Mobil berhenti di depan bangunan tua berlantai dua. Dari luar, jendela besar di lantai atas terlihat menyala terang. Dania turun lebih dulu, berbicara sebentar dengan seorang pria berkaos hitam di depan pintu.
Queen keluar dari mobil tanpa menunggu. Udara malam lembab, tapi lampu jalan membuat trotoar di depan studio terlihat jelas. Ia mengangkat sedikit ujung gaunnya agar tidak menyentuh tanah, lalu melangkah masuk. Dania memimpin jalan melewati lorong sempit yang berbau campuran parfum, debu, dan kertas foto. “Studio diatas,” katanya singkat, lalu menunjuk ke tangga spiral kayu di ujung lorong. Queen mulai menaiki tangga. Kayu tua itu berderit pelan setiap kali diinjak. Gaun terseret sedikit di anak tangga, tapi Dania tidak menawarkan bantuan. Tidak ada yang berdiri di puncak tangga untuk menunggu. Saat tiba di lantai dua, Queen melihat ruangan luas bercahaya terang. Latar polos warna gading terpasang di ujung, lampu sorot diarahkan ke tengah. Tripod kamera sudah siap. Sultan berdiri di sana, tangan di saku celana, kepala sedikit miring. Ekspresinya datar. Ia tidak menyapa, tidak melirik. Seorang fotografer berkacamata dengan rambut tipis segera mendekat. “Selamat malam, Tuan, Nyonya,” sapanya dengan sopan, sedikit menunduk. “Kita langsung mulai, ya? Satu frame formal.” “Silahkan,” jawab Sultan singkat. “Nyonya, mohon berdiri di sebelah kanan Tuan,” kata fotografer sambil menunjuk posisi. Queen berjalan pelan, berhenti sekitar satu meter dari Sultan. “Sedikit lebih dekat, Nyonya,” ucap fotografer sambil tersenyum. Nada suaranya sopan, tapi jelas ia hanya berani memberi arahan pada Queen, bukan Sultan. Queen menggeser setengah meter. Sultan tetap diam, tidak menyesuaikan jarak. “Bagus,” kata fotografer. “Tatap kamera.” Queen memaksa senyum tipis. Senyum itu tidak sampai ke matanya. Di sampingnya, Sultan berdiri tegak, dagu terangkat sedikit. Klik. Fotografer menurunkan kamera, memeriksa layar sebentar, lalu tersenyum kaku. “Cukup.” “Sudah?” tanya Dania. “Ya, Tuan, sudah cukup,” jawab fotografer cepat. Sultan melihat jam tangannya sebentar, lalu melangkah keluar tanpa menoleh. Queen masih berdiri di tempat, menarik napas pelan. Dania menghampiri. “Kegiatan Nyonya untuk hari ini sudah selesai. Mobil sudah siap di luar.” Nada suaranya formal, tapi ketika mereka mulai menuruni tangga dan Sultan sudah cukup jauh di depan, Dania menunduk sedikit ke arah Queen. “Capek?” bisiknya tanpa embel-embel gelar. Queen meliriknya sebentar. “Biasa saja.” Mereka melanjutkan turun. Dari bawah, terdengar langkah Sultan yang sudah lebih dulu keluar menuju mobil. Queen masuk ke mobil lebih dulu, lalu duduk di kursi belakang. Sultan sudah di sisi lain, menatap lurus ke depan. Dania duduk di kursi depan samping sopir, mengetuk-ngetuk tabletnya sebentar sebelum menyimpannya. “Tadi saya dengar kegiatan hari ini sudah selesai,” kata Queen, suaranya datar. “Jadi, sekarang kita akan ke mana?” Tanpa menoleh, Dania menjawab, “Ke kediaman Tuan Sultan.” Nada bicaranya rapi, formal. Queen hanya mengangguk kecil. Perjalanan terasa hening. Lampu jalan berganti-ganti di kaca jendela. Sekitar dua puluh menit kemudian, mobil melambat di depan gerbang besi hitam yang menjulang tinggi. Gerbang itu terbuka perlahan setelah dua penjaga memberi hormat. Jalan masuknya lebar, dengan pohon palem berjajar di kiri dan kanan, rumput terpotong rapi, dan lampu taman yang membuat seluruh halaman terang. Saat mobil terus melaju, Queen melihat rumah utama, bangunan tiga lantai dengan dinding putih bersih dan jendela-jendela besar. Pilar tinggi menopang beranda depan. Atapnya lebar dengan list profil klasik, tapi pencahayaan modern membuatnya tampak segar. Mobil berhenti tepat di depan pintu utama. Tangga marmer lebar mengarah ke pintu kayu ganda dengan pegangan logam berukir. Begitu mereka keluar, dua pelayan pria berseragam hitam putih sudah menunggu. “Selamat datang, Tuan, Nyonya,” ucap salah satu pelayan sambil sedikit membungkuk. Sultan hanya mengangguk singkat dan berjalan masuk. Queen melangkah mengikuti, gaunnya menyentuh permukaan marmer dingin. Pelayan wanita yang berdiri di dalam menyambut dengan senyum sopan. “Apakah Nyonya ingin dibawakan kopernya?” Queen menatap koper di tangannya sendiri, lalu menggeleng. “Tidak usah, saya bisa bawa sendiri.” “Baik, Nyonya,” jawab pelayan itu, lalu menepi memberi jalan. Begitu melewati pintu, Queen melihat ruang depan yang luas. Lantai marmer berkilau, lampu gantung besar tergantung tepat di tengah langit-langit tinggi. Ada dua tangga melingkar di kiri dan kanan yang naik ke lantai atas. Furnitur di ruang tamu tampak mahal, dengan warna netral dan pencahayaan hangat. Dania berjalan di belakangnya. “Nyonya, kamar Anda di lantai dua sayap timur. Saya antar.” Queen hanya mengangguk, lalu menoleh sebentar ke arah Sultan yang sudah menghilang ke arah lain rumah.Nala duduk perlahan di kursi seberang Queen, menunggu dengan sikap tenang. Ruangan terasa hening beberapa saat, hanya suara detik jam dinding yang terdengar jelas.Queen menatap cangkir kopinya, jemarinya mengetuk pelan permukaan meja. Diamnya panjang, sampai akhirnya Nala membuka suara. “Boleh saya bertanya, Nyonya?”Queen mengangkat wajahnya perlahan. “Apa yang ingin kamu tanyakan, Nala?”“Apa yang sedang Nyonya pikirkan?” tanya Nala hati-hati, sorot matanya tulus penuh rasa ingin tahu.Queen menimbang sejenak sebelum membalas dengan pertanyaan lain. “Apa yang dilakukan Sultan hari ini?”Nala mengangguk kecil, seperti sudah menduga arah pertanyaan itu. “Sejak pagi, beberapa direksi dan pimpinan anak perusahaan bergantian masuk ke ruang kerja Tuan Sultan. Mereka membawa laporan terkait masing-masing divisi.”Queen terdiam, matanya menggelap sesaat. Lalu ia bersandar, suara lebih pelan namun tajam. “Seberapa banyak kebocoran data yang sudah terjadi, Nala?”Pertanyaan itu membuat Nala
Queen mengatur napas, mencoba menahan amarah yang sudah hampir meledak. “Kalau benar anda tahu soal kebocoran data itu,” suaranya rendah tapi tajam, “berarti ada orang dalam yang bicara padamu. Siapa?”Rivando terkekeh pelan, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. “Pertanyaan yang bagus, tapi anda tidak benar-benar mengira aku akan memberitahumu, bukan?”“Kalau anda tidak mau bilang, berarti kabar itu hanya setengah benar. Atau malah anda sendiri yang membuatnya terlihat seolah ada kebocoran.” Queen menatapnya lurus, tidak goyah.Rivando mengangkat alis, matanya berbinar seakan menikmati ketegasan Queen. “Saya tidak perlu memalsukan apa pun, Nyonya Queen. Kalatama sendiri yang sudah membuka celahnya. Saya hanya berdiri di tepi, menunggu air masuk lebih banyak.”Queen mengepalkan tangan di samping tubuhnya. “Berhenti bermain teka-teki. Kau tidak akan menjebakku dengan kalimat manismu. Kalau benar ada kebocoran, cepat atau lambat kami akan tahu siapa dalangnya. Dan waktu itu, jangan
Queen menoleh sekali lagi ke lukisan pria paruh baya itu. “Tatapannya memang berat,” ucapnya pelan. “Tapi bukankah itu justru yang membuat orang tak bisa berpaling?”Rivando tersenyum tipis. “anda melihat sisi itu.” Ia melangkah mendekat, jarak mereka kini hanya selembar kanvas besar. “Kebanyakan orang justru merasa tertekan. Seperti dia bisa membaca kesalahan yang mereka sembunyikan.”Queen mengangkat alis sedikit. “Mungkin itu karena mereka punya terlalu banyak yang disembunyikan.”Senyum Rivando melebar, kali ini bercampur heran. “anda tidak takut? Bahkan setelah… segala yang terjadi?”“Aku tidak datang untuk takut,” jawab Queen, suaranya stabil meski dadanya masih berdebar. Ia melangkah ke arah lukisan berikutnya, sebuah kanvas abstrak dengan dominasi merah pekat. “Aku datang untuk melihat sendiri apa yang sebenarnya ingin anda sampaikan.”Rivando menatapnya beberapa saat, lalu ikut memandang lukisan abstrak itu. “Lukisan ini disebut Api yang Terkekang. Katanya, seniman membuatnya
Sultan sudah rapi dengan jas gelapnya, berdiri di dekat pintu sambil menunggu Queen yang masih menata scarf tipis di lehernya. Suasana rumah pagi itu tenang, hanya terdengar suara langkah pelayan yang sesekali melintas.Queen melirik ke meja, ponselnya bergetar. Ia meraihnya sekilas. Sebuah pesan baru muncul di layar, nama pengirim membuatnya refleks menahan napas.Rivando Samdani. Galeri Citra Aruna. Pukul sepuluh. Datang sendiri.Dada Queen berdegup keras. Ia buru-buru menekan layar agar pesan itu hilang dari pandangan sebelum Sultan sempat melihat.“Sudah siap?” suara Sultan terdengar datar, tapi penuh penekanan.Queen tersenyum tipis, mencoba menutupi kegelisahannya. “Ya, hanya aku mungkin tidak bisa langsung ke kantor bersamamu.”Sultan berhenti merapikan jam tangannya, menoleh dengan tatapan tajam. “Kenapa?”Queen menghela nafas pelan, pura-pura sibuk memasukkan ponsel ke tas. “Ada urusan yang harus aku selesaikan dulu. Tidak lama, hanya sebentar. Setelah itu aku akan menyusul k
Sinar matahari perlahan merembes masuk melalui celah tirai. Queen membuka mata perlahan, butuh beberapa detik untuk menyadari di mana ia berada. Hangatnya selimut, aroma samar kayu dari perabotan kamar, dan, napas teratur di sampingnya.Ia menoleh, mendapati Sultan masih tertidur. Posisi tubuhnya sedikit miring menghadap Queen, wajahnya tenang, jauh berbeda dari kesan keras yang biasanya. Ada sisi manusiawi yang jarang terlihat.Queen menahan diri agar tidak membuat suara. Tangannya tanpa sadar bergerak, hampir menyentuh lengan Sultan, tapi ia segera menariknya kembali. Jantungnya berdetak terlalu cepat hanya karena jarak sedekat itu.Suara pintu diketuk pelan memecah keheningan. Queen buru-buru duduk, menoleh. Seorang pelayan baru, Rendra, kepala pelayan yang menggantikan tugas Nala untuk pagi itu, masuk setelah mendapat izin. Ia menunduk hormat.“Selamat pagi, Tuan, Nyonya. Sarapan sudah disiapkan di ruang makan.”Queen menoleh sekilas pada Sultan, yang ternyata sudah membuka mata.
Mobil berhenti di halaman rumah besar itu. Udara malam terasa lebih tenang, tapi suasana di dalam hati Queen belum benar-benar reda. Ia turun setelah sopir membukakan pintu, sementara Sultan berjalan di sampingnya tanpa banyak kata.Mereka melangkah masuk. Lorong rumah senyap, hanya lampu dinding yang temaram. Queen sedikit tertinggal, pandangannya menyapu sekitar, sampai langkahnya terhenti di depan sebuah pintu kayu gelap yang setengah terbuka.Ia ragu sejenak, lalu mendorongnya pelan. Pintu berderit ringan, memperlihatkan sebuah ruangan kecil yang berbeda dari bagian rumah lain. Dindingnya penuh rak buku, meja kayu tua di sudut, dan di atasnya beberapa bingkai foto hitam putih.Queen masuk setengah langkah, matanya tertumbuk pada satu foto besar di dinding, seorang pria dan wanita dengan wajah yang mirip Sultan, berdiri berdekatan. Senyuman mereka sederhana, tapi hangat.“Jangan sentuh,” suara berat Sultan terdengar dari belakang.Queen tersentak, berbalik. Sultan berdiri di ambang