Loh bukannya kalau acara Yasinan itu semua boleh datang ya?” tanyaku,” keknya sih,” lanjutku bergumam. Karena aku juga gak pernah datang ke acara seperti ini.
“Ya harusnya begitu, mbak. Tapi nyatanya tidak dengan kami.” Nur menunduk sedih. “Memangnya gimana Nur?”tanyaku penasaran. “Ya karena kami miskin mbak, makanya kami gak..” “Nur, sudah. Gak baik bicara seperti itu. Sudah nasib kita jadi orang gak punya,” tegur Ibu yang membuat Nur tak melanjutkan ucapannya. “Ya udah. Kapan acara Yasinan? Nanti kita datang, nanti mbak ikut. Kalau ada yang macam-macam biar mbak yang jawab,” ucapku. “Beneran, mbak. Ya Allah mbak seperti malaikat bagi kami.” Nur memelukku sementara aku tiba-tiba saja air mata menetes tanpa aku komando. _ Waktu menunjukkan pukul 10 malam saat aku masuk ke dalam kamar. Perhatianku tertuju pada hp yang belum aku sentuh dari pagi tadi. Ada beberapa pesan dari teman-temanku. [Hoi monyet gunung, lo kemana sih?] tanya teman akrabku yang bernama Virda. Aku tak ingin membalasnya. [Mir, Hangout yok. Gue lagi bt ni] kini pesan dari Aurel, teman akrabku sewaktu di jakarta. Kali ini sama hanya aku baca tanpa aku balas hingga mataku tertuju pada pesan Elias. [Jangan membuat masalah selama di kampung! Apapun yang terjadi cukup kamu diamkan saja. Ingat hubungan kita hanya sebatas majikan dan bawahan. Jadi kamu gak usah sok jadi pahlawan!] “Idih, kan harusnya aku yang bicara begitu sama dia. Aku kan majikan dia, aku juga yang membuat keputusan nikah kontrak ini. Ih daaar lelaki aneh,” gumamku kesal. * Pagi hingga ke sore hari tak ada yang membuat masalah dengan kami, semua berjalan biasa saja. Bahkan Mbok De Saminah yang biasa nyinyir dengan kami juga diam. Mbak Tun, memantu Mbok De Saminah yang sombong itu juga diam saja. Bahkan ketemu dengan kami juga diam saja tanpa komentar apapun. Tapi bodo ah, gak penting juga. Di diamkan mereka juga, gak ada ruginya. “Mbak aku pakai gamis yang baru ya?” tanya Nur meminta izin. “Ya pakai saja Nur. Kita beli kan buat dipakai,” sahutku. “Ibu juga pakai baju baru, Bu. Biar mereka gak nyinyir kita bau kambing lagi!” “Tapi ini kan buat baju lebaran, ndok,” jawab Ibu. “Gak apa-apa, Bu. Pakai saja, nanti kalau sudah tak layak pakai aku belikan lagi.” Ibu tampak sungkan tapi aku yakinkan untuk memakainya. _ “Wah sudah berani ikut yasinan Lek?”tegur Mbak Tun. “Iyo Tun. Sudah lama gak ikut,” jawab ibu mertua. “Bajune beli di pasar mana Lek, kok jelek gitu!” “Gak papa sih jelek, tapi paling gak ini beli di mall bukan di pasar malam. Percuma keliatan bagus, mewah tapi belinya di pasar murah, obralan lagi!” Sengitku. Kesal sekali aku sama wanita nyinyir satu ini. Wanita 40 tahunan itu tak menjawab sebaliknya pergi begitu saja meninggalkan kami “Loh tumben gak rese,” gumamku. Acara Yasinan berjalan lancar, tak ada hal apapun yang tak menyenangkan. Orang-orang Kampung juga tak ada yang usil. “Mereka baik gitu kok. Gak ada yang usil,” ujarku saat pulang “Halah itu kan karena mbak nyumbang banyak tadi. Makanya mereka diam, coba mbak nyumbang dikit, sudah pasti nyinyir mereka,” jawab Nur. Memang tadi saat ditarik sumbangan untuk masjid aku langsung nyumbang 1 juta padahal yang lain Cuma sepuluh ribu, karena kupikir itu adalah jumlah yang umum untuk menyumbang. Kami terus melangkah sambil bercerita hingga sampai di depan rumah kami melihat sebuah bayangan hitam di depan pintu rumah kami. “Maling-maling!”"Yo wis Bu kalau begitu Aku bersihkan dulu habis itu kita goreng. Mbak mau digoreng seperti apa? Mau disambel atau digoreng gitu aja?" Nur menatapku. "Goreng pakai tepung aja Nur biar rasanya lebih crispy.""Ouh tepung bumbu ya mbak?"Aku menggangguk," ada gak tepungnya, kalau nggak biar aku beli di warung."Nur mencari-cari bumbu itu dan ternyata tidak ada. "Weh gak ada je, mbak.""Yo wis kalau begitu aku ke warung sebelah dulu.""Nggak papa kan Mbak sendirian?"Aku menggangguk, tinggal di sini beberapa Minggu aku sudah hapal jalan. Lagi pula warungnya juga tidak terlalu jauh._Suasana sore di kampung ini cukup syahdu. Embun tipis mulai turun, udara dingin menyentuh tulang. Anak-anak kecil dengan berpakaian muslim berjalan menuju ke sebuah sungai kecil di ujung kampung. "Mau ke mana?"tanyaku. "Mau ngaji Mbak."Aku menatap ke arah dompet dan ternyata aku memiliki beberapa Uang pecahan rp10.000 ya aku rasa cukup untuk memberi kamu kepada 4 anaknya sedang berjalan itu. "Sini Mbak
"Oalah Ti, mbok kamu sama anak kamu itu ngaca, hidup aja susah kok mau buat rumah tingkat. Mikirlah, hutangmu masih banyak!" Aku segera memasang telinga untuk mendengar apa yang akan dilakukan oleh orang tua gak tau adab itu lagi. "Sampean ngomong opo to mbak Yu. Aku loh sadar diri, aku tu hidup yang penting bisa makan, anak-anakku gak kekurangan sudah kok. Aku gak terlalu ambisi sama dunia," jawab Ibu. "Halah sok-sokan kamu gak butuh harta! La wong setiap hari saja kamu tuh sibuk mau nyaingi aku kok!" Sengit Mbok De Saminah. "La yang mau saingan sama sampean itu loh siapa, sampean mau numpuk harta sampai gunung anakan aku yo gak peduli. Harta orang tua sampean telan sendiri aku ya gak papa. Karena bagiku hidup itu bukan cuma harta. Percuma punya banyak harta kalau gak merasa cukup, tetap saja hidup gak tentram! Mati juga cuma butuh tanah 1.5 meter Yu."Eh sejak kapan Ibu mertua berani?"Halah kamu itu sok-sokan aja bilang gitu, kamu itu sebenarnya iri to sama aku. Sudah semua war
"Apa pedulimu!" Sengitku.Elias menyentil keningku. "Dasar bodoh, kamu akui atau tidak aku ini suamimu. Tentu saja aku ingin yang terbaik untuk kamu selama kamu masih jadi istriku," jawabnya Eh "Mas, memang benar ya, kamu hutang minum kopi di warung sebelah?" tanya Nur tiba-tiba yang membuat Elias menoleh ke arahnya."Siapa yang bilang?"tanya lelaki itu."Tadi mbah Kamis yang bilang. Katanya kamu gaya pakai mau bangun rumah segala, wong kopi aja ngutang," jawabku padahal tadi Nur sudah buka mulut hingga akhirnya menutup lagi."Hah, sembarangan ngutang. Malah aku yang traktir dia tiap hari. Kalau dulu iyalah ngutang," jawab Elias santai. "Tuh kan. Aku sudah sangka pasti Mbah Kamis itu cuman ngada-ngada bilang kalau Mas Elias suka ngutang. Dia iri karena mas Elias mau bangun rumah," ujar Nur. "Kira-kira nanti apa reaksi ibu ya?"tanyaku sementara Elias hanya diam."Mas nanti kalau rumahnya tingkat 3 aku kamarnya di atas ya. Biar aku bisa liat pemandangan," rengek Nur."Enak aja, kam
"Maaf, Memangnya Kalau kami miskin kami nggak boleh bangun rumah? Kutatap orang tua itu,"toh kami bangun juga dengan uang kami sendiri kami tidak pinjam pada kalian. Lagian kalian itu loh udah tua, mbok ya fokus ibadah. Jangan suka ngurusin orang lain, takutnya belum tobat malah udah mening oi duluan. Apa gak rugi kalian!""Wo bocah gendeng, gak ada aturan. Orang tuamu gak mendidik sopan santun mesti, makanya berani sama orang tua!" Si kakek tak terima dan mengacungkan aritnya padaku. Loh gimana sih, kan bener dia itu sudah tua dan sudah bau tanah bisa saja kan tiba-tiba mening oi. Ya gak? Apa yang salah coba dengan ucapan aku?"Memangnya, kalian punya sopan gitu. Namanya orang tua kalau lihat keponakan bisa bangun rumah, ya harusnya ikut bersyukur. Bukan malah julid, sampean nenek dan kakeknya Elias dan Nur kan?"Aku masih ingat ketika pertama kali datang, Elias dan Ibu memperkenalkan aku pada mereka dan mereka itu masih ada hubungan darah dengan Elias."Dasar wong kuto, gak duwe so
Akhirnya aku terpaksa membuat perjanjian dengannya supaya dia tidak membuka rahasiaku di muka umum. Beruntung pria itu mau bekerjasama denganku walaupun aku harus memenuhi beberapa persyaratan. "Mbak ternyata benar Mas Elias yang merencanakan semua ini. Lah aku pikir kejutannya nggak seperti ini je. Kok malah seperti ini, benar-benar mas Elias itu cinta sama kamu mbak."Loh apa hubungannya meronovasi rumah sama masalah cinta, kok aneh."Aneh kamu ini Nur, Apa hubungannya merenovasi rumah sama aku? Kan yang direnovasi rumah kamu bukan rumahku," jawabku.Nur hanya tersenyum lalu kemudian kami berdua segera keluar. "Pak ini menunggu ibu kami dulu atau langsung diukur?"tanya Nur."Nggak papa mbak lagian kan ada mbak. Kata Pak Elias nggak papa kok nggak harus ada Ibunya mbak, yang penting semuanya sudah jelas."Nur mengangguk begitu pula dengan aku. "Jadi tanah ini batasnya mana ya Mbak?"tanya sang kontraktor untuk menentukan batas tanah. "Ini pak ini ada patokannya. Jadi bagian sini i
Nur mempersilahkan orang-orang itu masuk. Sementara aku menunggu dengan jantung yang ikut berdebar. "Iya pak?"tanya Nur "Apa benar ini rumah Bu Darti?"tanya lelaki berpakaian rapi itu."Iya pak ada urusan apa ya?" Nur tampak gemetar. Beberapa kali gadis itu mengusap tangannya yang berkeringat. Tampak sekali dia gelisah atau mungkin takut. "Perkenalkan saya Hadi. Kami dari pihak kontraktor PT Adem Mukti. Kami ke sini untuk melihat kondisi lahan rumah yang akan direnovasi. Ini gambar yang telah masuk ke kami. Apa ada yang mau ditambahi.""Hah?" Mata Nur melotot, dia menatap ke arahku, sementara aku juga bingung. Aku memang punya rencana untuk memugae rumah ini tapi baru wacana karena takut menyinggung Elias. Masa iya bisa tembus ke kontraktor?"Bapak memang beneran yang mau di renovasi ini rumah saya. Kami tidak merasa mengontrak bapak," ujar Nur," lagi pula sepertinya nggak mungkin pak kalau ibu saya yang meminta bapak untuk datang ke sini, kami loh orang miskin, Mana mungkin bisa m