Didalam mobil BMW mewah keluaran Jerman yang terparkir di tepi jalan kecil di kota Manhattan itu mengeluarkan aura yang mencekam. Sang singa yang terusik sebab merasa kekuasaannya di ganggu sementara sang kelinci tidak merasa melakukan apapun kecuali bertahan hidup. Mereka berdua dipertemukan dan bentrok dalam keadaan yang sepertinya tengah memihak si singa.
“Nona, apa kau baru saja menantangku?” Leon kembali bertanya dengan suara yang mengerikan. Leon bergerak mendekati Elena yang seketika mundur hingga terpojok di sudut kursi mobil. “Apa kau tahu apa hukuman untuk orang yang berani menantangku, Nona?” Dia semakin dekat memojokkan Elena diantara kedua tangannya yang bertumpu pada bagian pintu dan kursi mobil.
Elena semakin dibuat kecil dibawah Leon. “Dia harus mati,” bisiknya tepat ditelinga Elena.
Gadis itu mengigil ketakutan. Dia tak menyangka jika pria itu akan tersinggung hanya dengan ucapannya yang sebenarnya tidak memancarkan perlawanan berarti. Lagipula, dia melakukannya karena instingnya sebagai seorang perempuan tersentil.
Memang semua orang yang berpakaian tipis seperti ini harus disebut pekerja malam? Apa mereka tidak tahu jika di zaman modern seperti ini ada yang disebut dengan mode?
Atau mungkin, dia ini hanya sengaja dan ingin menjebaknya dengan cara mencari gara-gara lalu membuat dirinya terpojok dan melakukan apa saja yang dia mau, benar begitu, bukan?
Benar, pasti begitu. Tapi, apa yang harus dia lakukan sekarang?
Dia memang sudah terjebak.
Elena beringsut semakin mundur dan mencengkeram tas kecilnya dengan wajah pucat. “A-aku hanya membela diri, Sir,” ujarnya pelan.
Pria berdecih tidak peduli. “Membela diri? Apa yang kau maksud itu, hah? Kau menantangku!” desisnya tajam.
“T-tidak, Sir. Aku hanya–”
Ucapannya terhenti tatkala Leon langsung bergerak mencekik lehernya dengan kuat.
'Gila! Dia benar-benar bermaksud membunuhku.'
Batin Elena menjerit.
Elena memberontak dan berusaha melepaskan diri, akan tetapi kekuatannya tidak sebanding dengan pria itu. Elena tak bisa melarikan diri. Leon sangat kuat dan itu membuatnya kalang kabut dan berusaha keras meraih oksigen yang tidak juga kunjung dia dapatkan. Leon menikmati wajah ketakutan Elena. Gadis itu sangat cantik dan dia lebih cantik saat berjuang untuk hidup seperti ini.
Ah, indah sekali.
Darah Leon semakin berdesir tatkala mata cokelat nan cantik milik Elena perlahan mulai meredup dilingkupi perasaan putus asa.
Detik berikutnya, tepat sebelum Elena kehilangan kesadaran sepenuhnya, Leon menarik tangannya dan menjauh untuk memberi ruang pada Elena.
Elena segera bangkit dan menarik napas dalam-dalam untuk memenuhi paru-parunya dengan makanan khusus untuknya itu. Dia memegang lehernya yang memerah dan mendelik murka.
“Kau gila, Sir?! Kau hampir membunuhku!” hardiknya marah.
Leon menyeringai dan memegang pipi Elena membuat tanda alarm di kepalanya berbunyi dengan keras.
Elena perlahan mundur namun Leon menahan pinggangnya. “Aku akan menculikmu,” bisiknya pelan.
Mata Elena membulat. Dia melepas paksa pelukan Leon dan menendangnya hingga kepala pria itu terbentur. “Akh, fuck!” pekik Leon kesakitan.
Elena berbalik dan berusaha membuka pintu mobil namun terkunci.
“Kumohon, kumohon, cepatlah terbuka! Cepat!” cicit Elena ketakutan. Elena mengetuk-etuk pintu kaca dengan brutal dan menendangnya. “TOLONG!!! TOLONG KELUARKAN AKU DARI SINI! PRIA INI GILA! DIA SUDAH GILA! SIAPAPUN, TOLONG AKU!” jeritnya histeris.
“TOL–hmmmphmhph.”
Pekikan Elena terbungkam sapu tangan Leon yang berisi bius tercampur didalamnya dan berhasil sampai dimulutnya. Elena berusaha menoleh ke belakang tetapi dia tidak bisa, perlahan matanya memberat, kemudian pingsan.
Leon menangkap tubuh Elena dalam pelukannya kemudian mencium kening Elena dengan senang. “Selamat datang di dunia Leon, gadis manis,” sapanya lembut.
Steve, pria yang menjadi supir pribadinya itu segera menghampiri tuannya dan kembali duduk dibalik kemudi. Dia sempat melirik Elena yang berada dipangkuan Leon melalui kaca mobil dibagian depan kemudian kembali fokus melajukan mobilnya.
Dia berusaha tidak peduli karena itulah pekerjaan yang dia ambil.
Menjadi seorang supir dari pria gila seperti Leon.
Leon menghubungi seseorang yang tak lain adalah Dante, asisten pribadi sekaligus orang kepercayaannya.
“Aku menculik seseorang dari Manhattan.”
“Apa? Leon? Apa kau gila? Sudah kubilang berapa kali, berhenti mengambil perempuan dari kota yang kau kunjungi?! Ini sudah yang ke-100, bodoh! Aku muak mengurus masalahmu.”
Leon mengusap lengan Elena yang tertidur dibawahnya dengan tenang.
“Dia menantangku. Lagipula matanya berwarna cokelat. Aku ingin memiliki itu setelah lima hari kusiksa.” Leon membuang wajah keluar jendela. "Oh, dia bukan perempuan yang ke-100 tapi ke-103. Dua yang kemarin sudah mati,” ujarnya malas.
“Dasar gila! Kau sangat membenci ibumu tetapi kau melampiaskannya pada mereka. Kau gila, Le?!”
“Empat kali. Kau menyebutku gila empat kali, Dante,” lirih Leon mengancam.
“Oke, maafkan aku. Tetapi, Leon. Kumohon, berhentilah melakukan itu atau kau tidak akan menikah.”
Leon mengernyit namun dia kembali membuat raut wajah tidak peduli. Dante selalu berkomunikasi dengan ayahnya jadi secara tidak langsung dia pasti akan mencoba untuk menyampaikan perintah ayahnya pada dia.
Leon tidak peduli apapun kecuali dirinya sendiri dan juga keluarga Benigno.
Leon sudah bilang jika dia tidak akan menikah apalagi terikat dengan wanita manapun.
“Aku tidak akan menikah,” balas Leon santai.
“Hah..."
"Kau akan menikah. Suka atau tidak. Oh, kau seharusnya mengambil hati mereka ketimbang mata. Hati lebih enak untuk dimakan.”
“Aku tidak suka daging manusia sepertimu, Dante. Itu menjijikkan.”
Leon kembali melihat Elena. Memakan dagingnya? Itu tidak mungkin, mana sudi dia memakan daging kotor sepertinya.
Tetapi ide Dante bagus juga. Dia akan memberikan tubuh gadis ini pada Nox dan Kei.
“Perempuan ini sangat cantik, Dante, tubuhnya bagus. Kedua peliharaanku pasti senang menikmati makanannya kali ini,” ujarnya dengan nada senang.
“Yah, terserah."
"Bagaimana rencana kerja sama penyebaran obat sakit kepala yang akan kita lakukan di Manhattan?”
Leon menyeringai. “Tidak ada pekerjaan yang tidak pernah kuselesaikan. Mereka akan segera memproduksi dan menyebarkannya diberbagai apotek."
Leon bergerak mengelus pipi mulus Elena. “Aku akan kembali ke Napoli dan menetap di sana selama beberapa minggu,” kata Leon memberitahukan tujuannya agar Dante segera mempersiapkan segala keperluannya.
“Aku mengerti.”
Leon segera memutus sambungan telepon dengan Dante. Leon mengalihkan pandangan pada Elena. Dia kembali memperhatikan buruannya. Elena sangat cantik, bagaimana bisa gadis seperti ini bebas begitu saja?
Dia harusnya di kurung dan di siksa di suatu tempat agar tidak berkelana kemana-mana dan membuat keributan di sana-sini. Leon memperhatikan gaya pakaian Elena yang sangat terbuka dan liar.
Dia menyukainya, pilihannya bagus dan pas, hitam memang warna yang sempurna untuk mainan sepertinya.
Beberapa jam kemudian di Kota Napoli, Italia. Elena terbangun dengan rasa sakit yang luar biasa dikepalanya. Gadis itu terduduk di tempat tidur dan memegang kepalanya dengan mata yang masih terpejam malas. Dia kesulitan untuk bangun. “Ah sial, kenapa rasanya sakit sekali? Sebenarnya berapa banyak bir yang sudah kuminum tadi malam,” keluh Elena pelan sembari memarahi diri sendiri karena lagi-lagi kelewat bersemangat. Dia ini sangat bodoh jika soal minum tapi masih saja tetap melanjutkan kebodohannya. Yah, mau bagaimana lagi. Dia ini kan gila. Dengan setengah sadar, Elena berusaha meraih gelas yang ada di meja kecil tepat di samping tempat tidurnya seperti biasa karena minum air putih di pagi hari adalah kebiasaannya sejak kecil. Dia mengernyit aneh ketika yang dia temukan justru sebuah benda asing, benda yang bentuknya lebih mirip seperti pistol yang sering dia lihat di film. Elena membuka matanya dan terkesiap kaget dengan apa yang dia pegang. “Apa-apaan ini?” pekiknya kag
Hari pertama Elena di mansion Leon. “Hei, bangun!” “Ibu ... Hentikan, aku masih mengantuk,” racau Elena sambil memeluk bantal yang dia pegang lebih erat. Semalam, Leon melepaskan ikatan yang menjerat tubuh Elena setelah gadis itu tidur. Untungnya, gadis itu tidak bangun. Tetapi Leon heran karena gadis itu sangat santai dan bisa tertidur dalam sekejap. Elena hanya takut di awal saja, setelah itu sikapnya jadi kurang ajar. Dia tidak peduli dengan semua siksaan yang diterimanya.Elena perlakuan Leon dengan kalem. Sialan, dia meremehkannya! Leon pikir gadis ini masokis makanya dia tenang saja saat ditampar dan dipukul, tetapi tidak, dia meringis kesakitan saat Leon mencoba mematahkan lengan Elena dengan memutarnya wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan adanya ciri bergairah. Dia menunjukkan raut wajah tersiksanya, tak ada emosi aneh yang keluar dari wajahnya selain kesakitan. Itu menyebalkan! Dia ingin melihat Elena meraung dan memohon ampun padanya tetapi Elena tidak juga menu
Provinsi Grosseto, Tuscany, Italia. Pertemuan dua kolega di sebuah rumah kecil namun nyaman yang terbuat dari kayu di daerah peternakan tampak sedikit berbeda dari biasanya. Suasana yang seharusnya menenangkan karena embusan angin segar di sekitar yang di kelilingi pepohonan rindang dan tanah lapang yang luas berwarna hijau tak berlaku, sebab, ketegangan yang mengudara karena salah satu dari mereka mengubah perjanjian yang telah disepakati di pembicaraan pertama. Bagi Leon, kesepakatan seperti itu tidaklah bermoral. Orang yang mudah ingkar janji berarti adalah orang yang bisa berkhianat kapan saja dan itu bukanlah orang yang menyenangkan untuk dihadapi. Leon, pria dengan jas hitam dipadukan kemeja putih bermerek terkenal dan dasi berwarna merah maroon ini tampak tampan. Celana hitam yang agak kecil membuatnya semakin menarik. Dia menyugar rambutnya ke belakang dan tersenyum sinis. Sementara Johan, pria dengan jas putih dengan dibalut kemeja putih motif bunga. "Kau mengubah ke
Suara tembakan menggema kuat di ruangan itu. Peluru dari revolver yang tadi dilontarkan melaju mengenai tepat di ulu hati salah satu penjaga. Dia ambruk dengan mata melotot. Sementara yang lain segera mendekat, memberi perlindungan pada tuannya. "Kau gila, Leon!" sentak Dante sambil melempar pistol lain di sakunya pada pria itu. "Kau selalu saja seperti ini. Apa kau mau aku mati mendadak, hah?" Leon menerima pistol hasil lemparan Dante dan menatapnya datar. "Kau tidak akan mati semudah itu. Tekad bertahan hidupmu jauh lebih besar dariku," balas Leon santai. Mendengar jawaban dari Leon membuat Dante meradang.Sialan! Pria ini sedang menghinanya. Keduanya lantas kembali fokus menembak musuh yang tersisa. Ada sekitar enam orang tersisa sekalian Johan. Salah satu dari mereka berhasil mendekat dan menghantamkan meja kecil pada Leon. Pria itu dengan gagah menangkis serangan darinya menggunakan kursi yang ada di sisinya. "Woah, kau nyaris mati!" celetuk Dante sambil melilit leher seora
Hari kedua di mansion Leon. Leon, pria sinting. Elena semakin memahami makna kata itu. Ratapan kesedihan dan juga permohonan ampun dari korbannya adalah kesukaan Leon. Leon selalu marah saat dia bungkam. Seperti yang terjadi tadi malam. "Kenapa kau tidak memohon padaku, berengsek?! Cepat memohonlah! Kau harus meminta untuk dilepaskan! Jangan terus memintaku untuk membunuhmu, sialan! Kau memuakkan! Akh, dasar jalang kecil yang menjengkelkan!" Usai berteriak seperti itu, Leon menamparnya dengan kuat hingga membuat kepala Elena pusing. Elena yang tak kuasa melawan akhirnya diam dan menutup matanya. Dia memilih untuk tidur dengan tubuh penuh luka ketimbang melihat Leon yang sinting. Sebelum benar-benar terlelap, dia bisa mendengar Leon memakinya berulang kali.Kemudian, dipagi cerah seperti ini, Leon sudah bersiap menyiksanya kembali. Dia membangunkannya secara paksa. "Bangun! Apa kau tuli? Kubilang bangun, sial!" Leon melakukannya dengan kasar. Dia menarik tubuh ringkih Elena dari
Pria itu membawanya menuruni tangga belakang mansion menuju lapangan terbuka. Elena reflek mengangkat tangannya untuk menutupi matanya karena silau, sudah dua hari ini dia tidak melihatnya. Elena mengedipkan matanya dan berjalan dengan terseok-seok menahan rasa sakit karena Leon menyeretnya dengan tidak berperasaan. Yah, memang sejak kapan Pak Tua itu punya hati? Bukankah dia itu manusia tanpa hati yang melakukan apapun demi kepuasan dirinya sendiri? Elena menganga melihat pagar besi yang besar terpasang melingkar dengan diameter yang lebar, mungkin sekitar empat puluh lima meter atau lebih. Didalamnya tumbuh pohon-pohon besar dan dibawah ada beberapa batang pohon tergeletak sementara bagian depan ada sungai dengan jembatan kecil sebagai penghubung. Tempat itu juga dipasang atap, mirip seperti kurungan super besar. Perasaan Elena tidak enak.Dia melirik Leon yang tersenyum. “Aku ingin memperkenalkanmu pada dua temanku, Nona.” Leon membuka kandang itu dan mendesak Elena untuk mas
Mimpi, sebuah angan atau gambaran visual yang tercipta di saat kita sedang tertidur. Sulit di jelaskan makna sebenarnya apa itu mimpi. Namun, yang pasti selain dari imajinasi yang kita miliki, mimpi juga bisa tercipta akibat kenangan di masa lalu. Mimpi yang berasal dari ikatan kenangan justru lebih mengerikan dari semua mimpi yang di miliki. Baik itu buruk ataupun baik. Mimpi baik akan membuat suasana hati menjadi membuncah dan terkadang lupa jika itu terjadi dulu hingga tak bisa terulang kembali. Kemudian saat mimpi itu buruk maka efeknya akan timbul secara berlebihan dan cukup merepotkan. Sama seperti yang kini di alami Leon. Pria itu baru menutup matanya beberapa menit namun kilasan menyakitkan yang terjadi padanya dulu timbul begitu saja. Hal ini membuatnya merasakan sakit kepala dan juga kelelahan akibat napasnya yang terengah sebab melakukan respirasi terlalu cepat. Jantungnya berdebar dengan kecepatan tidak normal dan berhasil menyakitinya. Dia mengusap kasar wajahnya d
Elena tersenyum, dia tertawa, dan tak lama kemudian berteriak. Dia melotot ke arah para pengemis yang melihatnya dengan pandangan kasihan. Oh, ayolah! Keadaannya jauh lebih mengenaskan dari mereka.Jika mereka hanya berpakaian kusam dan kumal. Elena jauh dari itu. Selain pakaiannya yang kotor, wajah yang berantakan, kedua tangannya juga terikat dengan tali yang cukup kuat.Kakinya dirantai. Walaupun dia bisa berjalan dengan baik, tetapi, dia tak jauh berbeda dari pasien yang melarikan diri dari rumah sakit jiwa."Berengsek, Pak Tua sialan! Aku akan membunuhnya! Akan kupukul wajahnya sampai cacat dan dia tidak akan bisa lagi disebut pria tampan! Dia hanya bajingan yang harus dimusnahkan!"Elena menggeram pelan. Dia menyugar rambutnya dengan kesulitan dan mengembuskan napas kesal.Ingatannya terlempar ke beberapa saat yang lalu. Saat pert