“Ono opo to Bu?”tanya Nur yang kaget mendengar teriakkan Ibunya.
“Iki Lo, la kok mahal banget. Masa harganya 500 ribu,” jawab ibu dengan wajah kaget. “Oalah, Bu. Mbok Ojo deso to. Namanya juga di mall,” ucap Nur. Sementara aku hanya tersenyum melihat tingkah mertuaku. Tiba-tiba seorang wanita berpakaian khas pegawai mall mendekat. “Maaf, Bu kalau mau minta-minta jangan di sini ya. Ini mall bukan pasar!” What? Aku segera mendekat, ini tak bisa dibiarkan. “Loh kami ini mau beli je mbak, bukan mau minta-minta,” ucap Nur. “Aduh, mending kalian ke pasar saja deh. Di sana mahal-mahal!” Kutatap wajah SPG itu, ada tenaga penjual seperti itu. “Ada apa mbak?”tanyaku pada pelayan tadi. “Ini loh mbak, la wong dari pakainya aja deso. Kotor dan bau, la kok bisa-bisanya masuk mall sini. Kan gak ngenakin penununjung,” jawab SPG itu menghina. “Ibu sama Nur mau baju yang mana?”tanyaku to the poin tanpa melihat wajah SPG tadi “Ndak usah nak Miranda, mahal,” jawab Ibu sungkan. “Gak papa, ibu pilih saja semua yang ibu dan Nur mau!” Nur sumringah. “Bener mbak?”tanya Nur. “Iya pilih saja.” Nur segera menarik tangan Ibu. “Ayo Bu kita pilih-pilih.” “Mbak gak usah kwatir, mereka itu saudara saya,”’ucapku. “Tapi mbak, yakin bisa bayar. Itu banyak loh.” Kusipitkan Mataku, kok ada pelayan seperti ini. “Jangankan baju mbak, mulut mbak juga bisa aku beli. Kes lagi tak kredit,” jawabku jengkel lalu kemudian pergi. Awas saja aku akan adukan perbuatan nya pada manager mall ini. “Ada kartu member?” tanya kasir saat aku akan membayar belanjaan. “Gak mbak.” Kasir itu mengangguk dan menghitung belanjaan kami. Ibu menutup mulut saat tau berapa habis belanjaan kami. “Wah tiga juta,” matanya melotot. “Tu kan mahal, awas ya barang sudah dibeli gak bisa dikembalikan!” Kutoleh sumber suara tadi yang ternyata milik si SPG tadi. Heran deh sama ni cewek, dia ada dendam apa sih sama keluarga mertua. Segera aku keluarkan kartu kredit tanpa limit milikku. “Ini mbak.” Kasir itu tampak bingung, sepertinya memang baru aku di sini yang membayar pakai kartu kredit. “Maaf, apa ada uang kes mbak. Atau pakai ATM juga bisa,” ucap salah seorang kasir. “Loh kan itu tinggal gesek mbak. Saya kebetulan gak bawa uang kes,” jawabku. Mereka berbisik sebentar hingga datang seorang lelaki muda berpakaian rapi yang menolong. Aku perkirakan dia manager mall. Alhamdulillah acara belanja akhirnya selesai dan kamipun segera pulang. Beruntung juga kami mendapatkan tumpangan saat turun di jalan besar untuk pulang ke rumah. “Wah Lek Darti sekarang kaya ya. Bisa beli baju di mall. Elias memang pintar cari istri,” ucap sopir pik up yang kami tumpangi. “Iya, Di. Alhamdulillah aku punya menantu baik dak seperti menantu kota yang lain,” jawabnya. “Iya Lek, jenengan beruntung. Sudahlah mbaknya cantik, baik pula.” Ya ampun , jadi melayang aku. Setelah menempuh perjalanan sekitar setengah jam, kami sampai di rumah. Nur langsung mencoba baju yang tadi dia beli. “Wah seumur-umur baru kali ini aku pakai baju sebagus ini, mbak,” ucap Nur dengan ekspresi sumringah. “Iya, Ndok. Ini juga ibu baru kali ini pakai gamis di hari Lebaran. Biasanya Ibu pakai bekas Mbok De Saminah.” Mata ibu berkaca-kaca, sementara aku . Ya Tuhan tak tau harus berkata apa. Dari kecil aku tak pernah kekurangan. Baru kali ini aku tahu ada orang-orang kekurangan begini. “Nek begini, besok kita pasti di undang ke acara Yasinan besok, Bu,” celetuk Nur. Eh, bukannya acara keagamaan itu semua di undang. Bahkan di elu-elukan untuk datang. Masa iya karena miskin gak diundang. “Loh bukannya kalau acara Yasinan itu semua boleh datang ya?” tanyaku,” keknya sih,” lanjutku bergumam. Karena aku juga gak pernah datang ke acara seperti ini. “Ya harusnya begitu, mbak. Tapi nyatanya tidak dengan kami.” Nur menunduk sedih. “Memangnya gimana Nur?”tanyaku penasaran. “Ya karena kami miskin mbak, makanya kami gak..” “Nur, sudah. Gak baik bicara seperti itu. Sudah nasib kita jadi orang gak punya,” tegur Ibu yang membuat Nur tak melanjutkan ucapannya. “Ya udah. Kapan acara Yasinan? Nanti kita datang, nanti mbak ikut. Kalau ada yang macam-macam biar mbak yang jawab,” ucapku."Eh iya Nak Miranda, ibu yang rumahe depan mbah Saminah," jawab orang itu."Terus tadi sampean suruh ibu saya apa? Pinjamin sampean uang. Maaf ya, daripada uang saya pinjamkan pada manusia gak punya hati seperti anda. Lebih baik aku masukkan kotak amal lebih berguna," ucapku yang membuat wanita itu wajahnya merah seketika."Wow dasar sombong, paling kamu di kota ya cuma buruh pabrik, pasti gak lebih kaya dari anakku. Anakku loh polisi!""Yowes ngapain utang kalau anak sampean kaya, mintalah sama anak sampean!" Sengitku kemudian pergi.Ya Ampun, mau ibadah aja ada aja halangannya.Acara Yasinan di kampung berlangsung seru. Karena ternyata bukan hanya ajang ibadah tapi juga ajang gosib ibu-ibu. "Eh Lek Darti kok tumben ke pengajian," celetuk orang yang duduk di belakang kursiku. "Iya, biasanya kan gak di undang," jawab warga lain. "Ouh itu mungkin, karena gamisnya baru.""Kok kamu tahu kalau gamis Lek Darti baru?""Ya baunya aja masih baru gitu kok. Tumben Lek Drti bisa beli gamis ba
ku segera mengambil benda apa saja, ibu mengambil sapu sementara Nur mengambil arit yang biasa dipakai Ibu kalau untuk pergi ke sawah. Walaupun takut, tapi kami berusaha kuat. Dengan hati-hati kami mendekati bayangan yang tak jelas wajahnya karena lampu temaram itu. Satu, dua, tigaAku memberi aba-aba untuk bertindak dan kami semua mengacungkan senjata. "Apa-apaan sih kalian, ini aku!" Aku melotot "Elias," ucapku."Iyalah, kamu pikir apa. Maling!" Sinis lelaki itu," makanya punya mata itu dipakai, jangan asal ngeklaim orang maling. Coba kalau terjadi apa-apa, kan susah!" Lanjutnya sengit. "Lah mana aku tahu, orang gak kelihatan kok," ucapku. Entah kenapa sopirku ini sangat menyebalkan setelah menjadi suami kontrakku. "Matamu saja yang rabun," gumamnya," mana kunci, Bu."Ibu mengeluarkan kunci dan membuka pintu. Aku yang kesal langsung menuju kamar dan menguncinya rapat-rapat. Dasar Kanebo kering, sekalinya ngomong cuma nyakitin. "Elias, kamu kok gitu sih sama istri. Gak baik ta
Loh bukannya kalau acara Yasinan itu semua boleh datang ya?” tanyaku,” keknya sih,” lanjutku bergumam. Karena aku juga gak pernah datang ke acara seperti ini.“Ya harusnya begitu, mbak. Tapi nyatanya tidak dengan kami.” Nur menunduk sedih. “Memangnya gimana Nur?”tanyaku penasaran.“Ya karena kami miskin mbak, makanya kami gak..”“Nur, sudah. Gak baik bicara seperti itu. Sudah nasib kita jadi orang gak punya,” tegur Ibu yang membuat Nur tak melanjutkan ucapannya.“Ya udah. Kapan acara Yasinan? Nanti kita datang, nanti mbak ikut. Kalau ada yang macam-macam biar mbak yang jawab,” ucapku. “Beneran, mbak. Ya Allah mbak seperti malaikat bagi kami.”Nur memelukku sementara aku tiba-tiba saja air mata menetes tanpa aku komando._Waktu menunjukkan pukul 10 malam saat aku masuk ke dalam kamar. Perhatianku tertuju pada hp yang belum aku sentuh dari pagi tadi. Ada beberapa pesan dari teman-temanku. [Hoi monyet gunung, lo kemana sih?] tanya teman akrabku yang bernama Virda. Aku tak ingin memba
“Ono opo to Bu?”tanya Nur yang kaget mendengar teriakkan Ibunya. “Iki Lo, la kok mahal banget. Masa harganya 500 ribu,” jawab ibu dengan wajah kaget. “Oalah, Bu. Mbok Ojo deso to. Namanya juga di mall,” ucap Nur. Sementara aku hanya tersenyum melihat tingkah mertuaku.Tiba-tiba seorang wanita berpakaian khas pegawai mall mendekat. “Maaf, Bu kalau mau minta-minta jangan di sini ya. Ini mall bukan pasar!” What? Aku segera mendekat, ini tak bisa dibiarkan.“Loh kami ini mau beli je mbak, bukan mau minta-minta,” ucap Nur.“Aduh, mending kalian ke pasar saja deh. Di sana mahal-mahal!” Kutatap wajah SPG itu, ada tenaga penjual seperti itu.“Ada apa mbak?”tanyaku pada pelayan tadi. “Ini loh mbak, la wong dari pakainya aja deso. Kotor dan bau, la kok bisa-bisanya masuk mall sini. Kan gak ngenakin penununjung,” jawab SPG itu menghina.“Ibu sama Nur mau baju yang mana?”tanyaku to the poin tanpa melihat wajah SPG tadi “Ndak usah nak Miranda, mahal,” jawab Ibu sungkan.“Gak papa, ibu pil
“Oalah jare orang kaya, hartanya banyak. La kok beli panci aja kredit, itu beneran kaya atau borongan,” ucapku meledak yang membuat wanita bernama Saminah itu seketika wajahnya berubah merah padam.“Kamu itu Yo Men, nagih itu mbok ada sopan-sopannya. Tahu kondisi, bikin malu saja!” Geram wanita setengah tua itu pada lelaki yang tadi menagih hutang panci. “La Mbok De ya susah kok, capek aku nagihnya,” balas tukang panci tadi yang membuat wanita bernama Saminah itu makin geram.“Halah Mbok De Saminah gak usah malu-malu. Kalau memang punya hutang ya ngaku aja punya hutang, gak papa kok,” balasku. “Dasar, awas Yo kamu. Mantune Darti.”Wanita itupun pergi meninggalkan kami. Sementara aku segera mengajak adik ipar dan mertuaku pergi. “Naik grab bisa gak ya?”tanyaku.“Gak bisa mbak. Wong desa ini terpencil kok,” jawab Nur.“Walah terus piye, kudu jalan ya,” ujarku. Ngilu juga membayangkan jalan melalui jalan berliku seperti ini. Mana banyak kotoran sapi sama kambing lagi.“La iya mbak,” j
Bab 4"Darti berlaga kamu ya, hidup aja mengkas-mengkis. Pagi makan sore enggak. La kok mau saingan sama aku!" Aku yang baru saja mau menyiapkan rendang hasil masakan ipar seketika mengintip ke teras. Tampak seorang wanita berpakaian menor berdiri di depan ibu mertua. "Ono opo to , Yu? Saingan apa, la kalau aku mau saingan sama sampean ya gak mungkin. Sampean loh orang kaya, anake punya toko gede di jakarta la kok dibandingkan dengan saya yang cuma buruh tani," jawab ibu mertua. "Bagus lah kalau kamu sadar, kalau orang kismis itu ya kismin aja. Gak usah main-main! Berlaga ngasih uang saku saja 100 ribu. Mau sok-sokan kamu!" Sengit wanita itu yang membuat ibu kaget bukan main."Oalah yo gak mungkin to mbak Yu. Wong aku itu loh cuma orang gak punya kok ngasih THR banyak gitu. Uang segitu sudah cukup aku pakai makan seminggu lebih," jawab ibu."Yowes berarti anake Pardi itu cuma menganda-mengada, gak mungkin juga kamu ngasih THR sebanyak itu. Begonya Loh, aku kok ya percaya aja sama c