Pagi hingga sore berlalu tanpa banyak kata. Alia memilih diam dan sibuk bersih-bersih sekadarnya, menahan gelisah yang terus menggerogoti dadanya tentang hari ini. Darren yang sedang cuti pun tidak muncul dari ruang kerjanya. Tapi ketika malam datang, hawa di rumah itu terasa berubah. Langkah kaki Darren terdengar berat menuruni tangga dari ruang kerjanya.
“Naik,” ucapnya singkat, tanpa ekspresi.
Alia, yang sedang merapikan buku di rak ruang tamu, spontan menoleh. Jantungnya memompa lebih cepat saat mendengar perintah pria itu. Ia mengikutinya menaiki tangga tanpa bertanya. Tapi ketika Darren membuka sebuah pintu di sisi kanan lorong, Alia merasa aneh. Ini bukan kamar Darren, bukan juga kamarnya. Ia tidak pernah tahu ada ruangan ini di apartemen itu.
Pintu itu terbuka. Lampu dinyalakan. Alia menahan napas. Kamar itu terasa asing dan mencekam. Tampak sangat bersih dan steril dengan sprei putih, dinding abu-abu, dan tirai tebal tanpa motif. Tidak ada aroma tubuh, tidak ada sentuhan manusia. Seperti kamar yang tidak pernah ditempati. Di sudut, berdiri sebuah lemari kaca, berisi pakaian tidur satin, benda-benda aneh yang tidak ingin ia namai, dan sebuah kotak dengan lingerie merah menyala di dalamnya, yang Darren pernah berikan sebelum pernikahan mereka.
“Masuk,” perintah Darren datar.
Alia tetap berdiri di ambang pintu. Jantungnya berdegup sangat kencang.
“Kamar ini… untuk apa?” tanyanya pelan.
“Untuk menjalankan kewajiban dalam kontrak,” jawab Darren, tanpa menoleh.
"Kau ingin kita... di sini?" tanya Alia lagi, mencoba memahami.
“Tempat ini tidak akan mengganggu ruang pribadi masing-masing,” sahut Darren, kini mulai melepas jam tangannya.
Alia melangkah masuk. Suara pintu ditutup membuat bahunya menegang seketika. Di kepalanya, bayangan liar mulai muncul, bayangan tentang lelaki yang berubah menjadi monster di malam pertama.
“Inilah akhir hidupmu, Alia.” bisiknya lirih.
Darren berjalan ke arah tempat tidur, tapi tetap menjaga jarak. Mulai melepas bajunya satu per satu.
“Pakailah yang ada di dalam kotak itu, kau tidak bisa mengelak lagi,” perintahnya.
Alia mematung. Darren memandangnya sejenak lalu tersenyum tipis, lebih mirip ejekan daripada keramahan.
“Kau tidak perlu berpura-pura polos. Wanita sepertimu, yang menikah demi uang, pasti sudah tahu caranya memuaskan pria, bukan?” Ucapan itu seperti tamparan keras. Tapi Alia tak bergeming. Ia mengangkat wajahnya, matanya bergetar.
“Aku… aku belum pernah melakukannya, Tuan,” katanya pelan.
Langkah Darren terhenti. Matanya menyipit.
“Apa?”
Sekilas, ekspresinya berubah, tapi hanya sesaaat.
“Kau berharap aku percaya itu?”
“Terserah Tuan,” jawab Alia.
Sunyi menyelimuti beberapa detik. Lalu dengan suara lirih, nyaris tak terdengar, Alia berkata, “Sebelum itu… bolehkah kita membaca doa dahulu?”
Kening Darren mengerut.
“Doa?”
“Ya. Kita kan muslim. Setidaknya, aku ingin mengingat Tuhan sebelum... melakukan ini.”
Darren tak menjawab, tapi juga tak mencegah. Ia hanya diam, berdiri tegak, melihat ke arah jendela sambil sesekali melihat ke arah Alia.
Alia menunduk. Jemarinya gemetar. Bibirnya bergerak pelan. Sebait doa ia panjatkan dalam hati, berharap walaupun pernikahan ini cumin sementara tetapi Tuhan tetap melindunginya dan malam ini berlalu dengan cepat.
“Sudah?” tanya Darren, suaranya terdengar sedikit ragu.
“Sudah.”
Darren mulai mendekat. Alia menahan napas, meremas jemarinya sendiri. Tubuhnya kaku, wajahnya pucat.
“Kau tahu harus mulai dari mana?” tanya Darren.
Alia menoleh bingung. “Maksudnya?”
“Sudahlah, berhenti berbohong. Setidaknya dari hasil pemeriksaan, kau bebas dari penyakit. Jadi aku aman.”
Lalu Darren melakukannya dengan dingin. Alia menggigit bibirnya. Rasanya seperti tubuhnya pecah dari dalam. Tangannya mencengkeram seprai. Nafasnya tak beraturan, terputus-putus, dan meski ia menahan sebisa mungkin, air mata itu tetap jatuh.
“Sakit…” gumamnya samar. Ia tidak ingin menarik simpati apapun dari Darren.Tapi rasa sakit itu tidak bisa dibohongi.
Darren memperlambat gerakannya. Entah kenapa. Sekilas, ia melihat noda merah samar di sprei. Tubuhnya membeku sepersekian detik.
Ternyata, wanita ini, tidak berbohong, batinnya
Tapi tidak ada kata maaf. Tidak ada reaksi berarti dari Darren. Hanya satu tatapan kosong, sebelum ia memalingkan wajah. Ia menyelesaikan apa yang dimulai.
Beberapa menit kemudian, Darren bangkit. Ia memakai celananya, lalu berdiri di sisi ranjang. Di tangannya, sebuah botol dilempar ringan ke arah Alia. Alia terlonjak kecil. Ia menangkap botol itu dengan tangan gemetar
“Apa ini?” tanyanya pelan.
“Minumlah, aku tidak ingin ada yang tersisa dariku di tubuhmu.” Darren bersandar ke dinding, menyalakan rokok. Tatapannya datar, seolah tidak ada yang terjadi.
Alia duduk pelan. Menutupi tubuhnya yang pucat dengan selimut. Matanya mulai sembab. “Kenapa harus ada pasal itu?” gumamnya.
Darren tidak menjawab. Alia mengangkat wajah, tatapannya kabur dengan air mata.
“Pasal tentang…. hubungan suami-istri ini. Bukankah pernikahan ini hanya untuk menutupi skandal Tuan? Tuan bisa saja menikahiku... tanpa harus…. menyentuhku. Atau memilih wanita lain untuk melakukan semua ini.”
Mata Darren menyipit. “Kenapa? Kau Menyesal?”
Alia mengepalkan tangan.
“Tuan hanya perlu istri untuk menyelesaikan masalahmu. Tapi kenapa Anda menginginkan tubuhku juga?”
Darren mendengus.
“Karena saya tidak suka rugi. Saya sudah membayar sangat mahal untuk drama pernikahan ini. Masa iya, tidak dapat bonus?”
“Bonus?” suara Alia bergetar.
Alia menatap lelaki itu. Ia ingin marah, tapi tubuhnya masih terlalu lelah dan lemah. Hatinya hancur.
Darren mematikan rokok, mengambil kemejanya. Ia bahkan tidak melihat ke arah Alia yang masih duduk diam di pinggir ranjang.
"Kau bebas kembali ke kamarmu," ucapnya.
Alia menggigit bibir. Ada yang terasa mengganjal di dadanya.
"Hanya itu?" tanyanya lirih
Darren menghentikan gerakannya sejenak. Tapi ia tidak menoleh.
"Apa lagi yang kau harapkan? Jangan terlalu sentimental, good girl. Kau yang setuju, kan? Kau menandatangani kontrak itu dengan sadar.”
Alia tidak menjawab. Lalu, sebelum ia pergi, Darren berkata, “Mulai besok, aku tak mau ulangi perintahku. Saat aku menginginkanmu, kau harus ke sini. Karena aku suamimu.”
Tangannya menyentuh rambut Alia sebentar, bukan sebagai belaian, tapi seolah sedang menandai miliknya. Lalu ia melangkah pergi. Pintu ditutup rapat.
Alia membungkuk. Memeluk lututnya. Dingin menyelimuti tubuh yang belum sepenuhnya pulih. Tangisnya pecah malam itu.
“Dia bilang tidak menganggap pernikahan ini sungguhan… tapi kenapa dia ingin membuatnya terasa nyata hanya lewat tubuhku? Kenapa dia memperlakukan aku seperti ini? Aku cuma objek pelampiasan nafsunya yang dia pikir bisa dihancurkan seenaknya. Apa salahku kepadanya?.”
Ia melihat bercak merah samar di seprai.
“Aku sudah menjaga ini seumur hidupku… Tapi malam ini, semuanya lenyap. Bukan karena cinta. Tapi karena kontrak gila yang dibuat oleh lelaki yang tidak punya hati. Dan yang paling menyakitkan. Dia adalah suamiku untuk sekarang.” Ia mengacak-ngacak rambutnya putus asa.
“Tapi malam ini juga, aku bersumpah jika suatu hari dia merasakan sakit… biarlah itu datang dariku. Bukan karena aku dendam. Tapi karena dia pantas tahu apa rasanya dilukai tanpa sebab.” lanjutnya dalam isak tangis. Ia tertidur dalam perasaan hancur sampai fajar menyingsing.
Pagi hingga sore berlalu tanpa banyak kata. Alia memilih diam dan sibuk bersih-bersih sekadarnya, menahan gelisah yang terus menggerogoti dadanya tentang hari ini. Darren yang sedang cuti pun tidak muncul dari ruang kerjanya. Tapi ketika malam datang, hawa di rumah itu terasa berubah. Langkah kaki Darren terdengar berat menuruni tangga dari ruang kerjanya.“Naik,” ucapnya singkat, tanpa ekspresi.Alia, yang sedang merapikan buku di rak ruang tamu, spontan menoleh. Jantungnya memompa lebih cepat saat mendengar perintah pria itu. Ia mengikutinya menaiki tangga tanpa bertanya. Tapi ketika Darren membuka sebuah pintu di sisi kanan lorong, Alia merasa aneh. Ini bukan kamar Darren, bukan juga kamarnya. Ia tidak pernah tahu ada ruangan ini di apartemen itu.Pintu itu terbuka. Lampu dinyalakan. Alia menahan napas. Kamar itu terasa asing dan mencekam. Tampak sangat bersih dan steril dengan sprei putih, dinding abu-abu, dan tirai tebal tanpa motif. Tidak ada aroma tubuh, tidak ada sentuhan manus
Tangannya meremas ujung bantal sebelum membantingnya ke tengah tempat tidur. Tak puas, ia bangkit, meremas kontrak iitu dan melemparnya ke sudut kamar."Apa-apaan hidupku sekarang..." gumamnya lirih.Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menahan perasaan sesak yang tiba-tiba menyerauk. Marah, kesal, kecawa, dan putus asa melebur menjadi satu. Bahkan tangis pun sudah malas mampir. Ia akhirnya memilih bangkit, membuka laptop, dan mulai mengerjakan pesanan design dari para pelanggan.Setidaknya pekerjaan bisa mengalihkan sedikit pikirannya.Baru beberapa saat kursor mengotak-ngatik design itu, gelap menyergap.Suara petir menyambar dari luar, diikuti suara hujan badai. Semua lampu padam."Bisa-bisanya apartemen semegah ini mati listrik? Oh No, dan hanya aku dan dia di rumah ini sekarang,” keluhnya panik.Ia meraba-raba kasur, mencari ponsel, tapi tak juga menemukannya. Sejak kecil, Alia sangat takut dalam gelap.Dengan langkah gugup, ia membuka pintu kamar dan melangkah keluar
Ketukan pintu terdengar samar di antara keheningan pagi.“Miss, ayo bangun. Pernikahan akan diadakan pagi ini. Gaun dan riasan sudah siap. Kita harus sampai di hotel 1 jam lagi.”Naomi sibuk menyibak tirai jendela besar kamar itu, membiarkan cahaya pagi Tokyo masuk. Suaranya tegas, penuh tekanan, namun tetap terdengar profesional. Ia sambil menunjuk pada dua staf yang membawa beberapa kotak berisi makeup dan gaun berlapis-lapis.“Menikah pagi ini?” Alia membelalak.Ia segera duduk dan melangkah keluar kamar, melewati lorong hotel yang kini penuh dengan lalu-lalang orang-orang berpakaian formal.“Apa yang pria itu inginkan dariku? Bukannya tadi malam dia tak ingin adanya pernikahan secara resmi?”Alia menarik napas panjang, menghampiri Naomi yang tampak sibuk mengurus gaun yang akan Alia pakai.“ Naomi, aku ingin bicara dengan Tuan Darren. Please, hanya sebentar saja.”Naomi melirik jam tangannya, “Maaf, Miss. Saat ini tidak mungkin, Tuan Darren sedang bersiap dan tidak bisa diganggu se
Alia menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Suara ibunya segera terdengar begitu telepon diangkat.“Alia? Pesan tadi, apakah benar kamu yang kirim, Nak? Apakah kamu baik-baik saja?” suara ibunya terdengar sangat khawatir.Alia menghela napas panjang lalu mencoba berbicara sekuat tenaga. “Iya, Bu. Alia minta maaf udah bohongin Ibu. Tapi, Alia mohon izin dan restu Ibu pernikahan ini.”Suara hening sesaat. Lalu suara ibunya kembali terdengar dengan nada lebih tajam dan kecewa.“ Kenapa mendadak begini? Apa yang sebenarnya terjadi, Nak?.”“ Alia nggak bisa cerita semuanya, Bu. Tapi Alia janji akan baik-baik saja.““ Kalau kamu tetap ingin menikah. Lakukanlah dengan cara yang benar. Jangan buang martabatmu hanya karena putus asa,” sambung Ibu dengan suara pelan namun tegas.“Baik Bu..” Suaranya tercekat, dan hanya terdengar isak yang tertahan. Alia terpaksa untuk tidak jujur tentang kontrak ini, ia tak bisa menyakiti ibunya lebih jauh.Tak lama setelah itu, Alia mengetik dengan jari
Alia berdiri kaku di depan Menara Saphir, gedung pencakar langit yang menjulang tinggi menembus langit Tokyo. Cuaca yang dingin membuat tangannya semakin menggigil. Napasnya tersengal, bukan karena lelah berjalan, tetapi karena kecemasan yang menghantuinya.Lantai 58 Menara Saphir, ruangan pertemuan yang tampak megah namun terasa begitu menyeramkan. Alia berdiri di hadapan Darren yang sedari tadi tampak duduk menunggu di ruang kerjanya. Jarak mereka yang semakin dekat membuat jantung Alia terasa ingin meledak. Tanpa basa-basi, Darren menyodorkan map berwarna hitam dengan logo perusahaan di pojoknya."Ini kontraknya. Bacalah. Pastikan kau mengerti semua pasalnya.""Tapi Tuan, kenapa aku yang terpilih? Apakah Anda yakin?" Alia bertanya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam ketegangan ruang itu.Darren hanya menatapnya datar. "Saya tidak akan repot-repot memanggil seseorang ke sini kalau saya belum yakin."Alia merasa sangat kaget dan tanpa bertanya membuka map itu dengan tangan sediki
“Kakak yakin ini bukan penipuan ?” suara Amira nyaris tenggelam oleh suara kendaraan di jalan. Seragam SMAnya yang lusuh, tapi rapi. Matanya sembab.Alia mengangguk pelan menatap adiknya yang masih berdiri di depan pintu. “Kamu nggak perlu khawatir adek, kalau iya, aku bakal segera pulang. Tapi kalau nggak aku coba sekarang, kesempatan ini mungkin nggak bakal datang lagi. Mungkin aku bakal menyesal seumur hidup.”Ibunya memeluk Alia erat, mencoba menyimpan semua kecemasannya dalam dada. “Jaga diri Nak, jangan gampang percaya orang apalagi jauh di negara orang… Sholat jangan tinggal, ya, Nak.”Alia hanya bisa mengangguk. Dalam pelukan ibunya, aroma sabun cuci dan masakan rumah membuat dadanya sesak dan penuh rasa bersalah. Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Ia tidak akan bekerja di perusahaan biasa. Ia telah menandatangani kontrak untuk sesuatu yang jauh lebih misterius , sesuatu yang tentu akan melukai hati Ibu dan Adiknya.Darren Khalid, nama itu terus bergema tanpa henti di ke