Mag-log inDi rumah yang Kian tempati sekarang.
Kian hanya duduk dengan tatapan mengedar ke seluruh ruangan yang sekarang ditempatinya. Tidak banyak perabot di sana, tapi jelas kalau rumah itu termasuk mewah dengan desain interior yang cantik.
Sejak kepergian Arthur, Kian tidak berani masuk ke dalam rumah lebih dalam, apalagi masuk ke ruangan yang ada di sana.
“Kenapa dia lama sekali?” gumam Kian.
Sesekali Kian menoleh ke arah pintu utama berada, tapi dia tidak mendapati Arthur kembali.
Kian mengembuskan napas kasar, dia masih duduk menunggu sampai terdengar perutnya yang tiba-tiba berbunyi.
Mengusap lembut perutnya yang keroncongan, Kian akhirnya mengeluh, “Lapar.”
Kian menoleh ke dapur. Jika Arthur selama ini tinggal di rumah ini, pasti ada bahan makanan di dapur.
Bangkit dari duduknya, lalu melangkah kecil menuju dapur. Kian mencoba membuka lemari pendingin, tapi sayangnya tidak ada apa pun di sana.
Kening Kian berkerut dalam, sambil memandangi lemari pendingin yang kosong melompong, dia bergumam, “Apa dia benar-benar tinggal di sini? Kenapa bahkan air pun tidak ada di lemari pendingin?”
Kian menggeleng cepat, bisa saja Arthur pulang hanya untuk istirahat dan mandi, selebihnya sibuk menjadi sopir, jadi tidak pernah memperhatikan isi lemari pendingin.
Kian mencoba mencari bahan makanan di tempat lain. Tapi hasilnya nihil, tidak ada apa pun di dapur itu, sampai tatapan Kian tertuju ke lemari penyimpanan yang ada di atas pantry, dia memandangi cukup lama lemari itu.
“Mungkin disimpan di sana, coba aku lihat,” gumamnya.
Kian menarik kursi dari bawah meja, meletakkan kursi di depan meja pantry, lantas perlahan naik untuk melihat apakah ada bahan makanan di atas sana.
Saat menarik kedua pintu lemari secara bersamaan, Kian semakin melongo karena benar-benar tidak ada makanan di rumah.
“Dia bisa hidup tanpa makanan di rumah? Atau sebenarnya ekonominya juga tidak baik, jadi dia tidak bisa menyimpan stok makanan di rumah?”
Masih sambil berdiri di atas kursi, Kian melamunkan nasib Arthur. Sudah hidup susah, sekarang masih harus menghidupinya juga mengganti rugi mobil majikan yang tenggelam.
“Kasihan sekali dia,” gumam Kian.
“Sedang apa kamu?”
Kian sangat terkejut mendengar suara menginterupsi dari belakang punggungnya. Secara spontan Kian membalikkan tubuhnya untuk melihat siapa yang datang, membuatnya tidak hati-hati dan satu kakinya tak sengaja kehilangan pijakan.
“Akh!” teriak Kian karena mau terjatuh dari kursi.
Arthur sangat terkejut melihat Kian yang limbung dari atas kursi. Dengan sigap Arthur meletakkan makanan yang dibawanya ke meja, lantas kedua tangannya terulur ke arah Kian, tepat saat tubuh Kian terhempas dan masuk ke dalam pelukannya.
Kian sangat syok, jantungnya berdegup sangat cepat sampai tubuhnya gemetar. Bahkan dia masih tidak sadar jika sekarang berada dalam gendongan Arthur.
Arthur menatap Kian yang membeku dalam gendongannya. Dia mengerutkan kening, lalu mencoba bertanya, “Kamu baik-baik saja?”
Tidak ada jawaban dari Kian, membuat Arthur sedikit mengguncang tubuh Kian yang ada di gendongan sambil kembali bertanya, “Kamu baik-baik saja?”
“Hah? Apa?” Kian baru saja tersadar dari keterkejutannya. Dia menatap Arthur yang sedang memandangnya.
Sadar dengan posisinya sekarang, Kian buru-buru turun dari gendongan Arthur. Dia menyelipkan rambutnya berkali-kali ke belakang telinga karena kikuk dan salah tingkah dengan apa yang baru saja terjadi.
“Aku baik-baik saja,” ucap Kian cepat, “terima kasih sudah menolongku,” imbuhnya kemudian.
Arthur hanya menatap datar saat melihat Kian bicara sambil mengalihkan pandangan darinya. Dia kembali membalikkan badan ke arah meja, tanpa menatap Kian, Arthur berkata, “Apa yang kamu lakukan sampai harus naik kursi?”
Kian melipat bibir sejenak, setelahnya dia melangkah mendekat ke Arthur sambil menjawab, “Aku pikir ada bahan makanan di rumah, jadi tadi sempat berpikir untuk memasak. Tapi ternyata tidak ada apa-apa.”
Arthur menoleh sekilas ke arah Kian, tatapannya masih saja datar, sampai dia kembali memandang ke kantong plastik berisi makanan yang dibawanya.
“Aku sudah bawa makanan,” kata Arthur.
Kian mengangguk-angguk pelan. Dia berdiri di samping Arthur saat kedua tangannya terulur untuk membuka kantong yang dibawa Arthur.
Namun, sebelum mengeluarkan isi di dalam kantong, tatapan Kian lebih dulu tertuju ke logo yang menempel di pembungkus makanan di dalam kantong.
“Star Restaurant? Kamu beli makanan di restoran bintang lima?” tanya Kian sambil menatap curiga pada Arthur.
Halo semuanya, ini buku baru saya, di buku baru ini, semoga kalian semua suka dengan kisah Kian dan Arthur. Terima kasih
Meski ekspresi wajahnya sangat tenang, tapi Arthur sebenarnya sangat terkejut dengan pertanyaan Kian. Arthur memandang pembungkus makanan yang ada di meja, tetap tenang menghadapi pertanyaan Kian, Arthur membalas, “Ya, kebetulan majikanku baru saja pesan makanan. Dia tahu aku sudah menikah dan baru saja datang, jadi dia memberikan makanan itu untuk kita. Ya, begitulah.”Kian membentuk huruf O dengan bibir sambil mengangguk-angguk lagi.Tak bertanya lagi soal makanan itu, Kian segera mengambil tempat makan dari rak, mengeluarkan makanan dari dalam kantong, lantas menyajikannya di piring.“Wah, majikanmu benar-benar sangat baik. Bahkan makanan mewah seenak ini pun diberikan ke kamu dengan mudah,” ucap Kian tanpa menatap pada Arthur.Arthur masih dengan wajah datarnya, untung saja dia bisa membuat alasan. Kendrick yang menyiapkan makanan itu, sehingga Arthur asal membawanya saja.Kian menoleh pada Arthur setelah menyajikan makanan di piring. Memperhatikan Arthur yang masih berdiri diam,
Di rumah yang Kian tempati sekarang.Kian hanya duduk dengan tatapan mengedar ke seluruh ruangan yang sekarang ditempatinya. Tidak banyak perabot di sana, tapi jelas kalau rumah itu termasuk mewah dengan desain interior yang cantik.Sejak kepergian Arthur, Kian tidak berani masuk ke dalam rumah lebih dalam, apalagi masuk ke ruangan yang ada di sana. “Kenapa dia lama sekali?” gumam Kian.Sesekali Kian menoleh ke arah pintu utama berada, tapi dia tidak mendapati Arthur kembali.Kian mengembuskan napas kasar, dia masih duduk menunggu sampai terdengar perutnya yang tiba-tiba berbunyi.Mengusap lembut perutnya yang keroncongan, Kian akhirnya mengeluh, “Lapar.”Kian menoleh ke dapur. Jika Arthur selama ini tinggal di rumah ini, pasti ada bahan makanan di dapur.Bangkit dari duduknya, lalu melangkah kecil menuju dapur. Kian mencoba membuka lemari pendingin, tapi sayangnya tidak ada apa pun di sana.Kening Kian berkerut dalam, sambil memandangi lemari pendingin yang kosong melompong, dia ber
“Apa maksudmu?” Arron langsung bangkit dari duduknya. Sambil meremat pangkal tongkat yang dipegangnya, tatapan Arron tertuju ke surat nikah yang Arthur tunjukkan.“Kakek ingin aku menikah, kan? Sekarang kukabulkan, aku sudah menikah,” ucap Arthur dengan tenang.Sedangkan Oliver. Dia diam memandang surat nikah yang dipegang Arthur, tanpa sadar jemarinya saling meremat, ekspresi tak senang tersirat jelas di wajahnya.Arron mengetukkan ujung tongkat di lantai, dengan tatapan penuh amarah, Arron berkata, “Jangan sembarangan! Bagaimana bisa kamu menikah tanpa sepengetahuanku?”Suara Arron yang menggelegar, kembali menggema ketika dia berkata, “Gadis dari keluarga mana? Bagaimana pendidikannya dan bagaimana perilakunya? Kamu tidak bisa menikahi wanita sembarangan!”“Sudahlah, Kakek. Kakek ingin aku menikah, aku sudah menikah. Sekarang Kakek masih meributkan soal statusnya?” Arthur tersenyum tipis, lalu kembali berkata, “Yang terpenting aku menikah dan permintaan Kakek terpenuhi.”Setelah me
Setelah menghubungi seseorang. Arthur kembali melangkahkan kaki menghampiri Kian yang menunggunya.Mengulurkan ponsel milik Kian, Arthur berkata, “Sudah.”Kian mengambil ponselnya, memasukkan ke tas kecil miliknya, sebelum kembali menatap Arthur dan bertanya, “Bagaimana? Temanmu mau membantumu memberitahu majikanmu soal kondisimu?”Arthur menjawab pertanyaan Kian hanya dengan sebuah anggukan.Kian kini mengangguk-angguk.“Aku akan memposting rumahku untuk dijual. Kita pindah ke kota, pekerjaanmu juga di kota, kan?” tanya Kian.Walau tampak tegar, tapi sorot mata Kian menyembunyikan kepedihan dan juga rasa berat karena harus menjual rumah peninggalan kedua orang tuanya.Kembali ke rumah Kian.Kian mengemasi barang-barangnya, tidak ada yang berharga selain surat rumah dan pakaian-pakaian yang dimilikinya.Sedangkan Arthur, dia hanya duduk memperhatikan Kian yang sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas. Keningnya berkerut samar, dilihat sekilas, pakaian-pakaian Kian tidak ada yang bermerek
Begitu paman dan bibi Kian pergi. Gadis itu langsung menatap Arthur yang berdiri di sampingnya, dengan kedua tangan Arthur yang masuk ke kedua celana.Kemeja dan celana itu seharusnya dipakai Julian saat menikah nanti dengan Kian, tapi karena batal menikah dengan Julian, Kian akhirnya memberikan pakaian itu ke Arthur agar terlihat layak dan sopan saat prosesi pernikahan mereka tadi. Walau ukuran Julian ternyata lebih kecil dari Arthur.“Kamu tidak perlu menanggung utang-utang yang aku miliki. Kamu tidak perlu membayarnya, ingat pernikahan kita tidak seperti yang orang lain bayangkan,” kata Kian lalu menurunkan sedikit pandangannya dari Arthur. Meski bersikap tegar, dia juga sedang bingung karena sudah habis-habisan dan hanya memiliki sedikit sisa tabungan.“Aku tetap akan membayar utangmu.”Kalimat dari Arthur membuat Kian kembali menatap pada pria ini. Kening Kian berkerut samar, dia menatap Arthur yang begitu percaya diri..“Apa kamu punya uang? Apa kamu orang kaya?” tanya Kian bert
Kian membulatkan bola mata lebar, bahkan kini bibir mungilnya bergerak gagap. “Ap-apa?”Paman dan bibi Kian sangat syok, mata mereka melotot seperti ingin terlepas dari tempatnya.“Apa yang kamu katakan?” lirih Kian saat merasakan pundaknya diremas kuat.Arthur menoleh Kian, ekspresi wajahnya datar, tapi tatapan matanya mengartikan sesuatu.Kian meneguk ludah kasar. Tatapan mata Arthur seperti sedang mengintimidasinya, membuatnya tak berkutik dan panik.Mengalihkan tatapannya dari Kian ke kedua orang tua di hadapannya, Arthur masih memberikan tatapan datar saat dia berkata, “Aku mencintai Kian dan aku yang akan menikahinya.”Kian gelagapan mendengar ucapan Arthur, dia sampai menatap paman dan bibinya secara bergantian sebelum menatap pada Arthur lagi dengan tatapan panik.Namun, Arthur begitu tenang, satu tangannya masih merangkul erat pundak Kian, sedangkan tatapannya tetap tertuju pada paman dan bibi Kian.Meski terkejut dengan pengakuan pria muda di depannya ini, bibi Kian mencoba







