Ketukan pintu terdengar samar di antara keheningan pagi.
“Miss, ayo bangun. Pernikahan akan diadakan pagi ini. Gaun dan riasan sudah siap. Kita harus sampai di hotel 1 jam lagi.”
Naomi sibuk menyibak tirai jendela besar kamar itu, membiarkan cahaya pagi Tokyo masuk. Suaranya tegas, penuh tekanan, namun tetap terdengar profesional. Ia sambil menunjuk pada dua staf yang membawa beberapa kotak berisi makeup dan gaun berlapis-lapis.
“Menikah pagi ini?” Alia membelalak.
Ia segera duduk dan melangkah keluar kamar, melewati lorong hotel yang kini penuh dengan lalu-lalang orang-orang berpakaian formal.
“Apa yang pria itu inginkan dariku? Bukannya tadi malam dia tak ingin adanya pernikahan secara resmi?”
Alia menarik napas panjang, menghampiri Naomi yang tampak sibuk mengurus gaun yang akan Alia pakai.
“ Naomi, aku ingin bicara dengan Tuan Darren. Please, hanya sebentar saja.”
Naomi melirik jam tangannya, “Maaf, Miss. Saat ini tidak mungkin, Tuan Darren sedang bersiap dan tidak bisa diganggu sekarang. Kita harus segera bersiap, waktu kita tidak banyak.”
Alia meremas kedua tangannya. “Apakah hidupku benar-benar berakhir hari ini?”
Makeup artist mulai bekerja, “Kita mulai ya, Nona.”
Tangannya halus, setiap gerakannya presisi. Tapi bagi Alia, sapuan kuas itu terasa seperti menghapus bagian dari dirinya.
Di depan cermin, Alia menatap dirinya. Wajahnya tampak sempurna. Kulit mulus, riasan yang tepat, senyum yang dipaksakan. Tapi hatinya kosong, seolah cermin itu tidak memantulkan dirinya yang sebenarnya.
“Jika tanpa kontrak ini, pasti semua wanita menginginkan berada di tempatku hari ini. “
Bayangan wajah ibu dan adiknya melintas cepat, membuat air mata hampir jatuh. Namun, ia segera menahannya. Makeup ini tidak boleh luntur. Ia tahu, bukan hanya wajahnya yang harus terlihat sempurna hari ini. Tapi seluruh dirinya harus tampak sempurnah seolah bahagia.
Pernikahan dilaksanakan di salah satu ballroom hotel bintang lima di kawasan elit Tokyo. Hotel itu milik jaringan internasional tempat Darren menjadi salah satu investor utamanya. Ruangan disulap menjadi tempat pernikahan yang spektakuler.
Di negeri dengan mayoritas non-muslim seperti Jepang, pelaksanaan akad nikah Islam bukanlah hal umum. Tapi Darren dan timnya mengatur semuanya dengan sempurna.
Tamu mulai berdatangan. Orang-orang dengan jas mahal dan gaun berkilau. Banyak di antaranya investor dan tokoh bisnis ternama dari Jepang maupun luar negeri.
Kamera media mulai mengabadikan setiap sudut ruangan. Sejumlah media Jepang, bahkan media luar negeri, hadir untuk meliput langsung. Alia tidak peduli lagi dengan sorotan kamera itu. Semua ini hanya formalitas, yang tak lebih dari sekadar tontonan.
Darren duduk di depan penghulu, mengenakan jas hitam berpotongan klasik, lengkap dengan dasi kupu-kupu. Sikapnya tenang, tatapannya lurus dan dingin.
“Saya terima nikahnya, Siti Nur Alia binti Malik Hakim dengan mas kawin logam mulia 100 gram tunai.” Ucap Darren tanpa ragu. Tak bergetar sedikit pun.
Alia menelan ludah.
“Bagaimana bisa dia bisa melafazkan akad sefasih ini? Padahal dia bilang tidak ingin menikah sungguhan.”
Tak butuh waktu lama. Berita tentang pernikahan mereka mulai tersebar di media sosial dan media cetak di Tokyo dan Internasional.
Headline bombastis bermunculan:
“Skandal Cinta terbantahkan; CEO Muda Darren Khalid Menikahi Kekasih misteriusnya.”
“Pernikahan Spektakuler Tuan Muda Darren Khalid dan Kekasihnya.”
Alia menyandarkan tubuhnya di sofa lounge sambil melihat berita-berita itu, Naomi menghampiri dan menyerahkan ponsel.
“Nona, panggilan video dari Ibu, Anda,” katanya singkat.
Alia segera meraihnya. Di layar, wajah ibunya muncul, tampak pucat namun jauh lebih baik daripada terakhir kali dia liat.
“Cantiknya putri ibu, selamat ya, Nak. Ibu doakan Alia dan Darren Bahagia dan selalu dilindungi Allah. Taat sama suami ya Nak. Maafin Ibu, tidak bisa mendampingi kamu.” Air mata mengalir di pipi ibunya.
Alia menunduk. Diam beberapa detik, tak mampu berkata-kata. Matanya mulai basah. Andai ibu tahu apa yang terjadi sebenarnya.
“Iya, Bu. Yang penting sehat dulu ya. Jangan pikirin apa-apa. Alia sayang Ibu dan Amara.”
Sambungan terputus. Alia terdiam, matanya kosong. Rasa sesak memenuhi dadanya.
Malam sudah menyelimuti langit Tokyo, tapi acara masih belum usai. Beberapa Fotografer profesional mendekati mereka.
“Kami perlu beberapa pose romantis untuk publikasi,” ucap mereka santai, seolah ini hal biasa.
Alia berdiri di samping Darren. Ia bisa merasakan jarak yang tak terlihat. Darren memeluk pinggangnya, gerakan yang terlalu sempurna untuk sesuatu yang nyata.
“Senyum,” ucap Darren pelan.
Lampu kamera menyala. Beberapa kali. Mereka tersenyum, saling tatap, bergandengan tangan, semuanya untuk konsumsi publik.
Pasangan impian, katanya. Tapi mereka tahu, ini hanya kontrak.
Usai acara, Mereka kembali ke Apartemen. Alia langsung masuk ke kamarnya dan langsung merebahkan tubuh lelahnya. Beberapa menit kemudian, pintu terbuka. Darren masuk. Wajahnya datar.
“Aku tidak akan menyentuhmu malam ini,” katanya tanpa basa-basi.
“Tapi pelajari lagi kontrak itu, terutama bagian tentang kewajiban. Aku tidak suka dengan seseorang yang bodoh dan tidak bertanggung jawab.”
Darren melempar salinan kontrak itu ke kasur.
Alia tidak menjawab. Darren mendekat sebentar, lalu berbalik keluar tanpa sepatah kata lagi.
Dengan tangan gemetar, Alia mulai membaca kontrak itu dengan teliti. Matanya langsung tertuju ke bagian akhir. Ada tambahan pasal yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
“Jika salah satu pihak menolak kewajiban fisik tanpa alasan medis yang dapat dibuktikan, maka akan dikenakan penalti sebesar 10 juta yen.”
Sekali lagi, Alia merasa terperangkap.
“Dia benar-benar sudah menjebakku. Dasar lelaki mesum,” bisiknya.
Pagi hingga sore berlalu tanpa banyak kata. Alia memilih diam dan sibuk bersih-bersih sekadarnya, menahan gelisah yang terus menggerogoti dadanya tentang hari ini. Darren yang sedang cuti pun tidak muncul dari ruang kerjanya. Tapi ketika malam datang, hawa di rumah itu terasa berubah. Langkah kaki Darren terdengar berat menuruni tangga dari ruang kerjanya.“Naik,” ucapnya singkat, tanpa ekspresi.Alia, yang sedang merapikan buku di rak ruang tamu, spontan menoleh. Jantungnya memompa lebih cepat saat mendengar perintah pria itu. Ia mengikutinya menaiki tangga tanpa bertanya. Tapi ketika Darren membuka sebuah pintu di sisi kanan lorong, Alia merasa aneh. Ini bukan kamar Darren, bukan juga kamarnya. Ia tidak pernah tahu ada ruangan ini di apartemen itu.Pintu itu terbuka. Lampu dinyalakan. Alia menahan napas. Kamar itu terasa asing dan mencekam. Tampak sangat bersih dan steril dengan sprei putih, dinding abu-abu, dan tirai tebal tanpa motif. Tidak ada aroma tubuh, tidak ada sentuhan manus
Tangannya meremas ujung bantal sebelum membantingnya ke tengah tempat tidur. Tak puas, ia bangkit, meremas kontrak iitu dan melemparnya ke sudut kamar."Apa-apaan hidupku sekarang..." gumamnya lirih.Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menahan perasaan sesak yang tiba-tiba menyerauk. Marah, kesal, kecawa, dan putus asa melebur menjadi satu. Bahkan tangis pun sudah malas mampir. Ia akhirnya memilih bangkit, membuka laptop, dan mulai mengerjakan pesanan design dari para pelanggan.Setidaknya pekerjaan bisa mengalihkan sedikit pikirannya.Baru beberapa saat kursor mengotak-ngatik design itu, gelap menyergap.Suara petir menyambar dari luar, diikuti suara hujan badai. Semua lampu padam."Bisa-bisanya apartemen semegah ini mati listrik? Oh No, dan hanya aku dan dia di rumah ini sekarang,” keluhnya panik.Ia meraba-raba kasur, mencari ponsel, tapi tak juga menemukannya. Sejak kecil, Alia sangat takut dalam gelap.Dengan langkah gugup, ia membuka pintu kamar dan melangkah keluar
Ketukan pintu terdengar samar di antara keheningan pagi.“Miss, ayo bangun. Pernikahan akan diadakan pagi ini. Gaun dan riasan sudah siap. Kita harus sampai di hotel 1 jam lagi.”Naomi sibuk menyibak tirai jendela besar kamar itu, membiarkan cahaya pagi Tokyo masuk. Suaranya tegas, penuh tekanan, namun tetap terdengar profesional. Ia sambil menunjuk pada dua staf yang membawa beberapa kotak berisi makeup dan gaun berlapis-lapis.“Menikah pagi ini?” Alia membelalak.Ia segera duduk dan melangkah keluar kamar, melewati lorong hotel yang kini penuh dengan lalu-lalang orang-orang berpakaian formal.“Apa yang pria itu inginkan dariku? Bukannya tadi malam dia tak ingin adanya pernikahan secara resmi?”Alia menarik napas panjang, menghampiri Naomi yang tampak sibuk mengurus gaun yang akan Alia pakai.“ Naomi, aku ingin bicara dengan Tuan Darren. Please, hanya sebentar saja.”Naomi melirik jam tangannya, “Maaf, Miss. Saat ini tidak mungkin, Tuan Darren sedang bersiap dan tidak bisa diganggu se
Alia menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Suara ibunya segera terdengar begitu telepon diangkat.“Alia? Pesan tadi, apakah benar kamu yang kirim, Nak? Apakah kamu baik-baik saja?” suara ibunya terdengar sangat khawatir.Alia menghela napas panjang lalu mencoba berbicara sekuat tenaga. “Iya, Bu. Alia minta maaf udah bohongin Ibu. Tapi, Alia mohon izin dan restu Ibu pernikahan ini.”Suara hening sesaat. Lalu suara ibunya kembali terdengar dengan nada lebih tajam dan kecewa.“ Kenapa mendadak begini? Apa yang sebenarnya terjadi, Nak?.”“ Alia nggak bisa cerita semuanya, Bu. Tapi Alia janji akan baik-baik saja.““ Kalau kamu tetap ingin menikah. Lakukanlah dengan cara yang benar. Jangan buang martabatmu hanya karena putus asa,” sambung Ibu dengan suara pelan namun tegas.“Baik Bu..” Suaranya tercekat, dan hanya terdengar isak yang tertahan. Alia terpaksa untuk tidak jujur tentang kontrak ini, ia tak bisa menyakiti ibunya lebih jauh.Tak lama setelah itu, Alia mengetik dengan jari
Alia berdiri kaku di depan Menara Saphir, gedung pencakar langit yang menjulang tinggi menembus langit Tokyo. Cuaca yang dingin membuat tangannya semakin menggigil. Napasnya tersengal, bukan karena lelah berjalan, tetapi karena kecemasan yang menghantuinya.Lantai 58 Menara Saphir, ruangan pertemuan yang tampak megah namun terasa begitu menyeramkan. Alia berdiri di hadapan Darren yang sedari tadi tampak duduk menunggu di ruang kerjanya. Jarak mereka yang semakin dekat membuat jantung Alia terasa ingin meledak. Tanpa basa-basi, Darren menyodorkan map berwarna hitam dengan logo perusahaan di pojoknya."Ini kontraknya. Bacalah. Pastikan kau mengerti semua pasalnya.""Tapi Tuan, kenapa aku yang terpilih? Apakah Anda yakin?" Alia bertanya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam ketegangan ruang itu.Darren hanya menatapnya datar. "Saya tidak akan repot-repot memanggil seseorang ke sini kalau saya belum yakin."Alia merasa sangat kaget dan tanpa bertanya membuka map itu dengan tangan sediki
“Kakak yakin ini bukan penipuan ?” suara Amira nyaris tenggelam oleh suara kendaraan di jalan. Seragam SMAnya yang lusuh, tapi rapi. Matanya sembab.Alia mengangguk pelan menatap adiknya yang masih berdiri di depan pintu. “Kamu nggak perlu khawatir adek, kalau iya, aku bakal segera pulang. Tapi kalau nggak aku coba sekarang, kesempatan ini mungkin nggak bakal datang lagi. Mungkin aku bakal menyesal seumur hidup.”Ibunya memeluk Alia erat, mencoba menyimpan semua kecemasannya dalam dada. “Jaga diri Nak, jangan gampang percaya orang apalagi jauh di negara orang… Sholat jangan tinggal, ya, Nak.”Alia hanya bisa mengangguk. Dalam pelukan ibunya, aroma sabun cuci dan masakan rumah membuat dadanya sesak dan penuh rasa bersalah. Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Ia tidak akan bekerja di perusahaan biasa. Ia telah menandatangani kontrak untuk sesuatu yang jauh lebih misterius , sesuatu yang tentu akan melukai hati Ibu dan Adiknya.Darren Khalid, nama itu terus bergema tanpa henti di ke