Share

Chapter 5 - Flashback

Penulis: LazuardiBianca
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-18 13:55:05

Megan White duduk di sudut ruangan cafe Au lait, di temani laptop dan ponselnya. Ia mengenakan kaus putih berleher panjang yang dilapisi bomber biru gelap, menambah volume di tubuh kurusnya. Meg—begitu biasanya dia disapa, memilih wash jeans warna senada sebagai bawahan dan menambahkan topi putih dengan lambang NY, menekuk dalam, menutupi hampir separuh wajahnya.

"Kamu ingin mereka di ganti?" Baron—sang barista datang untuk menyapa customer VIP.

Megan mengernyit bingung.

Baron menunjuk piring dan cangkir di atas meja. Dia yakin dua hidangan itu tidak tersentuh sejak diantarkan pramusaji dua jam yang lalu.

"Oh," Megan tersenyum tipis begitu menyadari maksud Baron. "It's ok, Baron. Kamu tahu 'kan? Aku tidak suka sesuatu yang panas."

Baron mengangguk paham. "Kamu ingin sesuatu yang spesial untuk lunch?"

Megan berpikir sejenak. "Kurasa aku merindukan lasagna buatanmu." Matanya melebar begitu membayangkan tiap lapisan pasta ditutupi saus bechamel dengan potongan daging dan sayur.

Baron terkekeh geli. "Baiklah, aku mengerti."

"Oh," tahan Megan sebelum Baron beranjak dari tempatnya. "Jauhkan bawang putih dari makanan ku Baron." Pesannya.

Baron tergelak. "Kamu bukan bocah, Meg," ejeknya lalu bergegas meninggalkan Megan yang memasang wajah cemberut.

Megan kembali memusatkan perhatiannya ke layar laptop. Ia mendesah pelan begitu ponselnya kembali bergetar bersamaan dengan notifikasi baterai lemah. Megan mengalah, ia mengaktifkan airbuds di telinganya.

"Halo?"

[Meg, kamu di mana?]

Seperti yang Megan duga, suara yang muncul begitu ponsel terhubung bukanlah Nesa—asistennya, melainkan suara laki-laki bernama Derek.

"Bukankah aku sudah pernah memperingatkanmu tuan sutradara, berhenti menggunakan asistenku sebagai sandera," ujar Megan santai.

[Come on Meg, kamu tidak bisa begitu saja memutuskan kerja sama hanya karena masalah sepele.]

Megan mengernyit, kalimat Derek mengusik emosinya. Dia menutup layar laptop dan mengangkat cangkir ke bibirnya, menyesap espresso double shot di dalamnya.

"Dari awal aku sudah menekankan pada mu Derek, tidak ada perubahan apapun dalam naskahku," ucapnya tenang. Meredam emosi yang merangkak naik menuju pembuluh darah di otaknya.

Megan memotong ujung tiramisu, menikmati sensasi rasa manis dan pahit yang dihantarkan oleh signature dish cafe ini.

Megan mendengar desahan pasrah dari lawan bicara dan membuatnya menarik seulas senyum puas.

[Baiklah, aku menyerah Meg. Lakukan apapun yang kamu mau tapi aku mohon padamu segera ke lokasi.]

"Berikan ponsel pada Nesa," potong Megan. Dia tidak tertarik mendengar ocehan Derek lebih lama lagi.

[Meg.]

"Apa yang terjadi?"

[Para kru dan aktris menolak syuting, mereka sudah tahu kalau kamu keluar dari proyek ini.]

Suara Nesa setengah berbisik. Megan yakin Derek masih berada di sekitarnya.

"Baiklah. Dua puluh menit lagi aku tiba di lokasi," putus Megan.

Dia mendesah pelan, dari awal Megan sudah menunjukkan keraguan begitu tahu dia harus berkerja sama dengan Derek. Laki-laki itu di kenal sebagai sutradara yang kerap semena-mena dan senang mengutak-atik naskah sesuai keinginannya.

Selama ini Derek bekerja sama dengan penulis pemula, sehingga mudah baginya menekan para penulis muda itu. Membuat mereka hanya bisa pasrah dan menerima dengan berat hati saat karya yang mereka tulis dengan jerih payah berubah menjadi film murahan beraroma dewasa menjurus pornografi dalam setiap scene dan hanya di putar menjelang tengah malam dengan label rate 21+.

Sayangnya, untuk kali ini Derek harus bertemu Megan yang menolak mentah-mentah rancangan dari setiap adegan yang diaturnya. Bagi Megan, karyanya harus bisa di nikmati oleh penonton secara visual maupun audio. Megan mengedepankan alur cerita yang menarik dan bernilai, tidak hanya mengandalkan adegan berlendir yang memancing minat kalangan tertentu.

Pertikaian antara penulis dengan sutradara tidak dapat dielakkan hingga produser harus turun tangan. Akhir dari adu argumen di menangkan oleh Megan yang pada dasarnya didukung penuh oleh produser dan para investor.

"Mau kemana?" Tanya Baron begitu melihat Megan meninggalkan mejanya.

"Aku harus ke lokasi."

"Tunggu sepuluh menit lagi, lasagna mu segera siap. Kamu bisa membawanya dan makan di lokasi."

Megan menggeleng. "Tidak usah, aku tidak ingin berbagi dengan mereka. Letakkan di ruangan saja, aku akan memakannya saat pulang."

Kondominium Megan tepat berada, di lantai tiga gedung ini. Lebih tepatnya dia pemilik gedung berlantai tiga di mana lantai pertama dijadikan cafe yang di kelola oleh Baron sedangkan lantai kedua sebagai kantor sekaligus ruangan Baron.

"Baiklah, hati-hati," pesan Baron. "Kabari aku kalau kamu pulang."

Megan mengangguk kecil lalu melambai sebelum keluar dari cafe. Dia menuju mobilnya yang di parkir tidak jauh dari lokasi cafe. Sebelum menginjak pedal gas, Meg menyempatkan diri melihat penampilannya dari pantulan kaca spion tengah. Tidak ada yang istimewa, cukup untuk menggambarkan wajah yang belum tidur selama dua malam. SUV Crossover berwarna biru metalik milik Megan bergerak cepat membelah jalanan beraspal rata.

Konsentrasi Megan terusik begitu ponsel yang disematkannya pada car holder bergetar. Ia melirik nama di layar, Nesa kembali menghubunginya.

[Meg, kamu sudah berangkat?]

"Ya, aku OTW."

[Meg, para investor datang untuk mengecek lokasi syuting. Kurasa mereka sudah mendengar kabar tentang syuting yang tertunda dan sekarang Derek sedang menjelek-jelekkan mu di depan mereka.] Nada suara Nesa terdengar emosional saat menyebut nama Derek.

Meg terkekeh pelan. "Biarkan saja."

[Ah, Meg! Kamu tidak melihat wajah menyebalkan Derek saat menyebut nama mu.]

"Itu bukan pertama kalinya terjadi," batin Megan geli.

"Aku hampir sampai, lima menit lagi." Megan melirik layar maps di LCD mobil.

"Ok," sahut Nesa semangat.

Megan memutuskan sambungan ponsel. Keningnya mengernyitkan heran, melihat sebuah sedan merah melaju zig-zag tidak berarah dari arah yang berlawanan. Megan membunyikan klakson berkali-kali untuk menyadarkan supir yang mungkin tertidur di balik kemudi namun tidak ada respon. Megan membanting setirnya ke kanan untuk menghindari sedan merah yang tengah melaju dengan kecepatan tinggi ke arahnya

[Ciettt ...]

*****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Kontrak Sang Miliarder    Chapter 125 - Epilog

    "Megan!"Zian berteriak nyaring. Dia tengah susah payah memegangi background agar tak terhempas angin kencang yang mengarah dari blower besar yang diletakkan di depan model."Kamu kejam," desisnya nelangsa.Megan terkekeh-kekeh sambil mengibaskan tangannya."Jangan cengeng," balasnya tanpa mengindahkan protes Zian.Baron yang tengah melakukan pose di tengah set up pantry dengan background puluhan jenis tanaman—sambil memegang moca pot, harus mengencangkan otot pipinya agar tidak tertawa keras ataupun melayangkan protes yang sama nyaringnya kepada Megan."Ok, cut." Suara teriakan yang menandakan pengambilan satu scene telah selesai, sukses membuat Baron dan Zian kompak mendesah lega."Baron, kita istirahat dulu ya," ujar wanita yang memegang kamera.Baron mengangguk cepat dan buru-buru merenggangkan tubuhnya dan berjalan keluar dari set. Dibelakangnya, Zian melakukan hal yang sama dan segera mengejar langkah kru lainnya."Megan, kita kesini mau liburan loh. Ini malah tiba-tiba jadi suka

  • Istri Kontrak Sang Miliarder    Chapter 124 - Akhir, Namun Tak Pernah Berakhir

    "Rey, apa kamu marah karena aku menolak permintaan Papa untuk mengadakan ulang pesta pernikahan kita?"Megan memainkan jemarinya di atas gelembung sabun yang menutupi permukaan air."Ah." Pekik Megan kaget karena tiba-tiba tubuhnya di tarik ke belakang hingga punggungnya menempel di dada bidang suaminya."Katakan alasannya, kenapa aku harus marah?" bisik Riley tepat telinga istrinya.Tubuh Megan mengelijang, ia bergelung di dada suaminya. "Aku takut, kamu berpikir bahwa aku terlalu egois karena memutuskan untuk menolak permintaan Papa tanpa berdiskusi denganmu," sesalnya.Riley menciumi pundak Megan. "Boleh aku tahu, apa alasan sebenarnya kamu menolak?""Aku hanya tidak ingin media terlalu menyorot pernikahan kita, terlebih anak-anak. Tidak ada orang lain yang boleh menyentuh milikku." Tutur Megan sambil mengosok buku-buku jari suaminya."Menjadi posesif, hmm?' goda Riley."Tidak boleh?"Riley tak berkata apapun, ia hanya mencium kening Megan lamat-lamat."Hmm. Rey, itu … ahhh." Megan

  • Istri Kontrak Sang Miliarder    Chapter 123 - Drama Pernikahan

    "Hufff … sedikit lagi, Sayang."Zian menopangkan kedua tungkai Nesa ke pundak lalu mendorong gerakan pinggulnya lebih dalam dan keras."Cepat! A—acara udah mau di mulai," teriak Nesa panik."Sedikit lagi. Aku hampir nyampe," racau Zian. Ia menyibak gaun yang dikenakan Nesa untuk memberi akses lebih dalam baginya. Zian mempercepat gerakannya, mendorong lebih untuk menembus kedalaman menuju dasar."Akh, Zian! Terlalu cepat." Protes Nesa saat Zian bergerak maju mundur dengan tempo cepat tanpa memberinya kesempatan untuk bernapas."Sayang, di luar atau da—dalam?" Napas Zian tersengal hingga membuat kalimatnya terputus-putus."Dalam aja," lenguh Nesa. "Jangan mengotori gaunnya." Pesannya sebelum mengepalkan tangannya, mencengkram pinggiran sofa dengan erat."Ah … Zian, a—aku …" Nesa menjerit nyaring kala menjemput puncak pelepasannya."Akh … ah." Zian mengikuti jejak istrinya. Melepaskan sentakan beserta tembakan kuat ke dalam rahim dan perlahan menarik keluar miliknya.Zian bangkit untuk

  • Istri Kontrak Sang Miliarder    Chapter 122 - Mengiklaskan Masa Lalu

    Megan keluar dari kamarnya dengan wajah cerah. Ia menyibakkan rambut sebahunya yang mengayun lembut setelah keramas untuk yang kedua kalinya. Langkahnya masih sedikit terseok-seok akibat pertempuran semalam. Riley benar-benar mengamuk, bagai kuda liar melampiaskan seluruh hasratnya yang telah lama tertunda. Megan meraih kenop pintu, kamar si kembar. Bibirnya mengurai senyum geli melihat kumpulan orang yang tidur, saling berhimpitan di ranjang sempit.Semalam, para sahabat menginap di ruangan si kembar sedangkan para bayi tidur terpisah di kamar tamu bersama kakeknya."Baron." Panggilnya sambil mencolek pipi pria imut yang memeluk erat lengan kekasihnya."Hmm." Erang Baron pelan."Udah pagi."Baron mengeliat pelan. "Hmm." Balasnya dan kembali menyandarkan kepalanya di dada Allen. "Lima menit lagi."Megan tersenyum kecil lalu beralih pada Nesa yang merebahkan kepalanya di paha suaminya."Bangunlah. Bukankah kalian harus ke lokasi syuting hari ini?" Megan mengelus pipi Nesa yang pucat

  • Istri Kontrak Sang Miliarder    Chapter 121 - Gairah Cinta Yang Meluap

    Baron dan Zian berjingkrak perlahan, mengendap-endap bagai maling jemuran yang tengah menyortir tali jemuran targetnya."Di mana mereka?" Bisik Zian.Baron menggeleng. Ia telah menyusuri hampir seluruh rumah tapi tak juga menemukan jejak Megan dan suaminya.Keduanya menghilang bagai di telan bumi setelah menyerahkan si kembar di bawah pengawasan para kakek dan nenek."Apa mereka ke hotel?" Celetuk Zian."Masa sih? Niat banget," balas Baron ragu."Mereka 'kan udah lama nggak make out. Pasti bakal semalaman bertempur."Baron menegakkan tubuhnya, lelah mengintai. Ia memutar pinggulnya ke kiri dan kanan untuk merenggangkan tubuh."Dah ah, nggak asyik." Keluhnya. "Masuk yuk, lapar."Zian mengikuti jejaknya. "Ya udah deh. Aku juga mau nemanin Nesa bobok."Baron mengerlingkan matanya. "Cie … udah punya temen bobok," godanya.Zian melayangkan tangannya untuk mengeplak kepala Baron, tapi pria imut itu dengan cepat berkelit."Kamu butuh seribu tahun lagi untuk menyentuh ku," ledek Baron."Awas a

  • Istri Kontrak Sang Miliarder    Chapter 120 - Kebahagiaan Yang Tertunda

    "Ku harap hasilnya baik." Gumam Edbert sambil terkekeh. Menertawakan kebodohan yang tengah dilakukannya.Edbert membuka amplop yang diterimanya dari dokter Brown, ia mengeluarkan dua lembar kertas dari dalam sana dan mulai membaca setiap baris kalimat yang tercetak di kertas."Tentu saja baik, Pak. Apakah itu DNA putri anda? Karena 99%, DNA nya cocok dengan milik anda," ujar sang dokter yang seketika membuat dunia Edbert terguncang."Cocok? Maksud mu?" Edbert mengabaikan kertas yang hendak ia buka dan lebih tertarik untuk memandang sang dokter. Mencari kebenaran akan apa yang baru saja ia dengar."Ya. Dari sampel darah yang anda berikan, kami memastikan bahwa DNA itu adalah putri kandung anda.""Anda yakin dokter Brown?" "Seratus persen yakin." Ucap sang dokter tegas.Edbert memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa panas dan berat. "Anakku? Putriku?" Gumamnya sedih."Apa ada masalah, Pak Edbert?"Edbert melambaikan tangannya. "Tidak, tidak ada yang salah. Justru ini kabar yang sanga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status