LOGINBan mobil berhenti di depan pagar rumah. Queen melihat kedua orang tuanya sudah berdiri di teras. Gala di sebelah kiri, tangannya di saku, wajah datar. Vanda di sebelah kanan, senyum yang terlihat dipaksakan.
Pintu mobil dibuka dari luar. Queen keluar lebih dulu, menghela napas singkat. Sultan berdiri di belakangnya, Dania tetap di dekat pintu mobil, menunggu arahan. “Selamat sore,” ucap Gala pada Sultan, suaranya terdengar resmi. “Selamat sore, Pak Gala,” jawab Sultan singkat. Vanda menatap Queen, langkahnya maju setengah. “Kamu pulang.” “Ya,” balas Queen pendek, tanpa senyum. Matanya berpindah cepat antara Mami dan Papi. Ia melihat Mami berusaha terlihat ramah, sementara Papi seperti sedang berdiri untuk menerima tamu penting. Itu membuat dadanya panas. Tanpa menunggu obrolan basa-basi, Queen berjalan melewati mereka, langsung menuju pintu rumah. Tumit sepatunya beradu ringan dengan lantai keramik ruang tamu. “aku ke kamar,” katanya, lebih sebagai pernyataan daripada izin. Gala dan Vanda saling pandang, tapi tidak ada yang menahan. Sultan hanya berdiri di dekat pintu, mengamati, sementara Dania menunduk sedikit sambil memegang tablet. Queen membuka pintu kamarnya. Udara di dalam masih sama, bau sabun cucian dari jemuran di luar jendela dan sedikit wangi lotion dari meja rias. Ia berjalan ke lemari, menarik koper dari bagian bawah, lalu meletakkannya di atas ranjang. Tangannya mulai memilih pakaian, beberapa atasan, celana panjang, dua gaun sederhana. Ia melipatnya cepat, memasukkannya ke koper. Suara resleting kecil terdengar ketika ia membuka kantong samping untuk mengambil dompet, charger, dan buku catatan. Pintu kamar diketuk pelan. “Boleh Mami masuk?” suara Vanda. Queen tidak menjawab lama-lama. “Masuk saja.” Vanda masuk dengan langkah hati-hati. Ia menutup pintu, lalu duduk di sisi ranjang. “Biar Mami bantu lipat,” katanya, mengambil baju dari tangan Queen. “Tidak usah repot, Mi,” ujar Queen sambil tetap memasukkan pakaian ke koper. “aku bisa sendiri.” Vanda tetap melipat, gerakannya rapi dan tenang. “Mami tahu kamu masih marah.” Queen berhenti sebentar, menatap tumpukan baju di koper. “aku tidak mau bicara soal itu sekarang.” “Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” Vanda meletakkan lipatan baju di sampingnya. “Mami ingin kamu tahu, semua ini bukan pilihan yang mudah.” Queen menoleh, matanya tajam tapi suaranya rendah. “Tapi Papi dan Mami membuatnya terlihat mudah. Menyerahkan anaknya begitu saja, seolah aku barang.” Vanda menggeleng pelan. “Jangan bilang begitu. Kamu tetap anak Mami. Apapun yang terjadi.” Queen menahan nafas, lalu kembali melipat baju. “Anak yang sekarang harus mengikuti perintah orang lain. Anak yang tidak bisa memutuskan untuk dirinya sendiri.” “Mami minta maaf,” suara Vanda pelan. “Tapi kalau ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan semua, apa kamu mau lihat pabrik tutup? Lihat karyawan pulang tanpa gaji?” Queen tidak langsung menjawab. Tangannya berhenti di atas sebuah sweater abu-abu. Ia menatapnya sebentar, lalu memasukkannya ke koper. “aku mengerti alasan itu. Tapi mengerti bukan berarti aku suka.” Vanda mengangguk. “Mami juga tidak suka. Tapi kita sudah di titik ini. Yang bisa Mami minta, kamu jaga dirimu di sana.” Queen memejamkan mata sebentar. “aku akan jaga diri. Tapi aku tidak janji akan diam saja kalau ada yang mencoba merendahkan aku.” “Tidak apa-apa,” kata Vanda, menepuk tangan Queen. “Kamu memang bukan tipe yang diam.” Mereka berdua kembali melipat pakaian dalam diam. Hanya suara kain dan resleting koper yang terdengar. Vanda mengambil foto keluarga dari meja, menatapnya sebentar, lalu menyerahkan ke Queen. “Bawa ini.” Queen menerimanya tanpa kata, memasukkan ke kantong koper yang terdalam. “Terima kasih, Mi.” “Kalau ada apa-apa, telepon Mami,” ujar Vanda. “Siang, malam, kapan saja.” Queen mengangguk. “aku tahu.” Di luar kamar, suara langkah kaki terdengar mendekat. Sultan pasti sudah menunggu. Queen menutup koper, menegakkan punggung, dan menarik napas panjang sebelum berdiri. Vanda berdiri juga. “Ayo. Jangan biarkan mereka menunggu.” Queen mengambil koper, memegangnya erat. Ia tahu ini bukan sekadar perjalanan singkat, ini adalah awal dari sesuatu yang tidak ia pilih, tapi harus ia jalani.Sultan berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja hitam yang lengannya digulung sampai siku. Wajahnya terlihat lelah, tapi tetap tenang, seperti biasa.Matanya segera tertuju pada dua koper besar di lantai. Ia melangkah masuk, lalu menatap Queen yang berdiri di sisi meja rias.“Cepat juga kamu beres-beresnya,” ucap Sultan sambil menutup pintu di belakangnya.Queen menoleh pelan, bibirnya melengkung kecil. “Aku dibantu Nala. Dan sebagian lagi,” ia menatap koper pria di sebelahnya, “,aku siapkan sendiri.”Sultan menaikkan satu alis, lalu mendekat. “Pakaian aku?”“Hmm.” Queen mengangguk, mencoba terdengar santai. “Kalau kubiarkan kamu yang pilih, pasti ujungnya hanya dua kemeja dan satu celana panjang.”Sultan tertawa kecil, suara rendahnya memenuhi ruangan. “kamu sudah hafal.” Ia berhenti tepat di depan Queen, lalu menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, antara kagum, canggung, dan lembut sekaligus.“Terima kasih,” katanya pelan, namun tulus.Queen menunduk sedikit, pura-pura si
Mobil berhenti di depan rumah mereka. Lampu-lampu di teras sudah menyala lembut, menandakan seseorang menunggu. Begitu pintu terbuka, Sultan keluar lebih dulu, langkahnya mantap namun terlihat sedikit tergesa. Dari arah dalam, Patra sudah berdiri di depan pintu bersama Nala yang membawa tablet dan beberapa map di tangan.“Selamat datang, Tuan, Nyonya,” sapa Nala sopan sambil sedikit menunduk.Patra menambahkan, “Saya baru saja sampai, Tuan. Sudah saya koordinasikan semua sesuai instruksi.”Sultan mengangguk cepat. “Bagus. Kita berangkat besok pagi. Aku mau lihat dulu laporan dari lokasi Lombok.” Tanpa banyak basa-basi, Sultan langsung berjalan masuk ke rumah, Patra mengikuti di belakangnya dengan wajah serius dan tablet menyala di tangan.Queen masih berdiri di depan mobil, memandangi dua orang itu masuk rumah lebih dulu sebelum menoleh ke arah Nala.“Nala, kamu ikut juga?” tanya Queen, suaranya terdengar lembut tapi penasaran.Nala tersenyum kecil. “Iya, Nyonya. Semua sudah diatur. T
Begitu mereka kembali ke ruang makan, aroma nasi goreng dan sambal udang masih memenuhi udara. Vanda yang sedang menyiapkan potongan buah langsung menoleh dan tersenyum melihat keduanya datang.“Lama sekali teleponnya,” ucapnya ringan, tapi matanya menatap Queen penuh tanya. “Semuanya baik-baik saja, kan?”Queen tersenyum kecil sambil duduk kembali di kursinya. “Baik, Mi. Cuma urusan kantor, nggak terlalu besar.”Sultan ikut duduk di sampingnya, kali ini ekspresinya sudah jauh lebih tenang. Gala mengangguk pelan, lalu berkata sambil menatap Sultan, “Urusan kantor memang nggak ada habisnya. Tapi jangan sampai lupa makan, itu yang penting.”“Tenang, Papi,” jawab Sultan dengan senyum singkat. “Saya sudah janji tidak akan lewatkan makan buatan Mami.”Vanda tersenyum bangga, lalu mendorong piring berisi potongan buah ke arah Sultan. “Bagus. Setelah ini makan buah, biar sehat. Tapi wajah kamu kayaknya tegang, ada masalah besar?”Sebelum Sultan sempat menjawab, Queen menyela cepat, nada suar
Suasana meja makan perlahan mulai tenang. Piring-piring sudah hampir kosong, hanya tersisa beberapa butir nasi dan sisa kerupuk udang yang hancur di sudut meja. Udara hangat dari dapur bercampur dengan aroma nasi goreng dan tawa kecil yang masih menggantung di ruangan.Gala menyandarkan punggungnya ke kursi, menepuk perut dengan puas. “Sudah lama nggak makan seramai ini. Rasanya beda kalau semuanya kumpul begini.”Queen tersenyum. “Mami memang jago masak. Aku sampai lupa kalau ini udah piring kedua.”Vanda menatap putrinya dengan pandangan penuh sayang. “Makan yang banyak nggak apa-apa, Mami senang lihat kamu makan lahap begitu.”Kai yang duduk di seberang langsung nyeletuk. “Kalau tiap kali pulang Kakak sama Abang makan segitu banyak, bisa-bisa Mami tambah semangat masak tiap hari.”“Boleh juga,” sahut Vanda sambil terkekeh. “Asal kamu bantu cuci piringnya, Kai.”Tawa ringan kembali terdengar. Tapi di tengah kehangatan itu, ponsel Sultan bergetar di meja, suara getarnya terdengar jel
Vanda muncul dari dalam membawa piring kecil berisi pisang goreng hangat. “Kalian ini sudah ngobrol dari tadi belum sarapan benar,” katanya sambil meletakkan piring di meja. “Ayo makan, biar nggak masuk angin.”Queen bangkit cepat membantu Mami nya, mengambilkan tisu dan piring kecil. “Aku bantu, Mi.”Vanda melirik dengan senyum menggoda. “Akhirnya anak Mami ini bisa juga bantu.”“Biasanya sibuk urusan sendiri,” sela Gala, membuat Queen melotot manja. Mereka semua tertawa.Sultan ikut mengambil sepotong pisang goreng dan mencicipinya. “Ini enak sekali, Mi. Lembut.”Vanda tersenyum senang. “Kalau suka, nanti Mami bawakan untuk kalian pulang ke rumah. Tapi janji, Queen harus belajar bikin juga.”Queen menatap Maminya pura-pura kesal. “Mami selalu menyeret aku ke dapur.”“Ya, biar Sultan tahu istrinya bukan cuma jago tanda tangan sama baca laporan,” jawab Vanda cepat. Mereka semua tertawa lagi, dan tawa itu menggema di halaman, ringan, jujur, dan penuh rasa sayang.Kai muncul dari dalam
Queen membuka mata perlahan. Cahaya matahari sudah menembus tirai kamarnya, membuat ruangan terang. Tangannya meraba sisi kasur, kosong. Ia langsung terangkat, menatap sekeliling.“Eh?” gumamnya, sedikit kaget karena Sultan tidak ada.Ia bangkit perlahan, menyampirkan cardigan tipis, lalu melangkah keluar kamar lamanya. Aroma masakan khas rumah memenuhi udara. Dari arah dapur, terdengar suara Vanda.“Baru bangun, Queen?” suara Vanda terdengar agak kesal.Queen menghentikan langkahnya di ambang pintu, lalu tersenyum canggung. “Iya, Mi. Tadi malam agak susah tidur.”Vanda menatapnya tajam sambil menyilangkan tangan di dada. “Kamu sudah jadi istri orang, jangan kebiasaan bangun siang. Lihat tuh, Sultan dari subuh sudah ikut olahraga sama Papi di halaman.”Mata Queen membesar. “Sultan? Sama Papi?”“Ya, masa sama kucing?” Mami menyahut cepat. “Dari pagi mereka sudah di halaman belakang. Kamu malah molor.”Queen terdiam, masih berusaha membayangkan sosok Sultan yang biasanya kaku dan serius







