“Ya, gapapa Miss Milah. Saya maklum. Mungkin Miss perlu periksakan mata Miss ke dokter, setelah kelas hari ini,” Aliya merespon sambil tersenyum juga.
“Apa maksudnya?” Kedua bola mata Milah membesar.
“Bukan apa-apa Miss,” sela Aliya cepat. “Saya sedikit khawatir aja. Gelas sebesar ini oleh Miss ga keliatan…” Aliya memasang muka khawatir.
“Ka-kamu…”
“Morning Miss Aliya, morning Miss Milah!” Suara cukup keras terdengar dari arah pintu masuk. Itu Mr. Eddie.
“Morning, Mister…” jawab Aliya dan Milah hampir bersamaan.
Ia adalah principal atau kepala sekolah di lembaga kursus ini. Mr. Eddie masuk cukup tepat pada waktunya. Ia mencegah Aliya melakukan kekisruhan yang lebih panjang dengan Milah.
Aliya bukan biang keributan. Namun hari ini, sungguh ia tengah tidak dalam suasana hati yang baik untuk bersabar dan hanya diam.
“Mister Eddie…!” Milah langsung berbalik dan melangkah mengikuti Mr Eddie ke ruangannya. “Saya mau konsul overview saya, Mister…”
Mr. Eddie mengangguk. Ia pun melanjutkan langkah menuju ruang Principal diikuti Milah yang melenggang genit.
Aliya menghela napas lega. Ia lalu mengibaskan lembaran overview miliknya yang sedikit basah pada ujungnya. Untunglah ia tadi bereaksi cepat mengamankan hasil kotretannya sebelum tumpahan air habis merembes kertas itu.
Ia lalu mengambil beberapa helai tisu lalu mengelap genangan air di atas mejanya. Ia ambil lagi lembaran-lembaran tisu lain untuk mengeringkan sisanya.
Aliya menghela napas. “Aku lupa hari ini jadwal nenek sihir itu ngajar jam sebelas…” keluhnya lalu menghembuskan napas lagi.
“Sama sekali ga inget. Kalau aku ingat, aku ga akan kesini jam segini…”
Aliya lalu memandang meja-meja yang berjejer dalam ruangan pengajar ini. Ruangan khusus para pengajar part-timer ini sangat luas namun pengaturan meja setiap pengajar, tidak diberi sekat. Meja delapan pengajar disusun berdekatan satu sama lain.
Dua lajur yang terdiri dari masing-masing empat meja yang saling berdekatan. Bahkan lebih tepat di sebutkan, saling menempel.
Alasan Mr. Eddie, agar sesama pengajar memiliki kesempatan saling bertukar pengalaman dan menjalin kedekatan.
Memang tidak dipungkiri oleh Aliya, letak meja bersebelahan seperti ini, membantu dirinya saat awal-awal ia bergabung di sini. Ia leluasa bertanya pada pengajar di sebelahnya jika ada hal-hal yang belum ia pahami.
Namun kemudian hal ini juga membuatnya risih, saat Milah mulai mengincar dirinya sebagai bahan bully. Namun aksi nyinyir Milah padanya hanya dilakukan ketika ruangan ini sepi. Seperti barusan. Entah apa maksud Milah yang tampak begitu doyan mengganggu dirinya.
“Dia kandidat pengajar senior. Katanya sih gitu,” kata salah satu pengajar. Saat itu Aliya baru menjadi pengajar part-timer di sana. Ia duduk dengan manis dan pembicaraan antar pengajar itu terdengar olehnya.
“Tapi ada miss Diani kan? Dia juga calon pengajar senior?” tanya pengajar lainnya.
“Miss Diani rejected tawaran itu. Dia nolak langsung ke Mr. Eddie. Dia lebih enjoy menjadi part-timer.”
“Oh ya? Sayang sekali. Salary-nya kan jauh lebih tinggi kalau dia jadi pengajar senior.”
“Ga tau juga.”
“Makanya Miss Milah tampak semangat sekali ya akhir-akhir ini?”
Demikian yang didengar Aliya saat itu dari pengajar-pengajar lainnya.
Memang. Menjadi pengajar senior, artinya menjadi seorang full-timer atau pengajar purna waktu. Penghasilan tetap di atas UMK saat itu plus Tunjangan Hari Raya dan tunjangan kesehatan adalah fasilitas tambahan.
Tentu saja hal itu diharapkan oleh para pengajar part-timer. Kecuali dirinya. Aliya tidak bisa menjadi seorang full-timer karena dia mengejar tambahan dari memberikan les privat dengan bayaran harian ataupun mingguan.
Untuk saat ini, Aliya memang membutuhkan alur uang masuk yang lebih cepat. Untuk menunggu gaji yang dibayarkan bulanan, ia akan kesulitan. Di pertengahan bulan, ia telah kehabisan uang.
Namun Aliya pernah mendapati dirinya digoda oleh beberapa pengajar lainnya saat itu.
“Miss Aliya keren nih… Baru tiga bulanan ngajar di sini sudah dapat banyak pujian dari Mr. Eddie…” ujar seorang pengajar.
“Yoi. Katanya siy Miss Aliya banyak dapet ulasan positif dari murid-murid. Itu kan point banget tuuh buat diangkat jadi full-timer!” timpal pengajar lainnya.
“Saya masih harus banyak belajar, Miss…” ujar Aliya sambil tersenyum kecil.
Saat itu Aliya sempat menangkap kilatan pandangan tidak suka dari Milah. Dari sanalah Aliya menduga-duga tindakan Milah yang seakan membencinya, bermula.
Aliya menghela napas. Ia tersenyum kecut. Ia bukanlah tipe yang suka dengan keributan. Ia menyayangkan Milah yang mungkin berpikir dirinya menjadi penghalang bagi Milah untuk diangkat menjadi seorang full-timer tahun ini.
Ia masih membutuhkan waktu yang lebih luang untuk mencari tambahan di sana-sini. Dan menjadi full-timer di sini, bukanlah opsi terbaik baginya saat ini. Daftar hutang yang harus ia bayar, masih panjang. Meskipun adik atau teman-teman yang ia hutangi tidak menagih rutin padanya, ia sangat cukup tahu diri.
Aliya mengecek reminder di ponselnya.
Ia menghela napas lagi dengan lebih berat. Minggu depan adalah jatuh tempo ia membayar perpanjangan gadaian kalung emasnya.
Hai GoodReaders!! Akhirnya “Istri Ku Sang Ratu Bumi” telah sampai di penghujung cerita. Terima kasih banyak untuk seluruh GoodReaders yang dengan setia mengikuti kisah ini hingga akhir. Author mohon maaf jika pada tulisan yang GoodReaders baca dalam cerita ini, masih ditemukan banyak typo atau kata-kata rancu dan hal lain yang tanpa sadar Author lakukan. Author berharap GoodReaders dapat menikmati juga menyukai karya ini. Adakah kesan dan pesan kalian untuk Author? Would love to know it! Adakah tokoh favorit kalian? Aliya? Elang? Dean? Agni? Atau lainnya? Author dengan senang hati membaca kesan kalian dan pesan kalian untuk mereka :D Jangan lupakan untuk memberi review di luar buku ya… Bintang lima dari kalian akan menambah semangat author melanjutkan Session 2 buku ini. Sambil menunggu, kalian bisa buka karya on going Author dengan judul “Dibuang Mantan, Dikejar CEO Sultan”. Love-love yang banyak untuk kalian semua! Sampai Jumpa di karya-karya Author lainnya…. Luv U!!
Mereka semua telah menjadi bagian dari keluarga bagi Aliya. Keluarga kedua yang berbeda dunia. Dunia aneh penuh kejutan yang hidup berdampingan dengan manusia umumnya. Siapa yang pernah menyangka, ternyata sejak lama ada kehidupan seperti ini di tengah-tengah kehidupan normalnya dahulu? Kini tatapan Aliya membidik pada sang suami, Einhard Sovann Gauthier. Pria tampan yang tampak asyik mengajak putri mereka berbicara. Meski demikian, tak dapat dipungkiri, Aliya bisa merasakan sesuatu yang menekan kuat yang terpancar dari Elang. Meski pria tampan itu tengah bermain dengan bayi mungil, namun aura kekuasaan nan tenang dan terkendali, menyelimuti suaminya. Membuat siapapun tak kuasa menentang dan menghindari membuat masalah dengannya. Senyum di bibir Aliya kian merekah. Matanya berbinar menangkap pemandangan yang begitu menyejukkan hatinya itu. Fayza tampak tergelak ketika hidung Elang menyerbu perut mungil sang putri. Hatinya begitu damai melihat semua pemandangan yang ada di sekit
“Sekali lagi aku minta maaf, Dean. Sungguh…”Dean menghela napas pelan. “Apa yang kau bicarakan, Al?”Ia terhenti karena teko yang dipanaskan Aliya telah berbunyi.“Biar aku saja,” katanya sembari berjalan mendekat untuk mematikan kompor lalu mengangkat teko dan menuangkannya ke dua cangkir dan empat gelas belimbing yang telah diisikan kopi dan gula oleh Aliya sebelumnya.Tangannya mengaduk telaten setiap gelasnya. “Jika kau berpikir kepergianku karena berada di dekatmu itu menyakitkan untukku dan untuk menjauh darimu, kau keliru Aliya.”“Aku pergi karena memang ada sesuatu yang harus kulakukan. Dan itu baru bisa kulakukan saat ini, ketika situasi di sini telah kondusif. Einhard seorang elemen yang kini berada di ambang Level Satu. Einhard seorang diri, sudah bisa menakuti semua elemen yang ada di sini saat ini, Al.”Dean selesai mengaduk dan meletakkan sendok ke bak cuci piring dan melanjutkan. “Sekalipun aku pergi, kita sekarang punya Nawidi yang seorang Level Dua Tingkat Tertinggi.
“Einhard, duduk di sini,” Dean beralih pada Elang yang berdiri di sebelah Aliya. Elang lalu menggamit pergelangan tangan Aliya dan menariknya untuk duduk di antara Dean dan Nawidi. Dengan patuh Aliya mengikuti suaminya dan membalas semua sapaan dari Agni dan teman-teman elemen lainnya dengan hangat. “Fayza di mana?” tanya Dean lagi setelah Elang dan Aliya duduk. “Kami tinggalkan di rumah dulu dengan bi Sumi dan Asih,” jawab Elang. Tangannya menerima sodoran jagung bakar dari Dean. “Thanks.” “Liebling, kau mau?” Elang mengoper jagung bakar itu ke Aliya. “Ngga, Liebe. Kau aja,” tolak Aliya. Ia melemparkan pandangan ke sekeliling, lalu beralih pada Dean. “Kau mau kemana? Pertanyaanku tadi belum di jawab.” Dean tersenyum. “Aku ada kerjaan di Botswana, Al.” “Apa?? Botswana? Afrika??” Mata Aliya membulat. “Jauh banget. Ada apa di sana?” “Emm… Kerjaan lama ku.” “Liebling, bisa tolong buatkan kopi untukku?” Elang menyentuh lengan istrinya itu. “Aku--” Tatapan Aliya beralih pada Elang
“Gung, dulu gimana si cewek itu. Lu buang kemana?” “Ya kali, dia barang. Main buang-buang aja.” Agung meringis. Bukan karena luka di tangan kiri yang ia derita setelah latihan tadi. Namun karena mendengar pertanyaan Agni. “Kok baru nanya sekarang?” tanyanya dengan tangan yang sibuk mengulur kain kasa panjang untuk membalut luka-luka di sela tangannya. “Gue baru kepo, Gung. Asli, waktu itu gue eneg banget denger nama tu cewek. Baru kali ini gue agak legaan,” tukas Agni sambil membantu Agung menggunting kasa tersebut, merobek ujungnya lalu mengikatnya kuat. “Ish! Pelan-pelan, Ni.” “Jangan cengeng lu.” Agni mengoles antiseptik pada bekas luka lain di tangan kanan Agung. Meski tidak sedalam luka di tangan kiri, namun tetap saja menggambarkan betapa keras latihan yang baru saja ditempuh Agung. “Lain kali lu perhitungkan ritme serangan si bang Nawi, Gung. Dia punya pola sendiri dengan alter variasinya. Pas bagian lu, itu pola yang dia gunain waktu nyerang gue latihan kemaren,” tutur
Angin semilir menghantarkan suasana yang begitu tenang dan damai. Beberapa dedaunan kering berjatuhan perlahan menyentuh tanah di tepian kolam renang dengan pantulan kilau terik mentari di atas air. Gerakan tangan Elang membelah air dan mendorong kuat tubuhnya meluncur. Sudah lima balik ia menggunakan gaya kupu-kupu, setelah enam balik sebelumnya menggunakan gaya bebas untuk membawa dirinya menyentuh tepian kolam renang sekian kali. Elang berhenti di pinggir dan memutuskan menyudahi kegiatan berenangnya siang itu. Kedua lengannya bertumpu pada tepian dan setengah melompat, membawa tubuhnya keluar dari dalam kolam. Ia duduk di tepian sambil mengusap wajah untuk menyingkirkan bulir air yang membasahi wajah tampannya. Mata coklat tua itu menerawang, membawa ingatannya kembali pada percakapannya dengan Dean semalam. “Saat itu ayahmu melalui Hecate mencari juga wanita elemen bumi dan sempat menyangka ibuku adalah salah satunya. Dia sebenarnya bukanlah seorang elemen bumi, Hecate salah
“Liebling, sarapannya sudah kau makan habis?” “Iya,” jawab Aliya lalu mendongakkan kepalanya ke arah Elang yang baru keluar dari kamar mandi. Ia menatap suaminya dengan alis berkerut. “Kenapa?” “Asi ku masih sedikit keluarnya,” keluh Aliya. “Tadi perawat datang kesini untuk mengambil asi ku. Tadi gak bisa dapat banyak.” “Hm.” Elang melangkahkan kakinya mendekati brankar Aliya. “Itu hal wajar, Liebling. Untuk kelahiran pertama, seorang ibu agak kesulitan mengeluarkan asi-nya. Putri kita juga belum membutuhkan makanan yang banyak, Liebling. Kau tahu, ukuran usus dan lambungnya pun masih sangat kecil,” sambungnya lagi sambil menggerakkan ibu jari dan telunjuknya untuk menunjukkan betapa kecilnya ukuran tersebut. “Tapi--” “Aku tahu kau khawatir. It’s ok. Bahkan bayi baru lahir masih bisa tanpa diberikan asi atau susu dalam waktu dua kali dua puluh empat jam.” “Kau tahu dari mana?” “I read it somewhere (aku baca entah di mana).” “Elang--” “Aku sudah bicara dengan dokter, Lieblin
Arah pandang Aliya terpaku pada pintu ruang untuk beberapa saat. Meski sedikit bertanya-tanya, namun ia segera menepis itu dalam hatinya dan langsung beralih pada monitor di dinding sebelah kiri. Bibirnya seketika tertarik ke atas disertai pandangan yang melembut dan penuh kasih. Monitor itu menampilkan bayinya yang berada dalam inkubator di ruang NICU. Tubuh mungil yang masih berwarna merah dengan jemari kecil yang mengepal. Kedua manik mata Aliya lalu berkaca-kaca. Betapa ia ingin memeluk makhluk mungil itu. Betapa ia merasa semua bagai mimpi. Dari dalam dirinya bisa keluar makhluk luar biasa seperti itu. Ia hanya harus bersabar lagi, untuk bisa mendekap bayi mungilnya itu. “Isn’t she beautiful?” Sebuah suara mengagetkan Aliya. Ia mengusap titik air di sudut matanya lalu tersenyum pada dua orang yang datang itu. “Dean, kang Awi. Masuklah.” Kedua pria bertubuh tegap dan atletis itu kemudian duduk di kursi meja makan yang memang bersebelahan dengan brankar Aliya. “Bagaimana
“Ah ya Tuhan!” Agni mengerjap-kerjapkan kedua kelopak matanya. Menatap penuh haru sekaligus takjub dengan tangan menempel pada dinding kaca. Begitu pula ketiga teman-teman lainnya. Agung, Iyad, Guntur sama -sama menatap dengan mata berbinar penuh ketakjuban ke arah satu box bayi dari balik kaca besar pembatas ruang NICU. “Lakukan covering kalian, setiap kalian keluar.” Suara datar Nawidi mengingatkan empat pria yang terus menerus menatap tanpa berkedip ke arah bayi merah di dalam inkubator itu. Ia baru saja datang bersama Dean setelah melakukan pengecekan ulang di sekitar Rumah Sakit Bersalin tersebut, sebagai bentuk tindakan antisipatif standar mereka. Agni dan lainnya menoleh dan baru menyadari pengunjung wanita di sekitar mereka, tak hentinya menatap mereka seolah melihat artis terkenal yang membuat mata mereka tak berkedip mengagumi. Penampilan Agni dan kawan-kawan memang tidak bisa dibilang biasa, terutama Agni. Wajah tampan pria muda itu begitu menarik perhatian para pengunj