Rafly merasa bosnya semakin gila, mengatakan akan melamar seorang gadis tapi tidak tahu tentang gadis tersebut. Parahnya, bosnya bukan seorang pria lajang, di rumahnya sudah ada dua wanita yang menemani hidupnya. Sekarang, pria itu kembali mengatakan ingin melamar seseorang lagi.
Ethan yang tengah berbicara di rapatnya, matanya sesekali melirik Rafly yang terlihat penuh pikiran. Dia tahu kalau asistennya masih terpikirkan apa yang baru saja dia katakan sebelum pergi ke ruang rapat. Sedangkan, Rafly sama sekali tidak mendengarkan penjelasan rapat karena sibuk dengan pikirannya sendiri. "Rafly, jangan lupa catatan rapat hari ini segera kasihkan ke saya dan manajer divisi masing-masing!" titah Ethan seketika membuat Rafly gelagapan. Semua pasang mata mengarah padanya, pria itu hanya meringis menampilkan giginya sembari mengangguk asal. Dia mengumpat karena keteledorannya, lebih memilih memikirkan ucapan atasan anehnya ketimbang fokus rapat di depannya. Seharusnya, dirinya tidak menggubris ucapan Ethan dari pada lalai pada tugas utamanya. "Silahkan kalian bisa kembali ke ruangannya masing-masing!" pungkas Ethan menyelesaikan rapatnya. Ruangan itu tinggal menyisakan Ethan dan Rafly, mereka sibuk berberes masing-masing. "Bisa-bisanya rapat malah melamun," sindir Ethan yang langsung ditoleh oleh Rafly. "Jangan harap saya memaklumi, catatan hasil rapat paling lambat besok siang!" Ethan sudah siap-siap akan pergi, tapi dia kembali menoleh sambil berkata,"data gadis itu juga harus ada paling lambat nanti malam agar besok kita bisa mulai menyiapkan lamaran!" Sekali lagi, Rafly ternganga mendengar perintah bosnya yang sangat menjengkelkan. Parahnya, sama sekali tidak merasa kalau dialah penyebab dirinya tidak fokus rapat. Tidak ingin memperlama di ruangan itu, Rafly juga buru-buru keluar setelah membereskan semuanya. *** Ethan tersenyum cerah seraya menatap ponselnya yang menampilkan sebuah dokumen tentang sosok yang dicari. Dia bergumam memuji kecepatan sang asisten dalam mencari data seseorang, tapi dia tidak akan mengucapkan langsung di depan orangnya, Ethan terlalu gengsi mengakuinya langsung. Dia membaca secara detail dan sedikit terkejut saat tahu usia gadis itu ternyata masih muda. "Sembilan belas tahun?" gumamnya terkejut. Namun, dia malah semakin yakin saat membaca selanjutnya di mana dia hanya tinggal bersama sang ayah yang seorang pengangguran. Dia tidak terkejut bagian itu karena Maudy sudah meracau sendiri saat mabuk malam itu. Setelahnya menjelaskan bagaimana peringai sang ayah kepada Maudy, sosok ayah yang kasar dan tidak segan main tangan. Entah dari mana Rafly mendapatkan hasil itu hingga beberapa bukti foto, meski Ethan juga sudah tahu sedikit dari Maudy langsung saat mabuk. Namun, dia tetap terkejut melihat foto-foto kekerasan anak langsung secara langsung. Tekadnya semakin yakin, meski bakal ada pertentangan dari dua istrinya. Namun, dia tidak ingin ambil pusing karena sedari awal pernikahan mereka terjalin juga hanya karena bisnis semata. Ethan juga belum memiliki rasa kepada dua wanita itu, karena dirinya juga tidak ingin berusaha lebih dekat dengan mereka. Dia hanya menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami saja, sebagimana yang menurutnya benar. *** Malam yang ditunggu, seharian ini Ethan yang memaksa Rafly untuk menemani mencari semua kebutuhan lamaran. Sekarang, keduanya sudah siap dengan setelan masing-masing dan mobil mewah meluncur membelah padatnya jalanan malam kota. Sesekali Rafly melirik ke arah belakang, di mana barang-barang lamaran menggunung dan pastinya mewah. "Khem." Rafly berdehem singkat. "Apa kedua istri Anda sudah tahu hal ini, Tuan?" Meski dengan formal, tapi nada bicaranya terlalu santai karena Rafly merasa sudah dekat dan teramat tahu bagaimana sang atasan. "Tidak, saya tidak ingin ada kekacauan," sahut Ethan. Bahkan, keputusan besarnya ini sama sekali tidak berpikir panjang. Dia hanya menuruti keinginan hatinya begitu saja saat melihat respon Maudy saat itu. Rafly tersenyum mencemooh yang langsung disambut tatapan dingin oleh Ethan. "Kasihan sekali gadis muda itu nanti harus menghadapi kemarahan dua wanita," sarkas Rafly tapi tak diacuhkan oleh Ethan. Rafly jelas mengetahui bagaimana sifat dua istri Ethan, apalagi istri tuanya. "Jangan coba-coba katakan di depan Maudy nanti!" peringat Ethan. Tentu saja, Rafly tidak ingin mengambil risiko. Dia tidak ingin kehilangan pekerjaannya, untuk urusan kemarahan dua istri Ethan bukanlah tanggung jawabnya. Mobil yang dikendarai Rafly berbelok ke pekarangan rumah sederhana, di depannya hanya ada sebuah motor matic keluaran lama. Keduanya segera turun, ada sebuah getaran di hati Ethan mengingat dirinya datang tanpa memberitahu sang tuan rumah. Rumah itu juga terlihat sepi dengan pintu yang terbuka sedikit. "Ayo buruan!" seru Ethan tidak ingin memperlama waktu. Dia tidak membawa barang-barangnya, hanya dirinya bersama Rafly dan cincin yang sudah disiapkan di dalam sakunya. Mereka berjalan mantap menuju rumah sederhana tapi terlihat rapi dari luar. "Kalau Anda ditolak bagaimana?" Rafly bersuara sebelum kaki mereka sampai di depan pintu. "Saya bukan menawarkan diri, tapi saya meminta langsung!" jawab Ethan angkuh membuat Rafly hanya bisa menggelengkan kepala sudah biasa. Sebelum mereka bersuara dan mengetuk pintu rumah, seorang pria paruh baya lebih dulu membukanya dari dalam. Mata mereka berpapasan, ada raut terkejut dari pria paruh baya tersebut mendapati dua pemuda di depannya. Namun, wajah garangnya sama sekali tidak menunjukkan kehangatan meski tahu kalau mereka mungkin akan bertamu ke rumahnya. "Permisi, Pak. Kami ada perlu sama Bapak dan putri Bapak!" ujar Rafly dengan sopan. Dia dengan kerelaan hatinya menjadi wali Ethan. "Ada perlu apa? Saya gak suka diganggu dengan hal yang tidak penting," balas pria itu dengan nada keras. Suaranya terdengar sampai kamar Maudy yang memang berada di samping pintu, tepatnya berhadapan dengan ruang tamu. Gadis itu segera keluar karena penasaran dengan siapa sang ayah berbicara keras seperti itu. Namun, langkahnya langsung terhenti saat matanya bertemu dan melihat siapa orang yang berhadapan dengan sang ayah. "Halo, Maudy. Sesuai perkataan saya saat itu, kalau saya akan menikahi kamu!" Tanpa basa-basi Ethan berujar begitu saja. Rafly di sampingnya ingin sekali menjitak sang atasan karena berujar tanpa pendahuluan atau akad bagaimana melamar seseorang. Sementara, Maudy dan sang ayah terkejut mendengar penuturan pria asing bagi mereka. Mata sang ayah yang bernama Jenkins itu melotot kepada sang putri menuntut penjelasan. Gadis itu menggeleng kuat, tiba-tiba ingatannya kembali berputar pada momen menyedihkan baginya. Tubuhnya kembali bergetar karena rasa takut dan tangis yang sudah keluar. "Saya senang kamu terharu dengan kejutan dari saya!" ujar Ethan tanpa tahu malu dan situasi. "Kejutan?" Jenkins kembali menatap tajam penuh pertanyaan ke arah Maudy yang malah menundukkan kepala."Ethan, buka pintunya!" Seruan keras disertai gedoran pintu di kamar utama milik Ethan terdengar nyaring. Sepasang pengantin baru itu sama-sama terlonjak kaget, saat suara penuh kekesalan itu terdengar. Karena belum ada dari mereka yang membuka atau merespon, suara itu terdengar lagi. Tubuh Maudy kembali bergetar ketakutan, sudah terbayang wajah kemarahan di balik pintu itu. Dirinya yang baru saja sedikit tenang, harus kembali menghadapi kemarahan dua istri Ethan. Sekarang yang bisa dia lakukan, duduk sambil menekuk lututnya di sudut ranjang dengan selimut yang menutupi sampai batas lehernya. Pergerakan demi pergerakan Maudy, sedari tadi diperhatikan oleh Ethan. Pria tiga istri itu menatap lekat Maudy yang menunduk sambil menutup mata tak lupa tangannya mencengkram erat ujung selimut. Sedangkan Ethan, duduk dengan tenang di sisi kasur yang lainnya. "Maudy, kemarilah!" pinta Ethan dengan suara rendah. "Tidak, aku mohon. Keluarlah sendiri, setelah itu langsung tutup pintunya," moh
"Apa-apaan kamu, Ethan? Bisa-bisanya kamu menikah lagi tanpa sepengetahuan kita!" bentak seorang wanita dengan terengah-engah. "Kita istri-istri kamu, Ethan. Sudah sepatutnya kamu membicarakan dulu dengan kita. Bukan asal mengambil keputusan, kamu benar-benar menyakiti perasaan kita!""Sophia, dari awal saya sudah pernah bilang kalau saya akan melakukan apapun yang saya mau. Kalian tidak berhak mengatur, meski kalian adalah istri-istri saya!" Ethan membalas dengan dingin, pria itu menatap keduanya seakan menegaskan kembali kalimatnya agar terus diingat.Maudy mendengarnya jelas, dia baru saja tersadar tapi tidak berniat membuka mata. Dirinya pun tidak tahu berada di mana, sekarang yang dia rasakan kalau dirinya tengah berbaring di atas sesuatu yang empuk. Mendengar dirinya menjadi istri ketiga, membuat kesadarannya terenggut hingga jatuh pingsan. Entah berapa lama dirinya tidak sadar, setelah kesadarannya pulih langsung mendengar sesuatu yang kembali membuatnya sesak.Air matanya tida
BAB 5: Istri ke 3"Kamu siap?" tanya Ethan menatap Maudy yang terlihat gelisah.Maudy menggeleng, tentu dirinya belum siap dan mungkin tidak akan pernah siap. Perjalanan hidupnya saat ini terasa terlalu lucu dan konyol. Menikah dengan pria asing karena insiden satu malam, tidak ada lamaran romantis dan perkenalan dua keluarga. Yang ada malah transaksi jual beli dirinya dari sang ayah yang langsung mematok uang dengan jumlah besar."Kenapa?" tanya Ethan lagi melihat sang istri mudanya menggelengkan kepala. Dalam hati Maudy mengutuk, bisa-bisanya pria yang sekarang berstatus menjadi suami malah bertanya kenapa. Harusnya pria itu tahu kalau dirinya tidak akan siap karena memang semuanya terlalu mendadak dan terpaksa. Parahnya, keluarga dari Ethan belum ada yang tahu. Lalu dirinya tiba-tiba datang berstatus istri dari seorang pria keluarga kaya.Perempuan itu menghela napas besar, membuat kerutan langsung muncul di dahi Ethan. "Aku gak siap dengan semuanya. Bisakah kita tidak usah member
Gaun putih dengan desain mewah tapi elegan melekat sempurna di tubuh Maudy. Wajah gadis itu juga sudah dipoles sempurna dan terlihat semakin cantik. Rambut yang biasanya dikuncir asal, sekarang disanggul indah dengan menyisakan beberapa helai di sisi kiri."Nona, kamu sangat cantik sekali!" puji sang penata rias setelah menyelesaikan semuanya.Mata Maudy menatap dirinya dalam pantulan cermin. Dirinya juga mengagumi sosoknya sekarang juga mengacungi jempol untuk sang perias karena keuletannya. Namun, wajahnya sama sekali tidak mengisyaratkan kebahagiaan, malah air mata kesedihan mulai menetes.Maudy masih tidak percaya kalau dia akan menikah di usianya yang terbilang masih muda. Menikah dengan pria asing, bahkan dirinya pun belum tahu nama pria tersebut apalagi sampai karakter dan kehidupannya. Paksaan dari sang ayah benar-benar tidak mampu membuatnya memiliki pilihan lain. Dia juga masih terus menyalahkan keteledorannya hingga berakhir bersama pria asing itu."Nona, aku tahu kalau per
BAB 3: Paksaan Di dalam ruang tamu yang sempit itu hanya terdengar isakan Maudy. Setelah ucapan asal Ethan, Rafly dengan cepat memperbaiki kalimat sang atasan dan meminta sang tuan rumah mempersilahkan mereka masuk untuk menjelaskan maksud kedatangan mereka. Sekarang, mereka tengah duduk di kursi kayu dengan bibir yang masih terkunci."Katakan cepat apa tujuan kalian ke sini, kenapa tiba-tiba ingin menikahi anak saya!" sentak Jenkins merasa kesal karena keduanya tidak ada yang bersuara sedari tadi. "Kamu bisa diam gak! Kenapa malah menangis? Cengeng banget jadi perempuan!" Sekarang pria paruh baya itu berganti menyermrot sang anak dengan wajah kesalnya.Ethan memperhatikannya, dalam hatinya mengatakan kalau Jenkins lebih seram aslinya ketimbang foto yang dia dapatkan dari Rafly. Lalu matanya mengarah kepada Maudy yang langsung diam ketakutan. Gadis itu terus menunduk sejak mereka duduk di ruang tamu, matanya seakan enggan untuk menatap Ethan kembali."Saya akan menikahi anak tuan Jen
Rafly merasa bosnya semakin gila, mengatakan akan melamar seorang gadis tapi tidak tahu tentang gadis tersebut. Parahnya, bosnya bukan seorang pria lajang, di rumahnya sudah ada dua wanita yang menemani hidupnya. Sekarang, pria itu kembali mengatakan ingin melamar seseorang lagi.Ethan yang tengah berbicara di rapatnya, matanya sesekali melirik Rafly yang terlihat penuh pikiran. Dia tahu kalau asistennya masih terpikirkan apa yang baru saja dia katakan sebelum pergi ke ruang rapat. Sedangkan, Rafly sama sekali tidak mendengarkan penjelasan rapat karena sibuk dengan pikirannya sendiri."Rafly, jangan lupa catatan rapat hari ini segera kasihkan ke saya dan manajer divisi masing-masing!" titah Ethan seketika membuat Rafly gelagapan.Semua pasang mata mengarah padanya, pria itu hanya meringis menampilkan giginya sembari mengangguk asal. Dia mengumpat karena keteledorannya, lebih memilih memikirkan ucapan atasan anehnya ketimbang fokus rapat di depannya. Seharusnya, dirinya tidak menggubri