"Ngapain kemari pagi-pagi buta?"
Riley mengencangkan tali bathrobe yang dikenakannya. "Ada masalah?" Tanyanya penasaran begitu melihat kerutan di kening Allen."Sorry, Bro." Allen meletakkan amplop coklat di atas meja, mengetuk dua kali, memberi tanda agar Riley segera melihatnya."Ini darurat."Riley mengernyitkan keningnya, meraih amplop dan membukanya. Matanya meneliti setiap kata dalam lembaran kertas yang berisi informasi pribadi Megan."Sepertinya dari awal kalian berdua berjodoh," goda Allen sambil menyesap kopinya dari bibir cangkir."Megan, penulis naskah dalam film yang kita garap bulan ini?"Jadi ini alasannya? Pantas saja, Riley tidak merasa asing, seolah pernah melihat wajah Megan di suatu tempat meski tidak dapat mengingatnya secara spesifik."Ya. Dan satu hal lagi, kita baru saja mengajukan gugatan kepada rumah produksi atas tuduhan kelalaian kerja," tambah Allen.Riley tertawa miris. "Segera cabut gugatannya. Kita bisa terkena masalah baru kalau sampai Megan tahu apa yang terjadi pada karyanya.""Sepertinya kamu mulai terbiasa dengan wanita itu?" Riley mengeram pelan. "Namanya Megan, berhenti memanggilnya dengan sebutan dia atau wanita itu, tidak sopan," tandasnya."Wah, bahkan sekarang kamu protes karena aku tidak menyebut namanya." Allen semakin bersemangat untuk menggoda sahabatnya.Riley menaikkan alisnya, mencerna maksud kalimat Allen. "Jangan berpikir dengan otak komplek mu, Allen. Semua masalah akan menjadi semakin rumit," sindirnya.Allen tertawa keras. "Ya, ya. Teruslah mengelak Rey."'Ini semakin menarik,' batin Allen senang."Jadi? Kapan rencana mu muncul di perusahaan?"Allen membetulkan posisi duduknya, beralih pada mode serius. "Para pemegang saham mulai ketar-ketir, takut kamu melarikan diri membawa uang mereka yang tidak seberapa itu," lanjutnya dengan wajah mengetat."Biarkan saja mereka. Kenapa kamu selalu menelan bulat-bulat omongan mereka?""Well, mereka tidak berani buka mulut didepan mu tapi begitu melihat ku," Allen memutar tangannya seolah mengambarkan gelombang yang bergelung saat air pasang."Mereka berbondong-bondong datang untuk berkeluh-kesah tentang hal-hal konyol.""Seperti yang kamu lakukan sekarang? Mengeluh padaku?" Ejek Riley. Dia tersenyum geli melihat bibir Allen yang mengerucut."Jadi, kapan kamu ke kantor? Aku mulai kewalahan menghadapi mereka," keluh Allen lebih dalam."Sekitar jam sepuluh. Aku harus memastikan Megan sarapan dan minum obat, setelah itu kita berangkat bareng," putus Riley. Dia bangkit dari posisinya menuju kamar."Ah, betapa menyenangkannya punya istri. Sekarang aku iri!" Seru Allen, dengan sengaja mengeraskan suaranya.Riley mengacungkan jari tengahnya tanpa berniat untuk menanggapi kekonyolan Allen lebih lanjut. Tidak ada orang yang bisa menandingi Mr. Rewel itu.***"Aaa ... hah ... hah ..."Megan tersentak bangun dari tidurnya, ia mencengkram erat dadanya. Mengikuti alur napasnya yang memburu. Bulir keringat membasahi keningnya dan merembes turun, membasahi piyama yang dikenakannya. Dalam benak Megan kembali berputar reka ulang kecelakaan yang terjadi.Terbangun dari koma, hampir di setiap malamnya, Megan memimpikan kejadian yang sama, membuatnya terbangun dengan wajah pucat dan napas memburu."Ada apa, Meg? Kamu mimpi buruk lagi?"Megan mengangkat wajahnya. Matanya bertemu dengan pria bersetelan jas yang tengah menatapnya dengan raut cemas."Ya," sahut Megan pelan. Seolah ini telah menjadi rutinitasnya di pagi hari.Riley menempelkan tangannya di kening Megan, mengukur suhu tubuhnya. Dia mendesah lega setelah yakin Megan tidak mengalami demam."Lebih baik kita menemui psikolog," usulnya."Kamu mau pergi?"Megan melirik penampilan rapi pria itu. 'Tampan,' pujinya dalam hati."Ya, jadwal terapi mu di undur siang hari. Jadi, aku ke kantor sebentar untuk mengurus beberapa pekerjaan.""Aku bosan," celetuk Megan tiba-tiba. "Bisakah aku keluar dari ruangan ini?"Megan memasang ekspresi memelas, berharap Riley mengizinkannya keluar dari ruangan serba putih yang menyerupai rumah sakit ini. Megan sudah bosan dan muak berada di ruangan ini, terlebih dengan kondisi kakinya saat ini otomatis dia tidak bisa bergerak seinchi pun, membuat perasaannya semakin tertekan."Atau kamu bisa mengirimku pulang, aku janji tidak akan merepotkanmu lebih dari ini."Riley mengeram dalam. "Megan, kalau kamu tetap membahas masalah pulang, aku pastikan kamu tidak akan pernah bisa keluar dari ruangan ini selamanya," kecamnya.Wajah Megan segera meredup. "Maaf," sesalnya.Riley menarik senyum puas. "Kalau kamu berjanji untuk menjaga sikap, aku akan mengizinkanmu keluar dari ruangan ini."Senyum Megan merekah, dia menganggukkan kepalanya cepat. "Aku janji.""Bagus." Riley mengusap lembut pipi Megan. "Ayo, aku bantu bersih-bersih. Setelah itu kita turun untuk sarapan."Riley melepas jasnya lalu meraih tubuh Megan, mengangkat dan membawanya dalam pelukannya."Pegangan," perintahnya.Megan ragu-ragu, mengalungkan lengannya di leher pria itu. Detak jantungnya berpacu lebih cepat bersamaan dengan semburat merah di pipinya yang terasa panas. Megan menyembunyikan wajahnya di dada Riley, mencegah pria itu tahu apa yang sedang dirasakannya.Riley menurunkan tubuh Megan perlahan, setelah sebelumnya memastikan lantai bathroom kering."Kamu mau aku bantu," Riley meremas tekuknya, ragu untuk melanjutkan kalimatnya. "Hmm, mele-""Nggak," potong Megan. Dia yakin, wajahnya sudah memerah seperti tomat. "Aku bisa sendiri. Kamu keluar aja," usirnya.'Ini memalukan!' jerit hati Megan. Ia ingin sekali mengali lubang dan menyemai wajahnya sedalam mungkin karena malu."Hmm, ok. Panggil aku kalau kamu butuh sesuatu," ucap Riley terbata. "Aku di depan pintu."Riley bergegas keluar dan menutup pintu. Jantungnya seakan meledak oleh gairah yang tertahan. Naluri setan nya seakan berperang, ingin menyentuh wanita yang seharusnya tidak disentuhnya."Sial! Ini akan membunuhku pelan-pelan," desisnya geram.*****"Wah, akhirnya tuan putri turun juga," goda Allen begitu melihat Riley muncul di ujung tangga bersama Megan dalam gendongannya. "Kalian terlalu lama. Aku dan Tante hampir mati kelaparan," keluhnya.Wajah keduanya sama-sama merah merona, membuat Allen curiga dan semakin semangat untuk menggoda.Riley mendesis kesal, membulatkan matanya, melarang Allen menganggu wanita dalam dekapannya."Jangan pedulikan dia," bisik Riley. "Turunkan aku," balas Megan. Desahan hangat suara Riley yang sangat dekat, nyaris membuat jantung Megan melompat keluar.Riley mendudukkan Megan di kursi lalu beralih duduk disampingnya."Pagi, Megan," sapa Maria. Megan mengangguk pelan, dia masih malu mengingat reaksinya yang berlebihan pada wanita bermata teduh itu."Pa-pagi Tante.""Mama," ralat Riley.Megan menoleh untuk protes tapi tertahan oleh tangan Maria yang menepuk lembut lengannya."Mama senang kama sudah ceria lagi," ucap Maria tulus. "Kamu mau makan apa, Sayang?""Roti saja," sahut Riley mewakilkan Me
"Megan, kamu mau makan apa, Sayang?"Maria duduk disamping menantunya, mengelus rambut sebahu milik Megan dengan penuh kasih sayang. Semenjak melihat wanita muda itu, Maria memanjatkan rasa bersyukur dalam hati, akhirnya dia bisa memiliki seorang putri yang diimpikannya selama ini."Apa makanan kesukaanmu?"Megan takut-takut menatap Maria. "Apa saja Tante.""Kenapa kamu jadi canggung seperti ini?""Hmm, aku malu karena bersikap kasar pada Tante beberapa hari yang lalu," ucap Megan. Wajahnya menunduk dalam, menyesali perbuatannya."Kamu nggak perlu malu, Sayang." Tangan Maria beralih ke pipi putih. "Sudah sepatutnya kamu marah pada Mama, tapi Mama mohon, jangan menyerah.""Mama dan Riley akan selalu ada disamping mu," lanjut Maria. Mengengam erat kedua tangan Megan.Megan menatap wajah keibuan itu. Hatinya menghangat, pikirannya mengurai satu pertanyaan konyol. 'Apakah Ibuku juga seperti ini? Hangat dan nyaman.'Riley turun dari lantai atas rumahnya, matanya disambut oleh pemandangan ya
Riley memperhatikan Megan yang duduk di tepi ranjang, wanita itu tampak larut dalam lamunannya. Riley menghampirinya lalu menempelkan jari telunjuk, mengurut lepas kerutan di kening Megan. "Tidurlah. Apa yang kamu pikirkan?" Megan mengangguk patuh lalu masuk ke balik selimut, matanya tak lepas memperhatikan setiap gerakan pria yang berstatus sebagai suaminya."Hei, sampai kapan ini akan berlangsung?" Ia melemparkan pertanyaan tanpa sadar."Hei?" Ulang Riley, menaikkan alisnya cukup tinggi. Pertanda dia terganggu dengan cara Megan memanggilnya."Berhenti menggunakan kata hei atau kamu, untuk memanggil ku," ujar Riley mengingatkan."Jadi? Aku harus memanggilmu apa?"Riley diam sesaat untuk berpikir. "Suamiku?" Godanya. Dia bisa melihat jelas ekspresi keberatan di wajah Megan.Megan bergidik jijik. 'Yuck!'"Rey, kamu bisa memanggilku dengan nama itu. Seperti yang dilakukan Mama dan Allen.""Rey," gumam Megan mengeja."Dan, apa maksudmu dengan sampai kapan?""Yah, sampai kapan kamu mau m
"Rey, lokasi syuting yang mau kita kunjungi itu adalah projek film dimana Megan sebagai scriptwriter nya," ujar Allen. Ia menyerahkan berkas yang harus ditanda tangani.Tangan Riley yang tengah sibuk mengayunkan bolpoin tiba-tiba mengantung di udara. Dia segera berpaling pada Allen."Kamu yakin?" Burunya.Allen mengangguk tegas. "Produser dan sutradara menghubungi ku seminggu yang lalu, mereka minta diadakan pertemuan dengan para investor untuk membahas kelanjutan proses produksi.""Apa yang harus kita lakukan? Kemungkinan besar, Megan akan diganti agar proses produksi bisa tetap berjalan," lanjut Allen tak ingin memberi jeda."Apa kita bisa menunda lebih lama?""Aku tidak yakin, kamu tahu tabiat Derek. Pria itu terus mengeluh."Allen kembali kesal setiap kali mengingat rentetan keluhan beserta rengekan sutradara itu."Hmm, kalau begitu kita harus mengambil alih seluruh investasi."Kening Allen mengernyit takut. "Maksud kamu jadi investor tunggal?" Ia berseru tak percaya."Ya. Akan leb
'Riley Charles?'Tiga puluh menit telah berlalu sejak ia menerima telepon dari Megan. Dan kini, Baron terus mengulang nama yang sama dalam benaknya. Ia membuka kunci layar ponselnya, mengetik sebuah nama di kolom pencarian. Tak lama, ia mendapati laman yang menuliskan biodata orang yang dicarinya.'CEO RC Production?'"Hei, Baron."Zian dan Nesa muncul dari balik pintu masuk cafe. Zian segera duduk dihadapan pemilik cafe sedangkan Nesa mengikuti langkahnya dengan wajah tertunduk menatap lantai."Kata Nesa, kamu tahu apa yang terjadi pada Megan? Dimana dia?"Baron menatap kedua tamunya dengan tatapan linglung. Ia masih sibuk merangkai berbagai informasi acak yang tiba-tiba diterimanya."Kalian mau minum apa?" Baron melambaikan tangannya memanggil barista."Dua Americano," putus Zian tanpa bertanya pada Nesa.Baron melirik Nesa, meminta persetujuannya. Wanita itu hanya mengangguk malu-malu yang membuat Zian hampir tersedak, menahan tawa.Nesa melotot kesal, memperingatkan Zian agar menut
"Megan," desah Riley."Hmm?" Megan membulatkan matanya. Ia bisa melihat dengan jelas hasrat yang coba di tahan oleh pria disampingnya."Mau lagi?"Megan mengangguk ragu. Ia tidak yakin, hatinya mampu bertahan dengan godaan semanis itu. "Ya," desahnya tanpa sadar.Riley mematahkan blok kedua, mengigitnya lalu mendekatkan bibirnya untuk menjangkau bibir lainnya. Rasa manis menjadi candu begitu kedua bibir bertemu. Diawali dengan kecupan ringan dan perlahan berubah menjadi lumatan yang menuntut Megan untuk lebih membuka diri. Seolah mengajaknya untuk saling bertaut."Meg," desah Riley diantara ciumannya yang memanas.Megan tahu, itu sinyal agar Megan merenggangkan bibirnya untuk memberi celah bagi Riley untuk masuk dan menyapa sekaligus mengeksplorasi."Meg." Riley mulai kehilangan kontrol diri. Ia merengkuh pinggang wanitanya. Mengangkatnya ke atas pangkuan. Mengikis jarak diantara keduanya. Kedua tangan Riley mengapai tekuk Megan, mencegahnya untuk lari.Keduanya saling mengikat hing
"Megan?" Seru Nesa. Menunjuk keluar jendela.Serempak Baron dan Zian mengikuti arah yang di maksud."Iya, itu Megan," balas Baron haru. Dia membuka pintu mobil dan berlari menyeberangi jalan. "Meg, hmmp!"Zian bergerak cepat, membekap mulut Baron dan menyeretnya kembali masuk ke dalam mobil. "Lepas! Apa yang kamu lakukan? Aku ingin menolong Megan!" Sentak Baron marah."Tenanglah!" Zian menekan tombol door lock, memastikan untuk kali ini tidak ada seorangpun yang menyelonong keluar."Kamu tidak bisa tiba-tiba menyerang kesana. Liat tuh!" Tunjuknya ke bangunan kecil di samping pagar. Lima orang pria berbadan tegap dengan seragam hijau tentara."Kamu nggak tahu? Bapaknya Riley itu Jenderal bintang lima. Rumahnya sudah pasti di jaga ketat," tandas Zian."Guys, kayaknya ada yang aneh sama Megan," ujar Nesa."Kenapa dia harus di papah? Apa yang terjadi dengan kakinya?" Nesa menatap wanita yang sudah dianggapnya seperti kakak. Hatinya sedih melihat ekspresi Megan yang tampak kesakitan set
"Wah, hebat Meg! Kamu sudah bisa berdiri?!" seru Maria.Senyum bahagia tak pupus di wajahnya begitu melihat Megan bisa berdiri tanpa bantuan. Maria sangat berharap, Megan bisa pulih seperti sedia kala agar penyesalan di hatinya bisa sedikit berkurang."Syukurlah, Nak. Sebentar lagi kamu pasti bisa berjalan lagi," ucap Maria. Ia menarik Megan ke dalam pelukannya. "Mama sangat senang."Megan mengelus pundak Maria. Ia bisa merasakan pundak itu bergetar, menunjukkan wanita itu tengah menangis. "Makasih, Tante.""Ayo kita duduk dulu," ajak Maria. Dia memapah Megan untuk duduk di sofa."Kita harus kasih tahu, Rey. Dia pasti senang mendengar kabar ini," Maria mengobrak-abrik isi tasnya untuk mencari ponsel."Hmm, Tante." Tahan Megan. "Bisakah, Tante tidak memberitahukan Rey dulu, aku ingin memberinya kejutan," ucap Megan malu-malu.Wajah Maria seketika berseri. "Sayang, kamu sangat menggemaskan.""Baiklah, Mama tidak akan memberitahu Rey." Maria menyimpan kembali ponsel ke dalam tasnya. "Dia