LOGINGaun putih dengan desain mewah tapi elegan melekat sempurna di tubuh Maudy. Wajah gadis itu juga sudah dipoles sempurna dan terlihat semakin cantik. Rambut yang biasanya dikuncir asal, sekarang disanggul indah dengan menyisakan beberapa helai di sisi kiri.
"Nona, kamu sangat cantik sekali!" puji sang penata rias setelah menyelesaikan semuanya. Mata Maudy menatap dirinya dalam pantulan cermin. Dirinya juga mengagumi sosoknya sekarang juga mengacungi jempol untuk sang perias karena keuletannya. Namun, wajahnya sama sekali tidak mengisyaratkan kebahagiaan, malah air mata kesedihan mulai menetes. Maudy masih tidak percaya kalau dia akan menikah di usianya yang terbilang masih muda. Menikah dengan pria asing, bahkan dirinya pun belum tahu nama pria tersebut apalagi sampai karakter dan kehidupannya. Paksaan dari sang ayah benar-benar tidak mampu membuatnya memiliki pilihan lain. Dia juga masih terus menyalahkan keteledorannya hingga berakhir bersama pria asing itu. "Nona, aku tahu kalau pernikahan adalah momen yang membahagiakan dan mengharukan. Tapi, aku mohon jangan mengeluarkan air mata. Bisa-bisa riasannya luntur sebelum acaranya dimulai!" omel sang perias panjang lebar. Sang perias panik melihat air mata mengalir di pipi yang sudah dipoles sedemikian rupa. Bibirnya juga terus menggerutu dengan tangan cekatan membersihkan perlahan agar tidak merusak riasannya. "Jangan mengeluarkan air mata dulu, tahan sampai selesai!" Sementara di bawah, Ethan sudah berhadapan dengan Jenkins disaksikan beberapa orang yang menjadi saksi. Mereka adalah teman-teman dekat Ethan juga beberapa pekerja kantornya yang cukup dekat dengan Ethan. Mereka diminta datang menjadi saksi tanpa harus memberitahu kalau dirinya bukan seorang pria lajang. Mereka hanya perlu mengikuti permintaan Ethan, karena tidak ingin berurusan dengan Ethan kalau menentangnya. Lagian, mereka juga tahu kalau dua istri Ethan menikah karena bisnis orangtua mereka dengan perusahaan Ethan. Hanya Rafly yang merasa gelisah, merasa kasihan dengan Maudy kalau setelah ini tahu dirinya bukan satu-satunya wanita di hidup Ethan. Saat semuanya siap, prosesi pernikahan dilakukan sesuai adat dan kepercayaan. Tak lama, seseorang diperintahkan menjemput Maudy untuk bersanding dengan Ethan di pelaminan. Ethan menunggu dan saat matanya menatap kedatangan Maudy, jantungnya tiba-tiba menggila menatap bagaimana wajah cantik Maudy yang berhasil menghipnotis tamu di sana meski terlihat jelas wajah Maudy bukan ekspresi kebahagiaan. "Gadis cengeng itu ternyata cantik sekali," puji Ethan dalam gumaman. Tangan Maudy menyambut uluran tangan Ethan dengan kaku dan berat hati, lalu mereka melangkah bersama menuju pelaminan. Pesta pernikahan yang terbilang sederhana untuk ukuran seorang Ethan, dia memang sengaja karena ingin bersifat privasi. Ethan juga mewanti agar tidak ada yang memberitahu kedua istrinya untuk mempermudah jalan pernikahannya. "Senyumlah, jangan sampai orang-orang mengira saya memaksa kamu!" bisik Ethan ketika mereka sudah duduk di kursi pelaminan. Maudy menoleh, matanya menatap sengit Ethan. Dalam hatinya mengutuk pria yang sekarang menjadi suaminya, seolah apa yang dikatakan bukan sebuah fakta. Padahal, dirinya menikah karena memang paksaan dari sang ayah lantaran kedatangan Ethan dan kalimat yang diucapkannya. "Aku memang terpaksa menikah denganmu," balas Maudy tapi tidak digubris oleh Ethan. *** "Menantu, jangan lupa mobil dan uang jatah bulananku!" seru Jenkins. Mereka baru saja menyelesaikan semuanya, di tempat itu hanya tinggal pengantin baru bersama Jenkins dan asisten setia Ethan. Rencananya, Ethan akan membawa Maudy ke apartemen pribadinya sebelum mengenalkan kepada dua istrinya yang lain. Rafly yang mendengarnya juga muak, dan terus bertanya tentang apa yang telah dilakukan atasannya sekarang. Menikah lagi secara diam-diam, lalu menjanjikan sejumlah uang perbulan untuk mendapatkan restu. Rafly tersenyum mengejek dalam diam, lalu bertanya apakah bosnya telah menemukan cinta yang sesungguhnya. Karena, Rafly jelas tahu bagaimana karakter Ethan. Dua istrinya yang terbilang cantik dan anggun pun sama sekali tidak menarik perhatian Ethan, karena pria itu masih sering bermain di club malam. "Tenang saja, tuan Jenkins. Anda pulang, sudah ada yang menyambut," balas Ethan datar. "Rafly, kasih tuan Jenkins kartu Atm-nya!" sambung Ethan. Rafly segera memberikan apa yang sudah disiapkan oleh Ethan. Kunci mobil juga Atm beserta perlengkapannya. Mata Jenkins tentu saja berbinar cerah, setelah mengucapkan terimakasih dengan asal, pria itu segera berlalu tanpa mempedulikan Maudy lagi. Di sisi lain, Maudy semakin merana melihat transaksi di depannya secara langsung. "Ayah, kau benar-benar menjualku?" lirih Maudy menatap nanar Jenkins yang sudah menghilang. "Ayahmu tidak pernah peduli. Tidak usah lagi meratapi nasib," sahut Ethan sama sekali tidak menenangkan. Rafly merasa pernikahan ini memang seperti transaksi jual beli belaka. Bahkan, Ethan memanggil sang mertua tidak selayaknya menantu. Matanya menatap kasihan kepada Maudy yang masih merana. Keluar dari ayahnya yang temperamen, masuk ke rumah Ethan dengan dua singa buas lagi. "Rafly, jaga pandanganmu!" tegur Ethan mendapati asistennya terus menatap sang istri ke tiga. "Maaf, Tuan," balas Rafly. Pria itu memang selalu menggunakan bahasa formal dengan Ethan, tapi nada dan ekspresi yang tidak pernah menunjukkan kesopanan selain di jam kerja. "Antarkan kita ke apartemen!" pinta Ethan. "Apa Anda akan mengajak istri anda tinggal di apartemen?" tanya Rafly sedikit berharap. Meski tidak mengenal Maudy, dan belum pernah berbicara langsung, tapi rasa simpati Rafly muncul saat tahu bagaimana kehidupan Maudy sebelumnya dan setelah ini. "Apa ini penting untukmu?" sarkas Ethan yang langsung dihadiahi dengusan oleh Rafly. Maudy hanya diam saja, menyimak dan memperhatikan dua pria itu tengah berkomunikasi. Dirinya bahkan tidak tahu siapa sosok yang dipanggil Rafly. Namun, dari cara pria itu memanggil sudah pasti posisinya lebih rendah dari pria di sampingnya ini. Meski dia ragu akan hal itu, melihat Rafly bersikap yang tidak mencerminkan seorang bawahan. "Besok saya akan membawa kamu ke rumah di mana kita akan tinggal, serta mengenalkan pada wanita di sana!" ujar Ethan kepada Maudy. "Anda akan membawa Maudy tinggal di sana juga?" sahut Rafly terkejut, meski harusnya dia sudah tahu itu. Maudy yang melihat respon Rafly, mendadak perasaannya tidak enak. Dia lupa, kalau Ethan juga memiliki keluarga. Sekarang, pikirannya langsung penuh bagaimana sikap keluarga Ethan nanti saat tahu dirinya sekarang menjadi istri pria kaya raya tersebut. Tiba-tiba saja dia ingin pulang dan terus tinggal di rumah sederhananya, meski ada sang ayah yang terus mengumpat dan memukulinya.Tidak pernah ada bayangan dari seseorang menjadi istri kesekian, semua perempuan pasti menginginkan menjadi satu-satunya untuk seorang suami. Begitu pula Maudy, memikirkan menikah muda saja belum pernah dan tidak berani, apalagi sampai kepikiran menjadi istri kesekian. Tidak ada seorang perempuan pun yang memiliki pikiran demikian.Kehidupannya lucu sekali, untuk berhadapan dengan mertuanya saja, dia ketakutan. Malah sekarang, dirinya harus berhadapan dengan dua orangtua lainnya, tak lain adalah orangtua kakak madunya. Para orangtua, para pengusaha yang bersatu untuk meluaskan usahanya.Jangan ditanya apa yang Maudy rasakan sekarang, tentu semua rasa bercampur dalam perasaan dan pikirannya. Matanya bergerak gelisah selama mobil melaju menuju rumah utama Ethan. Di sampingnya, ada sang suami yang terlihat tenang sekali, berbanding terbalik dengan dirinya.Sedangkan, di depan ada Rafly yang mengemudi dengan wajah santai seperti biasa. Lagian, apa yang harus mereka takutkan, mereka pria k
Hening menyapa ketiga orang yang duduk di sofa ruang tamu apartemen, belum ada yang membuka suara sejak mereka memutuskan untuk pindah duduk. Di sofa single ada Ethan yang menatap tajam dua sosok di hadapannya. Mereka adalah Maudy dan Rafly yang duduk di sofa panjang.Tangan Maudy meremas tangan Rafly yang masih setia di sampingnya. Dia sadar yang dilakukan ini tidak benar, apalagi di depan suaminya sendiri. Namun, Maudy butuh seseorang di sampingnya untuk berbagi perasaan campur aduk yang sekarang dirasakan.Maudy tidak mungkin melakukan demikian dengan Ethan, dia ragu pria itu peduli dengannya. Sedangkan, Rafly telah memberikan kenyamanan layaknya kakak kepada adiknya. Yang dirasakan Maudy juga demikian, dia nyaman dengan Rafly sebagai seorang adik yang butuh perlindungan."Tenanglah, saya nanti akan mengurus masalah ini. Saya akan meminta tuan Jenkins untuk membuat pernyataan kalau apa yang dikatakan tadi tidak benar."Rafly membuka suara karena merasakan tangan Maudy yang masih be
Zaman yang canggih di mana manusia tidak perlu saling bertemu dan berbicara langsung, tapi mereka sudah bisa mengetahui banyak hal. Termasuk hal-hal yang jauh dari jangkauannya. Hanya bermodalkan ponsel pintar yang tersambung dalam jaringan, semuanya bisa diakses dengan mudah. Tidak perlu menunggu untuk bertemu dan saling bertukar kabar, hanya duduk manis di tempat, semuanya bisa diketahui. Sebenarnya, ini bagus untuk memudahkan komunikasi antar sesama terlebih yang memiliki hubungan jarak jauh dengan orang-orang yang terdekatnya. Namun, ini juga berdampak negatif saat berita yang disebar tidak sesuai, hanya ingin menarik atensi publik. Seorang gadis muda dengan air mata yang masih mengalir, tubuhnya bersandar di pintu apartemen. Matanya menatap nanar pada video yang ditampilkan lewat ponselnya. Setelah menerima telepon dari Rafly, gadis itu gegas berselancar di dunia maya dan video yang baru beberapa saat terjadi sudah meluas dengan cepat. Satu akun yang mempublish, dan banyak aku
Takdir memang lucu, sering mempermainkan hidup seseorang, seolah menguji tapi terlalu sering yang terkadang membuat beberapa orang menjadi putus asa. Banyak orang-orang dengan pikiran pendek, menghadapi takdir yang tidak diinginkan dengan kabur dari dunia dengan memaksakan diri. Rasa lelah karena tak kunjung mendapatkan hal indah.Untung saja, Maudy bukan tipe orang dengan pikiran pendek, meski takdir terus mengujinya. Ayahnya adalah sebuah ujian terbesar baginya, mungkin Maudy hanya berpikir kalau saja dia bukan menjadi anak seorang Jenkins. Hanya pikiran berandai-andai dengan kehidupannya sebagai bentuk protes dan rasa lelah dari takdir yang dijalaninya.Beberapa orang yang mendengar seruan kasar dan tidak bermoral dari Jenkins menjadikan tontonan menarik. Beberapa bibir bahkan sudah membuat ruang terbuka untuk mendiskusikan berita yang sedang berlangsung di depannya. Menunggu momen selanjutnya dari tontonan gratis yang tersaji di parkiran supermarket itu."Dasar anak tidak tahu dir
Istilah manusia bisa merencanakan tapi takdir yang menentukan adalah hal yang sudah jelas dalam kehidupan. Manusia selalu berencana yang terbaik untuknya, dan terkadang melupakan alam juga ikut bekerja. Berharap pada rencananya sendiri, lalu kekecewaan akan dirasakan saat tidak sesuai karena terlalu bergantung pada apa yang diinginkan saja.Pagi menyapa, kebiasaan Maudy yang bangun lebih awal membuat perempuan itu segera bergegas untuk membersihkan diri. Hanya sepuluh menit, dia keluar dengan tubuh yang kedinginan. Saat melihat jam, dia meringis karena waktu masih pukul setengah lima.Kakinya melangkah kembali ke kasur, bermaksud kembali menghangatkan diri di bawah selimut sebentar. Tadinya dia ingin melihat keluar, tapi tubuhnya masih menyesuaikan rasa dingin dan dirinya lupa kalau tidak membawa jaket.Dia bahkan dari kemarin memakai kaos milik Ethan yang kebesaran di tubuhnya. Kalau tahu, Ethan akan mengajaknya ke apartemen, mungkin dia bisa bersiap membawa beberapa helai pakaian. E
Gemerlap bintang, sinar rembulan dan lalu lalang kendaraan menjadi pemandangan malam ini. Seorang gadis muda, berdiri di pembatas balkon kamar apartemen memandang dengan binar senang. Untuk pertama kalinya, seharian ini dirinya merasakan bagaimana kehidupan manis yang sesungguhnya.Sehari tidak mendengar kalimat negatif, patut dia catat sebagai sejarah. Perasaan tenang dan nyaman membuatnya terlihat lebih cerah dari biasanya. Serta senyuman tipis yang sering dia perlihatkan saat melihat sesuatu yang membuatnya tertarik."Inikah yang dinamakan hidup sesungguhnya?" bisiknya pelan dengan sapuan angin lembut di pipinya."Andai, ketenangan ini bisa terus berlanjut," sambungnya sambil bergumam. Wajahnya mendongak, melihat pemandangan langit yang lebih tenang ketimbang pemandangan di depannya yang tidak kenal lelah. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, tapi pengguna jalan belum juga surut.Berbeda dengan langit yang terlihat terang, hamparan bintang yang berkelap-kelip dan rembulan ya







