Share

Bab 3

'Apakah Steven mengatakan hal buruk tentangnya? Apakah dia akan dipecat?'

Brianna bertanya-tanya mengapa sang bos memanggilnya. Brianna hanya bisa menuruti perintahnya.

"Kita lanjut nanti ya." kata Brianna pada Alice. Alice hanya menjawab dengan anggukan kepala.

Brianna mengikuti Joe tanpa suara. Langkah mereka menyusuri jalan yang mengarah ke ruangan VIP yang biasa Steven berada. Semakin dekat dengan ruangan itu, jantung Brianna semakin berdetak kencang.

Joe mengetuk pintu sebelum membuka pintu ruangan. "Steve, Brianna ada di sini." Dia berkata kepada Steven. Kemudian Joe memberi isyarat agar Brianna masuk ke dalam dan kemudian dia pergi.

Dengan gugup Brianna memasuki ruangan dan menutup pintu. Steven sedang duduk di sofa menyilangkan kaki dan ditangannya memegang segelas minuman. Dia seperti patung maha karya yang dipahat sempurna.

Steven melihat tajam mata Brianna. "Kemarilah, temani aku minum." Perintah Steven.

Brianna menghembuskan napas dengan frustasi. 'Mengapa aku tidak bisa menjalani hari ini dengan tenang?' Kepalanya mulai berdenyut dan perutnya sakit.

Steven melihatnya belum juga beranjak mendekat. "Kenapa? Bukankah sudah kukatakan kamu hanya boleh menemaniku minum. Kamu tidak mau?"

Brianna akhirnya melangkah dan duduk jauh dari pria itu. Steven tidak senang dengan itu. "Mendekatlah kemari! Aku tidak akan menelanmu." Suaranya pelan namun dalam.

Brianna bergeser mendekat lagi dan duduk di samping Steven. Steven tersenyum puas melihat wajah Brianna yang terlihat jelas menyembunyikan rasa frustasinya. Steven menuangkan segelas bir dan memberikannya kepada Brianna.

"Minumlah!"

Brianna mengambil gelas berisi cairan berwarna emas itu dan meminumnya. Steven melihatnya dengan alis yang berkerut terkejut karena Brianna menghabiskan minumannya sekaligus.

Napas Brianna tersenggal karena minum dengan satu tarikan napas. Selesai minum dia melihat Steven sedang menatapnya tajam seolah menyihirnya. Mereka bertatapan cukup lama sebelum akhirnya Brianna membuka percakapan.

"Kenapa kamu melihatku seperti itu?" Brianna membuang muka menghindari tatapan mata Steven yang begitu mengintimidasi. Matanya seolah ingin melahapnya hidup-hidup.

'Tidak mungkin Steven masih mencintaiku, kan? Kalau dia mencintaiku, tidak mungkin dia pergi meninggalkanku meskipun aku memutuskan hubungan empat tahun lalu. Pasti dia sekarang membenciku...'

Steven tidak menjawabnya, hanya terus melihat Brianna, membuat Brianna salah tingkah. Brianna menuangkan bir untuk Steven juga dirinya sendiri, lalu memberikannya kepada Steven.

"Bagaimana kabarmu?" Tanya Brianna canggung.

"Aku baik, seperti yang kamu lihat." Steven menjawab sambil meneguk minumannya.

"Sepertinya kamu sudah sukses ya sekarang." Tanya Brianna memecah keheningan.

Steven tertawa mendengar pertanyaan Steven. "Ya, bisa dibilang begitu."

"Baguslah." Jawabnya singkat lalu menyesap minumannya.

"Kenapa? Menyesal memutuskanku?" Tanya Steven dingin.

Suasana ruangan itu jadi bertambah canggung. 'Menyesal memutuskanmu? Itu adalah penyesalan terbesar dalam hidupku, Steven.' Kata Brianna dalam hatinya.

"Tidak perlu menyesali yang sudah berlalu." Brianna dengan senyum pahit. Brianna meminum bir-nya lagi dalam sekali tenggak.

"Mengapa kamu bekerja di sini?" tanya Steven menyelidik.

Brianna menjawab dengan jujur, "Tentu saja karena aku butuh uang, uang yang cepat."

Brianna menunggak uang kontrakan selama dua bulan dan harus segera membayarnya. Belum lagi biaya perawatan ibunya setiap bulan yang sangat besar. Semuanya membuat Brianna perlu mencari sumber penghasilan tambahan.

Bibir Steven menyunggingkan senyuman sinis.

"Mau uang cepat? Makanya kamu bekerja disini, supaya bisa menggoda pria-pria di luar sana dan mendapatkan uang dengan instan. Sebagian dari mereka mempunyai kekayaan yang luar biasa. Mungkin, kalau kau menjadi wanita simpanan mereka, mereka pasti bisa memberimu uang yang banyak dengan cepat. Heh, cerdik sekali kamu, Brie."

Steven berkata seraya mendekati Brianna, mempersempit jarak diantara mereka. Sangat dekat hingga Brianna yang bisa merasakan nafas pria itu. Steven mengulurkan jari panjangnya dan meraih dagu Brianna, menatap matanya.

"Aku juga bisa memberimu uang dengan mudah, Brie. Tidurlah denganku."

Brianna tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia marah pada kata-kata Steven. Memang dia membutuhkan banyak uang, memang dia bekerja di kelab malam, tapi bukan berarti dia akan melacurkan dirinya. Bukan berarti Steven bisa menganggapnya wanita murahan.

Dia menepis tangan Steven dari wajahnya dengan kasar dan kemudian menampar wajah Steven.

'Plak!'

Suasana di ruangan itu menjadi dingin. Tamparan itu tidak menyakitkan untuk pria kuat seperti Steven, malah membuatnya semakin gelap mata. Steven memegang pergelangan tangan Brianna dan memojokkannya ke sofa. Dia menahan tangan Brianna diatas kepalanya.

Kata-kata Steven menorehkan luka di hati Brianna. Matanya mulai berkabut. "Aku bukan wanita murahan." Brianna berkata dengan pilu.

"Benarkah? Kamu tidak perlu jual mahal padaku, Brie.. " Matanya menyorot dingin pada Brianna.

Brianna terdiam tidak percaya. 'Benarkah dia Steven yang pernah aku cintai?' Lalu dia tertawa miris.

"Kamu ingin tidur denganku, Steven? Baiklah. Berapa yang bisa kamu berikan padaku?" kata Brianna membalas tatapan Steven.

"Katakan berapa hargamu?" Kuncian tangan Steven merenggang, membuat Brianna dapat membebaskan diri dari Steven.

Dia tetap menatap Steven sambil mulai membuka kancing seragamnya. Mata Brianna memerah dan tidak dapat membendung lagi air matanya. Dia membuka kancing bajunya dengan kasar satu per satu, mulai memperlihatkan tulang selangkanya lalu turun memperlihatkan belahan dadanya.

Steven melihat air mata menetes di sudut mata Brianna. Awalnya Steven ingin mempermainkan Brianna, tapi entah mengapa melihat Brianna saat ini dihadapannya, malah membuat hatinya sakit.

Saat jemari Brianna mencapai kancing berikutnya, Steven meraih tangan Brianna untuk berhenti, "Hentikan!"

"Kenapa? Bukankah kamu ingin aku tidur denganmu?" Suara Brianna bergetar.

Tiba-tiba dia merasakan sakit di perutnya. Brianna memejamkan mata karena sakit yang menyiksa di perutnya. Dia masih ingin mengatakan sesuatu kepada Steven, tapi rasa sakitnya semakin menjadi. Dia meringis kesakitan.

Steven berubah panik melihat Brianna yang tiba-tiba meringis kesakitan dan melepaskan genggaman tangannya pada Brianna.

"Brianna, ada apa denganmu? Brie, kamu tidak apa-apa?"

Perut Brianna sakit seperti teriris-iris. Dia membungkuk meringis kesakitan. Tangannya memeluk perutnya yang sakit. Belum pernah dia merasakan sakit yang sehebat ini. Wajah Brianna begitu pucat, bulir-bulir keringat menetes dari dahinya, napasnya sesak.

"Brie, ada apa denganmu?" tanya Steven cemas. Dia berjongkok dan memeluknya.

"Ahh..." Brianna menahan rasa sakit sambil menggigit bibir bawahnya.

Dengan susah payah Brianna bersuara, "Perutku... sakit sekali... " Suaranya sangat pelan nyaris berbisik. Steven sampai harus mendekatkan telinganya karena suara musik yang keras membuat dia tidak bisa mendengar bisikan Brianna. Brianna menahan sakitnya dengan memeluk perutnya erat-erat. Tiba-tiba pandangannya mulai kabur, dan dia pingsan.

"Brie... Brianna!" Steven menepuk pipi Brianna yang kehilangan kesadaran. Dengan cepat Steven menggendong Brianna keluar dari ruang VIP. Banyak mata tertuju pada mereka. Steven membaringkannya di mobil sport miliknya dan langsung melarikan Brianna ke rumah sakit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status