dengan langit yang terlihat terang, hamparan bintang yang berkelap-kelip dan rembulan ya







