Share

BAB 3

Aвтор: Dannisa Idris
last update Последнее обновление: 2025-07-06 18:19:59

Sultan berdiri. Tinggi badannya seperti mendominasi seluruh ruang. Ia mengenakan jam tangan hitam dengan jarum emas, dan menyisir rambutnya ke belakang dengan telapak tangan. Rapi. Seperti arsitek dari segala hal yang terjadi hari ini.

Ia melangkah mendekat. Pelan. Tapak sepatunya berbunyi pelan di atas karpet tebal, tapi setiap langkah terasa seperti detak jam mundur ke sesuatu yang tak bisa dibatalkan.

Queen tetap duduk. Tak bergerak. Sultan berhenti di belakang kursinya. Napas Queen menahan diri. Tangannya masih di atas paha, kaku.

Lalu pria itu menunduk, dan tanpa menyentuhnya, membisikkan satu kalimat ke telinganya, begitu dekat hingga Queen bisa mencium aroma parfum kayu dan tembakau ringan dari napasnya.

“Mulai sekarang, jangan buat aku mengulang perintah dua kali. Paham.”

Hanya itu. Lalu ia berdiri kembali. Dan berjalan keluar dari ruangan, pintu dibuka oleh seseorang yang Queen tidak sempat liha wajahnya.

Queen masih duduk di kursi itu. Tangannya perlahan mengepal di atas paha. Hatinya tidak berdetak lebih cepat. Tapi nafasnya terasa lebih berat. Seperti paru-parunya tahu: tidak ada jalan kembali.

Wanita yang tadi menemaninya masuk menghampiri. "Silakan ikut. Foto akan mulai diambil."

Queen berdiri. Kakinya sedikit goyah. Tapi ia menegakkan punggung. Jika tubuhnya kini telah menjadi bagian dari kontrak, maka ia harus tahu caranya menyajikan diri seperti properti yang mahal.

Ruangan untuk foto berada di lantai atas. Tangga spiral kayu tua itu mengeluarkan suara lembut setiap kali Queen menginjak anak tangganya. Gaunnya terseret sedikit, tapi tidak ada yang menolong. Tidak ada tangan yang menunggu di puncak anak tangga. Ia benar-benar dibiarkan seorang diri, melakukan semuanya sendiri.

Sampai ia tiba di sebuah ruangan bercahaya terang, dengan latar polos berwarna gading dan pencahayaan yang sudah disusun sejak lama.

Sultan sudah berdiri di sana. Tangan di saku celana, kepala sedikit miring, ekspresi datar. Ia tidak menyapa saat Queen masuk. Tidak melirik. Seolah ia hanya aktor utama dalam sesi pemotretan fashion pria, dan perempuan di sebelahnya hanya properti tambahan, tidak berharga sama sekali.

Fotografer, seorang pria berkacamata dengan rambut tipis dan suara terlalu ceria untuk ruangan ini, berkata, “Oke, kita ambil satu frame formal, ya. Silakan berdiri di sebelah kanan Pak Sultan, Bu Queen.”

Queen melangkah pelan. Berdiri satu meter dari Sultan. Terlalu jauh untuk ukuran pasangan yang baru menikah. Tapi Sultan tidak bergerak untuk mendekat.

Fotografer mengangguk, lalu sedikit mengernyit. “Sedikit lebih dekat, Bu,” katanya. Tentu saja ia akan meminta Queen yang bergerak, karena siapa yang berani menyuruh Tuan Besar Sultan yang terhormat untuk bergerak mengikuti arahan seorang fotografer biasa.

Queen menggeser dengan langkah berat. Setengah meter. Tapi Sultan tidak menyesuaikan. Ia tetap pada posisinya, tangan tetap di saku, punggung tegak, kepala sedikit mendongak seperti pria yang baru saja memenangkan lelang atas lukisan mahal, dan ingin semua orang tahu.

Queen memaksa senyum. Senyumnya kecil. Tidak menyentuh mata. Seperti digambar dengan spidol di wajah porselen.

Klik.

Fotografer menatap layar kecil di kameranya, lalu tersenyum kaku. “Sudah cukup.”

Hanya satu foto. Tidak ada "sekali lagi". Tidak ada "coba lebih dekat". Tidak ada arahan lembut seperti yang biasa terdengar di pernikahan orang-orang biasa.

Queen melirik ke arah Sultan. Pria itu sudah berbalik, membuka jam tangannya sejenak, lalu memakainya kembali dengan gerakan cepat. Ia berjalan keluar dari studio tanpa menunggu istrinya.

Queen tetap berdiri di depan latar. Wanita yang tadi menemaninya kembali menghampiri Queen. “Kegiatan Ibu Queen hari ini sudah selesai, Ibu sudah bisa kembali, di luar sudah menunggu mobil untuk mengantar ke rumah.”

Fotografer mulai merapikan perlengkapannya, menghindari tatapan. Seperti tahu bahwa dia baru saja memotret sesuatu yang bukan cinta, bukan kebahagiaan, bahkan bukan kebetulan.

Itu bukan pernikahan. Itu dokumentasi transaksi.

Queen melangkah turun perlahan, mengikuti jejak langkah pria yang sekarang sudah sah secara hukum memegang kendali atas tubuhnya. Tapi tidak hatinya. Belum. Atau mungkin, sudah sejak tadi, dan dia hanya belum menyadarinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kontrak Tuan Sultan   bab 8

    Queen duduk di meja kerja kecil di sudut kamar, tangannya memainkan bulu pena hitam yang tergeletak di samping buku agenda kosong.Matanya tertuju pada kalender meja. Kulit sintetis coklat tua. Di dalamnya, halaman-halaman tanggal yang sudah ditandai. Bukan oleh tangannya. Tapi tulisan rapi, hitam, teratur. Tulisan tangan Sultan, ia tahu dari bentuk huruf yang tajam dan miring.Ia membuka halaman minggu ini.Senin, 22.00 – Kewajiban.Kata itu ditulis seperti rapat penting. Tanpa hiasan. Tanpa penjelasan. Tapi berat.Queen menatapnya lama. Ia menelusuri huruf-huruf itu dengan ujung jarinya. “Kewajiban” bisa berarti banyak hal. Tapi dalam konteks pernikahan, apalagi pernikahan yang dikontrak seperti transaksi saham, kata itu hanya punya satu makna.Ia menutup kalender itu pelan. Jam dinding menunjukkan 21.37.Masih ada waktu. Tapi entah kenapa, tubuhnya mulai bersiap seperti seekor rusa yang mencium bau serigala dari kejauhan.Queen berdiri, berjalan ke kamar mandi. Ia menyalakan air, m

  • Istri Kontrak Tuan Sultan   BAB 7

    Queen mencoba menyelinap ke sisi ruangan yang lebih sepi, dekat meja hidangan, di mana musik orkestra terdengar lebih samar. Ia tidak lapar, tapi mengambil satu tusuk buah hanya agar terlihat sibuk.Tangan kirinya memegang gelas. Tangan kanan menggantung bebas, jari-jarinya sedikit gemetar karena udara malam dan tekanan pandangan yang tak kunjung padam.Tiba-tiba, sebuah suara berat dan lambat menyapanya. "Ah, akhirnya aku bisa melihat wajah sang istri baru."Seorang pria tua mendekat. Jasnya mahal, dasinya kontras, dan tongkat kayu gelap di tangan kirinya memberi ilusi kelemahlembutan. Tapi mata pria itu seperti mata seseorang yang tidak pernah diajarkan untuk bertanya sebelum mengambil.Queen tersenyum kecil. Ia sudah terlalu lelah untuk menjawab basa-basi.Pria itu berhenti di depannya. “Boleh?” katanya sambil mengulurkan tangan.Queen berpikir dia ingin berjabat. Ia mengulurkan tangan pelan. Tapi pria itu langsung membungkuk, mengarahkannya ke bibir.Queen menariknya. Tidak kasar.

  • Istri Kontrak Tuan Sultan   BAB 6

    Pesta keluarga Sultan bukan pesta biasa. Ini adalah pertemuan orang-orang penting, pengusaha, politisi, duta besar, wanita-wanita tua yang mengenakan berlian seperti pelindung diri. Di tangan mereka ada gelas sampanye. Di mata mereka ada perhitungan. Queen tidak disapa. Tapi dia dilihat. Dilihat dengan penuh kalkulasi. Mereka menilai tinggi badannya. Lengkung gaunnya. Senyumnya yang tidak muncul. Tumitnya yang tidak terlalu tinggi. Caranya berjalan yang terlalu pelan atau terlalu ragu. Sultan melangkah lurus ke tengah kerumunan, lalu berpisah tanpa satu kata pun. Queen berdiri sendiri, di samping patung angsa kristal yang terlalu mewah untuk sebuah dekorasi. Seorang wanita tua mendekatinya. Bergaun ungu gelap, rambut keperakan, dan bibir tipis yang digigit sebelum bicara. “Kamu istri barunya?” katanya, seperti bertanya cuaca. Queen mengangguk kecil. “Ya, Bu.” Wanita itu tertawa pelan. “Dulu dia bawa aktris. Sebelumnya pelukis. Lalu model dari London. Sekarang kamu. Menarik

  • Istri Kontrak Tuan Sultan   BAB 5

    Ruang itu terlalu terang untuk pagi hari. Dinding putih bersih, kaca besar dari lantai ke langit-langit, dan meja rias penuh kuas, palet warna, dan parfum mahal. Tapi tak ada cermin besar. Lagi-lagi, tidak ada bayangan diri. Hanya pantulan-pantulan kecil di permukaan logam dan botol kaca. Queen duduk di kursi rias, tangannya saling menggenggam di pangkuan, tubuhnya dililit jubah mandi satin yang terlalu longgar. Kulit bahunya terasa dingin di bawah AC. Dania berdiri di belakangnya. Hari ini, rambutnya digelung tinggi dan bibirnya merah marun. Wajahnya seperti selalu berada di ambang senyum atau penghinaan, dan keduanya bisa keluar tanpa peringatan. “Kita hanya punya waktu dua jam,” katanya, sambil memutar hanger yang tergantung di tangannya. Tiga gaun. Semua putih atau gading. Semua tipis. Semua terlalu terbuka. Queen menatapnya diam. Dania mengangkat satu gaun dengan tangan kiri. Bahannya seperti kabut, ringan, berkilau samar, tanpa tali bahu. Belahan punggungnya menjulur h

  • Istri Kontrak Tuan Sultan   BAB 4

    Pintu kamar itu tidak terkunci, tapi terasa seperti tidak akan pernah benar-benar terbuka untuknya. Queen berdiri di ambang ruangan yang luas dan sunyi. Lantainya dari marmer pucat, dingin meski tidak disentuh langsung. Dindingnya kelabu muda, dengan satu lukisan abstrak besar di atas ranjang. Tak ada jendela. Hanya pintu kaca tinggi mengarah ke balkon kecil, tertutup tirai tebal. Di tengah ruangan, ranjang king. Sprei putih. Dua bantal. Tidak ada lipatan. Seperti tempat ini belum pernah dihuni. Queen melangkah masuk. Langkahnya nyaris tak berbunyi, tapi tubuhnya terasa seperti berisik hanya dengan bernapas. Ia menaruh tas kecil di atas kursi, lalu menatap sekeliling. Tak ada koper. Tak ada pakaian. Tak ada foto. Bahkan tak ada cermin. Ia berjalan ke pojok, membuka lemari tinggi. Di dalam tergantung pakaian wanita, semuanya pas ukurannya. Semuanya baru. Tak satu pun miliknya. Queen membuka laci. Pakaian dalam baru, masih berlabel. Lalu ia berdiri, mematung. Kamar mandi menyala

  • Istri Kontrak Tuan Sultan   BAB 3

    Sultan berdiri. Tinggi badannya seperti mendominasi seluruh ruang. Ia mengenakan jam tangan hitam dengan jarum emas, dan menyisir rambutnya ke belakang dengan telapak tangan. Rapi. Seperti arsitek dari segala hal yang terjadi hari ini. Ia melangkah mendekat. Pelan. Tapak sepatunya berbunyi pelan di atas karpet tebal, tapi setiap langkah terasa seperti detak jam mundur ke sesuatu yang tak bisa dibatalkan. Queen tetap duduk. Tak bergerak. Sultan berhenti di belakang kursinya. Napas Queen menahan diri. Tangannya masih di atas paha, kaku. Lalu pria itu menunduk, dan tanpa menyentuhnya, membisikkan satu kalimat ke telinganya, begitu dekat hingga Queen bisa mencium aroma parfum kayu dan tembakau ringan dari napasnya. “Mulai sekarang, jangan buat aku mengulang perintah dua kali. Paham.” Hanya itu. Lalu ia berdiri kembali. Dan berjalan keluar dari ruangan, pintu dibuka oleh seseorang yang Queen tidak sempat liha wajahnya. Queen masih duduk di kursi itu. Tangannya perlahan mengepal di a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status