Sepanjang hari Maudy terus menangis, meratapi nasibnya di atas kasur usang tanpa ada ranjang. Kehidupan menyedihkannya semakin mengenaskan setelah pagi tadi dia mendapati tidur di samping seorang pria, meski pria itu bersedia bertanggung jawab. Maudy tidak tahu apa yang terjadi sampai dirinya bisa tidur bersama pria tidak dikenalnya.
Dia mengingat kembali kejadian sebelum akhirnya terjebak bersama seorang pria asing. Dia memaksakan diri untuk minum karena pikirannya begitu kacau setelah pertengkaran dengan ayahnya yang pengangguran. Selanjutnya, dia harus tetap melakukan pekerjaannya sebagai seorang pelayan di club. Matanya terbelalak saat ingat bagaimana dia menumpahkan minuman ke baju pria itu, lalu kesadarannya semakin berkurang. Sedikit demi sedikit bayangan dia menempelkan tubuhnya lekat ke pria itu membuat kepalanya kembali pusing. Meski bingung antara mimpi atau nyata, Maudy sudah ketakutan duluan. Ditambah ucapan pria tadi yang mengatakan kalau dirinyalah yang menggoda terlebih dahulu. "Maudy, bodoh. Harusnya aku tidak meminum minuman haram itu," rutuknya kembali menangis. "Harusnya aku bisa menahan diri. Bukan malah ikutan minum dan berakhir kehilangan ...." Dia berteriak tanpa menyelesaikan kalimatnya. Perasaannya sesak saat tahu sesuatu yang dijaga rusak begitu saja karena kebodohannya sendiri. Meski di zaman sekarang, banyak gadis seusianya yang sudah kehilangan kehormatan malah dijadikan kebutuhan. Namun, tidak bagi Maudy karena dia hanya mempunyai kehormatan itu di hidupnya yang penuh kekurangan. "Tuhan, aku sudah tidak suci lagi. Maafkan aku ...," isaknya merasa penuh dosa. Namun, ada yang aneh dengan dirinya yang tidak merasakan apapun selayaknya hubungan pertama baginya. Dia juga terbangun dengan baju yang lengkap, baju yang sama saat dipakai untuk bekerja. Pikirannya melayang, apakah pria dewasa itu memperlakukannya dengan lembut hingga dia tidak merasakan sakit. "Atau kami tidak melakukan apa pun," gumamnya sedikit secercah harapan. Namun, kepalanya langsung menggeleng kuat. Mustahil seorang pria dan wanita dalam satu ruangan tidak melakukan apapun. Maudy juga ingat jelas bagaimana wajah pria itu. Meski terlihat lebih dewasa, tapi dia tidak memungkiri kalau pria itu terlihat begitu tampan. Garis wajahnya tegas dengan sorot tajam, belum lagi tubuhnya yang berotot tentu saja akan digilai banyak wanita. "Maudy, jangan bodoh lagi. Bisa-bisanya malah membayangkan pria asing itu," rutuk Maudy memukul pelan kepalanya. *** Di tempat lain, sebuah ruangan besar dan elegan, seorang pria duduk di kursi kebesarannya dengan tatapan mengarah pada ponsel yang dipegangnya. Menampilkan wajah seorang gadis yang tengah terlelap, sekarang dirinya merasa gila karena terus-terusan memikirkan dan terbayang gadis muda yang semalam tidur dengannya. Hanya tidur, tidak ada kegiatan apapun yang ditangisi gadis tersebut. Bibirnya tiba-tiba tertarik membentuk senyuman miring saat teringat bagaimana gadis itu menjerit seolah dirinya telah menodai. Awalnya, dirinya memang berniat 'meniduri' gadis itu yang terus menggoda dengan menempelkan tubuhnya. Namun, racauan demi racauan yang keluar dari bibir gadis itu mengurungkan niatnya. Padahal, dia sudah berhasrat sebagai seorang laki-laki normal. Dia memilih mendengarkan dan sedikit terusik mengetahui bagaimana hidup gadis itu. Dia berpikir kalau semua perempuan yang bekerja di club tentu saja sudah bukan seorang gadis lagi. Namun, cerita gadis itu membuat dirinya menebak kalau dia memang benar-benar masih gadis dan terbukti dengan reaksinya saat bangun tadi. "Tuan Ethan, Anda harus segera ke ruang rapat. Semuanya sudah menunggu kedatangan Anda!" tegur sang sekretaris yang datang kembali ke ruangan Ethan. Pria yang usianya tidak jauh dari Ethan itu mendengus kesal karena ini sudah ketiga kalinya dirinya memanggil sang pemimpin untuk ke ruang rapat. Wajah Ethan menatap datar, dia berdiri dengan raut tidak suka. Seharusnya, dia tidak mengadakan rapat hari ini. Namun, jadwal yang sudah dia buat tidak bisa dibatalkan begitu saja. Apalagi dia pemimpin utama di perusahaan yang harus profesional setiap pekerjaan yang dia lakukan untuk perusahaannya. Lagian, Ethan juga merasa aneh dengan dirinya saat ini. Dia sekarang merasa seperti seorang remaja yang tengah kasmaran padahal umurnya tidak muda lagi dan di rumah sudah ada dua wanita yang mendampinginya. Seharusnya, dia tidak memikirkan gadis itu dan sudah berangkat ke ruangan rapat sedari tadi. "Awas, gaji kamu saya potong karena berani mendengus di depan saya!" ujarnya kepada sang asisten yang semakin menampilkan wajah masam. "Oh ya, tolong revisi lagi jadwal saya. Kosongkan buat lusa dan dua Minggu ke depan!" Ethan kembali berbalik dan memberikan perintah kepada sang asisten, Rafly. "Satu lagi, tolong kamu cari tahu tentang gadis bernama Maudy. Kamu juga bantu saya siapkan buat lamaran lusa!" "Lamaran?" tanya Rafly dengan wajah bingung. Kata demi kata yang dia dengar seolah tidak masuk di kepalanya. Terlebih lagi, Ethan mengucapkan dengan santai seolah hanya menyuruh mencari nasi padang. "Iya, lusa saya ingin melamar Maudy. Kamu cari alamat lengkapnya dan tentang gadis itu!" balas Ethan kelewat santai. Mata Rafly membola mendengarnya. "Lamaran? Anda mau menikah lagi?" sahutnya dengan sedikit menaikkan nada. "Lalu, bagaimana dengan...." "Shut!" potong Ethan cepat sambil memberikan isyarat jari telunjuk di bibirnya."Ethan, buka pintunya!" Seruan keras disertai gedoran pintu di kamar utama milik Ethan terdengar nyaring. Sepasang pengantin baru itu sama-sama terlonjak kaget, saat suara penuh kekesalan itu terdengar. Karena belum ada dari mereka yang membuka atau merespon, suara itu terdengar lagi. Tubuh Maudy kembali bergetar ketakutan, sudah terbayang wajah kemarahan di balik pintu itu. Dirinya yang baru saja sedikit tenang, harus kembali menghadapi kemarahan dua istri Ethan. Sekarang yang bisa dia lakukan, duduk sambil menekuk lututnya di sudut ranjang dengan selimut yang menutupi sampai batas lehernya. Pergerakan demi pergerakan Maudy, sedari tadi diperhatikan oleh Ethan. Pria tiga istri itu menatap lekat Maudy yang menunduk sambil menutup mata tak lupa tangannya mencengkram erat ujung selimut. Sedangkan Ethan, duduk dengan tenang di sisi kasur yang lainnya. "Maudy, kemarilah!" pinta Ethan dengan suara rendah. "Tidak, aku mohon. Keluarlah sendiri, setelah itu langsung tutup pintunya," moh
"Apa-apaan kamu, Ethan? Bisa-bisanya kamu menikah lagi tanpa sepengetahuan kita!" bentak seorang wanita dengan terengah-engah. "Kita istri-istri kamu, Ethan. Sudah sepatutnya kamu membicarakan dulu dengan kita. Bukan asal mengambil keputusan, kamu benar-benar menyakiti perasaan kita!""Sophia, dari awal saya sudah pernah bilang kalau saya akan melakukan apapun yang saya mau. Kalian tidak berhak mengatur, meski kalian adalah istri-istri saya!" Ethan membalas dengan dingin, pria itu menatap keduanya seakan menegaskan kembali kalimatnya agar terus diingat.Maudy mendengarnya jelas, dia baru saja tersadar tapi tidak berniat membuka mata. Dirinya pun tidak tahu berada di mana, sekarang yang dia rasakan kalau dirinya tengah berbaring di atas sesuatu yang empuk. Mendengar dirinya menjadi istri ketiga, membuat kesadarannya terenggut hingga jatuh pingsan. Entah berapa lama dirinya tidak sadar, setelah kesadarannya pulih langsung mendengar sesuatu yang kembali membuatnya sesak.Air matanya tida
BAB 5: Istri ke 3"Kamu siap?" tanya Ethan menatap Maudy yang terlihat gelisah.Maudy menggeleng, tentu dirinya belum siap dan mungkin tidak akan pernah siap. Perjalanan hidupnya saat ini terasa terlalu lucu dan konyol. Menikah dengan pria asing karena insiden satu malam, tidak ada lamaran romantis dan perkenalan dua keluarga. Yang ada malah transaksi jual beli dirinya dari sang ayah yang langsung mematok uang dengan jumlah besar."Kenapa?" tanya Ethan lagi melihat sang istri mudanya menggelengkan kepala. Dalam hati Maudy mengutuk, bisa-bisanya pria yang sekarang berstatus menjadi suami malah bertanya kenapa. Harusnya pria itu tahu kalau dirinya tidak akan siap karena memang semuanya terlalu mendadak dan terpaksa. Parahnya, keluarga dari Ethan belum ada yang tahu. Lalu dirinya tiba-tiba datang berstatus istri dari seorang pria keluarga kaya.Perempuan itu menghela napas besar, membuat kerutan langsung muncul di dahi Ethan. "Aku gak siap dengan semuanya. Bisakah kita tidak usah member
Gaun putih dengan desain mewah tapi elegan melekat sempurna di tubuh Maudy. Wajah gadis itu juga sudah dipoles sempurna dan terlihat semakin cantik. Rambut yang biasanya dikuncir asal, sekarang disanggul indah dengan menyisakan beberapa helai di sisi kiri."Nona, kamu sangat cantik sekali!" puji sang penata rias setelah menyelesaikan semuanya.Mata Maudy menatap dirinya dalam pantulan cermin. Dirinya juga mengagumi sosoknya sekarang juga mengacungi jempol untuk sang perias karena keuletannya. Namun, wajahnya sama sekali tidak mengisyaratkan kebahagiaan, malah air mata kesedihan mulai menetes.Maudy masih tidak percaya kalau dia akan menikah di usianya yang terbilang masih muda. Menikah dengan pria asing, bahkan dirinya pun belum tahu nama pria tersebut apalagi sampai karakter dan kehidupannya. Paksaan dari sang ayah benar-benar tidak mampu membuatnya memiliki pilihan lain. Dia juga masih terus menyalahkan keteledorannya hingga berakhir bersama pria asing itu."Nona, aku tahu kalau per
BAB 3: Paksaan Di dalam ruang tamu yang sempit itu hanya terdengar isakan Maudy. Setelah ucapan asal Ethan, Rafly dengan cepat memperbaiki kalimat sang atasan dan meminta sang tuan rumah mempersilahkan mereka masuk untuk menjelaskan maksud kedatangan mereka. Sekarang, mereka tengah duduk di kursi kayu dengan bibir yang masih terkunci."Katakan cepat apa tujuan kalian ke sini, kenapa tiba-tiba ingin menikahi anak saya!" sentak Jenkins merasa kesal karena keduanya tidak ada yang bersuara sedari tadi. "Kamu bisa diam gak! Kenapa malah menangis? Cengeng banget jadi perempuan!" Sekarang pria paruh baya itu berganti menyermrot sang anak dengan wajah kesalnya.Ethan memperhatikannya, dalam hatinya mengatakan kalau Jenkins lebih seram aslinya ketimbang foto yang dia dapatkan dari Rafly. Lalu matanya mengarah kepada Maudy yang langsung diam ketakutan. Gadis itu terus menunduk sejak mereka duduk di ruang tamu, matanya seakan enggan untuk menatap Ethan kembali."Saya akan menikahi anak tuan Jen
Rafly merasa bosnya semakin gila, mengatakan akan melamar seorang gadis tapi tidak tahu tentang gadis tersebut. Parahnya, bosnya bukan seorang pria lajang, di rumahnya sudah ada dua wanita yang menemani hidupnya. Sekarang, pria itu kembali mengatakan ingin melamar seseorang lagi.Ethan yang tengah berbicara di rapatnya, matanya sesekali melirik Rafly yang terlihat penuh pikiran. Dia tahu kalau asistennya masih terpikirkan apa yang baru saja dia katakan sebelum pergi ke ruang rapat. Sedangkan, Rafly sama sekali tidak mendengarkan penjelasan rapat karena sibuk dengan pikirannya sendiri."Rafly, jangan lupa catatan rapat hari ini segera kasihkan ke saya dan manajer divisi masing-masing!" titah Ethan seketika membuat Rafly gelagapan.Semua pasang mata mengarah padanya, pria itu hanya meringis menampilkan giginya sembari mengangguk asal. Dia mengumpat karena keteledorannya, lebih memilih memikirkan ucapan atasan anehnya ketimbang fokus rapat di depannya. Seharusnya, dirinya tidak menggubri