Share

Istri Kontrak Sang Hafidz
Istri Kontrak Sang Hafidz
Author: Zie - SONURA

Akad Tanpa Cinta

Author: Zie - SONURA
last update Last Updated: 2025-11-15 20:07:04

---

Bab 1 – Akad Tanpa Cinta

"Alya Nabila binti Ahmad Ridwan... saya terima nikahnya dengan mas kawin tersebut, tunai."

Suara itu menggelegar di ruang tamu rumahku yang penuh dengan keluarga besar, tetangga, dan beberapa tamu undangan. Detak jantungku seolah berdetak sangat keras, membuatku sulit bernapas dengan tenang. Aku menunduk, menahan perasaan campur aduk yang berkecamuk di dada—antara takut, cemas, dan sedikit harap.

Di hadapanku berdiri Rayyan, pria yang baru saja resmi menjadi suamiku. Ia menuntaskan ijab kabul dengan suara tenang dan mantap, tanpa keraguan sedikit pun. Matanya menatap lurus ke depan, tanpa menyentuh pandanganku. Ada dingin yang sulit diartikan dari sorot matanya itu, membuatku merasa terasing sekaligus penasaran.

Pernikahan ini bukan kisah cinta seperti yang biasa diceritakan dalam novel atau film. Ini hanya sebuah perjanjian, sebuah solusi sementara untuk menyelamatkan nama baik keluargaku yang tengah diterpa masalah besar. Ayahku, yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga, tiba-tiba tersandung kasus yang membuat reputasinya hancur berantakan.

Rayyan adalah seorang hafizh Qur’an yang sangat dihormati di pesantren tempat dia mengajar. Ia dikenal tegas, disiplin, dan sangat menjaga prinsip agama. Aku tak pernah mengenalnya sebelumnya, tapi saat ini aku harus menjalani hidup bersamanya sebagai suami.

Sebelum ijab kabul dimulai, kami sudah menandatangani surat perjanjian. Pernikahan ini hanyalah kontrak selama satu tahun, tanpa ikatan hati yang mendalam, tanpa janji-janji cinta yang biasanya melekat pada sebuah pernikahan. Setelah satu tahun, kami akan berpisah secara baik-baik tanpa luka, tanpa dendam.

Ketika cincin perak sederhana terpasang di jariku, aku merasakan beban yang luar biasa berat. Bukan karena cincin itu sendiri, tapi karena makna yang terkandung di dalamnya. Ini bukan sekadar cincin pernikahan biasa, tapi simbol tanggung jawab yang harus aku pikul.

---

Suasana berubah sepi saat tamu mulai meninggalkan rumah. Aku melangkah ke kamar, duduk di tepi jendela sambil menatap keluar ke halaman yang mulai gelap. Gaun putih tulang yang kupakai masih melekat di tubuhku, terasa berat dan penuh makna.

Ketukan lembut terdengar di pintu, membuatku tersentak. "Boleh aku masuk?" suara Rayyan terdengar pelan tapi tegas.

Aku mengangguk pelan dan membuka pintu. Dia berdiri di ambang pintu dengan pakaian koko putih dan peci hitam, tampak lebih serius dari biasanya. Wajahnya datar, tapi ada kehangatan samar di sorot matanya yang mulai muncul.

"Aku ingin kita sepakat sejak awal," katanya. "Walaupun kita sudah menikah secara agama, aku tetap ingin menjaga batasan antara kita. Kita tinggal serumah, tapi masing-masing punya ruang pribadi. Aku ingin pernikahan ini dijalani dengan niat baik, sesuai syariat."

Aku menatapnya lama. "Aku juga belum siap menjalani hubungan suami istri seperti biasanya. Terima kasih sudah mengerti."

Rayyan tersenyum tipis, sesuatu yang jarang kulihat darinya. "Aku akan fokus pada pesantren dan dakwahku. Kamu tak perlu khawatir atau ikut campur. Tapi kalau kamu mau belajar agama atau ikut kajian, aku akan senang sekali."

Hatiku sedikit terangkat mendengar itu. "Mungkin ini bisa jadi awal yang baik untukku juga."

Dia menatapku serius. "Aku tidak berharap apa-apa, Alya. Tapi satu hal penting—jaga nama baikku. Jangan sampai orang lain tahu kalau pernikahan ini cuma kontrak. Kita harus jalani ini dengan tenang dan ikhlas, semoga Allah mudahkan urusan kita."

Aku mengangguk penuh harap. "Insya Allah."

---

Hari-hari berikutnya berlalu dengan ritme yang sama. Aku belajar menyesuaikan diri dengan aturan yang dibuat Rayyan. Tak ada sentuhan, tak ada percakapan panjang, hanya saling menghormati dan menjaga jarak.

Setiap pagi, suara lantunan ayat-ayat suci Qur’an yang dibacakan Rayyan dari ruang tamu menjadi pengingat bagiku bahwa hidup ini bukan sekadar tentang perasaan, tapi tentang niat dan kesungguhan.

Aku mencoba mengisi waktu dengan belajar membaca Al-Qur’an, mengikuti kajian, dan membantu kegiatan di pesantren. Sedikit demi sedikit, aku mulai memahami makna di balik pernikahan ini—bukan sebagai beban, tapi sebagai jalan untuk mendekatkan diri pada Allah.

Kadang rasa sepi menyapa, terutama ketika malam tiba dan rumah terasa hening. Namun aku percaya, dengan niat yang tulus dan doa yang tak henti, semuanya akan menjadi berkah.

---

Malam itu, aku duduk di tepi jendela, memandang cincin di jariku yang berkilau lembut diterpa cahaya bulan. Suara Rayyan mulai melantunkan ayat suci dengan suara yang merdu dan menenangkan. Aku menutup mata, mengharap ridha-Nya.

Perjalanan ini baru saja dimulai. Mungkin tanpa cinta, tapi aku percaya dengan niat yang tulus dan harapan yang besar, semuanya bisa berubah menjadi sesuatu yang indah.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Masa Depan Yang Terukir

    Senja mulai merona di ufuk barat, menebar keemasan yang hangat menyelimuti kota kecil itu. Damar berdiri di depan jendela, memandangi langit yang mulai gelap. Hari-hari penuh tantangan telah dilalui, namun kini ada rasa tenang yang perlahan mengisi hatinya. Alya, istrinya, duduk di sofa dengan senyum manis menghias wajahnya. “Damar, kau lihat? Semua yang kita lewati, akhirnya membawa kita ke sini.” Damar mengangguk, lalu meraih tangan Alya. “Iya, aku bersyukur kau selalu ada di sampingku. Masa depan ini bukan hanya milikku, tapi milik kita bersama.” Alya tersenyum lebih lebar, matanya berkilat haru. “Aku percaya, apa pun yang terjadi nanti, selama kita bersama, semuanya akan baik-baik saja.” Di sudut ruangan, Damar membuka album foto. Terlihat foto-foto mereka dari awal pernikahan sampai sekarang. Ada tawa, ada air mata, tapi semuanya adalah kisah yang membentuk masa depan mereka.

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Awal Dari Segalanya

    Pagi itu, cahaya mentari perlahan menyusup melalui jendela kamar, mengusir sisa gelap malam yang enggan pergi. Damar membuka matanya, menyadari bahwa semua yang telah terjadi bukan sekadar mimpi—melainkan perjalanan hidup yang nyata dan penuh makna. Segala luka, perjuangan, dan harapan yang terjalin erat di antara dirinya dan Alya kini menjadi fondasi kuat yang tak tergoyahkan. Ia tahu, masa depan bukan sekadar harapan kosong, tapi lukisan indah yang harus mereka ukir bersama dengan kesabaran dan cinta. Alya, di sisi lain, menatap Damar dengan penuh keyakinan. Perempuan yang dulu pernah ragu kini telah berubah menjadi sosok yang tegar dan penuh harapan. Mereka berdua berdiri di ambang babak baru, siap menghadapi segala tantangan yang datang dengan kepala tegak dan hati yang terbuka. “Dari segalanya yang telah kita lalui,” ucap Damar pelan, “aku yakin kita bisa melangkah ke depan tanpa rasa takut.” Alya menggenggam tanga

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Harapan di Ujung Senja

    Sore itu, langit berwarna jingga keemasan, seolah memberi harapan baru di ujung hari. Alya duduk di teras rumah, memandang jauh ke arah cakrawala yang mulai gelap. Hatinya campur aduk, antara harap dan ragu. Damar datang menghampiri, wajahnya penuh kelelahan tapi mata itu tetap lembut melihat Alya. "Alya, aku tahu semua ini berat buat kita. Tapi aku janji, aku akan berusaha jadi suami yang lebih baik." Alya menatapnya, ada getir yang mencoba disembunyikan, "Damar, aku nggak mau terus-terusan jadi istri kontrak yang cuma numpang lewat di hidupmu. Aku ingin ada masa depan." Damar menghela napas panjang, "Aku paham. Kita harus bicarakan semuanya dengan jujur, tanpa ada rahasia." Mata Alya mulai berkaca-kaca. "Aku ingin percaya, Damar. Tapi hati ini juga pernah terluka." Damar meraih tangan Alya, menggenggamnya erat, "Percayalah, aku ingin kita bisa mulai ulang. Aku mau kamu jadi istriku yang sah, bukan cuma kont

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Gelombang Perubahan (Part 2)

    Seiring pagi menyapa, Arif menatap langit dari jendela kamarnya. Hatinya berkecamuk, antara harap dan ragu. Semua yang terjadi belakangan ini seolah memaksanya untuk berubah, untuk mengambil langkah yang selama ini ia tunda. Pintu kamar diketuk pelan. Zila masuk dengan senyum tipis, membawa secangkir teh hangat. “Arif, kamu sudah sarapan? Aku buat teh hangat, biar kamu kuat menjalani hari,” ucap Zila lembut. Arif mengangguk, menerima teh itu. “Terima kasih, Zila. Aku cuma bingung… tentang semua ini.” Zila duduk di sampingnya, menggenggam tangan Arif. “Kita tidak sendiri, Arif. Kita hadapi bersama. Perubahan memang sulit, tapi aku yakin kamu bisa.” Senyum tipis kembali muncul di wajah Arif. “Kalau kamu selalu di sini, aku yakin bisa.” Tiba-tiba ponsel Arif bergetar. Pesan dari Alya masuk: *“Ada kabar penting. Kita perlu bertemu malam ini.”* Arif dan Zila saling pandang. Ada sesuat

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Janji Yang Tak Diucap

    Pagi itu, suasana toko tenang. Alya duduk di kasir sambil menata beberapa struk. Damar datang membawa dua gelas kopi. Damar: "Tumben nggak sibuk?" Alya: "Lagi sepi… dan aku jadi kepikiran sesuatu." Damar duduk di sampingnya, menatap lekat. Damar: "Apa?" Alya ragu sejenak. "Tentang kamu." Damar tertawa kecil. "Tentang aku? Serius amat." Alya menunduk. "Kamu selalu ada dari awal. Tapi… aku belum pernah benar-benar bilang makasih." Damar menatap Alya. Tak ada kata, hanya tatapan yang tenang dan hangat. Alya melanjutkan, pelan. "Aku nggak tahu apa arti semua ini buatmu. Tapi untukku… kehadiranmu itu lebih dari cukup." Damar tersenyum. "Aku nggak nunggu kamu bilang makasih, Alya. Aku ada di sini bukan karena kamu minta… tapi karena aku mau." Alya terdiam. Ada banyak kata dalam hatinya, tapi ia memilih menyimpannya.

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Awal Baru

    Pagi itu, suasana di rumah Alya berbeda. Cahaya matahari masuk hangat lewat jendela, menandai permulaan baru. Damar masuk membawa dua gelas teh. Damar: "Selamat pagi, calon pengusaha besar." Alya tertawa kecil. "Aamiin. Tapi pelan-pelan dulu, ya. Satu langkah satu waktu." Mereka duduk bersama, membuka laptop yang berisi rencana ekspansi: toko offline pertama di kota sebelah. Zila masuk sambil membawa map tebal. Zila: "Ini proposal kerja sama dari investor lokal. Katanya tertarik karena branding kita makin kuat." Alya membaca pelan-pelan, lalu menatap keduanya. Alya: "Aku gak nyangka… semua ini mulai dari nol. Sekarang kita mulai babak baru." Damar: "Dan kita mulai bukan karena keberuntungan, tapi karena keberanian kamu buat bangkit." Alya tersenyum. "Mari kita buka lembar baru. Semoga jalan ini berkah." ---

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status