'Bagaimana ini, aku harus melarikan diri!'
Alih-alih menanggapi, Katherine bermonolog di dalam hati. Ia tengah berusaha memutar otak agar dapat terlepas dari jeratan Karl. Sembari mencari rencana, matanya berpendar ke segala arah, berharap seseorang menolongnya sekarang. Namun, keadaan di sekitar tampak sepi, bahkan para asisten yang biasanya ditugaskan membersihkan istana tidak terlihat sama sekali. "Cepat jawab!" bentak Karl seketika, membuat dada Katherine bergerak ke depan sesaat. Katherine terkejut, suara bariton Karl begitu menggelegar, hingga burung-burung mungil di sekitar keluar dari tempat persembunyian. Sebuah sikap yang tak pernah Katherine lihat dari seseorang yang pernah dia sayangi dahulu. Rasa was-was dan ketakutan mulai menjalar di hatinya apabila rencananya gagal total hari ini. "Lepaskan aku Karl!" Dalam hitungan detik, Katherine berusaha menggoyangkan tangannya. Tetapi, Karl bagaikan seekor ular besar yang tidak akan melepaskan mangsa. Karl malah mencengkram kuat tangan Katherine hingga terciptalah jejak kemerahan di kulit tipis wanita pemilik mata abu-abu itu. "Shftt .... sakit Karl, aku mohon lepaskan aku," ujar Katherine disertai ringgisan pelan. Karl iba? Oh tidak .... Lelaki itu kembali menyeret paksa Katherine menjauhi aula istana. Katherine semakin gusar, ingin berteriak. Namun, dia tak mau membuat kegaduhan di istana, sikap yang tidak selayaknya ditunjukkan oleh seorang wanita bangsawan. Terlebih Katherine anak William Brown, jabatan Marquis, orang yang cukup terpenting dalam kerajaan ini. Di tempat lain, wajah Frederick mulai menggeras. Dari tadi ruangan dipenuhi suara-suara para tamu undangan yang mulai berbicara tentang mempelai wanita. Sebagai seorang pangeran, tentu saja Frederick merasa tak dihargai oleh Katherine. Tak mau membuat suasana semakin panas. Frederick maju beberapa langkah dan berkata di tengah-tengah altar. "Maafkan keterlambatan calon mempelaiku. Aku permisi sebentar, sepertinya calonku lupa dengan ruang aula," kilah Frederick dengan nada datar namun mampu membuat para tamu undangan terdiam seribu bahasa. Kali ini ruangan dalam keadaan hening dan senyap, seolah-olah tak ada manusia di dalamnya. Baik raja dan ratu pun tak memberi tanggapan, keduanya dari tadi bungkam, diam-diam memperhatikan dan mendengar keluh kesah para tamu. "Terima kasih atas pengertiannya. Aku pergi keluar sebentar." Frederick menghembuskan napas pendek lantas melangkah dengan penuh wibawa, melenggang keluar aula hendak mencari Katherine. "Pangeran, apa perlu aku menyuruh para penjaga ikut mencari juga?" Logan, sang kestaria atau orang kepercayaan Frederick mengikuti dari belakang. Frederik melirik sebentar lalu berkata,"Iya, cari sampai ketemu, aku juga ikut mencari." Titahnya sigap sembari mengayunkan kedua kakinya dengan sangat cepat. Logan mengangguk, tak lupa membungkuk sesaat sebelum menjalankan perintah sang tuan. Sesampainya di luar pintu, Frederick berjalan ke lorong kanan, Logan berjalan ke lorong ke kiri mengarah ke tempat para penjaga berkumpul. *** "Lepaskan aku Karl! Pokoknya aku tidak mau menikah denganmu!" Katherine masih berusaha melepaskan diri meski saat ini tangan kanannya terasa amat sakit karena dari tadi memberontak. "Aku bilang tidak ya tidak, aku tidak akan melepaskanmu, sebelum kau memberitahu aku alasan kau tidak mau menikah denganku!!!" Karl menjerit, tanpa menatap lawan bicara, sambil kedua kakinya melangkah cepat menuju lorong lain. "Baik aku akan memberitahu alasanku!" Sangking kesalnya Katherine berseru cukup nyaring. Kaki jenjang Karl sontak berhenti bergerak tepat di lorong yang jarang dilalui kumpulan manusia di istana. Dengan cepat ia memutar badan tanpa melepaskan tangan Katherine. "Apa?" Agak ketus Karl bertanya. Matanya pun masih menyala-nyala. Katherine meringgis sesaat. "Lepaskan dulu tanganku." Karl mendengus kasar, tak berniat sekali pun menjawab dan menuruti permintaan Katherine. Tatapannya begitu mengintimidasi lawan bicara sampai-sampai membuat Katherine kesulitan menatap balik. "Tidak, jika aku lepaskan, kau pasti memiliki celah untuk kabur dariku." Karl menjeda kalimatnya sejenak, "Cepat katakan, tidak usah membuat drama lagi Katherine, kau menginjak-injak harga diriku! Apa kau lupa, aku ini kekasihmu! Hari ini kita akan menikah dan menjadi pasangan suami istri!" Katherine agak kesulitan menelan ludah saat melihat kemarahan Karl. "Karena aku tidak mencintaimu ...." Mendengarnya, Karl semakin naik pitam. Mata, wajah dan telinganya nampak merah padam. Karl pegang pundak mungil Katherine lalu mengguncang dengan sangat kuat. "Tapi aku mencintaimu! Kau harus menjadi milikku!" "Dan aku tidak mencintaimu Karl! Aku tidak mau! Lepaskan aku!" pekik Katherine. "Kau!" Wajah Karl semakin merah, amarahnya tak dapat dibendung lagi. Alhasil dengan cepat sebuah tamparan kuat langsung mendarat tepat di pipi kanan Katherine. Katherine pun tersungkur ke lantai sambil memegang pipinya yang tampak merah sekarang. "Argh!" "Hentikan!" teriak seseorang dari belakang.Benda berbahan kaca itu langsung pecah, mengenai punggung Victor. Victor tak peduli malah makin mempercepat langkah kaki sambil tersenyum puas. Meninggalkan Larisa menjerit-jerit histeris. ...Keesokan harinya, pagi-pagi sekali istana gempar dengan kabar gembira dari Grace. Grace ternyata tengah mengandung. Bukan hanya Grace, Katherine pun juga, mengandung anak kedua. Keduanya sama-sama muntah tadi pagi. Sukacita menyelimuti hati Xavier, Frederick dan Victor. Saat ini mereka tengah sarapan bersama di ruang makan, ada Logan dan Robert juga terlihat duduk bersama. Sementara Larisa memilih sarapan di kamar karena hatinya dalam keadaan buruk sekarang. "Aku tidak sabar dengan kedatangan anakku, Grace. Semoga saja anakku perempuan dan anakmu laki-laki, jadi kalau sudah besar kita bisa menjodohkan mereka," celetuk Katherine setelah selesai menyantap roti. "Iya, amin, semoga saja anakku laki-laki, pasti lucu jika mereka sudah besar nanti," balas Grace tak kalah senang. "Aku setuju, maka
"Apa kau lupa aku menikahimu karena terpaksa, sampai kapan pun nama Clara tidak akan hilang, kaulah yang membuat aku dan Clara tidak bisa bersama, aku muak dengan sikapmu Larisa!" seru Victor dengan mata berkobar-kobar. Larisa mendekat. "Oh ya? Tapi wanita itu sudah mati sekarang dan kau tidak bisa memilikinya! Akulah yang memilikimu sekarang Victor!" Victor menyeringai tipis. "Kau hanya memiliki ragaku tapi tidak dengan jiwaku!"serunya dengan lantang. Membuat Larisa mengepalkan kedua tangan. Meski Clara sudah meninggal tapi di hati Victor nama Clara masih terus terukir dan tak pernah memudar sekali pun. Dulu, sebelum menikah dengan Larisa. Victor dan Clara sudah terlebih dahulu menjalin hubungan. Kala itu status Victor masih menjadi pangeran, belum menjadi raja. Sementara Clara baru bekerja di istana dan menjadi pelayan pribadi Victor. Karena sering bertatap muka Victor mulai jatuh cinta dengan Clara. Keduanya pun menjalin hubungan tanpa sepengetahuan anggota kerajaan. Akan
"Diam kau! Kau juga sama seperti mamaku! Bedanya mamaku pelayan istana! Sementara kau jadi anak angkat bangsawan baik hati! Asal-usulmu juga tidak jelas. Jadi jangan menghina mamaku, wanita jalang!" seru Xavier dengan muka Xavier semakin memerah. Dia sudah tidak memikirkan lagi adab dan sopan santunnya di istana. Larisa masih saja menghina mendiang mamanya. Padahal mamanya sudah tidak ada lagi di dunia, Larisa berhati ular dan tidak pantas disebut manusia!"Xavier, cukup! Kau tidak boleh menghina Mamamu!" teriak Victor menggelegar tiba-tiba. Membuat kumpulan manusia di ruangan tertegun. Mereka tak berani membuka suara di antara ayah dan anak itu, memilih diam dan mendengarkan dengan seksama pertikaian yang terjadi di depan mata.Pemegang tinggi di istana, saat ini wajahnya sangat tak bersahabat. Kemarahannya membuat sebagian orang ketakutan, termasuk Grace yang saat ini meneguk ludah berkali-kali. Berbeda dengan Xavier tak ada rasa takut sedikit pun yang terpancar dari bola matanya.
Mendengar suara teriakan Xavier, seluruh anggota kerajaan Norwegia datang menuju sumber suara, tepatnya di ruang tamu. Sesampainya di ruangan, Larisa dan Sisilia membelalakan mata dengan kedatangan anggota kerajaan Denmark berada di sini. "Apa-apaan ini Xavier?" Victor, raja yang masih menjabat menjadi pemegang kekuasaan di Norwegia langsung bertanya. Kerutan di keningnya mendadak muncul dengan kedatangan tamu yang tak diundang pada malam-malam begini. Xavier tak langsung menjawab, ada secuil kerinduan menjalar di hatinya. Dia sudah lama tidak bertatap muka dengan ayahnya. Terlebih, umur ayahnya sudah tak lagi muda sekarang, ada banyak keriput di wajah dan rambut hitamnya pun sebagian sudah memutih. Akan tetapi, Xavier menghapus cepat kerinduannya tersebut kala mengingat perlakuan Victor selama ini. "Atas nama kerajaan Denmark, aku minta maaf karena datang malam-malam begini ke istana bersama istriku dan Pangeran Xavier." Saat melihat Xavier terdiam, Frederick langsung angkat bica
"Ayolah Pangeran, keluarlah kami tidak akan mengigit!" Lagi pria itu berseru sambil mengeluarkan tawa keras hingga teman-temannya pun ikut tertawa. Xavier menahan geram. Dadanya bergemuruh kuat seakan-akan meledak juga saat ini. Sampai-sampai Grace menggerakkan sedikit kepalanya ke samping dan membuat salah satu rumput bergerak. Alhasil salah seorang pria yang tak sengaja melihat adanya pergerakkan dari salah satu rumput yang memanjang, mengalihkan pandangan. Dalam sepersekian detik dia pun langsung meloncat tepat di hadapan Grace dan Xavier. "Bah! Dapat kalian!" pekiknya sambil menodongkan pistol ke kepala Grace. Grace langsung memekik histeris,"Tolong!!!" Xavier tak diam, ikut juga menodongkan pistol ke arah kepala si pelaku. Kelima pria lainnya serempak mengarahkan mata ke arah pasangan suami istri itu sambil mengangkat pistol masing-masing. Suasana mendadak tegang. Baik Xavier maupun keenam pria lainnya tak ada yang mau mengalah. "Jangan bunuh kami!" pekik Grace,
Grace terbelalak ketika melihat enam orang pria keluar dari mobil sambil menodongkan pistol ke arah mereka sekarang. Pria-pria asing itu tampangnya sangat menyeramkan, seperti preman pasar, ada tato-tato di tangan dan muka, bahkan terlihat tindik pula di hidung. "Keluar kalian!" teriak salah seorang pria dari luar lalu melempar senyum smirk. Grace makin panik. Dengan cepat menoleh ke samping kembali. "Xavier, bagaimana ini?" Dia sedikit heran mengapa Xavier sama sekali tak panik. Suaminya itu hanya menampilkan ekspresi datar namun tanpa sepengetahuan Grace, mata elang Xavier memandang ke arah kumpulan pria tersebut dengan sorot mata tajam. Tanpa menoleh ke samping, Xavier pun berkata,"Jangan lepas sabuk pengamanmu."Grace hendak bertanya namun belum juga lidahnya bergerak, Xavier melajukan mobil dalam kecepatan di atas rata-rata. Alhasil enam orang pria tersebut melesatkan timah ke arah mereka. Akan tetapi, Xavier berhasil mengelak dan menabrak pula kedua mobil yang menjadi pengha