Wajah Oliv berubah menjadi datar ketika mendengarkan perkataan mamanya barusan. Jujur saja, jika mamanya bicara yang tidak-tidak dirinya merasa sangat kesal, bahkan moodnya langsung hancur seketika.
“Ma, jangan bikin Oliv marah ya. Udah berapa kali Oliv bilang sama Mama? Mama pasti sembuh, meskipun Mama juga sering berobat. Nggak usah bicara seperti itu lagi, ngerti?”
Lauren berdehem kecil dan menerima suapan dari Oliv lagi. Setelah makan dan membantu meminum obat sang mamanya itu, Oliv beranjak dari duduknya untuk membersihkan meja sana.
“Kamu sudah makan kan?”
“Sudah, aku udah makan tadi pagi.”
“Bagusdeh, kamu jangan sampai telat makan. Apalagi kamu juga punya magh kan?”
Oliv berdehem kecil, tak lama suara ponselnya berbunyi. Dia mengambil ponselnya itu dari tas dan melihat siapa yang menelponnya.
<
Setelah keluar dari lift, Oliv segera melangkahkan kakinya kearah ruangan Nick. Dia membuka pintu ruangan pria itu dan masuk tanpa permisi. “Kenapa lagi? Kamu kenapa? Bisa nggak sih kamu nggak bikin aku mondar-mandir!” “Tolong beliin obat. Aku– lupa kalau obat aku habis.” Oliv menerjapkan mata. Dia menatap Nick yang sedang meringuk sambil menyandarkan kepala di meja sana. “N–nick? Kamu kenapa, hah?!” wajah Oliv seketika cemas dan segera mendekat ke pria itu. Dia membantu pria tersebut untuk duduk. “Tidak usah banyak bicara. Saya butuh obat, tolong sekali ini saja,” ucap Nick sambil memejamkan mata seakan pria itu menahan rasa sakit. “Obat? Obat untuk apa, hah?” tanya Oliv dengan wajah panik. “Perut saya ... sakitt,” lirih Nick. Oliv terdiam sejenak. “Mending kita ke klinik. Ayo.” Baru saja Oliv ingin membantu pria itu berdiri. Namun, Nick menepisnya sehingga membuat Oliv semakin kesal. “Kamu telat makan atau gimana sih! Kan tadi juga udah makan? Kenap tiba-tiba?” “Bel
“Apaansih, kan wajar aku kayak gini. Lagian bukan kamu aja yang aku lakuin kayak gini.” Oliv mengalihkan pandangannya. Nick meringis pelan dan memegang tangan Oliv yang berada diperut. “Memang iya? Sama siapa? Mama kamu saja kan? Coba saja kamu lakuin ke pria lain. Apa pria itu merasakan hal yang sama?” Oliv melirik ke tangannya yang dipegang. Ada rasa sengatan listrik di sana. Spontan dia melepaskan tangannya itu. “Apaansih! Udah deh nggak usah banyak omong. Kamu istirahat merem, kalau nggak bisa tidur. Langsung balik ke rumah dari pada ngerepotin orang,” gerutunya. “Yaudah, saya sudah menyuruhmu ke luar kan? Kenapa kamu masih stay di sini?” Oliv melirik pria itu dari spion. Dia menghela napas pelan. “Mana bisa? Aku nggak bisa biarin kamu disini sendirian, kalau nggak ada orang yang jaga kamu.” Nick hanya diam. “Tapi, kalau itu mau kamu. Aku akan balik. Kamu jaga diri di sini, jangan banyak gerak,” ucap Oliv, kemudian dia beranjak dari duduk. Namun, Nick menahan tangannya.
Setelah beberapa menit, akhirnya Oliv sampai di halte dekat rumah sakit. Dia segera keluar, sebelum keluar dia menggesek kartu untuk membayar. Oliv berjalan dengan santai saat ke arah rumah sakit. Banyak orang yang masuk ke dalam gedung, sepertinya orang-orang tersebut akan menjenguk kerabat mereka. Perempuan itu menghentikan langkahnya saat dirinya melihat seseorang pria tua yang dikenalinya. “Papa?” gumamnya. Ya, keluarga mereka memang sudah pecah saat dia masih duduk di bangku sekolah. Mereka cerai karena papanya selingkuh di belakang mamanya. Dan, ya, saat ini dirinya dan juga mamanya tinggal bersama tanpa seorang pria di rumahnya. “Sepertinya mereka sudah bahagia. Tapi, kenapa mereka ke sini? Apa mereka lagi jenguk seseorang?” gumamnya. Oliv memutuskan mengikuti papanya itu diam-diam dari belakang. Oliv mengintip papanya itu dan ternyata mereka masuk ke salah satu ruangan. “Bukannya itu ruangan dokter kandungan? Apa istrinya hamil lagi?” gumamnya. Oliv berjalan pelan unt
Nick menoleh ke samping sambil ketawa miris. “Memang. Kamu baru tau?” Oliv menghela napas kasar. “Sudah dari lama, tapi ... aku baru menyadari itu semua.” “Baguslah, kalau kamu sudah menyadarinya. Kamu cukup berusaha saja untuk bertahan hidup.” Oliv menoleh ke samping. “Kamu udah sembuh emang? Kenapa kamu ke sini? Dan ....” ucapannya terpotong dan melirik ke minuman yang diminum oleh pria itu. “Kenapa kamu minum es, hah?” Nick melirik ke samping, kemudian menggedikkan bahu. “Saya tadi pengen es dan mau keluar aja. Yaudah aku ke sini, niatnya mau jenguk orang tua kamu, ternyata kamu malah ketemu sama si bajingan itu.” Oliv meringis kecil. “Tapi beneran kamu nggak papa kan? Perut kamu masih sakit?” tanyanya untuk memastikan. “Udah baikan. Agak nyeri sedikit, tapi saya baik-baik saja.” Oliv berdehem pelan. Kemudian dia menatap ke langit. Tiba-tiba saja Nick memegang pundak Oliv. Oliv menoleh ke samping, kemudian melirik ke tangan Nick yang sudah berada dipundak. “Kamu pasti
“Mama cukup istirahat saja di sini. Jangan memikirkan yang lain,” kata Nick diselingi dengan senyuman kecil. “Tuh udah dibilang Nick juga. Istirahat, oke?” Lauren mengangguk pelan. “Sekali lagi, terimakasih.” Nick hanya berdehem pelan. Pria itu mengkode Oliv untuk keluar. Dan akhirnya mereka keluar barengan. Oliv menutup pintu itu perlahan. “Ah ya, aku belum buatkan makanan untuk kamu,” ucapnya. “Tidak usah, bibi sudah membuatkan makanan untuk kita. Mama kamu ambilkan, biar bisa minum obat juga.” Oliv mengangguk kecil dan duduk di salah satu kursi di sana. Dia melihat satu meja penuh dengan makanan, bahkan bibi masih meletakkan makanan lagi di meja itu. “Silakan di makan, Non,” suruh Bibi. Oliv mengulas senyuman kecil, dia melirik ke Nick yang baru saja duduk. “Bibi masak banyak banget? Siapa yang makan nanti?” tanya Oliv. Nick mengangkat bahunya sekilas. “Biasanya sih, Mama sama Papa. Kalau nanti mereka tidak pulang, ya, kita saja yang makan.” “Kan sayang banget kala
Oliv sontak terkejut ketika melihat pria itu menggebrak meja. Dia mendengarkan apa yang dikatakan oleh Nick.“Y–ya, terus? Kalau kamu ikut sama aku, kamu nggak bisa kerja dong?”“Itu masalah belakangan. Intinya saya harus ikut sama kamu, oke?”Oliv terdiam sejenak. Dia menghela napas pelan dan mengangguk kecil. Mau-tidak mau dirinya harus mengiyakan apa yang dikatakan oleh Nick barusan.“Bagus, apa kita kontrak lagi?”Oliv menggelengkan kepala cepat. “Ng–nggak, makasih.”“Yasudah, kalau begitu saya ke kantor dulu. Kamu jaga rumah ya,” ucap Nick sebelum beranjak dari sana.Oliv mengangguk kecil dan menghabiskan minumannya depang pelan. Dia terus menatap punggung Nick yang sudah menghilang dari pandangannya.&ld
Setelah beberapa menit diperjalanan. Akhirnya Oliv sampai di halte dekat kantor Nick. Dia segera membayar dengan kartunya, kemudian turun dari bus tersebut. Perempuan itu berjalan dengan santainya dengan membawa tas. Sampai di dalam kantor dia menelusuri koridor kantor samping melihat jam tangan yang sudah menunjukkan pukul setengah dua siang. “Ternyata cukup memakan waktu ya,” gumamnya. Dia segera memencet tombol lift dan menunggu lift turun. Selang beberapa detik lift terbuka dan Oliv segera masuk ke dalam. Dia segea memencet tombol untuk menuju ke lantai atas. “Kasib kabar nggak ya? Kan dia udah bilang sendiri kan, kalau aku suruh ke sini aja buat ngasih makanan?” gerutunya. Setelah lift terbuka. Oliv segera keluar dan bergegas untuk menuju ke ruangan Nick. Dia menghentikan langkahnya di depan ruangan Nick. “Kenapa aku ragu ya? Takutnya
Nick merenggangkan ciuman. Kemudian, melanjutkan lumatan lumatan dengan lembut.Oliv memejamkan mata dan sedikit demi sedikit dirinya menerima ciuman itu dan membalasnya. Ciuman itu cukup lama dan akhirnya Nick mengakhirinya.Perempuan itu hanya diam dan menatap pria itu dengan tatapan tidak percaya. Tangan Nick mengusap lembut bibir milik Oliv. Napas mereka saling beradu di sana.“Saya ingin ciuman ini hanya untuk saya, jangan sampai kamu memberikannya ke orang lain,” ucap Nick tiba-tiba.Oliv melirik ke jari Nick yang mengucsp bibirnya itu. Dia memegang tangan pria itu spontan. “Kenapa? Hah? Bukannya itu hak aku?”Nick terdiam sejenak dan melepaskan tangan dari sana. Kemudian pria itu berjalan menuju ke meja kerjanya. “Intinya saya tidak mau kalau kamu berciuman sama laki-laki lain,” kata pria itu lagi. Tanpa menjelask