'Apakah Steven mengatakan hal buruk tentangnya? Apakah dia akan dipecat?'
Brianna bertanya-tanya mengapa sang bos memanggilnya. Brianna hanya bisa menuruti perintahnya."Kita lanjut nanti ya." kata Brianna pada Alice. Alice hanya menjawab dengan anggukan kepala.Brianna mengikuti Joe tanpa suara. Langkah mereka menyusuri jalan yang mengarah ke ruangan VIP yang biasa Steven berada. Semakin dekat dengan ruangan itu, jantung Brianna semakin berdetak kencang.Joe mengetuk pintu sebelum membuka pintu ruangan. "Steve, Brianna ada di sini." Dia berkata kepada Steven. Kemudian Joe memberi isyarat agar Brianna masuk ke dalam dan kemudian dia pergi.Dengan gugup Brianna memasuki ruangan dan menutup pintu. Steven sedang duduk di sofa menyilangkan kaki dan ditangannya memegang segelas minuman. Dia seperti patung maha karya yang dipahat sempurna.Steven melihat tajam mata Brianna. "Kemarilah, temani aku minum." Perintah Steven.Brianna menghembuskan napas dengan frustasi. 'Mengapa aku tidak bisa menjalani hari ini dengan tenang?' Kepalanya mulai berdenyut dan perutnya sakit.Steven melihatnya belum juga beranjak mendekat. "Kenapa? Bukankah sudah kukatakan kamu hanya boleh menemaniku minum. Kamu tidak mau?"Brianna akhirnya melangkah dan duduk jauh dari pria itu. Steven tidak senang dengan itu. "Mendekatlah kemari! Aku tidak akan menelanmu." Suaranya pelan namun dalam.Brianna bergeser mendekat lagi dan duduk di samping Steven. Steven tersenyum puas melihat wajah Brianna yang terlihat jelas menyembunyikan rasa frustasinya. Steven menuangkan segelas bir dan memberikannya kepada Brianna."Minumlah!"Brianna mengambil gelas berisi cairan berwarna emas itu dan meminumnya. Steven melihatnya dengan alis yang berkerut terkejut karena Brianna menghabiskan minumannya sekaligus.Napas Brianna tersenggal karena minum dengan satu tarikan napas. Selesai minum dia melihat Steven sedang menatapnya tajam seolah menyihirnya. Mereka bertatapan cukup lama sebelum akhirnya Brianna membuka percakapan."Kenapa kamu melihatku seperti itu?" Brianna membuang muka menghindari tatapan mata Steven yang begitu mengintimidasi. Matanya seolah ingin melahapnya hidup-hidup.'Tidak mungkin Steven masih mencintaiku, kan? Kalau dia mencintaiku, tidak mungkin dia pergi meninggalkanku meskipun aku memutuskan hubungan empat tahun lalu. Pasti dia sekarang membenciku...'Steven tidak menjawabnya, hanya terus melihat Brianna, membuat Brianna salah tingkah. Brianna menuangkan bir untuk Steven juga dirinya sendiri, lalu memberikannya kepada Steven."Bagaimana kabarmu?" Tanya Brianna canggung."Aku baik, seperti yang kamu lihat." Steven menjawab sambil meneguk minumannya."Sepertinya kamu sudah sukses ya sekarang." Tanya Brianna memecah keheningan.Steven tertawa mendengar pertanyaan Steven. "Ya, bisa dibilang begitu.""Baguslah." Jawabnya singkat lalu menyesap minumannya."Kenapa? Menyesal memutuskanku?" Tanya Steven dingin.Suasana ruangan itu jadi bertambah canggung. 'Menyesal memutuskanmu? Itu adalah penyesalan terbesar dalam hidupku, Steven.' Kata Brianna dalam hatinya."Tidak perlu menyesali yang sudah berlalu." Brianna dengan senyum pahit. Brianna meminum bir-nya lagi dalam sekali tenggak."Mengapa kamu bekerja di sini?" tanya Steven menyelidik.Brianna menjawab dengan jujur, "Tentu saja karena aku butuh uang, uang yang cepat."Brianna menunggak uang kontrakan selama dua bulan dan harus segera membayarnya. Belum lagi biaya perawatan ibunya setiap bulan yang sangat besar. Semuanya membuat Brianna perlu mencari sumber penghasilan tambahan.Bibir Steven menyunggingkan senyuman sinis."Mau uang cepat? Makanya kamu bekerja disini, supaya bisa menggoda pria-pria di luar sana dan mendapatkan uang dengan instan. Sebagian dari mereka mempunyai kekayaan yang luar biasa. Mungkin, kalau kau menjadi wanita simpanan mereka, mereka pasti bisa memberimu uang yang banyak dengan cepat. Heh, cerdik sekali kamu, Brie."Steven berkata seraya mendekati Brianna, mempersempit jarak diantara mereka. Sangat dekat hingga Brianna yang bisa merasakan nafas pria itu. Steven mengulurkan jari panjangnya dan meraih dagu Brianna, menatap matanya."Aku juga bisa memberimu uang dengan mudah, Brie. Tidurlah denganku."Brianna tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia marah pada kata-kata Steven. Memang dia membutuhkan banyak uang, memang dia bekerja di kelab malam, tapi bukan berarti dia akan melacurkan dirinya. Bukan berarti Steven bisa menganggapnya wanita murahan.Dia menepis tangan Steven dari wajahnya dengan kasar dan kemudian menampar wajah Steven.'Plak!'Suasana di ruangan itu menjadi dingin. Tamparan itu tidak menyakitkan untuk pria kuat seperti Steven, malah membuatnya semakin gelap mata. Steven memegang pergelangan tangan Brianna dan memojokkannya ke sofa. Dia menahan tangan Brianna diatas kepalanya.Kata-kata Steven menorehkan luka di hati Brianna. Matanya mulai berkabut. "Aku bukan wanita murahan." Brianna berkata dengan pilu."Benarkah? Kamu tidak perlu jual mahal padaku, Brie.. " Matanya menyorot dingin pada Brianna.Brianna terdiam tidak percaya. 'Benarkah dia Steven yang pernah aku cintai?' Lalu dia tertawa miris."Kamu ingin tidur denganku, Steven? Baiklah. Berapa yang bisa kamu berikan padaku?" kata Brianna membalas tatapan Steven."Katakan berapa hargamu?" Kuncian tangan Steven merenggang, membuat Brianna dapat membebaskan diri dari Steven.Dia tetap menatap Steven sambil mulai membuka kancing seragamnya. Mata Brianna memerah dan tidak dapat membendung lagi air matanya. Dia membuka kancing bajunya dengan kasar satu per satu, mulai memperlihatkan tulang selangkanya lalu turun memperlihatkan belahan dadanya.Steven melihat air mata menetes di sudut mata Brianna. Awalnya Steven ingin mempermainkan Brianna, tapi entah mengapa melihat Brianna saat ini dihadapannya, malah membuat hatinya sakit.Saat jemari Brianna mencapai kancing berikutnya, Steven meraih tangan Brianna untuk berhenti, "Hentikan!""Kenapa? Bukankah kamu ingin aku tidur denganmu?" Suara Brianna bergetar.Tiba-tiba dia merasakan sakit di perutnya. Brianna memejamkan mata karena sakit yang menyiksa di perutnya. Dia masih ingin mengatakan sesuatu kepada Steven, tapi rasa sakitnya semakin menjadi. Dia meringis kesakitan.Steven berubah panik melihat Brianna yang tiba-tiba meringis kesakitan dan melepaskan genggaman tangannya pada Brianna."Brianna, ada apa denganmu? Brie, kamu tidak apa-apa?"Perut Brianna sakit seperti teriris-iris. Dia membungkuk meringis kesakitan. Tangannya memeluk perutnya yang sakit. Belum pernah dia merasakan sakit yang sehebat ini. Wajah Brianna begitu pucat, bulir-bulir keringat menetes dari dahinya, napasnya sesak."Brie, ada apa denganmu?" tanya Steven cemas. Dia berjongkok dan memeluknya."Ahh..." Brianna menahan rasa sakit sambil menggigit bibir bawahnya.Dengan susah payah Brianna bersuara, "Perutku... sakit sekali... " Suaranya sangat pelan nyaris berbisik. Steven sampai harus mendekatkan telinganya karena suara musik yang keras membuat dia tidak bisa mendengar bisikan Brianna. Brianna menahan sakitnya dengan memeluk perutnya erat-erat. Tiba-tiba pandangannya mulai kabur, dan dia pingsan."Brie... Brianna!" Steven menepuk pipi Brianna yang kehilangan kesadaran. Dengan cepat Steven menggendong Brianna keluar dari ruang VIP. Banyak mata tertuju pada mereka. Steven membaringkannya di mobil sport miliknya dan langsung melarikan Brianna ke rumah sakit.Brianna membuka mata, dan menyadari dia berada di dalam mobil. Matanya samar-samar melihat kilau lampu jalanan, perlahan-lahan pandangan matanya semakin terlihat lebih jelas. Dia sedang terbaring di jok belakang mobil."Kamu sudah sadar?" Suara Steven dari belakang kemudi membuat pikiran Brianna menjadi lebih sadar. Dia terduduk dan menemukan mata Steven melihatnya dibalik kaca spion."Aku kenapa?" Tanya Brianna lemah."Kamu pingsan lagi. Kenapa kamu selalu pingsan saat bersamaku? Kalau kamu lemah, jangan minum, jangan bekerja di kelab malam." "Kita mau kemana?""Aku akan mengantarmu ke rumah sakit." Jawab Steven."Jangan! Jangan kerumah sakit.. Aku hanya terlalu banyak minum, minum pereda mabuk sudah cukup, tidak perlu ke rumah sakit." Brianna panik mendengar Steven akan membawanya ke rumah sakit. Kantongnya sudah cukup terkuras untuk membayar sewa kontrakan. Dia tidak punya lagi uang untuk membayar rumah sakit. Brianna tahu dia mempunyai sakit maag yang cukup parah. Dia hanya perlu
"Ayo pergi." Steven dengan cepat mengambil salah satu buku merah, dan berjalan keluar gedung catatan sipil dengan suasana hati yang baik.Brianna mengikuti dari belakang mencoba menjajarkan posisi mereka. Mereka berjalan dalam diam sampai masuk kedalam mobil."Aku tidak percaya pada akhirnya aku benar-benar menjual diriku untuk uang." Brianna bergumam pelan namun Steven masih dapat mendengarnya."Mulai sekarang kamu adalah milikku." Tanpa menunggu reaksi Brianna, Steven dengan kasar memegang wajah Brianna, dan menciumnya ciuman dengan menuntut. Sebelum Brianna sempat bereaksi, Steven sudah melepaskan ciumannya dan tersenyum menggoda. Brianna masih kaget. Dia tidak berani mengeluarkan suara ataupun bergerak. Steven melajukan mobilnya dengan cepat membelah jalanan. Brianna tidak bisa membayangkan bahwa semua yang ada dihadapannya adalah nyata. Pria yang ada disampingnya kini adalah suaminya.'Suatu hari, aku akan meminangmu, dan aku akan membuatmu bahagia.' Brianna teringat ucapan Stev
"Aku sedang tidak ingin berdebat, Steve." Jawab Brianna lemah.Tanpa menghiraukan Steven, wanita itu mengambil ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas, kemudian pergi meninggalkan Steven. Steven membuang napas dengan kasar. Dia tahu selama ini Brianna masih bekerja di Golden Sky, karena kelab itu adalah milik sahabatnya. Kalau bukan Steven yang mengijinkannya, Brianna tidak mungkin masih bekerja disana. Tapi dia tidak habis pikir mengapa Brianna masih bekerja di kelab, padahal Steven sudah memberinya uang yang cukup besar setiap bulannya.Brianna menghentikan taksi dan naik ke dalamnya."Ke Golden Sky, terima kasih." Brianna berkata pada sopir taksi. Brianna menutup matanya dan setetes air mata mengalir di pipinya.Belakangan ini Brianna merasa tertekan karena sikap Steven padanya. Mereka menikah hanya karena manfaat satu sama lain. Sejak Brianna menolaknya di hari pencatatan nikahnya, Steven tidak pernah menyentuh Brianna lagi. Dan entah mengapa, itu membuat Brianna tertekan.Dulu
"Kenapa aku di sini?" Tanya Brianna lemah. Dia mencoba untuk bangun dan duduk.Steven dengan sigap membantunya untuk duduk. Dia menyelipkan sebuah bantal di belakang punggung Brianna agar lebih nyaman. Lalu menuang segelas air dan memberikannya kepada Brianna. "Minumlah dulu."Brianna mengambil gelas itu perlahan. Jemarinya bersentuhan dengan jari Steven, mengirimkan getaran ke seluruh sarafnya. Dia tertegun dengan perubahan sikap Steven padanya. Hangat. Sudah lama dia tidak merasakan kehangatan Steven. Dia menyesap air itu sedikit.Steven mengambil kembali gelas itu dan menaruhnya di meja kecil di sebelah ranjang."Kamu pingsan semalam. Bagaimana keadaanmu sekarang?""Aku merasa lebih baik." jawab Briana."Kamu menderita gastritis akut. Dokter berkata lambungmu iritasi. Dan aku lihat ada obat lambung di tasmu. Apakah kamu sudah sering mengalami ini?"Brianna menunduk dan memainkan jarinya, "Hanya sakit perut biasa. Obat itu hanya untuk berjaga-jaga.""Ayolah Brie, jangan bohong padak
"Dokter, apa yang terjadi dengan ibuku?" Tanya Brianna dengan napas tersenggal ketika dia mendapati dokter Smith ada di ruangannya."Perawat menemukan ibumu tidak sadarkan diri di kamar mandi. Sepertinya dia terjatuh dan kepalanya membentur sesuatu. Kami telah melakukan CT scan dan MRI dan kami menemukan pendarahan pada otak pasien. Sementara ini pasien dalam keadaan koma dan sedang berada di ruang ICU untuk penanganan lebih lanjut. Pasien harus dioperasi sesegera mungkin. Tapi...""Tapi apa dokter?" Tanya Brianna gemetar."Tapi dengan kondisi nyonya Raven, ada resiko operasi ini bisa membuat penglihatannya semakin hilang. Dan... biaya yang dibutuhkan juga sangat besar." Otak Brianna berdengung sesudah mendengar penjelasan dokter, tubuhnya hampir merosot. Untung Steven datang di saat yang tepat, dia langsung menangkap Brianna dan menopangnya untuk duduk. Steven berbicara dengan dokter, dan dokter mengulangi menjelaskan kondisi ibu Brianna. "Sebaiknya cepat diputuskan apakah akan dio
"Kelihatannya dia pria yang baik. Sejak kapan kalian bersama?" Samantha akhirnya membuka suara saat sedang berduaan saja dengan Brianna.Ponsel Steven tiba-tiba berdering, dan dia sedang keluar untuk menjawab teleponnya.Brianna menundukkan kepalanya untuk menjawab Samantha, "Kami pacaran beberapa tahun lalu, tapi kemudian perpisahan kalian membuatku tidak percaya lagi akan cinta, dan akhirnya aku memutuskan untuk berpisah dengannya. Tapi setelah kami bertemu lagi, dia berhasil meyakinkanku untuk menikah dengannya."'Ya, Steven berhasil menikahiku dengan uang.' pikir Brianna di dalam hatinya.Brianna tidak mungkin menjelaskan kepada ibunya bahwa dia menikah dengan Steven agar bisa membiayai pengobatan Samantha.Samantha memegang tangan Brianna, "Brie... Tidak semua orang seperti ayahmu. Jangan berkaca pada kegagalanku, tapi lihatlah diluar sana masih banyak yang berbahagia sampai maut memisahkan. Kamu berhak untuk bahagia. Aku bisa lihat dia sangat perhatianmu." Samantha menepuk pelan
Brianna tidak menyangka Steven akan memperlakukan dia dan Samantha dengan sangat baik. "Steven... Kamu terlalu sempurna untukku." Brianna menyentuh ranjang besar dan terlihat sedih.Steven adalah satu-satunya pria yang pernah ada di dalam hidupnya. Tapi dia tidak tahu bagaimana perasaan Steven padanya saat ini. Melihat perubahan sikap Steven pada Brianna, membuat Brianna memiliki sedikit harapan, mungkin hubungan ini akan berhasil.Brianna terperangah dengan kamarnya yang bahkan lebih luas daripada kamar apartemen tempat mereka tinggal sebelumnya. Kamar itu di dominasi warna putih dan abu-abu. Pakaiannya sudah terlipat rapi di lemari pakaian. Sebagian kecil adalah pakaian miliknya, sebagian besar lainnya adalah baju-baju baru yang disediakan Steven untuknya, berbagai model dan warna tergantung di sana. Seperti memindahkan butik ke dalam lemari pakaiannya. Ada juga meja rias dengan setumpuk produk mahal perawatan wajah, kulit, rambut, dan parfum.Malam hari....Brianna dengan hati-hat
"Wah.. wah... wah... Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini… Apa yang kamu lakukan di sini, Brianna?" Dia mencibir pada Brianna.Tanpa diduga Brianna berpapasan dengan Lisa Gonzales di kamar kecil. Wanita itu mengenakan gaun hitam super ketat, menunjukkan lekuk tubuhnya. Dia memiliki rambut pirang bergelombang panjang dan riasan tebal di wajahnya."Terserah apa yang mau kulakukan, bukan urusanmu. Toh hotel ini bukan milikmu..." Balas Brianna santai."Maaf, saya tidak bermaksud menghina, hanya saja seingatku, kau hanya bekerja sebagai penjaga toko pakaian. Tidak mungkin gajimu cukup untuk makan di restoran ini, kan." Melihat Brianna tidak meresponnya membuat hatinya mendidih. "Ah... Kamu di sini untuk 'terima pesanan' pria kaya, kan? Atau kamu mencari om-om senang?" Ujar Lisa dengan gaya yang dibuat-buat.Brianna mengepalkan tinjunya karena marah. Sudah satu tahun sejak terakhir kali mereka bertemu, Saat itu Brianna tak bisa membalas hinaan ibu dan anak itu karena statusnya