Share

Chapter 6 - Trauma

"Ngapain kemari pagi-pagi buta?"

Riley mengencangkan tali bathrobe yang dikenakannya. "Ada masalah?" Tanyanya penasaran begitu melihat kerutan di kening Allen.

"Sorry, Bro." Allen meletakkan amplop coklat di atas meja, mengetuk dua kali, memberi tanda agar Riley segera melihatnya.

"Ini darurat."

Riley mengernyitkan keningnya, meraih amplop dan membukanya. Matanya meneliti setiap kata dalam lembaran kertas yang berisi informasi pribadi Megan.

"Sepertinya dari awal kalian berdua berjodoh," goda Allen sambil menyesap kopinya dari bibir cangkir.

"Megan, penulis naskah dalam film yang kita garap bulan ini?"

Jadi ini alasannya? Pantas saja, Riley tidak merasa asing, seolah pernah melihat wajah Megan di suatu tempat meski tidak dapat mengingatnya secara spesifik.

"Ya. Dan satu hal lagi, kita baru saja mengajukan gugatan kepada rumah produksi atas tuduhan kelalaian kerja," tambah Allen.

Riley tertawa miris. "Segera cabut gugatannya. Kita bisa terkena masalah baru kalau sampai Megan tahu apa yang terjadi pada karyanya."

"Sepertinya kamu mulai terbiasa dengan wanita itu?"

Riley mengeram pelan. "Namanya Megan, berhenti memanggilnya dengan sebutan dia atau wanita itu, tidak sopan," tandasnya.

"Wah, bahkan sekarang kamu protes karena aku tidak menyebut namanya." Allen semakin bersemangat untuk menggoda sahabatnya.

Riley menaikkan alisnya, mencerna maksud kalimat Allen. "Jangan berpikir dengan otak komplek mu, Allen. Semua masalah akan menjadi semakin rumit," sindirnya.

Allen tertawa keras. "Ya, ya. Teruslah mengelak Rey."

'Ini semakin menarik,' batin Allen senang.

"Jadi? Kapan rencana mu muncul di perusahaan?"

Allen membetulkan posisi duduknya, beralih pada mode serius. "Para pemegang saham mulai ketar-ketir, takut kamu melarikan diri membawa uang mereka yang tidak seberapa itu," lanjutnya dengan wajah mengetat.

"Biarkan saja mereka. Kenapa kamu selalu menelan bulat-bulat omongan mereka?"

"Well, mereka tidak berani buka mulut didepan mu tapi begitu melihat ku," Allen memutar tangannya seolah mengambarkan gelombang yang bergelung saat air pasang.

"Mereka berbondong-bondong datang untuk berkeluh-kesah tentang hal-hal konyol."

"Seperti yang kamu lakukan sekarang? Mengeluh padaku?" Ejek Riley. Dia tersenyum geli melihat bibir Allen yang mengerucut.

"Jadi, kapan kamu ke kantor? Aku mulai kewalahan menghadapi mereka," keluh Allen lebih dalam.

"Sekitar jam sepuluh. Aku harus memastikan Megan sarapan dan minum obat, setelah itu kita berangkat bareng," putus Riley. Dia bangkit dari posisinya menuju kamar.

"Ah, betapa menyenangkannya punya istri. Sekarang aku iri!" Seru Allen, dengan sengaja mengeraskan suaranya.

Riley mengacungkan jari tengahnya tanpa berniat untuk menanggapi kekonyolan Allen lebih lanjut. Tidak ada orang yang bisa menandingi Mr. Rewel itu.

***

"Aaa ... hah ... hah ..."

Megan tersentak bangun dari tidurnya, ia mencengkram erat dadanya. Mengikuti alur napasnya yang memburu. Bulir keringat membasahi keningnya dan merembes turun, membasahi piyama yang dikenakannya. Dalam benak Megan kembali berputar reka ulang kecelakaan yang terjadi.

Terbangun dari koma, hampir di setiap malamnya, Megan memimpikan kejadian yang sama, membuatnya terbangun dengan wajah pucat dan napas memburu.

"Ada apa, Meg? Kamu mimpi buruk lagi?"

Megan mengangkat wajahnya. Matanya bertemu dengan pria bersetelan jas yang tengah menatapnya dengan raut cemas.

"Ya," sahut Megan pelan. Seolah ini telah menjadi rutinitasnya di pagi hari.

Riley menempelkan tangannya di kening Megan, mengukur suhu tubuhnya. Dia mendesah lega setelah yakin Megan tidak mengalami demam.

"Lebih baik kita menemui psikolog," usulnya.

"Kamu mau pergi?"

Megan melirik penampilan rapi pria itu. 'Tampan,' pujinya dalam hati.

"Ya, jadwal terapi mu di undur siang hari. Jadi, aku ke kantor sebentar untuk mengurus beberapa pekerjaan."

"Aku bosan," celetuk Megan tiba-tiba. "Bisakah aku keluar dari ruangan ini?"

Megan memasang ekspresi memelas, berharap Riley mengizinkannya keluar dari ruangan serba putih yang menyerupai rumah sakit ini. Megan sudah bosan dan muak berada di ruangan ini, terlebih dengan kondisi kakinya saat ini otomatis dia tidak bisa bergerak seinchi pun, membuat perasaannya semakin tertekan.

"Atau kamu bisa mengirimku pulang, aku janji tidak akan merepotkanmu lebih dari ini."

Riley mengeram dalam. "Megan, kalau kamu tetap membahas masalah pulang, aku pastikan kamu tidak akan pernah bisa keluar dari ruangan ini selamanya," kecamnya.

Wajah Megan segera meredup. "Maaf," sesalnya.

Riley menarik senyum puas. "Kalau kamu berjanji untuk menjaga sikap, aku akan mengizinkanmu keluar dari ruangan ini."

Senyum Megan merekah, dia menganggukkan kepalanya cepat. "Aku janji."

"Bagus." Riley mengusap lembut pipi Megan. "Ayo, aku bantu bersih-bersih. Setelah itu kita turun untuk sarapan."

Riley melepas jasnya lalu meraih tubuh Megan, mengangkat dan membawanya dalam pelukannya.

"Pegangan," perintahnya.

Megan ragu-ragu, mengalungkan lengannya di leher pria itu. Detak jantungnya berpacu lebih cepat bersamaan dengan semburat merah di pipinya yang terasa panas. Megan menyembunyikan wajahnya di dada Riley, mencegah pria itu tahu apa yang sedang dirasakannya.

Riley menurunkan tubuh Megan perlahan, setelah sebelumnya memastikan lantai bathroom kering.

"Kamu mau aku bantu," Riley meremas tekuknya, ragu untuk melanjutkan kalimatnya. "Hmm, mele-"

"Nggak," potong Megan. Dia yakin, wajahnya sudah memerah seperti tomat. "Aku bisa sendiri. Kamu keluar aja," usirnya.

'Ini memalukan!' jerit hati Megan. Ia ingin sekali mengali lubang dan menyemai wajahnya sedalam mungkin karena malu.

"Hmm, ok. Panggil aku kalau kamu butuh sesuatu," ucap Riley terbata. "Aku di depan pintu."

Riley bergegas keluar dan menutup pintu. Jantungnya seakan meledak oleh gairah yang tertahan. Naluri setan nya seakan berperang, ingin menyentuh wanita yang seharusnya tidak disentuhnya.

"Sial! Ini akan membunuhku pelan-pelan," desisnya geram.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status