Megan White duduk di sudut ruangan cafe Au lait, di temani laptop dan ponselnya. Ia mengenakan kaus putih berleher panjang yang dilapisi bomber biru gelap, menambah volume di tubuh kurusnya. Meg—begitu biasanya dia disapa, memilih wash jeans warna senada sebagai bawahan dan menambahkan topi putih dengan lambang NY, menekuk dalam, menutupi hampir separuh wajahnya.
"Kamu ingin mereka di ganti?" Baron—sang barista datang untuk menyapa customer VIP.Megan mengernyit bingung.Baron menunjuk piring dan cangkir di atas meja. Dia yakin dua hidangan itu tidak tersentuh sejak diantarkan pramusaji dua jam yang lalu."Oh," Megan tersenyum tipis begitu menyadari maksud Baron. "It's ok, Baron. Kamu tahu 'kan? Aku tidak suka sesuatu yang panas."Baron mengangguk paham. "Kamu ingin sesuatu yang spesial untuk lunch?"Megan berpikir sejenak. "Kurasa aku merindukan lasagna buatanmu." Matanya melebar begitu membayangkan tiap lapisan pasta ditutupi saus bechamel dengan potongan daging dan sayur.Baron terkekeh geli. "Baiklah, aku mengerti.""Oh," tahan Megan sebelum Baron beranjak dari tempatnya. "Jauhkan bawang putih dari makanan ku Baron." Pesannya.Baron tergelak. "Kamu bukan bocah, Meg," ejeknya lalu bergegas meninggalkan Megan yang memasang wajah cemberut.Megan kembali memusatkan perhatiannya ke layar laptop. Ia mendesah pelan begitu ponselnya kembali bergetar bersamaan dengan notifikasi baterai lemah. Megan mengalah, ia mengaktifkan airbuds di telinganya."Halo?"[Meg, kamu di mana?]Seperti yang Megan duga, suara yang muncul begitu ponsel terhubung bukanlah Nesa—asistennya, melainkan suara laki-laki bernama Derek."Bukankah aku sudah pernah memperingatkanmu tuan sutradara, berhenti menggunakan asistenku sebagai sandera," ujar Megan santai.[Come on Meg, kamu tidak bisa begitu saja memutuskan kerja sama hanya karena masalah sepele.]Megan mengernyit, kalimat Derek mengusik emosinya. Dia menutup layar laptop dan mengangkat cangkir ke bibirnya, menyesap espresso double shot di dalamnya."Dari awal aku sudah menekankan pada mu Derek, tidak ada perubahan apapun dalam naskahku," ucapnya tenang. Meredam emosi yang merangkak naik menuju pembuluh darah di otaknya.Megan memotong ujung tiramisu, menikmati sensasi rasa manis dan pahit yang dihantarkan oleh signature dish cafe ini.Megan mendengar desahan pasrah dari lawan bicara dan membuatnya menarik seulas senyum puas.[Baiklah, aku menyerah Meg. Lakukan apapun yang kamu mau tapi aku mohon padamu segera ke lokasi.]"Berikan ponsel pada Nesa," potong Megan. Dia tidak tertarik mendengar ocehan Derek lebih lama lagi.[Meg.]"Apa yang terjadi?"[Para kru dan aktris menolak syuting, mereka sudah tahu kalau kamu keluar dari proyek ini.]Suara Nesa setengah berbisik. Megan yakin Derek masih berada di sekitarnya."Baiklah. Dua puluh menit lagi aku tiba di lokasi," putus Megan.Dia mendesah pelan, dari awal Megan sudah menunjukkan keraguan begitu tahu dia harus berkerja sama dengan Derek. Laki-laki itu di kenal sebagai sutradara yang kerap semena-mena dan senang mengutak-atik naskah sesuai keinginannya.Selama ini Derek bekerja sama dengan penulis pemula, sehingga mudah baginya menekan para penulis muda itu. Membuat mereka hanya bisa pasrah dan menerima dengan berat hati saat karya yang mereka tulis dengan jerih payah berubah menjadi film murahan beraroma dewasa menjurus pornografi dalam setiap scene dan hanya di putar menjelang tengah malam dengan label rate 21+.Sayangnya, untuk kali ini Derek harus bertemu Megan yang menolak mentah-mentah rancangan dari setiap adegan yang diaturnya. Bagi Megan, karyanya harus bisa di nikmati oleh penonton secara visual maupun audio. Megan mengedepankan alur cerita yang menarik dan bernilai, tidak hanya mengandalkan adegan berlendir yang memancing minat kalangan tertentu.Pertikaian antara penulis dengan sutradara tidak dapat dielakkan hingga produser harus turun tangan. Akhir dari adu argumen di menangkan oleh Megan yang pada dasarnya didukung penuh oleh produser dan para investor."Mau kemana?" Tanya Baron begitu melihat Megan meninggalkan mejanya."Aku harus ke lokasi.""Tunggu sepuluh menit lagi, lasagna mu segera siap. Kamu bisa membawanya dan makan di lokasi."Megan menggeleng. "Tidak usah, aku tidak ingin berbagi dengan mereka. Letakkan di ruangan saja, aku akan memakannya saat pulang."Kondominium Megan tepat berada, di lantai tiga gedung ini. Lebih tepatnya dia pemilik gedung berlantai tiga di mana lantai pertama dijadikan cafe yang di kelola oleh Baron sedangkan lantai kedua sebagai kantor sekaligus ruangan Baron."Baiklah, hati-hati," pesan Baron. "Kabari aku kalau kamu pulang."Megan mengangguk kecil lalu melambai sebelum keluar dari cafe. Dia menuju mobilnya yang di parkir tidak jauh dari lokasi cafe. Sebelum menginjak pedal gas, Meg menyempatkan diri melihat penampilannya dari pantulan kaca spion tengah. Tidak ada yang istimewa, cukup untuk menggambarkan wajah yang belum tidur selama dua malam. SUV Crossover berwarna biru metalik milik Megan bergerak cepat membelah jalanan beraspal rata.Konsentrasi Megan terusik begitu ponsel yang disematkannya pada car holder bergetar. Ia melirik nama di layar, Nesa kembali menghubunginya.[Meg, kamu sudah berangkat?]"Ya, aku OTW."[Meg, para investor datang untuk mengecek lokasi syuting. Kurasa mereka sudah mendengar kabar tentang syuting yang tertunda dan sekarang Derek sedang menjelek-jelekkan mu di depan mereka.] Nada suara Nesa terdengar emosional saat menyebut nama Derek.Meg terkekeh pelan. "Biarkan saja."[Ah, Meg! Kamu tidak melihat wajah menyebalkan Derek saat menyebut nama mu.]"Itu bukan pertama kalinya terjadi," batin Megan geli."Aku hampir sampai, lima menit lagi." Megan melirik layar maps di LCD mobil."Ok," sahut Nesa semangat.Megan memutuskan sambungan ponsel. Keningnya mengernyitkan heran, melihat sebuah sedan merah melaju zig-zag tidak berarah dari arah yang berlawanan. Megan membunyikan klakson berkali-kali untuk menyadarkan supir yang mungkin tertidur di balik kemudi namun tidak ada respon. Megan membanting setirnya ke kanan untuk menghindari sedan merah yang tengah melaju dengan kecepatan tinggi ke arahnya[Ciettt ...]*****"Ngapain kemari pagi-pagi buta?"Riley mengencangkan tali bathrobe yang dikenakannya. "Ada masalah?" Tanyanya penasaran begitu melihat kerutan di kening Allen."Sorry, Bro." Allen meletakkan amplop coklat di atas meja, mengetuk dua kali, memberi tanda agar Riley segera melihatnya. "Ini darurat."Riley mengernyitkan keningnya, meraih amplop dan membukanya. Matanya meneliti setiap kata dalam lembaran kertas yang berisi informasi pribadi Megan."Sepertinya dari awal kalian berdua berjodoh," goda Allen sambil menyesap kopinya dari bibir cangkir."Megan, penulis naskah dalam film yang kita garap bulan ini?"Jadi ini alasannya? Pantas saja, Riley tidak merasa asing, seolah pernah melihat wajah Megan di suatu tempat meski tidak dapat mengingatnya secara spesifik."Ya. Dan satu hal lagi, kita baru saja mengajukan gugatan kepada rumah produksi atas tuduhan kelalaian kerja," tambah Allen.Riley tertawa miris. "Segera cabut gugatannya. Kita bisa terkena masalah baru kalau sampai Megan tahu apa y
"Wah, akhirnya tuan putri turun juga," goda Allen begitu melihat Riley muncul di ujung tangga bersama Megan dalam gendongannya. "Kalian terlalu lama. Aku dan Tante hampir mati kelaparan," keluhnya.Wajah keduanya sama-sama merah merona, membuat Allen curiga dan semakin semangat untuk menggoda.Riley mendesis kesal, membulatkan matanya, melarang Allen menganggu wanita dalam dekapannya."Jangan pedulikan dia," bisik Riley. "Turunkan aku," balas Megan. Desahan hangat suara Riley yang sangat dekat, nyaris membuat jantung Megan melompat keluar.Riley mendudukkan Megan di kursi lalu beralih duduk disampingnya."Pagi, Megan," sapa Maria. Megan mengangguk pelan, dia masih malu mengingat reaksinya yang berlebihan pada wanita bermata teduh itu."Pa-pagi Tante.""Mama," ralat Riley.Megan menoleh untuk protes tapi tertahan oleh tangan Maria yang menepuk lembut lengannya."Mama senang kama sudah ceria lagi," ucap Maria tulus. "Kamu mau makan apa, Sayang?""Roti saja," sahut Riley mewakilkan Me
"Megan, kamu mau makan apa, Sayang?"Maria duduk disamping menantunya, mengelus rambut sebahu milik Megan dengan penuh kasih sayang. Semenjak melihat wanita muda itu, Maria memanjatkan rasa bersyukur dalam hati, akhirnya dia bisa memiliki seorang putri yang diimpikannya selama ini."Apa makanan kesukaanmu?"Megan takut-takut menatap Maria. "Apa saja Tante.""Kenapa kamu jadi canggung seperti ini?""Hmm, aku malu karena bersikap kasar pada Tante beberapa hari yang lalu," ucap Megan. Wajahnya menunduk dalam, menyesali perbuatannya."Kamu nggak perlu malu, Sayang." Tangan Maria beralih ke pipi putih. "Sudah sepatutnya kamu marah pada Mama, tapi Mama mohon, jangan menyerah.""Mama dan Riley akan selalu ada disamping mu," lanjut Maria. Mengengam erat kedua tangan Megan.Megan menatap wajah keibuan itu. Hatinya menghangat, pikirannya mengurai satu pertanyaan konyol. 'Apakah Ibuku juga seperti ini? Hangat dan nyaman.'Riley turun dari lantai atas rumahnya, matanya disambut oleh pemandangan ya
Riley memperhatikan Megan yang duduk di tepi ranjang, wanita itu tampak larut dalam lamunannya. Riley menghampirinya lalu menempelkan jari telunjuk, mengurut lepas kerutan di kening Megan. "Tidurlah. Apa yang kamu pikirkan?" Megan mengangguk patuh lalu masuk ke balik selimut, matanya tak lepas memperhatikan setiap gerakan pria yang berstatus sebagai suaminya."Hei, sampai kapan ini akan berlangsung?" Ia melemparkan pertanyaan tanpa sadar."Hei?" Ulang Riley, menaikkan alisnya cukup tinggi. Pertanda dia terganggu dengan cara Megan memanggilnya."Berhenti menggunakan kata hei atau kamu, untuk memanggil ku," ujar Riley mengingatkan."Jadi? Aku harus memanggilmu apa?"Riley diam sesaat untuk berpikir. "Suamiku?" Godanya. Dia bisa melihat jelas ekspresi keberatan di wajah Megan.Megan bergidik jijik. 'Yuck!'"Rey, kamu bisa memanggilku dengan nama itu. Seperti yang dilakukan Mama dan Allen.""Rey," gumam Megan mengeja."Dan, apa maksudmu dengan sampai kapan?""Yah, sampai kapan kamu mau m
"Rey, lokasi syuting yang mau kita kunjungi itu adalah projek film dimana Megan sebagai scriptwriter nya," ujar Allen. Ia menyerahkan berkas yang harus ditanda tangani.Tangan Riley yang tengah sibuk mengayunkan bolpoin tiba-tiba mengantung di udara. Dia segera berpaling pada Allen."Kamu yakin?" Burunya.Allen mengangguk tegas. "Produser dan sutradara menghubungi ku seminggu yang lalu, mereka minta diadakan pertemuan dengan para investor untuk membahas kelanjutan proses produksi.""Apa yang harus kita lakukan? Kemungkinan besar, Megan akan diganti agar proses produksi bisa tetap berjalan," lanjut Allen tak ingin memberi jeda."Apa kita bisa menunda lebih lama?""Aku tidak yakin, kamu tahu tabiat Derek. Pria itu terus mengeluh."Allen kembali kesal setiap kali mengingat rentetan keluhan beserta rengekan sutradara itu."Hmm, kalau begitu kita harus mengambil alih seluruh investasi."Kening Allen mengernyit takut. "Maksud kamu jadi investor tunggal?" Ia berseru tak percaya."Ya. Akan leb
'Riley Charles?'Tiga puluh menit telah berlalu sejak ia menerima telepon dari Megan. Dan kini, Baron terus mengulang nama yang sama dalam benaknya. Ia membuka kunci layar ponselnya, mengetik sebuah nama di kolom pencarian. Tak lama, ia mendapati laman yang menuliskan biodata orang yang dicarinya.'CEO RC Production?'"Hei, Baron."Zian dan Nesa muncul dari balik pintu masuk cafe. Zian segera duduk dihadapan pemilik cafe sedangkan Nesa mengikuti langkahnya dengan wajah tertunduk menatap lantai."Kata Nesa, kamu tahu apa yang terjadi pada Megan? Dimana dia?"Baron menatap kedua tamunya dengan tatapan linglung. Ia masih sibuk merangkai berbagai informasi acak yang tiba-tiba diterimanya."Kalian mau minum apa?" Baron melambaikan tangannya memanggil barista."Dua Americano," putus Zian tanpa bertanya pada Nesa.Baron melirik Nesa, meminta persetujuannya. Wanita itu hanya mengangguk malu-malu yang membuat Zian hampir tersedak, menahan tawa.Nesa melotot kesal, memperingatkan Zian agar menut
"Megan," desah Riley."Hmm?" Megan membulatkan matanya. Ia bisa melihat dengan jelas hasrat yang coba di tahan oleh pria disampingnya."Mau lagi?"Megan mengangguk ragu. Ia tidak yakin, hatinya mampu bertahan dengan godaan semanis itu. "Ya," desahnya tanpa sadar.Riley mematahkan blok kedua, mengigitnya lalu mendekatkan bibirnya untuk menjangkau bibir lainnya. Rasa manis menjadi candu begitu kedua bibir bertemu. Diawali dengan kecupan ringan dan perlahan berubah menjadi lumatan yang menuntut Megan untuk lebih membuka diri. Seolah mengajaknya untuk saling bertaut."Meg," desah Riley diantara ciumannya yang memanas.Megan tahu, itu sinyal agar Megan merenggangkan bibirnya untuk memberi celah bagi Riley untuk masuk dan menyapa sekaligus mengeksplorasi."Meg." Riley mulai kehilangan kontrol diri. Ia merengkuh pinggang wanitanya. Mengangkatnya ke atas pangkuan. Mengikis jarak diantara keduanya. Kedua tangan Riley mengapai tekuk Megan, mencegahnya untuk lari.Keduanya saling mengikat hing
"Megan?" Seru Nesa. Menunjuk keluar jendela.Serempak Baron dan Zian mengikuti arah yang di maksud."Iya, itu Megan," balas Baron haru. Dia membuka pintu mobil dan berlari menyeberangi jalan. "Meg, hmmp!"Zian bergerak cepat, membekap mulut Baron dan menyeretnya kembali masuk ke dalam mobil. "Lepas! Apa yang kamu lakukan? Aku ingin menolong Megan!" Sentak Baron marah."Tenanglah!" Zian menekan tombol door lock, memastikan untuk kali ini tidak ada seorangpun yang menyelonong keluar."Kamu tidak bisa tiba-tiba menyerang kesana. Liat tuh!" Tunjuknya ke bangunan kecil di samping pagar. Lima orang pria berbadan tegap dengan seragam hijau tentara."Kamu nggak tahu? Bapaknya Riley itu Jenderal bintang lima. Rumahnya sudah pasti di jaga ketat," tandas Zian."Guys, kayaknya ada yang aneh sama Megan," ujar Nesa."Kenapa dia harus di papah? Apa yang terjadi dengan kakinya?" Nesa menatap wanita yang sudah dianggapnya seperti kakak. Hatinya sedih melihat ekspresi Megan yang tampak kesakitan set