Pintu kamar itu tidak terkunci, tapi terasa seperti tidak akan pernah benar-benar terbuka untuknya.
Queen berdiri di ambang ruangan yang luas dan sunyi. Lantainya dari marmer pucat, dingin meski tidak disentuh langsung. Dindingnya kelabu muda, dengan satu lukisan abstrak besar di atas ranjang. Tak ada jendela. Hanya pintu kaca tinggi mengarah ke balkon kecil, tertutup tirai tebal. Di tengah ruangan, ranjang king. Sprei putih. Dua bantal. Tidak ada lipatan. Seperti tempat ini belum pernah dihuni. Queen melangkah masuk. Langkahnya nyaris tak berbunyi, tapi tubuhnya terasa seperti berisik hanya dengan bernapas. Ia menaruh tas kecil di atas kursi, lalu menatap sekeliling. Tak ada koper. Tak ada pakaian. Tak ada foto. Bahkan tak ada cermin. Ia berjalan ke pojok, membuka lemari tinggi. Di dalam tergantung pakaian wanita, semuanya pas ukurannya. Semuanya baru. Tak satu pun miliknya. Queen membuka laci. Pakaian dalam baru, masih berlabel. Lalu ia berdiri, mematung. Kamar mandi menyala otomatis saat ia masuk. Serba putih dan perak. Terlalu bersih. Tak ada cermin. Bayangannya hanya muncul samar di permukaan logam keran. “Apa aku bahkan diizinkan melihat diriku sendiri di rumah ini?” gumamnya pelan. Queen kembali ke kamar. Duduk di ujung ranjang. Sepatunya belum dilepas. Tangannya menyentuh renda di pergelangan gaun tidur. Pintu kamar terbuka. Sultan masuk, mengenakan kemeja hitam tipis dan celana panjang. Di tangannya, selimut abu-abu dilipat rapi. Matanya langsung tertuju ke sisi kanan ranjang. Ia tidak menoleh padanya. Queen berdiri setengah, refleks. “Tidak perlu berdiri,” kata Robin singkat, suara datar. Queen tetap diam. Tapi pandangannya mengikuti gerakan laki-laki itu. Sultan berjalan ke sisi kanan ranjang, meletakkan selimut dengan rapi. Ia membuka kancing kemeja, satu per satu. Gerakannya tenang. Terlalu tenang. Ia bertingkah seolah tidak ada asing yang juga ada di kamar. Queen menelan ludah. “Apakah... aku tidur di sisi kiri?” tanyanya pelan, hampir berbisik. Sultan tak menjawab langsung. Ia menyampirkan kemejanya ke sandaran kursi, lalu duduk di tepi ranjang. “Untuk sekarang,” jawabnya. Dingin. Padat. Queen tetap berdiri. “Aku tidak tahu aturan di rumah ini,” katanya pelan. “Kamu harus pelajari,” balas Sultan, berbaring ke sisi kanan, menarik selimutnya sendiri. Punggungnya menghadap Queen. “Kalau aku melanggar?” Queen bertanya lagi. Kali ini nadanya datar. Sultan tak menjawab. Lampu tidak dimatikan. Tapi dia memejamkan mata, seolah dunia sudah gelap. Queen masih berdiri. Lalu perlahan, melepaskan sepatu. Ia menyelipkan kakinya ke bawah selimut putih, masih berpakaian lengkap, dan berbaring di sisi ranjang yang belum disentuh. Napas Sultan teratur. Lambat. Tapi tidak dalam. Seperti seseorang yang hanya berpura-pura tertidur. Queen memandang punggungnya. Tegas. Diam. Jauh meski hanya satu meter. “Aku boleh bicara?” tanya Queen pelan. Tidak ada respons. Ia memalingkan wajah ke langit-langit. Cahaya lampu dinding menciptakan bayangan samar di tepian tempat tidur. AC terlalu dingin. Selimut terlalu tipis. Udara menusuk punggungnya seperti tangan tak terlihat. Queen menarik lututnya, memeluk dirinya sendiri. Ia tidak menggigil karena takut, tapi karena enggan minta apa pun. “Aku hanya ingin tahu, siapa yang menyalakan AC serendah ini. Atau memang kau suka wanita kedinginan di ranjangmu?” Sultan tetap diam. Queen menghela napas. “Diam pun sebuah jawaban,” gumamnya. Jam digital menunjukkan pukul 11.42 saat suara itu akhirnya muncul, datar, pelan, tapi sangat jelas. “Jangan terbiasa tidur di sisi kanan. Itu milikku. Suhu ruangan sudah sesuai, kamu yang harus cepat beradaptasi dengan temperatur kamar ini.” Queen membeku. Tak ada amarah dalam kalimat itu. Tapi ada batas. Garis yang digarisbawahi. Ia tak menjawab. Tapi tubuhnya bergerak pelan, mundur, menarik selimutnya kembali. Membalik badan ke sisi lain. Ia tidak tahu apakah ia lebih ingin tidur atau pergi. Tapi setidaknya ia belajar satu hal, pria yang sedang berbaring di samping nya saat ini menyentuh dengan kata dan membuat seluruh tubuh merasa telanjang hanya dengan kalimat pendek.Queen duduk di meja kerja kecil di sudut kamar, tangannya memainkan bulu pena hitam yang tergeletak di samping buku agenda kosong.Matanya tertuju pada kalender meja. Kulit sintetis coklat tua. Di dalamnya, halaman-halaman tanggal yang sudah ditandai. Bukan oleh tangannya. Tapi tulisan rapi, hitam, teratur. Tulisan tangan Sultan, ia tahu dari bentuk huruf yang tajam dan miring.Ia membuka halaman minggu ini.Senin, 22.00 – Kewajiban.Kata itu ditulis seperti rapat penting. Tanpa hiasan. Tanpa penjelasan. Tapi berat.Queen menatapnya lama. Ia menelusuri huruf-huruf itu dengan ujung jarinya. “Kewajiban” bisa berarti banyak hal. Tapi dalam konteks pernikahan, apalagi pernikahan yang dikontrak seperti transaksi saham, kata itu hanya punya satu makna.Ia menutup kalender itu pelan. Jam dinding menunjukkan 21.37.Masih ada waktu. Tapi entah kenapa, tubuhnya mulai bersiap seperti seekor rusa yang mencium bau serigala dari kejauhan.Queen berdiri, berjalan ke kamar mandi. Ia menyalakan air, m
Queen mencoba menyelinap ke sisi ruangan yang lebih sepi, dekat meja hidangan, di mana musik orkestra terdengar lebih samar. Ia tidak lapar, tapi mengambil satu tusuk buah hanya agar terlihat sibuk.Tangan kirinya memegang gelas. Tangan kanan menggantung bebas, jari-jarinya sedikit gemetar karena udara malam dan tekanan pandangan yang tak kunjung padam.Tiba-tiba, sebuah suara berat dan lambat menyapanya. "Ah, akhirnya aku bisa melihat wajah sang istri baru."Seorang pria tua mendekat. Jasnya mahal, dasinya kontras, dan tongkat kayu gelap di tangan kirinya memberi ilusi kelemahlembutan. Tapi mata pria itu seperti mata seseorang yang tidak pernah diajarkan untuk bertanya sebelum mengambil.Queen tersenyum kecil. Ia sudah terlalu lelah untuk menjawab basa-basi.Pria itu berhenti di depannya. “Boleh?” katanya sambil mengulurkan tangan.Queen berpikir dia ingin berjabat. Ia mengulurkan tangan pelan. Tapi pria itu langsung membungkuk, mengarahkannya ke bibir.Queen menariknya. Tidak kasar.
Pesta keluarga Sultan bukan pesta biasa. Ini adalah pertemuan orang-orang penting, pengusaha, politisi, duta besar, wanita-wanita tua yang mengenakan berlian seperti pelindung diri. Di tangan mereka ada gelas sampanye. Di mata mereka ada perhitungan. Queen tidak disapa. Tapi dia dilihat. Dilihat dengan penuh kalkulasi. Mereka menilai tinggi badannya. Lengkung gaunnya. Senyumnya yang tidak muncul. Tumitnya yang tidak terlalu tinggi. Caranya berjalan yang terlalu pelan atau terlalu ragu. Sultan melangkah lurus ke tengah kerumunan, lalu berpisah tanpa satu kata pun. Queen berdiri sendiri, di samping patung angsa kristal yang terlalu mewah untuk sebuah dekorasi. Seorang wanita tua mendekatinya. Bergaun ungu gelap, rambut keperakan, dan bibir tipis yang digigit sebelum bicara. “Kamu istri barunya?” katanya, seperti bertanya cuaca. Queen mengangguk kecil. “Ya, Bu.” Wanita itu tertawa pelan. “Dulu dia bawa aktris. Sebelumnya pelukis. Lalu model dari London. Sekarang kamu. Menarik
Ruang itu terlalu terang untuk pagi hari. Dinding putih bersih, kaca besar dari lantai ke langit-langit, dan meja rias penuh kuas, palet warna, dan parfum mahal. Tapi tak ada cermin besar. Lagi-lagi, tidak ada bayangan diri. Hanya pantulan-pantulan kecil di permukaan logam dan botol kaca. Queen duduk di kursi rias, tangannya saling menggenggam di pangkuan, tubuhnya dililit jubah mandi satin yang terlalu longgar. Kulit bahunya terasa dingin di bawah AC. Dania berdiri di belakangnya. Hari ini, rambutnya digelung tinggi dan bibirnya merah marun. Wajahnya seperti selalu berada di ambang senyum atau penghinaan, dan keduanya bisa keluar tanpa peringatan. “Kita hanya punya waktu dua jam,” katanya, sambil memutar hanger yang tergantung di tangannya. Tiga gaun. Semua putih atau gading. Semua tipis. Semua terlalu terbuka. Queen menatapnya diam. Dania mengangkat satu gaun dengan tangan kiri. Bahannya seperti kabut, ringan, berkilau samar, tanpa tali bahu. Belahan punggungnya menjulur h
Pintu kamar itu tidak terkunci, tapi terasa seperti tidak akan pernah benar-benar terbuka untuknya. Queen berdiri di ambang ruangan yang luas dan sunyi. Lantainya dari marmer pucat, dingin meski tidak disentuh langsung. Dindingnya kelabu muda, dengan satu lukisan abstrak besar di atas ranjang. Tak ada jendela. Hanya pintu kaca tinggi mengarah ke balkon kecil, tertutup tirai tebal. Di tengah ruangan, ranjang king. Sprei putih. Dua bantal. Tidak ada lipatan. Seperti tempat ini belum pernah dihuni. Queen melangkah masuk. Langkahnya nyaris tak berbunyi, tapi tubuhnya terasa seperti berisik hanya dengan bernapas. Ia menaruh tas kecil di atas kursi, lalu menatap sekeliling. Tak ada koper. Tak ada pakaian. Tak ada foto. Bahkan tak ada cermin. Ia berjalan ke pojok, membuka lemari tinggi. Di dalam tergantung pakaian wanita, semuanya pas ukurannya. Semuanya baru. Tak satu pun miliknya. Queen membuka laci. Pakaian dalam baru, masih berlabel. Lalu ia berdiri, mematung. Kamar mandi menyala
Sultan berdiri. Tinggi badannya seperti mendominasi seluruh ruang. Ia mengenakan jam tangan hitam dengan jarum emas, dan menyisir rambutnya ke belakang dengan telapak tangan. Rapi. Seperti arsitek dari segala hal yang terjadi hari ini. Ia melangkah mendekat. Pelan. Tapak sepatunya berbunyi pelan di atas karpet tebal, tapi setiap langkah terasa seperti detak jam mundur ke sesuatu yang tak bisa dibatalkan. Queen tetap duduk. Tak bergerak. Sultan berhenti di belakang kursinya. Napas Queen menahan diri. Tangannya masih di atas paha, kaku. Lalu pria itu menunduk, dan tanpa menyentuhnya, membisikkan satu kalimat ke telinganya, begitu dekat hingga Queen bisa mencium aroma parfum kayu dan tembakau ringan dari napasnya. “Mulai sekarang, jangan buat aku mengulang perintah dua kali. Paham.” Hanya itu. Lalu ia berdiri kembali. Dan berjalan keluar dari ruangan, pintu dibuka oleh seseorang yang Queen tidak sempat liha wajahnya. Queen masih duduk di kursi itu. Tangannya perlahan mengepal di a