Tangannya meremas ujung bantal sebelum membantingnya ke tengah tempat tidur. Tak puas, ia bangkit, meremas kontrak iitu dan melemparnya ke sudut kamar.
"Apa-apaan hidupku sekarang..." gumamnya lirih.
Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menahan perasaan sesak yang tiba-tiba menyerauk. Marah, kesal, kecawa, dan putus asa melebur menjadi satu. Bahkan tangis pun sudah malas mampir. Ia akhirnya memilih bangkit, membuka laptop, dan mulai mengerjakan pesanan design dari para pelanggan.Setidaknya pekerjaan bisa mengalihkan sedikit pikirannya.
Baru beberapa saat kursor mengotak-ngatik design itu, gelap menyergap.
Suara petir menyambar dari luar, diikuti suara hujan badai. Semua lampu padam.
"Bisa-bisanya apartemen semegah ini mati listrik? Oh No, dan hanya aku dan dia di rumah ini sekarang,” keluhnya panik.
Ia meraba-raba kasur, mencari ponsel, tapi tak juga menemukannya. Sejak kecil, Alia sangat takut dalam gelap.
Dengan langkah gugup, ia membuka pintu kamar dan melangkah keluar.
Bruk! Tubuhnya menabrak seseorang. Alia kaget dan bertertiak ketakutan.
“Saya,” suara berat dan datar terdengar dekat.
"Jangan teriak," Darren menambahkan.
Alia bisa merasakan bahunya disentuh. Sentuhan ringan, sekedar memastikan keberadanya. Lalu Darren menarik lengan Alia sedikit kasar, lalu melepasnya begitu mereka sampai di ruang tengah.
Alia memeluk erat kembali lengan Darren saat petir kembali menyambar.
“Lepaskan. Jangan coba-coba menggoda saya.” ketus Darren.
“Maaf, Tuan. Aku… sangat takut,” ucapnya pelan
Mereka akhirnya tiba di ruang tengah. Darren meletakkan ponselnya di atas meja sebagai sumber cahaya satu-satunya. Mereka duduk di sofa yang berbeda sisi.
Alia menarik napas, mencoba tenang. Darren tetap diam, menatap ke depan. Tegak lurus dan kaku seperti tiang lampu.
“Kenapa bisa mati lampu di apartemen semewah ini, Tuan?” tanya Alia pelan.
“Kau saja tidak baca peringatan. Saat badai, listrik pusat bisa terganggu. Backup power hanya untuk lift dan tangga darurat,” jelas Darren dingin.
Keheningan membentang panjang. Alia membenamkan diri dalam bantal yang ada di sisi sofa..
"Tuan, terkait pasal-pasal yang ada di kontrak, Anda, serius soal penalti itu?" Alia akhirnya bertanya, pelan dan hati-hati.
"Saya serius pada semua hal," jawab Darren, tetap menatap ke depan.
Alia menatap pantulan cahaya di meja. Ragu-ragu, ia bertanya lagi,
"Termasuk soal... menikahiku?"
Hening. Lalu Darren menjawab, dingin, "Pertanyaan bodoh. Itu sudah jelas adalah kontrak."
Alia menggigit bibirnya lalu mengangguk pelan.
Darren akhirnya berdiri, hendak kembali ke kamar. Namun saat ia melangkah ke arah koridor, dari belakang terdengar suara “bruakkk” lagi.
Ia menoleh cepat. Alia terduduk di lantai.
Ternyata gadis itu sempat bangkit dari sofa, tapi tersandung ujung karpet tebal.
“Aduh… aduh… lututku…” ringis Alia.
Darren hanya berdiri menatapnya lima detik. “Stupid girl. Sudah tahu gelap, tidak bisa diam saja? Kalau kau terluka, saya bisa jadi tersangka malam ini,”
“Maaf… Aku nggak sengaja, kesandung.”
Alia berusaha bangkit dengan tertatih. Darren tidak membantunya.
“Bisa jalan?”
Alia mencoba langkah kecil. “Kayaknya bisa.”
Beberapa menit berlalu. Mereka duduk tanpa suara. Darren akhirnya berdiri, kembali ke kamarnya namun langkahnya terhenti sejenak saat melihat Alia mulai setengah terlelap, dalam posisi meringkuk di sofa.
Ia berjalan ke rak lemari kecil di pojok ruangan, menarik satu selimut cadangan, lalu meletakkannya di ujung kaki Alia tanpa ekspresi, tanpa menyentuhnya lebih.
“Jangan sampai kau mati kedinginan. Bermimpi indahlah malam ini,” Darren tersenyum sinis dan pergi.
Alia terbangun karena sentuhan hangat selimut itu. Matanya yang kembali terbuka menatap punggung Darren yang menjauh. "Terimakasih," gumamnya pelan, hampir tidak terdengar.
Beberapa saat setelah Darren masuk kamar, Alia masih duduk dalam diam. Lampu belum juga menyala, dan hanya cahaya remang dari ponsel Darren di meja yang menyinari ruang tengah itu.
Suasana sepi membuat telinganya lebih peka. Ia bisa mendengar detak jam dinding dan suara hujan yang mulai reda. Pikirannya berkelana jauh. Tentang rumah, tentang masa lalunya, dan tentang keputusannya menerima kontrak gila ini. Ia mengira akan mampu menjalani semua dengan tenang, tapi kenyataan berbicara lain.
"Aku hanya ingin Ibu dan Adikku bahagia," bisiknya lirih.
Ia menarik selimut yang tadi diletakkan Darren dan membungkus tubuhnya.
“Kenapa aku harus serumah dengan pria aneh yang tak bisa sedikit saja bersikap manusiawi?” pikirnya getir.
Tapi tatapan Darren sebelum masuk kamar tadi terlintas di benaknya. Pandangan yang tajam, tapi... tidak sepenuhnya dingin.
Mungkin ada sesuatu di balik sikap dingin itu. Ia menggeleng pelan, “Jangan sesekali berpikir positif tentang dia, Alia. Dia adalah manusia yang paling berbahaya saat ini.”
Tubuhnya berbaring menyamping, melepaskan kepenatan hari ini. Kepalanya bersandar pada bantal kecil di sisi sofa.
“Malam ini akan berlalu cepat. Itu artinya, aku selangkah lebih dekat pada pelaksanaan kontrak gila itu.”
Dengan pikiran itu, ia memejamkan matanya pasrah.
Pagi hingga sore berlalu tanpa banyak kata. Alia memilih diam dan sibuk bersih-bersih sekadarnya, menahan gelisah yang terus menggerogoti dadanya tentang hari ini. Darren yang sedang cuti pun tidak muncul dari ruang kerjanya. Tapi ketika malam datang, hawa di rumah itu terasa berubah. Langkah kaki Darren terdengar berat menuruni tangga dari ruang kerjanya.“Naik,” ucapnya singkat, tanpa ekspresi.Alia, yang sedang merapikan buku di rak ruang tamu, spontan menoleh. Jantungnya memompa lebih cepat saat mendengar perintah pria itu. Ia mengikutinya menaiki tangga tanpa bertanya. Tapi ketika Darren membuka sebuah pintu di sisi kanan lorong, Alia merasa aneh. Ini bukan kamar Darren, bukan juga kamarnya. Ia tidak pernah tahu ada ruangan ini di apartemen itu.Pintu itu terbuka. Lampu dinyalakan. Alia menahan napas. Kamar itu terasa asing dan mencekam. Tampak sangat bersih dan steril dengan sprei putih, dinding abu-abu, dan tirai tebal tanpa motif. Tidak ada aroma tubuh, tidak ada sentuhan manus
Tangannya meremas ujung bantal sebelum membantingnya ke tengah tempat tidur. Tak puas, ia bangkit, meremas kontrak iitu dan melemparnya ke sudut kamar."Apa-apaan hidupku sekarang..." gumamnya lirih.Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menahan perasaan sesak yang tiba-tiba menyerauk. Marah, kesal, kecawa, dan putus asa melebur menjadi satu. Bahkan tangis pun sudah malas mampir. Ia akhirnya memilih bangkit, membuka laptop, dan mulai mengerjakan pesanan design dari para pelanggan.Setidaknya pekerjaan bisa mengalihkan sedikit pikirannya.Baru beberapa saat kursor mengotak-ngatik design itu, gelap menyergap.Suara petir menyambar dari luar, diikuti suara hujan badai. Semua lampu padam."Bisa-bisanya apartemen semegah ini mati listrik? Oh No, dan hanya aku dan dia di rumah ini sekarang,” keluhnya panik.Ia meraba-raba kasur, mencari ponsel, tapi tak juga menemukannya. Sejak kecil, Alia sangat takut dalam gelap.Dengan langkah gugup, ia membuka pintu kamar dan melangkah keluar
Ketukan pintu terdengar samar di antara keheningan pagi.“Miss, ayo bangun. Pernikahan akan diadakan pagi ini. Gaun dan riasan sudah siap. Kita harus sampai di hotel 1 jam lagi.”Naomi sibuk menyibak tirai jendela besar kamar itu, membiarkan cahaya pagi Tokyo masuk. Suaranya tegas, penuh tekanan, namun tetap terdengar profesional. Ia sambil menunjuk pada dua staf yang membawa beberapa kotak berisi makeup dan gaun berlapis-lapis.“Menikah pagi ini?” Alia membelalak.Ia segera duduk dan melangkah keluar kamar, melewati lorong hotel yang kini penuh dengan lalu-lalang orang-orang berpakaian formal.“Apa yang pria itu inginkan dariku? Bukannya tadi malam dia tak ingin adanya pernikahan secara resmi?”Alia menarik napas panjang, menghampiri Naomi yang tampak sibuk mengurus gaun yang akan Alia pakai.“ Naomi, aku ingin bicara dengan Tuan Darren. Please, hanya sebentar saja.”Naomi melirik jam tangannya, “Maaf, Miss. Saat ini tidak mungkin, Tuan Darren sedang bersiap dan tidak bisa diganggu se
Alia menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Suara ibunya segera terdengar begitu telepon diangkat.“Alia? Pesan tadi, apakah benar kamu yang kirim, Nak? Apakah kamu baik-baik saja?” suara ibunya terdengar sangat khawatir.Alia menghela napas panjang lalu mencoba berbicara sekuat tenaga. “Iya, Bu. Alia minta maaf udah bohongin Ibu. Tapi, Alia mohon izin dan restu Ibu pernikahan ini.”Suara hening sesaat. Lalu suara ibunya kembali terdengar dengan nada lebih tajam dan kecewa.“ Kenapa mendadak begini? Apa yang sebenarnya terjadi, Nak?.”“ Alia nggak bisa cerita semuanya, Bu. Tapi Alia janji akan baik-baik saja.““ Kalau kamu tetap ingin menikah. Lakukanlah dengan cara yang benar. Jangan buang martabatmu hanya karena putus asa,” sambung Ibu dengan suara pelan namun tegas.“Baik Bu..” Suaranya tercekat, dan hanya terdengar isak yang tertahan. Alia terpaksa untuk tidak jujur tentang kontrak ini, ia tak bisa menyakiti ibunya lebih jauh.Tak lama setelah itu, Alia mengetik dengan jari
Alia berdiri kaku di depan Menara Saphir, gedung pencakar langit yang menjulang tinggi menembus langit Tokyo. Cuaca yang dingin membuat tangannya semakin menggigil. Napasnya tersengal, bukan karena lelah berjalan, tetapi karena kecemasan yang menghantuinya.Lantai 58 Menara Saphir, ruangan pertemuan yang tampak megah namun terasa begitu menyeramkan. Alia berdiri di hadapan Darren yang sedari tadi tampak duduk menunggu di ruang kerjanya. Jarak mereka yang semakin dekat membuat jantung Alia terasa ingin meledak. Tanpa basa-basi, Darren menyodorkan map berwarna hitam dengan logo perusahaan di pojoknya."Ini kontraknya. Bacalah. Pastikan kau mengerti semua pasalnya.""Tapi Tuan, kenapa aku yang terpilih? Apakah Anda yakin?" Alia bertanya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam ketegangan ruang itu.Darren hanya menatapnya datar. "Saya tidak akan repot-repot memanggil seseorang ke sini kalau saya belum yakin."Alia merasa sangat kaget dan tanpa bertanya membuka map itu dengan tangan sediki
“Kakak yakin ini bukan penipuan ?” suara Amira nyaris tenggelam oleh suara kendaraan di jalan. Seragam SMAnya yang lusuh, tapi rapi. Matanya sembab.Alia mengangguk pelan menatap adiknya yang masih berdiri di depan pintu. “Kamu nggak perlu khawatir adek, kalau iya, aku bakal segera pulang. Tapi kalau nggak aku coba sekarang, kesempatan ini mungkin nggak bakal datang lagi. Mungkin aku bakal menyesal seumur hidup.”Ibunya memeluk Alia erat, mencoba menyimpan semua kecemasannya dalam dada. “Jaga diri Nak, jangan gampang percaya orang apalagi jauh di negara orang… Sholat jangan tinggal, ya, Nak.”Alia hanya bisa mengangguk. Dalam pelukan ibunya, aroma sabun cuci dan masakan rumah membuat dadanya sesak dan penuh rasa bersalah. Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Ia tidak akan bekerja di perusahaan biasa. Ia telah menandatangani kontrak untuk sesuatu yang jauh lebih misterius , sesuatu yang tentu akan melukai hati Ibu dan Adiknya.Darren Khalid, nama itu terus bergema tanpa henti di ke
"Maaf, Nona Alia..." Suara berat petugas bank itu terdengar seperti vonis hukuman mati. "Kami sudah memberi perpanjangan waktu lebih dari tiga bulan. Sesuai prosedur, jika pembayaran terakhir tetap tidak dipenuhi dalam tujuh hari, properti akan kami sita."Alia menunduk, jari-jarinya gemetar mencengkram ujung tas lusuhnya. "T-tapi... ini rumah satu-satunya, Pak. Tidak bisakah ada cara lain? Saya mohon..."Petugas itu menatapnya dengan raut simpatik, tapi suaranya tetap dingin. "Saya mengerti. Tapi aturannya sudah jelas. Anda bisa mengajukan pinjaman baru, tapi dengan jaminan tambahan. Atau segera melunasi tunggakan." Tambahan jaminan? Apa lagi yang bisa ia jaminkan selain rumah yang hampir runtuh itu? Tabungannya sudah terkuras untuk biaya berobat ibu. Sekolah adiknya, Amara, juga masih menunggak."Baik..." Alia berbisik, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada petugas bank. Dengan langkah goyah, ia berjalan keluar kantor itu. Hujan gerimis menyambutnya di luar, seakan ikut