MasukBAB 3: Paksaan
Di dalam ruang tamu yang sempit itu hanya terdengar isakan Maudy. Setelah ucapan asal Ethan, Rafly dengan cepat memperbaiki kalimat sang atasan dan meminta sang tuan rumah mempersilahkan mereka masuk untuk menjelaskan maksud kedatangan mereka. Sekarang, mereka tengah duduk di kursi kayu dengan bibir yang masih terkunci. "Katakan cepat apa tujuan kalian ke sini, kenapa tiba-tiba ingin menikahi anak saya!" sentak Jenkins merasa kesal karena keduanya tidak ada yang bersuara sedari tadi. "Kamu bisa diam gak! Kenapa malah menangis? Cengeng banget jadi perempuan!" Sekarang pria paruh baya itu berganti menyermrot sang anak dengan wajah kesalnya. Ethan memperhatikannya, dalam hatinya mengatakan kalau Jenkins lebih seram aslinya ketimbang foto yang dia dapatkan dari Rafly. Lalu matanya mengarah kepada Maudy yang langsung diam ketakutan. Gadis itu terus menunduk sejak mereka duduk di ruang tamu, matanya seakan enggan untuk menatap Ethan kembali. "Saya akan menikahi anak tuan Jenkins!" ujar Ethan santai seperti biasa tanpa basa-basi. "Kami sudah pernah tidur bersama, dan itu bentuk tanggung jawab saya kepada Maudy!" Hening langsung menyerang ruangan sempit itu karena rasa terkejut. Maudy yang sudah tahu pun masih ikut terkejut karena tidak menyangka pria itu akan berbicara begitu saja kepada ayahnya. Begitu pula dengan Jenkins dan Rafly yang belum mengetahui alasannya. "Apa-apaan kamu, Maudy. Kamu mau mempermalukanku! Sudah tidak bisa ngasih apa-apa malah melempar kotoran ke wajahku!" murka Jenkins setelah otaknya kembali bekerja memproses kalimat Ethan. "Aduh!" Tangan besar milik Jenkins melayang ke kepala Maudy tanpa ada yang menyadari. Gerakannya begitu cepat tanpa aba-aba membuat ketiga orang itu termasuk Maudy tidak menyangka kalau Jenkins akan melayangkan pukulan. Maudy meringis kesakitan, tangisnya kembali terdengar karena rasa takut dan sakit semakin besar. Maudy menggeleng keras dengan linangan air mata. Tidak pernah ada pikiran dirinya melakukan hal hina seperti itu. "Ayah, Maudy tidak bermaksud seperti itu," sanggah Maudy menatap nanar Jenkins. "Maudy tidak sadar saat itu," lirihnya sambil menundukkan kepala merasa malu dan menyesal. Pemandangan yang menyedihkan, tapi Ethan sama sekali tidak berniat menjelaskan bagaimana yang sebenarnya. Malah dirinya semakin yakin untuk membawa gadis itu dan menjadikan miliknya. Hidup Maudy terlalu berat kalau harus tinggal di rumah sempit itu dengan karakter ayahnya yang temperamen. "Dua Minggu lagi kita menikah!" seru Ethan tidak memikirkan keadaan juga perasaan Maudy. Lagi dan lagi Rafly merasa kesal dengan Ethan. Pria yang tidak memiliki perasaan simpati dan memilih mengucapkan apa yang diinginkannya saja. Kali ini, dirinya memilih diam dan menjadi penonton saja, karena percuma terus menjelaskan dengan baik sedangkan Ethan tidak peduli dengan kalimat yang baik. Mata Jenkins menyipit, memindai penampilan Ethan. Terlihat jelas kalau pemuda di depannya bukan orang biasa. Baju dan jam tangan yang dikenakan nampak mengkilat dari brand ternama. "Mau ngasih saya berapa kamu untuk nikahin anak saya?" Bibirnya mengulas senyum culas yang langsung bisa terbaca oleh Ethan dan Rafly. Mereka yang sudah terbiasa bertemu dan bekerja sama dengan banyak orang, tidak sulit mengetahui karakter Jenkins dari pengalaman tersebut. "Ayah, jangan seperti itu, Maudy mohon. Maudy akan bekerja lebih keras lagi. Maudy juga belum ingin menikah di usia muda ini." Dengan cepat Maudy membalas, menikah dengan pria asing tidak pernah ada dalam pikirannya. Apalagi menikah karena insiden yang tidak pernah dia inginkan. "Diam. Kalau bukan sama pria ini mau sama siapa kamu menikah. Kamu bukan seorang gadis suci lagi!" balas Jenkins tepat sasaran. "Tapi, Yah...." Maudy ingin membalas kalimat menyakitkan Jenkins, tapi suara Ethan lebih dulu memotong dan malah membuat dirinya semakin tersudut. "Sepuluh juta perbulan, bagaimana?" potong Ethan cepat sebelum Maudy kembali mengucapkan kalimat penolakan. Dirinya yang mendengar tadi sudah merasa geram, karena baru pertama kali dirinya ditolak. Dua wanita yang menjadi istrinya adalah orang-orang yang menawarkan dirinya sendiri. Mata Jenkins melebar, wajah terkejutnya tidak bisa disembunyikan. Sepuluh juta bukan jumlah yang kecil. Dirinya selama ini juga merampok uang gaji Maudy yang tidak seberapa. Tentu mendapatkan kesempatan memiliki uang sebanyak itu tanpa bekerja hanya tinggal menyerahkan anaknya tidak akan ditolak begitu saja. "Aku mohon, aku tidak ingin menikah muda." suara Maudy melemah, wajah kebahagiaan ayahnya terlihat jelas kalau pria paruh baya itu akan menerimanya. Sedangkan, dirinya merasa tidak mengenal pria itu dan bagaimana karakternya. Bayangan buruk sekarang malah melintas kalau pria itu bukan pria baik-baik. "Apa uang saja cukup?" Jenkins mengabaikan suara anaknya, lebih memilih memanfaatkan kesempatan dan mencari keuntungan lebih besar lagi. Ethan sudah menebak, pria seperti Jenkins tidak akan mudah menerima begitu saja. Orang seperti itu pasti tahu bagaimana memanfaatkan kesempatan meski anaknya sendiri menjadi jaminan. Sedangkan, Rafly berdecak pelan menatap Jenkins yang siap memoroti Ethan. "Mobil keluaran terbaru!" balas Ethan datar. Ini seperti sedang transaksi jual beli daripada melamar seorang gadis. Dirinya juga ikut mengabaikan suara Maudy yang penuh penolakan. "Sepakat. Tapi, kalau saya kekurangan uang lagi, kamu harus siap langsung kasih!" Senyum kemenangan tercetak jelas, lalu matanya melirik Maudy yang kembali menggeleng berusaha menolak apa yang sedang terjadi. "Kamu terima saja. Dia bakal merubah nasib miskin kita!" sentak Jenkins tanpa ada rasa iba. "Yah, Maudy masih ingin sendiri!" Maudy berbicara sedikit tegas, tapi yang didapat malah tamparan kembali di pipinya. "Jangan banyak bicara. Turuti saja, kamu bekerja siang malam juga kita tetap hidup miskin!" bentak Jenkins. "Cepatlah nikahi Maudy, dan penuhi janjimu!" Setelah berucap demikian, Jenkins langsung melenggang keluar dari rumah. "Ayahmu sudah menjual kamu ke saya. Tidak ada pilihan lain, dan dengar sendiri ayahmu ingin segera melepas kamu. Minggu depan kita menikah, tidak ada pilihan lain selain kamu mengikuti keinginan saya!" celutuk Ethan sama sekali tidak menenangkan Maudy. Gadis itu malah semakin takut, kalut dan marah tapi tidak bisa dia lampiaskan. "Rafly, ambil barang-barang lamaran. Ini cincin dari saya sebagai tanda kamu sudah saya lamar." Ethan menaruh kotak beludru di atas meja. "Cepat pakai, dan mulai besok tidak usah lagi bekerja!" sambungnya dengan nada menuntut. Rafly yang mendengar dan melihat hanya tercengang, tidak ada keromantisan atau kata manis yang tersaji. Pertama kali dirinya melihat acara lamaran penuh drama kekerasan dan kepaksaan seperti ini. Dirinya sekarang malah menjadi kasihan dengan Maudy, dijual ayahnya kepada Ethan yang sudah memiliki dua istri. "Aku mohon, aku tidak siap menikah sekarang," mohon Maudy. Suaranya serak, dan parahnya sedari tadi tidak ada yang mendengarkan permohonannya. Ayah dan pria asing bagi Maudy itu sibuk bertransaksi atas dirinya seakan dirinya bukan manusia. "Ayahmu sudah sepakat. Lagian, saya tidak butuh persetujuanmu, karena saya memang ingin menikahmu!"Tidak pernah ada bayangan dari seseorang menjadi istri kesekian, semua perempuan pasti menginginkan menjadi satu-satunya untuk seorang suami. Begitu pula Maudy, memikirkan menikah muda saja belum pernah dan tidak berani, apalagi sampai kepikiran menjadi istri kesekian. Tidak ada seorang perempuan pun yang memiliki pikiran demikian.Kehidupannya lucu sekali, untuk berhadapan dengan mertuanya saja, dia ketakutan. Malah sekarang, dirinya harus berhadapan dengan dua orangtua lainnya, tak lain adalah orangtua kakak madunya. Para orangtua, para pengusaha yang bersatu untuk meluaskan usahanya.Jangan ditanya apa yang Maudy rasakan sekarang, tentu semua rasa bercampur dalam perasaan dan pikirannya. Matanya bergerak gelisah selama mobil melaju menuju rumah utama Ethan. Di sampingnya, ada sang suami yang terlihat tenang sekali, berbanding terbalik dengan dirinya.Sedangkan, di depan ada Rafly yang mengemudi dengan wajah santai seperti biasa. Lagian, apa yang harus mereka takutkan, mereka pria k
Hening menyapa ketiga orang yang duduk di sofa ruang tamu apartemen, belum ada yang membuka suara sejak mereka memutuskan untuk pindah duduk. Di sofa single ada Ethan yang menatap tajam dua sosok di hadapannya. Mereka adalah Maudy dan Rafly yang duduk di sofa panjang.Tangan Maudy meremas tangan Rafly yang masih setia di sampingnya. Dia sadar yang dilakukan ini tidak benar, apalagi di depan suaminya sendiri. Namun, Maudy butuh seseorang di sampingnya untuk berbagi perasaan campur aduk yang sekarang dirasakan.Maudy tidak mungkin melakukan demikian dengan Ethan, dia ragu pria itu peduli dengannya. Sedangkan, Rafly telah memberikan kenyamanan layaknya kakak kepada adiknya. Yang dirasakan Maudy juga demikian, dia nyaman dengan Rafly sebagai seorang adik yang butuh perlindungan."Tenanglah, saya nanti akan mengurus masalah ini. Saya akan meminta tuan Jenkins untuk membuat pernyataan kalau apa yang dikatakan tadi tidak benar."Rafly membuka suara karena merasakan tangan Maudy yang masih be
Zaman yang canggih di mana manusia tidak perlu saling bertemu dan berbicara langsung, tapi mereka sudah bisa mengetahui banyak hal. Termasuk hal-hal yang jauh dari jangkauannya. Hanya bermodalkan ponsel pintar yang tersambung dalam jaringan, semuanya bisa diakses dengan mudah. Tidak perlu menunggu untuk bertemu dan saling bertukar kabar, hanya duduk manis di tempat, semuanya bisa diketahui. Sebenarnya, ini bagus untuk memudahkan komunikasi antar sesama terlebih yang memiliki hubungan jarak jauh dengan orang-orang yang terdekatnya. Namun, ini juga berdampak negatif saat berita yang disebar tidak sesuai, hanya ingin menarik atensi publik. Seorang gadis muda dengan air mata yang masih mengalir, tubuhnya bersandar di pintu apartemen. Matanya menatap nanar pada video yang ditampilkan lewat ponselnya. Setelah menerima telepon dari Rafly, gadis itu gegas berselancar di dunia maya dan video yang baru beberapa saat terjadi sudah meluas dengan cepat. Satu akun yang mempublish, dan banyak aku
Takdir memang lucu, sering mempermainkan hidup seseorang, seolah menguji tapi terlalu sering yang terkadang membuat beberapa orang menjadi putus asa. Banyak orang-orang dengan pikiran pendek, menghadapi takdir yang tidak diinginkan dengan kabur dari dunia dengan memaksakan diri. Rasa lelah karena tak kunjung mendapatkan hal indah.Untung saja, Maudy bukan tipe orang dengan pikiran pendek, meski takdir terus mengujinya. Ayahnya adalah sebuah ujian terbesar baginya, mungkin Maudy hanya berpikir kalau saja dia bukan menjadi anak seorang Jenkins. Hanya pikiran berandai-andai dengan kehidupannya sebagai bentuk protes dan rasa lelah dari takdir yang dijalaninya.Beberapa orang yang mendengar seruan kasar dan tidak bermoral dari Jenkins menjadikan tontonan menarik. Beberapa bibir bahkan sudah membuat ruang terbuka untuk mendiskusikan berita yang sedang berlangsung di depannya. Menunggu momen selanjutnya dari tontonan gratis yang tersaji di parkiran supermarket itu."Dasar anak tidak tahu dir
Istilah manusia bisa merencanakan tapi takdir yang menentukan adalah hal yang sudah jelas dalam kehidupan. Manusia selalu berencana yang terbaik untuknya, dan terkadang melupakan alam juga ikut bekerja. Berharap pada rencananya sendiri, lalu kekecewaan akan dirasakan saat tidak sesuai karena terlalu bergantung pada apa yang diinginkan saja.Pagi menyapa, kebiasaan Maudy yang bangun lebih awal membuat perempuan itu segera bergegas untuk membersihkan diri. Hanya sepuluh menit, dia keluar dengan tubuh yang kedinginan. Saat melihat jam, dia meringis karena waktu masih pukul setengah lima.Kakinya melangkah kembali ke kasur, bermaksud kembali menghangatkan diri di bawah selimut sebentar. Tadinya dia ingin melihat keluar, tapi tubuhnya masih menyesuaikan rasa dingin dan dirinya lupa kalau tidak membawa jaket.Dia bahkan dari kemarin memakai kaos milik Ethan yang kebesaran di tubuhnya. Kalau tahu, Ethan akan mengajaknya ke apartemen, mungkin dia bisa bersiap membawa beberapa helai pakaian. E
Gemerlap bintang, sinar rembulan dan lalu lalang kendaraan menjadi pemandangan malam ini. Seorang gadis muda, berdiri di pembatas balkon kamar apartemen memandang dengan binar senang. Untuk pertama kalinya, seharian ini dirinya merasakan bagaimana kehidupan manis yang sesungguhnya.Sehari tidak mendengar kalimat negatif, patut dia catat sebagai sejarah. Perasaan tenang dan nyaman membuatnya terlihat lebih cerah dari biasanya. Serta senyuman tipis yang sering dia perlihatkan saat melihat sesuatu yang membuatnya tertarik."Inikah yang dinamakan hidup sesungguhnya?" bisiknya pelan dengan sapuan angin lembut di pipinya."Andai, ketenangan ini bisa terus berlanjut," sambungnya sambil bergumam. Wajahnya mendongak, melihat pemandangan langit yang lebih tenang ketimbang pemandangan di depannya yang tidak kenal lelah. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, tapi pengguna jalan belum juga surut.Berbeda dengan langit yang terlihat terang, hamparan bintang yang berkelap-kelip dan rembulan ya







