Kai mengantar Rachel sampai ke ruang perawatan IGD. Begitu dokter hendak memeriksanya, Kai memilih keluar dari ruangan itu.Melihat Kai yang keluar dari ruangan, Rachel memanfaatkan kesempatan untuk meminta bantuan dokter.“Biar saya periksa dulu,” ucap dokter.“Saya baik-baik saja, Dok.” Rachel berbisik pada dokter itu.Dokter itu sangat terkejut sampai menatap bingung pada Rachel.“Tolong jangan bicara keras-keras,” ucap Rachel lagi.Dokter dan perawat di sana semakin mengerutkan alis karena bingung.“Saya minta tolong, ya. Bilang saja asam lambung saya naik atau apa pun yang penting tidak sangat parah. Pokoknya cukup bisa membuat pria tadi kasihan pada saya,” ujar Rachel membujuk dokter agar mau berbohong.“Mana boleh seperti itu, Nona?” Dokter tak sepakat.Rachel memutar otak, bagaimana caranya agar dokter mau bekerjasama dengannya.“Tolonglah, Dok. Pria tadi itu pacar saya, kami sedang bertengkar dan ini satu-satunya cara agar dia tidak marah lagi padaku. Tolong, ya.” Rachel berp
Anna sangat terkejut saat melihat siapa yang berjalan menghampiri. Mungkin Anna sebenarnya takut karena tidak sepenuhnya jujur saat meminta izin, membuatnya panik ketika melihat Kai ada di mall itu.Apa Kai melihat Anser yang memberinya sayur? Anna benar-benar cemas kalau Kai marah.“Kai, kebetulan sekali bertemu denganmu di sini,” sapa Anser langsung berdiri saat Kai sudah sampai di meja mereka.Kai tidak langsung membalas sapaan Anser, dia memilih menatap pada Anna sebelum akhirnya menatap pada Anser.“Tapi aku tidak kebetulan berada di sini,” jawab Kai dengan ekspresi datarnya.Anser bisa menangkap rasa tak senang di wajah Kai. Dia sedikit bingung sampai melirik pada Anna dan Bella.Kai menoleh pada Anna lagi, lalu mengulurkan tangan seraya berkata, “Ayo pulang!”Tentu saja sikap Kai membuat Bella dan Anser kebingungan. Mereka langsung menoleh pada Anna yang begitu tegang.“Tunggu!” Anser mencoba mencegah. “Pulang? Maksudmu kamu mengajak Anna pulang? Kamu mengenalnya?” tanya Anser
“Aku bisa jelaskan.” Anna mencoba tenang meski sudah panik luar biasa.Kai menatap datar. Dia berusaha meredam kekesalannya yang ingin sekali meledak dari kepalanya.“Anser itu kakaknya Bella, yang mengirim makanan waktu itu. Aku pikir tidak masalah, apalagi kami pergi bertiga, bukan hanya berdua,” ucap Anna dengan sangat hati-hati.“Tapi kamu istriku! Tidak seharusnya kamu menerima perhatian dari pria lain. Kamu paham!” Kai bicara dengan nada tinggi. Dia benar-benar tak bisa mengendalikan emosinya.“Tapi kamu bisa bicara baik-baik, tidak harus membentak seperti itu, kan!” Anna mendadak kesal karena Kai marah.Anna sudah mengakui kesalahannya, tapi kenapa Kai masih marah-marah. Lagi pula pernikahan mereka memang dirahasiakan, wajar juga Kai tidak bisa menahan rasa cemburu karena sebelumnya Anser berkata jika mau menunggu Anna janda. Ini seperti menampar harga dirinya karena Anser sudah mendekati Anna, bahkan sebelum Anna berpisah darinya.Kai tiba-tiba meraih tengkuk Anna, lalu menau
Bella dan Anser sudah sampai rumah. Mereka pulang setelah Anna dibawa pergi oleh Kai.“Apa Kai itu orangnya kasar? Anna tidak akan disiksa, kan?” Bella sangat mencemaskan Anna. Dia sudah mengirimkan pesan pada Anna untuk bertanya kabar sahabatnya itu, tapi Anna belum membalas.Anser diam berpikir sejenak. Dia sendiri tidak terlalu paham bagaimana sifat Kai, apalagi pria itu sangat dingin dan seperti memasang tembok tinggi agar tidak ada orang yang tahu sifat asli pria itu.“Kak, kenapa kamu malah diam?” tanya Bella tak bisa membendung kecemasannya.“Aku tidak tahu pasti. Kita hanya bisa berdoa agar Anna baik-baik saja dan menunggu kabarnya,” balas Anser pada akhirnya.Bella terkesiap kakaknya hanya mau menunggu. “Tapi bagaimana kalau Anna mengalami kekerasan? Tadi saja pria itu langsung menunjukkan sikap yang tak mengenakkan. Aku mau menyusul ke rumahnya untuk memastikan kondisinya.” Bella tak bisa diam saja. Dia hendak pergi tapi Anser menahan tangannya.“Jangan membuat situasi dan
Anna mengamati jalanan yang mereka lewati. Dia tidak tahu ke mana Kai akan mengajaknya, apalagi Anna diminta berpakaian rapi.“Kita sebenarnya mau ke mana?” tanya Anna seraya menatap pada Kai.“Kamu akan lihat sebentar lagi,” jawab Kai seraya menoleh pada Anna, dia tersenyum kecil pada istrinya itu.Anna tiba-tiba saja merasa gugup, entah kenapa senyum Kai seperti mengandung sesuatu.Setelah beberapa saat perjalanan, Anna melihat gerbang besar yang ada di depan mereka. Mobil Kai memasuki gerbang itu, terlihat rumah mewah berdiri kokoh di depan mata.“Ini rumah siapa?” tanya Anna mulai panik. Dia menoleh lagi pada Kai yang sedang menyetir.Kai memulas senyum lalu menjawab, “Orang tuaku.”Anna langsung menegakkan badan, matanya melotot seperti mau keluar dari tempatnya.“Ke-kenapa kamu mengajakku ke sini?” tanya Anna dengan ekspresi panik.Kai mengerutkan alis mendengar pertanyaan Anna. Dia memarkirkan mobilnya, baru kemudian menoleh pada Anna untuk menjelaskan.“Kamu istriku, kita suda
Anna semakin panik saat melihat Eve yang bicara dengan nada tinggi, apalagi tatapan wanita paruh baya itu benar-benar menunjukkan keterkejutan yang luar biasa.Tanpa sadar, Anna mencengkram genggaman tangan Kai dengan sangat kuat, sampai membuat pria itu kembali menatap padanya.Kai hanya mengangguk pelan, memberi isyarat agar Anna tidak mencemaskan apa pun.“Apa ada yang mau kamu jelaskan, Kai?” tanya Kaivan yang juga sangat terkejut mendengar pengakuan Kai.Eve mendadak limbung dan hampir jatuh kalau tidak ditangkap Kaivan, hal itu membuat semua orang terkejut, termasuk Anna.“Kita bicara di dalam, Kai!” Meski tubuhnya terasa lemas karena syok, tapi Eve masih bicara dengan nada tinggi. “Hanya bertiga dengan papimu!” perintah Eve selanjutnya.Anna hanya diam. Dia merasa kalau orang tua Kai pasti tak menyukainya, membuatnya semakin menunduk dan kehilangan rasa percaya dirinya.Kaivan mengajak Eve masuk lebih dulu, sedangkan Kai langsung memandang pada Anna.“Semua akan baik-baik saja,
Kai melihat sang mami yang sangat syok. Dia sudah menebak jika ibunya akan terkejut, tapi tidak menyangka kalau reaksinya akan seperti ini.Eve selalu mengajarkan hal baik kepadanya, apalagi mereka dulu juga hidup biasa sebelum Kaivan membawa mereka ke rumah besar itu. Kai tidak pernah mendapatkan ajaran buruk, apalagi membedakan status seseorang. Sebab itulah dia yakin kalau Eve dan Kaivan pasti akan menerima Anna dengan mudah, hanya saja tidak menyangka kalau reaksi Eve seperti panik seperti ini.“Kalian benar-benar menginginkan pernikahan itu dan bukan hanya karena terpaksa, Kai?” tanya Kaivan karena istrinya sedang berusaha menenangkan diri.“Awalnya memang hanya aku, tapi lambat laun kami saling menerima,” jawab Kai.“Jadi kalian sudah menikah satu bulan dan baru memberitahu kami hari ini. Bagaimana bisa kamu melakukan ini ke mami, Kai?” Eve menatap kecewa. Bukan karena pilihan Kai, tapi karena putranya tidak memberitahukan kabar penting seperti itu sejak awal.“Maaf, Mi. Apa Ma
Anna tak merespon pelukan Eve karena sangat terkejut. Tatapan matanya tertuju pada Kai, suaminya itu malah tersenyum. Apa semuanya baik-baik saja?Eve akhirnya melepas pelukannya pada Anna, lalu memandang wajah menantunya yang tampak tegang itu.“Kamu pasti panik dan takut karena sikapku tadi. Ya, dimaklumi saja, wajar kalau namanya orang tua kaget. Kai tidak pernah dekat dengan wanita mana pun, tiba-tiba datang bawa istri, siapa yang tidak syok, kan?” Ekspresi wajah Eve menghangat, tak semenakutkan tadi saat syok.Anna mencoba tersenyum meski masih sangat canggung, dia lantas mengangguk kecil.Eve menatap wajah Anna. Dia tiba-tiba kasihan saat ingat cerita Kai soal Anna. Eve mengulurkan tangan lalu mengusap lembut rambut Anna.“Untung kamu bertemu Kai, ya.”Anna bingung dengan maksud ucapan Eve, tapi apa pun artinya itu, sepertinya hubungannya dengan Kai direstui.Mereka akhirnya mengobrol di ruang keluarga. Eve dan Kaivan tidak menanyakan soal keluarga Anna karena Kai sudah menjelas
Hari berikutnya. Rania sudah bersiap untuk bekerja dan dia berpamitan dengan Abi.“Mama kerja dulu, Abi baik-baik di sini dan selalu dengar kata Kakak perawat, ya.” Rania mengusap lembut pipi Abi, lalu menciumnya.Abi mengangguk-angguk penuh semangat, lalu melambai ke sang mama yang siap pergi.Rania keluar dari kamar inap Abi dan bertemu dengan perawat yang baru saja akan mengecek kondisi Abi.“Mau berangkat kerja, Bu?” tanya perawat.“Iya, nitip Abi, Sus. Maaf kalau terus merepotkan,” jawab Rania.Perawat itu mengangguk, lalu saat mau masuk ruangan, perawat itu bertanya, “Semalam teman Bu Rania ke sini lagi, tapi tidak masuk karena Bu Rania sudah tidur.”“Teman?” Rania terkejut, “teman yang mana?” tanya Rania.“Yang sore tadi ke sini waktu Bu Rania baru datang, malamnya juga ke sini lagi,” jawab perawat itu menjelaskan.Rania bingung, tapi mengangguk saja karena tidak mau mengganggu pekerjaan perawat.Siapa yang datang ke sana, sedangkan Rania tidak bertemu siapa pun selain dokter d
Saat sore hari, Alex mengemudikan mobil meninggalkan area perusahaan. Saat baru saja keluar dari pintu keluar area perusahaan, Alex melihat Rania yang berjalan menuju bus.Alex memperlambat laju mobil. Dia memantau Rania yang berlari kecil saat melihat bus sudah berhenti di halte.Tak hanya memantau Rania masuk bus, tetapi Alex juga mengikuti bus yang ditumpangi Rania dan sekarang berhenti di halte dekat rumah sakit.“Apa dia tinggal di sekitar sini?” Alex masih terus mengawasi. Dia berhenti tak jauh dari halte bus dan mengamati Rania yang baru saja turun dari bus.Dahi Alex berkerut halus saat melihat Rania masuk ke halaman rumah sakit. Dia semakin bertanya-tanya, apa yang dilakukan Rania di sana.Alex melajukan mobil memasuki halaman rumah sakit. Dia segera memarkirkan mobilnya agar bisa segera menyusul Rania dan melihat apa yang sebenarnya dilakukan wanita itu di rumah sakit.Alex melihat Rania sudah memasuki lobi rumah sakit. Dia bergegas mengejar, lalu mengikuti Rania dari jarak
Alex menipiskan senyum.“Apa kamu sedang besar kepala?”Rania mengerutkan alis. Dia melihat Alex mengulurkan tangan, Rania pikir Alex hendak menyentuhnya, tapi ternyata pria itu mencolek meja, lalu mengusap telunjuk dengan jempol.“Belum bersih,” kata Alex lalu melirik tajam pada Rania, “bersihkan ulang,” perintahnya kemudian.Setelahnya, Alex sedikit mundur dari Rania tapi tatapannya terus tertuju pada wanita itu. Dia lagi-lagi tersenyum miring, lalu pergi ke sofa.Rania menghela napas lega. Dia melirik pada Alex yang sekarang berjalan santai menuju sofa. Pria ini, benar-benar ingin mengerjainya setiap hari.**Saat jam istirahat, Rania pergi ke rooftop lagi untuk melepas beban yang dipikulnya. Dia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan kasar berulang kali.“Kamu di sini lagi.”Rania terkejut. Dia menoleh dan melihat Arion datang menghampirinya.“Tidak makan siang lagi?” tanya Arion sambil menatap pada Rania.Rania tidak menjawab, lalu melihat Arion mengulurkan roti.“Makanlah,
Setelah selesai memilah jagung dan memastikan tidak ada satu pun yang tertinggal. Rania mendorong tempat makan ke hadapan Alex lagi.“Itu sudah semua saya pisah, apa ada lagi yang Anda perlukan?” tanya Rania dengan nada malas.Rania melirik pada Alex, pria itu membuat gerakan mengusir menggunakan tangan. Ekspresi wajah Rania begitu masam, pria di depannya ini benar-benar sombong.Rania segera bangun, lalu dia pergi dari ruangan itu sebelum semakin kesal melihat sikap Alex.Alex tersenyum tipis melihat Rania kesal. Dia memandang salad yang ada di meja, lalu mengambil alat makan dan mulai menyantap salad miliknya.Dia juga mengambil jagung yang tadi dipisah oleh Rania. Bukannya Alex tak suka, dia hanya ingin mengerjai wanita itu.“Dasar terlalu lugu,” gumam Alex lalu kembali memasukkan suapan ke mulut.**Saat sore hari. Rania membuat patahan leher dan memijat pundaknya. Akhirnya sehari ini bisa dia lalui dengan baik meskipun harus ada drama mengurus atasannya yang memberi perintah tak
Setelah jam istirahat usai. Rania kembali ke divisi untuk mulai bekerja lagi. Saat baru saja sampai di pantry, Rania terkejut melihat lampu merah menyala.“Sepertinya hari ini Pak Alex berulang kali memanggil,” gumam Herman.Rania menatap lampu itu terus berkedip. Mau tidak mau dia harus pergi ke ruangan Alex untuk melihat, apalagi yang pria itu inginkan.Rania mengetuk pintu ruangan Alex, lalu dia masuk dan melihat Alex duduk di sofa sambil menyapukan jari di atas tablet pintar.“Anda butuh sesuatu, Pak?” tanya Rania tetap sopan meski jiwanya ingin memberontak.“Bersihkan mejaku!” perintah Alex.Rania menoleh ke meja Alex, alangkah terkejutnya dia melihat meja Alex yang sangat berantakan.Berkas-berkas dibiarkan tergeletak begitu saja tak tertatap rapi, lalu ada tumpangan kopi yang dibiarkan sampai agak mengering.Rania benar-benar harus bersabar. Dia berjalan ke arah meja untuk mulai membersihkan, tetapi Alex kembali berkata.“Bersihkan sampai benar-benar bersih. Jika tidak, kamu ti
Rania memandang pada Alex, lalu tatapannya tertuju pada kertas dan pulpen yang berserakan di lantai.“Pungut semua!” perintah Alex.Rania tidak bisa mengelak karena sekarang bekerja untuk Alex. Dia berjalan mendekat lalu berjongkok di sisi kertas-kertas berserakan dan meletakkan nampan di lantai, setelahnya dia memunguti satu persatu kertas itu.Tanpa diduga, Alex ikut berjongkok, tapi bukan untuk membantu Rania memunguti kertas itu, melainkan untuk memberikan senyum ejekan pada wanita yang sudah menolaknya.“Tidak disangka, kamu menolak kerja di rumahku tapi malah bekerja di perusahaanku,” cibir Alex.Rania terdiam sesaat. Dia tak membalas atau menatap pada Alex. Rania fokus memunguti kertas-kertas itu, setelah selesai dia segera berdiri lalu meletakkan semua kertas itu di meja.“Apa kamu pikir harimu akan tenang dengan bekerja di sini?” Alex sudah berdiri dan kini menatap tajam pada Rania.Rania masih menurunkan pandangan, lalu berkata, “Jika sudah tidak ada yang perlu saya lakukan,
Rania benar-benar panik luar biasa melihat pria yang kini menatapnya dengan ekspresi wajah dingin. Dia masih mematung di tempatnya, sampai salah satu teman OB-nya menarik lengan Rania agar menyingkir dari jalan.“Selamat pagi, Pak.” Dua OB lain langsung membungkuk pada Alex dan Arion yang baru saja keluar dari lift.Alex berjalan dengan ekspresi wajah dingin tanpa menoleh Rania sama sekali, sedangkan Arion melirik pada Rania. Jadi, ini OB baru yang kemarin dipermasalahkan oleh atasannya itu.Rania masih bergeming dengan perasaan campur aduk. Di hari pertamanya bekerja, kenapa dia bertemu dengan pria yang membuat hidupnya kacau.“Siapa dia?” tanya Rania menoleh pada teman kerjanya.“Itu tuh, Pak Alex. Dia cucu pemilik perusahaan ini dan direktur di sini. Ya, meski dia masih direktur, tapi katanya sebentar lagi akan diangkat jadi presdir karena kemampuannya memimpin perusahaan,” jawab Herman–OB teman Rania.Rania merasakan jantungnya berdegup sangat cepat. Jadi, dia bekerja untuk pria b
Rania pergi ke rumah sakit dengan perasaan lega. Dengan bekerja di perusahaan itu, Rania bisa mendapatkan uang lebih banyak di siang hari dan bisa menjaga Abi saat malam hari.Rania berjalan di koridor rumah sakit menuju ruang inap Abi. Saat hampir sampai di kamar sang putra, Rania melihat dokter dan perawat masuk ke ruangan sang putra dengan sangat terburu-buru.Tentu saja hal itu membuat Rania sangat panik. Dia segera berlari ke kamar Abi, saat masuk sudah melihat dokter sedang menangani putranya.“Apa yang terjadi pada anakku?” tanya Rania sangat panik.“Kondisi Abi baru saja drop, Bu. Dokter sedang mengecek dan memberikan penanganan yang tepat,” jawab perawat.Rania menutup mulut dengan kedua telapak tangan. Dia benar-benar ketakutan dan panik jika terjadi sesuatu dengan Abi.“Kumohon, Abi. Mama akan mengusahakan kesembuhanmu, tolong jangan terjadi apa-apa padamu, Sayang.”Rania terus memandang dokter yang sedang mengecek kondisi Abi. Bola matanya sudah berkaca-kaca, ketakutan memb
Hari berikutnya. Rania pergi ke perusahaan tempat Silvi bekerja. Dia datang lebih awal dan bertemu dengan Silvi yang ternyata menunggunya di depan perusahaan.“Syukurlah kamu datang awal,” ucap Silvi lalu menengok ke arloji yang melingkar di pergelangan tangan.“Aku tidak mungkin mengecewakanmu. Kamu sudah sejauh ini mau membantuku, jadi aku harus berjuang,” balas Rania.Silvi tersenyum lebar, lalu dia mengajak Anna segera masuk ke perusahaan karena kepala HRD ternyata sudah datang.Mereka masuk ke ruang HRD, lalu Silvi meninggalkan Rania bersama kepala HRD agar bisa diwawancarai.Rania memberikan surat lamarannya. Dia berdiri di depan meja kepala HRD sambil menunggu wanita itu membaca surat lamarannya.“Ternyata kamu sudah banyak pengalaman kerja di usiamu sekarang,” kata kepala HRD.Rania tersenyum dan mengangguk. “Iya, dan saya ahli menjadi cleaning service.”Kepala HRD tersenyum. “Terakhir kali kamu menjadi petugas kebersihan di klub malam, kenapa kamu keluar? Apa gajinya tidak mu