Wajah Oliv nampak kikuk saat mendengarkan ucapan mamanya barusan. “Engh ... c–cucu?” tanya Oliv memastikan. “Ya, Mama pengen cucu dari kalian. Pasti sangat lucu kalau mereka main sama Mama,” ucap Lauren lirih. Oliv terdiam sejenak, kemudian menerjapkan mata pelan. “Em ... ya ... Oliv juga masih proses. Mama doakan saja ya,” ucapnya sambil tersenyum paksa. Lauren tersenyum lembut saat mendengarkan perkataan Oliv barusan. “Oh ya, nanti kalau suster udah kasih obat langsung minum. Jangan sampai kalau Mama nggak mau minum obatnya.” “Pasti Sayang. Kamu nggak usah khawatir.” Oliv menggembungkan pipinya. Dia menggenggam tangan mamanya itu sembari mengusapnya pelan. “Mama ini udah tua. Kalau udah sakit bilang ke Oliv, jangan diem-diem terus.” “Oke, kalau kenapa-kenapa Mama bilang ke kamu, Sayang. Tapi, doakan ysng terbaik aja sama Mama.” “Kalau itu sih pasti Ma. Oliv bakalan doain Mama biar cepet sembuh,” ucap Oliv, tulus. *** Oliv menutup pintu ruangan tersebut dan ternyata ada
“Cuma gitu saja. Lagian itu hak manusia untuk menjenguk orang yang lagi sakit.” Oliv menghela napas pelan. Setelah menghabiskan makanannya itu, dia meminum minumannya sampai habis. “Oh ya, gimana sama mobilnya? Aku udah pake tadi, soalnya sekalian manasin sama nganter Mama.” “Ah ya, mau saya transfer sekarang?” “Boleh, kalau udah ada di kamu sih,” ucapnya. “Sudah kok. Sebentar.” Nick mengambil ponsel di saku jasnya itu dan mengotak-atik ponsel di sana. Oliv menatap pria itu yang sedang fokus memainkan HP-nya itu. “Apa temenmu itu sangat butuh? Makanya dia beli mobil aku?” Nick melirik ke samping dan memperlihatkan transaksi ke Oliv. “Mungkin begitu. Sudah masuk ya, itu bonus dari dia juga.” Oliv menerjapkan mata pelan. “Engh– bukannya itu terlalu banyak? Nggak usah ngadi-ngadi deh kamu,” ucapnya cepat. Nick meringis kecil dan meletakkan ponsel di meja. “Itu beneran, kalau tidak. Kenapa saya transfer ke kamu, hah?” Oliv terdiam sejenak. Benar juga sih yang dikatakan oleh N
“Kenapa kamu keluar? Bukannya temanin Mama kamu di dalam?” kata seorang pria yang baru keluar dari sana. Oliv menepis air mata kembali, kemudian menoleh ke Nick yang kini sudah duduk di sampingnya. “Lagi pengen cari angin. Kenapa kamu ke luar juga?” “Lagi pengen keluar juga. Bahasan mereka tidak seru. Mana bahas cucu juga, jadi saya ke luar.” Oliv menghela napas pelan dan memainkan jari-jarinya sendiri di bawah sana. “Mama juga tanya kayak gitu tadi.” Nick menoleh ke samping dan menghela napas kasar. “Apa kamu keberatan? Sepertinya kamu tidak kuat dengan kontrak ini?” Oliv menggelengkan kepala. “Nggak kok, asal ada fee-nya apapun bakalan aku lakuin. Lagian cuma akting doang kan? Itu nggak masalah buat aku,” ucapnya diselingi dengan senyuman paksa. “Semoga saja kamu kuat. Saya juga mau menyingkirkan mantan saya biar tidak mengejar saya lagi.” “Heum? Masih mengejar ... kamu?” tanya Oliv memastikan. Nick menghela napas gusar dan menyandarkan kepala di kursi. “Ya, sepertinya dia
Oliv melirik ke Nick, memastikan pria itu baik-baik saja. “Nick? Are you okay?” Nick menerjapkan mata pelan dan menggelengkan kepala. “Ah ya ... i'm okay, kalau begitu. Saya balik dulu. Kabari saya, kalau kamu tidak balik ke rumah nanti,” kata Nick sebelum meninggalkannya. Oliv menghela napas pelan. Dia sedikit meringis ketika melihat punggung pria itu yang sudah menghilang dari pandangannya. “Sepertinya dia masih ada rasa sama mantannya itu. Cuma, dia juga punya luka dari mantannya itu. Jadi bingung, kalau aku jadi Nick pasti bingung juga sih,” ringisnya. Oliv menggelengkan kepala pelan, kemudian ia masuk ke dalam ruangan mamanya itu. “Nick mana?” “Sudah balik, dia beneran sibuk, Ma.” Oliv menutup pintu kembali dan duduk di kursi, tepatnya di samping mamanya itu. “Yasudah kalau gitu. Kalau kamu mau pulang, pulang saja ya? Kasihan suami kamu itu, dia juga butuh makanan di rumah. Dia juga butuh kamu.” “Dia pasti ngerti, Ma. Nggak usah mikirin Nick dulu. Nick juga menyuruh
Setelah menyuci piring, Oliv memutuskan ke kamar untuk bersiap-siap untuk mandi. “Tidak ada kerjaan kan? Pakaikan dasi saya.” Oliv melirik ke pria yang duduk di kasur sambil memakai sepatu di sana. Di menghela napas pelan saat melihat dasi yang masih bergelantung di sana. “Emang kamu nggak bisa pakai atau gimana? Kalah sama orang muda seperti aku?” “Males,” jawab Nick singkat. Oliv memutarkan bolamatanya kesal. Kemudian, mendekat ke pria itu. “Cepat berdiri, biar aku bantu.” Nick melirik Oliv dari sudut mata. “Santai bisa?” desis pria itu sebelum berdiri. Oliv berdecak pelan, kemudian dia membantu Nick memakaikan dasi. “Umur udah tua, tapi masih bodoh pakai dasi.” “Kan sudah saya bilang. Saya males, kamu tuli atau bagaimana sih?” desis pria itu. Oliv melirik pria itu sekilas dan tak merespon kembali ucapan Nick. Perempuan itu berjinjit-jinjit supaya bisa menjangkau dasi yang akan dirapikan itu. Nick hanya diam dan memandangi perempuan itu. “Bisa nunduk dikit nggak sih?”
“Kenapa melihatku seperti itu?”Oliv menggelengkan kepala cepat. “Nggak, ah ya ... kamu–”“Mantan Nick. Aku tau kalau kamu istrinya Nick. Aku kira kamu cuma karyawan saja. Apa kamu beneran suka sama Nick?”Kening Oliv mengkerut seketika. “Maksud kamu apaan ya? Sudah jelas aku istri Nick, kenapa harus bertanya seperti itu?”Kimberly mendesis pelan sambil mengalihkan ke arah lain seakan meremehkan semuanya. “Aku tau kalau kamu memanfaatkan kekayaan Nick saja kan? Lebih baik kamu jujur sama Nick, sebelum dia kecewa sama kamu.”“Nggak jelas banget sih kamu? Kalau aku manfaatin harta Nick, pasti udah aku ambil semua tuh di rumahnya. Aneh-aneh aja kamu.”Kimberly diam dan bersedekap dada. “Nyali kamu ternyata sangat kuat. Aku kira kamu perempuan polos yang bekerja di kantor Nick, it
Wajah Oliv berubah menjadi datar ketika mendengarkan perkataan mamanya barusan. Jujur saja, jika mamanya bicara yang tidak-tidak dirinya merasa sangat kesal, bahkan moodnya langsung hancur seketika. “Ma, jangan bikin Oliv marah ya. Udah berapa kali Oliv bilang sama Mama? Mama pasti sembuh, meskipun Mama juga sering berobat. Nggak usah bicara seperti itu lagi, ngerti?” Lauren berdehem kecil dan menerima suapan dari Oliv lagi. Setelah makan dan membantu meminum obat sang mamanya itu, Oliv beranjak dari duduknya untuk membersihkan meja sana. “Kamu sudah makan kan?” “Sudah, aku udah makan tadi pagi.” “Bagusdeh, kamu jangan sampai telat makan. Apalagi kamu juga punya magh kan?” Oliv berdehem kecil, tak lama suara ponselnya berbunyi. Dia mengambil ponselnya itu dari tas dan melihat siapa yang menelponnya.
Setelah keluar dari lift, Oliv segera melangkahkan kakinya kearah ruangan Nick. Dia membuka pintu ruangan pria itu dan masuk tanpa permisi. “Kenapa lagi? Kamu kenapa? Bisa nggak sih kamu nggak bikin aku mondar-mandir!” “Tolong beliin obat. Aku– lupa kalau obat aku habis.” Oliv menerjapkan mata. Dia menatap Nick yang sedang meringuk sambil menyandarkan kepala di meja sana. “N–nick? Kamu kenapa, hah?!” wajah Oliv seketika cemas dan segera mendekat ke pria itu. Dia membantu pria tersebut untuk duduk. “Tidak usah banyak bicara. Saya butuh obat, tolong sekali ini saja,” ucap Nick sambil memejamkan mata seakan pria itu menahan rasa sakit. “Obat? Obat untuk apa, hah?” tanya Oliv dengan wajah panik. “Perut saya ... sakitt,” lirih Nick. Oliv terdiam sejenak. “Mending kita ke klinik. Ayo.” Baru saja Oliv ingin membantu pria itu berdiri. Namun, Nick menepisnya sehingga membuat Oliv semakin kesal. “Kamu telat makan atau gimana sih! Kan tadi juga udah makan? Kenap tiba-tiba?” “Bel