Entah mengapa, perasaan kesal memenuhi diri Aliya ketika membaca jawaban dari akun bernama Einhard itu. Belum lagi, orang asing tak dikenalnya itu memanggil nama dirinya. Ia sungguh sangat jengkel.
Jemarinya mengetikkan kata demi kata dengan cepat.
[Anda tahu apa tentang saya? Anda menuliskan kalimat seperti itu maksudnya apa?]
Terunggah.
Aliya menunggu. Ia menggigit pinggir jari telunjuk kanannya. Hal ini menjadi kebiasaannya ketika ia tengah gelisah.
Suara notifikasi terdengar. Respon jawaban itu muncul.
[Kalimat seperti itu? Seperti itu bagaimana?]
“Ih!” Aliya mengatupkan giginya. Ia mengetikkan lagi balasan terhadap pertanyaan balik Einhard itu.
[Anda bicara soal sesuatu yang dipaksakan. Anda tahu apa? Apa Anda mengenal saya? Tidak kan? Apa Anda tahu yang terjadi pada saya? Tidak kan? Kenapa Anda pikir Anda punya hak bicara soal sesuatu bisa dipaksakan atau tidak? Anda tidak tahu sesuatu itu memiliki arti apa ba
“Kenapa Miss?” tanya Diani. Aliya tidak menjawab. Gegas ia membuka kotak persegi itu. Napasnya tertahan sesaat. “Ya Allah… bener!” pekiknya tertahan. Diani melongokkan kepalanya. “Wah… kalung emas?” tanyanya. Aliya mengeluarkan dengan hati-hati kalung emas yang ada dalam kotak persegi itu. Ia meneliti huruf-huruf yang menyusun menjadi sebuah nama. ALIYA. Lalu ia perhatikan juga simbol keluarga yang ada di belakang ukiran nama itu. “Ini benar-benar kalungku…” desis Aliya pelan. Diani yang sejak tadi hanya diam memperhatikan, lalu bertanya. “Kalung Miss Aliya?” Aliya mengangguk. “Tadi yang titipin ini, mbak Tri?” “Yup. Tadi pas gue baru masuk, mbak Tri manggil dan nitipin bungkusan itu ke gue buat Miss Aliya,” jelas Diani. Aliya mengangguk lagi. Ia lalu meraih kotak dan memasukkan kalung itu kembali ke kotaknya lalu memasukkan kotak perhiasan itu ke dalam kain biru sebelumnya. Ia bangun dari duduk dan bergegas keluar ruang guru, menuju lantai satu, tempat mbak Tri, sang resepsi
Aliya, “…” Kedua matanya menatap cukup lama pada layar ponsel miliknya. “Apa ini kebetulan lagi?” bisik Aliya. Sejenak ia tampak berpikir. Setelah menimbang-nimbang, ia akhirnya memutuskan merespon status baru akun tersebut. ‘Bagaimanapun, jika orang ini ada kaitannya dengan kalung emasku yang kembali, maka setidaknya aku harus menyampaikan terima kasih,’ batin Aliya berujar. Tangannya lalu meraih ponsel dan mulai mengetik. [Apa arti statusmu kali ini? Jika saya boleh tahu.] Terunggah. Tak lama berselang, balasan muncul. [Artinya seperti kalimatnya. Tak akan lari dari kita, apa yang digariskan menjadi milik kita.] Mata Aliya mengerjap. Ia lalu mengetik lagi. [Maaf jika bertanya to the point. Apa kau ada hubungannya dengan sesuatu yang terjadi hari ini?] [Be honest] tambah Aliya sebelum pemilik akun itu membalasnya. Aliya lalu menunggu beberapa saat. Dadanya sedikit berdebar cepat menanti jawaban dari pemilik akun f******k bernama Einhard itu. [Ya] Deg. Aliya terpaku sekia
“Iya, kamu. Untuk servis motor dan belanja bulanan,” pak Sutarna mengulang perkataan sebelumnya.“Aliya tidak pernah meminta uang untuk servis motor, Pak. Motor Aliya baik-baik saja. Dan untuk belanja bulanan, meskipun pas-pasan tapi Aliya masih bisa memenuhi kebutuhan dasar bulanan kami, Pak.”“Maksud kamu bicara seperti itu, apa? Apa maksud kamu bahwa Bisma ngga bertanggung jawab memenuhi kebutuhan bulanan?” tanya pak Sutarna sewot.“Tapi Bapak sendiri kan tahu, kalau Bisma itu tidak bekerja. Dia…”“Jangan merendahkan suami kamu sendiri, Aliya.”“Aliya tidak…”“Sudah. Kamu jangan bantah terus ucapan bapak. Menantu macam apa berani membantah ucapan mertua seperti ini,” ketus pak Sutarna.Bapak mertua Aliya bukan saja dikenal sebagai tuan tanah waktu dulu, tapi juga dikenal sebagai sosok dengan pribadi yang keras dan tidak suka dibantah.
“A-apa?” Aliya terhenyak. “Aa Bisma akan Bapak suruh menikah lagi?”“Ya! Kenapa? Kamu tidak terima?”“Bagaimana Aliya bisa terima, Pak?” sahut Aliya. Dadanya kini berdebar cepat, namun terasa sakit.“Soal anak, sudah diatur Tuhan, Pak. Lagipula bukan Aliya tidak menginginkan kehadiran anak. Tapi aa Bisma yang…”“Cukup!” potong pak Sutarna. “Kamu mau menyalahkan putraku, Bisma?!”“Memang aa Bisma yang…”“Aliya!!” Suara menggelegar pak Sutarna menghentikan lagi kalimat pembelaan Aliya.“Dasar menantu tak tahu diri!” Pak Sutarna bangun dari duduknya. “Ayo Bu, kita pulang saja! Percuma jauh-jauh datang ke sini. Anak ini sama sekali tidak mengerti maksud baik orangtua! Betul-betul sial saya mengijinkan mereka menikah!”Bu Neneng ikut berdiri. Ia melirik sebentar ke arah Aliya yang te
“Aku hamil tanpa aa menghamiliku?” tanya Aliya mengulang perkataan Bisma.“Ya,” angguk Bisma mantap.“Maksud aa, kita ikut program bayi tabung?”Bisma mendecih. “Bayi tabung bagaimana? Kamu tahu berapa biaya untuk melakukan itu? Puluhan juta. Untuk apa kita buang-buang uang seperti itu! Lagian uang dari mana?”“Lantas maksud aa bagaimana dengan aku hamil tanpa kau melakukannya padaku?”Bisma berdehem. “Begini, kau hanya perlu benih aja kan? Ga masalah itu dariku, milikku atau bukan.”“Maksud aa?”“Ya… Kau paham lah maksudku. Tidak mesti aku yang membuatmu hamil. Yang penting benih itu ada dalam dirimu, lalu kita akui itu anak kita.”“Ma-maksud aa… Aku…” Aliya tergagap. “A-aku ti-tidur dengan laki-laki lain?”“Iya, benar. Yang penting nanti kita…”“Aa!
Semula, Aliya bertekad untuk tetap bertahan.Berjuang itu bukan hanya terletak pada mengakhiri segalanya segera, tapi juga pada mempertahankan apa yang dipilih dan diyakini di awal.Aliya bisa saja memutuskan untuk mengakhiri hubungan tidak sehat ini, namun kembali lagi, Aliya tidak ingin menyerah terlalu dini di masa pernikahan mereka yang memang baru seumur jagung.Belum lagi Aliya memikirkan kedua orangtuanya. Betapa dirinya akan mengecewakan kedua orangtuanya untuk kedua kalinya.Pertama, karena tidak mendengarkan mereka. Kedua, karena menyerah begitu saja atas pilihannya sendiri, sebelum berjuang hingga titik darah penghabisan.Namun Aliya bukanlah seorang wanita yang lemah yang akan diam dan pasrah begitu saja ketika diinjak.Seperti janjinya dulu kepada papa, bahwa Aliya akan memutuskan apa yang baik untuk dirinya dan akan keluar dari suatu keburukan dan kebaikan yang tidak bisa diperjuangkan. Kalimat janji itulah yang akhirnya membua
CCKIIIIIIIITTTTTTT.BRRUUUAAAAAAAAAGGGGGG.Benturan keras dan suara rem mobil berdecit memekakkan seluruh telinga orang-orang yang berada di sana.Seluruh tubuh Aliya gemetar. Kakinya lemas, namun kedua tangannya masih mencengkeram stang motor dengan kuat.Napasnya tersengal.Setelah beberapa detik tak terjadi apa-apa pada dirinya, ia memberanikan diri membuka matanya. Suara ramai yang terdengar berasal dari orang-orang di pinggir jalan.Kepala Aliya menoleh ke kiri belakang, mengikuti arah orang-orang berlarian.Napas Aliya tercekat.Terlihat olehnya CRV berwarna hitam, melintang tak jauh di kirinya dan minibus yang tadi kehilangan kendali, telah berhenti dengan posisi berputar 180°.Aliya mengerjapkan matanya. Otaknya serasa membeku, tak dapat berpikir apa-apa. Sementara orang-orang mulai ramai mendekati kedua mobil tersebut, untuk melihat kondisi para penumpangnya.Aliya terpaku. Ketika tiba-tiba ia seperti
Aliya hanya menarik sebelah bibirnya. Ia tak menggubris pancingan Milah. Hari ini ia cukup bersyukur bisa selamat dari kecelakaan yang nyaris mengancam jiwanya tadi.“Kok diem aja, Miss? Duuh.. jangan jealous yaah… Tiap orang rejekinya beda-beda,” Milah menyindir lalu terkekeh lagi.“Ga bakal jealous lah,” Diani kini menyahut santai. Ia lalu berdiri menuju rak silabus. “Miss Aliya kemarin baru dikasih hadiah kalung emas, sih.”Milah membesarkan matanya. “Apaa?!”“Yoi,” jawab Diani singkat. Tangannya telah mengambil satu silabus, lalu ia kembali duduk di kursinya masih dengan santai.“Bohong ah. Paling dia ngaku-ngaku aja…” Milah mendengkus.“Ngga lah. Kan gue yang dititipin bingkisannya sama mbak Tri. Pas dibuka sama Miss Aliya, gue juga lihat tu kalung. Gede banget. Ada ukiran namanya. Bagus banget,” Diani menjelaskan. Sudut bibirnya tertarik m