Sera mendongak, menatap Lucas dengan alis berkerut. “Tunggu, Tuan. Saya belum selesai membaca.”
Lucas menatapnya dengan sorot mata tajam. "Kamu bisa membaca seluruhnya nanti. Yang perlu kamu lakukan sekarang hanyalah membubuhkan tanda tangan. Itu saja.” “Tapi dokumen ini terlalu panjang. Saya harus memastikan apa saja isinya. Bagaimana saya tahu semua isinya tidak merugikan saya? " Lucas menghela napas, lalu merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah pulpen hitam. Dengan tenang, dia meletakkan pulpen itu di atas map. "Aku tidak punya waktu untuk mendengarkan keraguanmu. Tanda tangani sekarang, atau lupakan saja kesepakatan ini." “Tapi saya belum baca semuanya. Bagaimana kalau ada poin yang merugikan saya?” Lucas menatap Sera dengan dingin, wajahnya tanpa ekspresi. “Kalau begitu, jangan tanda tangan,” ucapnya santai, meski nadanya terdengar tajam. Lucas menyelipkan tangan ke saku celananya, lalu menambahkan, “Tapi jangan pernah bermimpi aku akan memberimu satu miliar. Bahkan sepeser pun, kamu tidak akan dapat dariku.” Hati Sera semakin kalut. Dia tidak bisa membiarkan kesempatan ini hilang, tetapi membaca seluruh dokumen itu secara menyeluruh akan memakan waktu berjam-jam. Dengan perasaan yang bercampur aduk, tangannya akhirnya meraih pulpen di atas map. “Baiklah, Tuan. Tapi saya harap Anda benar-benar menepati janji Anda.” "Aku selalu menepati janjiku, selama kamu tidak melanggarnya.” Sera terdiam, merasa kalah. Dia menyelesaikan tanda tangannya dan menyerahkan map itu kembali pada Lucas. Lucas mengambilnya dengan santai, lalu menyerahkannya pada pria muda di belakangnya. “Simpan ini, Andra.” Pria bernama Andra mengangguk dan segera membawa map itu keluar. Lucas berbalik, bersiap meninggalkan ruangan. Namun sebelum pintu tertutup, dia menoleh sejenak. “Selamat datang di kehidupan baru, Nyonya Lucas.” Senyum tipis muncul di wajah Lucas, namun matanya tetap dingin, nyaris tanpa emosi. Sera hanya menatap punggung Lucas yang menghilang di balik pintu, perasaan cemas mulai menguasai pikirannya. Dia tahu, permainan ini baru saja dimulai. Hari itu tiba lebih cepat daripada yang Sera bayangkan. Sera berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih sederhana yang memeluk tubuhnya dengan anggun. Namun, tidak ada senyum di wajahnya. Semua ini hanya sandiwara. Tidak ada cinta, tidak ada kebahagiaan. “Sudah siap?” Suara Lucas terdengar dari balik pintu. Sera menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Ya.” Pintu terbuka, dan Lucas melangkah masuk dengan jas hitam yang pas di tubuhnya. Tatapannya tetap dingin, seperti biasa. Dia memeriksa Sera dari atas ke bawah, lalu berkata singkat, “Lumayan.” Sera menyipitkan matanya, merasa diremehkan. “Lumayan? Itu saja yang bisa Anda katakan?” Lucas berjalan mendekat, tatapannya tajam menelusuri wajah Sera. “Ini pernikahan pura-pura. Aku tidak perlu berlebihan memuji. Yang penting, kamu terlihat cukup pantas untuk berperan sebagai istriku.” Sera mendengus, bibirnya menyunggingkan senyum sinis. “Bagus sekali, Tuan Lucas. Anda benar-benar tahu cara membuat wanita merasa spesial.” Lucas hanya mengangkat bahu acuh. “Kita tidak ada waktu untuk debat seperti ini. Ayo, mereka sudah menunggu.” Sera mengikuti Lucas keluar ruangan, langkahnya berat. Di aula kecil tempat pernikahan itu dilangsungkan, hanya ada beberapa orang yang hadir, semuanya tampak asing bagi Sera. Tidak ada keluarga, tidak ada teman. Pernikahan itu berjalan cepat dan formal. Lucas dan Sera sama-sama mengucapkan sumpah mereka dengan nada datar, tanpa emosi. Setelah prosesi selesai dan cincin dipasang, Lucas melangkah mendekat. Di hadapan semua orang, dia berusaha mencium kening Sera. Namun, Sera memalingkan wajahnya dengan gerakan halus, membuat ciuman itu hanya menyentuh ujung rambut Sera. “Apa yang Anda lakukan?" bisik Sera tajam, suaranya hanya terdengar oleh Lucas. Lucas menunduk sedikit, menjawab dengan tenang, "Kita ini pasangan suami istri, meski hanya di atas kertas. Semua ini demi meyakinkan mereka." "Tapi di kontrak tertulis jelas tidak ada kontak fisik," Sera menegaskan, tatapannya tajam menantang. Lucas menghela napas pendek, menatap Sera dingin. "Orang-orang tidak membaca kontrak kita. Yang mereka lihat adalah apa yang ada di depan mata. Kalau kamu tidak ingin kita dicurigai, lakukan bagianmu." Sera mengepalkan tangan di samping tubuhnya, menahan amarah yang mendidih. "Baik. Tapi ini pertama dan terakhir kalinya Anda melakukan ini. Kalau sampai terjadi lagi—" Lucas menyela, suaranya dingin. "Aku juga tidak berselera. Semua ini hanya untuk memastikan sandiwara kita berjalan sempurna." Sera membuang napas, merasa terjebak dalam permainan yang tidak pernah dia inginkan. "Baiklah, Tuan Lucas. Tapi ingat, ini tidak akan terjadi lagi." Lucas tersenyum tipis. "Tentu." Sera menutup matanya, mengeraskan hatinya ketika Lucas mendekat dan mengecup keningnya dengan lembut. Kecupan itu hanya berlangsung sekejap, namun cukup untuk membuat Sera merasa tidak nyaman. Saat Lucas menjauh, tiba-tiba pintu terbuka dengan keras, suara benturannya menggema di ruangan. "Lucas!" Sera tersentak. Kepalanya spontan menoleh ke arah suara itu. Seorang pria berdiri di ambang pintu, wajahnya merah padam, napasnya memburu seperti habis berlari. Tatapan matanya penuh amarah, menusuk tajam ke arah Lucas.Di kamar Satria.Satria duduk di balkom kamarnya, menatap taman yang menghampar di hadapannya. Dulu, dia dan Annora suka duduk di balkon sambil melihat pemandangan taman yang bunga-bunganya ditanam sendiri oleh Annora.Satria menatap hamparan bunga yang masih menguncup dengan pandangan sayu.Liburan kali ini, adalah liburan yang paling terburuk. Tujuan Satria mengajak anak, menantu, dan cucunya liburan, bukan hanya sekadar bersenang-senang semata, tapi Satria ingin mempererat hubungannya dengan anak-anaknya. Sayang, semua itu hanya angan Satria semata.Setiap hari, hubungan keluarga mereka semakin memburuk, apalagi hubungannya dengan Indira. Satria ingin sekali mengakhiri perselisihannya dengan sang putri, tapi Satria merasa sekarang belum waktunya."Annora, aku harap kamu tidak semakin membenciku," gumam Satria lemah.Tok tok tok"Tuan!" suara Devin terdengar setelah ketukan di pintu."Masuk!" perintah Satria tanpa menoleh ke arah pintu ataupun bangk
Usai belanja, mereka pun langsung menuju bandara. Tidak seperti sebelumnya yang terlihat kampungan, Sera sudah bisa menguasai diri. Lucas yang awalnya khawatir, menjadi lega. Ternyata Sera tipe wanita yang cepat belajar. Dan itu membuat Lucas puas. Waktu menunjukkan pukul 8 malam saat mereka tiba di rumah. Sebelumnya mereka sudah mampir di restoran untuk makan malam, sehingga mereka langsung istirahat sesampainya mereka di rumah. Akibat kecelakaan yang menimpa Lucas, membuat liburan mereka terpaksa diperpanjang selama 4 hari, sehingga Emily dan Alvin langsung kembali ke rumah mereka pada keesokan paginya usai sarapan. Begitu pun dengan Lucas yang bersiap untuk berangkat kerja. "Lebih baik kamu istirahat saja di rumah," tegur Indira saat melihat Lucas hendak pergi ke kantor. "Kamu masih luka. Bagaimana kalau nanti badanmu drop?" "Tidak bisa, Ma. Aku harus pergi ke kantor hari ini. Aku sudah tidak kerja selama tiga hari. Banyak pekerja
"Maaf, Kek. Tapi saya tidak bermaksud seperti itu," ucap Sera pelan dengan kepala tertunduk.Emily yang melihat dan mendengar mereka pun iku menyahuti, "Sera, kegiatan ini sudah menjadi tradisi di keluarga kita. Dengan kamu menolak traktiran dari Kakek, itu sama saja dengan kamu tidak mematuhi tradisi keluarga Mahendra.""Tapi saya tidak bermaksud seperti itu, Bibi," jawab Sera cepat."Bibi, Kakek, tolong jangan menyudutkan istriku. Apalagi kita saat ini lagi di tempat umum. Akan sangat memalukan jika didengar oleh orang lain dan menjadi gosip," ucap Lucas cepat sebelum mereka semua menggertak Sera lebih lanjut.Lucas mendorong kursi rodanya mendekati Sera. "Ayo, Sayang, temani aku belanja."Sera menurut dan mengambil alih mendorong kursi roda Lucas. Lucas mengajak Sera ke toko sepatu."Supaya Kakek tidak marah lagi, lebih baik kamu belilah sesuatu. Walaupun hanya satu barang," kata Lucas. "Di sebelah ada toko perhiasan. Pergilah dan lihat-lihat, siapa tahu a
Kagaduhan yang dilakukan Indira membuat Satria pun ikut panik. Pria itu menyusul ke rumah sakit saat Indira dan lainnya pergi membawa Lucas dengan buru-buru. Akan tetapi kepanikan dan kekhawatiran semua orang tidak terbukti, dokter mengatakan kalau Lucas baik-baik saja, dan memang dia sebenarnya baik-baik saja. Hanya Indira saja yang terlalu khawatir berlebihan."Kalian ini membuat keributan saja." Satria mengomel setelah kepergian dokter."Keributan apa?" jawab Indira cepat, nadanya sedikit meninggi. "Sebagai seorang ibu, wajar kalau mengkhawatirkan anaknya. Bagaimana kalau lukanya berubah menjadi infeksi? Apa kamu akan bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa dengan Lucas?""Tapi kan ternyata dia baik-baik saja.""Itu karena dia bukan anakmu. Kalau dia anak kesayanganmu, aku yakin kamu juga akan melakukan hal yang sama."Sera, Lucas, dan Chiara hanya bisa menghela napas dalam hati dengan perdebatan Indira dan Satria.Tidak ingin membuat keributan di rumah sakit, Satria pun mengalah.
Karena Lucas terluka, dia hanya bisa menghabiskan waktu di kamar. Sesekali Sera membantunya jalan-jalan di luar untuk menghirup udara segar.Kepulangan mereka pun diundur menjadi beberapa hari, menunggu bekas jahitan di luka Lucas benar-benar kering."Kamu pergilah bersenang-senang bersama Chiara. Tidak perlu menemaniku sepanjang hari," ucap Lucas kepada Sera yang membantunya berjemur di pagi hari usai sarapan. "Lagi pula aku tidak lumpuh sampai harus ditemani sepanjang hari. Aku bisa jalan sendiri.""Ya, kamu memang tidak lumpuh. Tapi aku tidak mau meninggalkanmu dan mendapatkan ucapan pedas dari keluargamu lagi." Sera menjawab dengan nada sedikit ketus.Sera tidak mengerti kenapa keluarga Lucas suka sekalu mengeluarkan kata-kata tajam yang ditujukan untuknya. Setiap apa pun yang dilakukannya, selalu salah di mata mereka.Rheva ingin sekali menyerah, tapi setelah memikirkannya lagi, rasanya dia akan rugi jika mundur sekarang. Apalagi Sera sudah berjanji akan melahirkan anak untuk Luc
Sera membuka pintu kamar dan menuntun Lucas masuk. Tangannya yang kecil menopang pinggang Lucas, sementara bahunya dipakai sebagai sandaran."Pelan-pelan," ucap Sera khawatir. "Aku bisa jalan sendiri," balas Lucas, meski wajahnya jelas menahan sakit.Sera menggeleng cepat. "Jangan keras kepala. Duduk dulu di kasur."Begitu tiba di tepi ranjang, Sera berusaha menurunkan tubuh Lucas. Namun, berat badan pria itu jelas terlalu besar untuk tubuh mungilnya. Tangan Sera bergetar, kakinya goyah."Eh—!""Sera, awas!" Lucas berusaha menahan, tapi justru tubuhnya kehilangan keseimbangan.Bruk!Mereka jatuh bersama di atas kasur. Lucas terbaring miring, sementara Sera menindih dada kiri Lucas. Nafas mereka beradu, jarak wajah mereka hanya sejengkal.Sera membeku. Wajah Lucas begitu dekat, hingga Sera bisa melihat jelas garis rahang Lucas, bulu mata yang panjang, bahkan hangat napasnya.Sera buru-buru bangkit dari posisi canggungnya. Tangannya mencari tumpuan di atas kasur, tapi empuknya kasur me