Share

4. Tidak mudah menyerah

Beberapa jam kemudian di Kota Napoli, Italia. 

Elena terbangun dengan rasa sakit yang luar biasa dikepalanya. Gadis itu terduduk di tempat tidur dan memegang kepalanya dengan mata yang masih terpejam malas. Dia kesulitan untuk bangun. 

“Ah sial, kenapa rasanya sakit sekali? Sebenarnya berapa banyak bir yang sudah kuminum tadi malam,” keluh Elena pelan sembari memarahi diri sendiri karena lagi-lagi kelewat bersemangat. 

Dia ini sangat bodoh jika soal minum tapi masih saja tetap melanjutkan kebodohannya. Yah, mau bagaimana lagi. Dia ini kan gila. 

Dengan setengah sadar, Elena berusaha meraih gelas yang ada di meja kecil tepat di samping tempat tidurnya seperti biasa karena minum air putih di pagi hari adalah kebiasaannya sejak kecil. 

Dia mengernyit aneh ketika yang dia temukan justru sebuah benda asing, benda yang bentuknya lebih mirip seperti pistol yang sering dia lihat di film. 

Elena membuka matanya dan terkesiap kaget dengan apa yang dia pegang. “Apa-apaan ini?” pekiknya kaget melihat sebuah revolver dengan peluru penuh ada di sana. 

Dia menoleh ke sekelilingnya dan tersadar, dia tidak di rumah. Bayangan yang terjadi beberapa jam yang lalu kembali terlintas dan membuatnya menganga. “Tunggu, apa aku sekarang benar-benar sedang diculik oleh si gila itu?” gumamnya syok. 

“Selamat pagi, nona.”

Elena sontak mengacungkan pistol yang tadi dia pegang pada sang penyapa dengan gemetar ketakutan. Pria itu di sini, sedang berdiri dihadapannya sambil memegang gelas berisi wine. 

Pria tampan nan sialan ini benar-benar menculiknya seperti yang dia katakan sebelumnya. Dia gila, apa yang sebenarnya terjadi? 

“Kau! Apa yang kau lakukan? Menjauh dariku atau aku akan menembakmu sekarang juga?!” teriak Elena mengancam. 

Leon menangkap pistol itu lalu melemparnya dengan mudah dan membuat Elena gemetar ketakutan. Ingatannya akan kejadian malam itu membuatnya ngeri. 

Dia bukan orang yang mudah. Elena  berusaha mundur namun Leon berhasil menangkap kakinya. “Lepas! Lepaskan aku! Kumohon, lepaskan aku! Kumohon ...,” rintihnya ketakutan. 

Leon tersenyum. Dia duduk mengapit paha Elena yang berbaring dibawahnya agar tidak memberontak kemudian mencengkeram tangan gadis itu dengan kuat di sisi kanan dan kiri kepala hingga si empunya berteriak kesakitan. “Sakit, tolong, kumohon, lepaskan aku, Sir! Kumohon, aku mohon ... Lepaskan aku,”  ratap Elena sambil menangis sesenggukan. 

Leon mengamati ekspresi ketakutan Elena dan terpesona. Dia menyukai itu, ekspresi wajah korbannya yang menderita. Hal ini semakin membuat Leon ingin menyiksanya lebih jauh lagi. “Cantik sekali,” puji Leon dengan nada rendah yang membuat tubuh Elena semakin mengigil ketakutan. 

Suaranya itu terdengar sangat menyeramkan di telinga Elena. Batin Elena terus menjerit meminta pertolongan dari keluarga, teman, dan juga Tuhan, namun sepertinya doanya tidak didengar Tuhan karena saat ini dia masih di sini. Di bawah orang gila ini dengan menahan bobot tubuhnya yang berat. 

“Saat kau menangis, itu membuatku semakin bersemangat menyiksamu. Apa kau bisa menangis lebih kencang dari ini? Buat air matamu berlinang lebih banyak,” titah Leon dengan senang yang membuat Elena semakin ngeri. Orang ini gila, Elena yakin itu. “Mata itu menangis kesakitan, itu benar-benar indah.”

Elena membuang wajah ke samping dan terus menangis meratapi hidupnya. Kenapa dia bisa sampai di sini? Kenapa dia harus pulang sendiri dan menghentikan mobil itu?

Seandainya dia diam saja di tempat itu atau pergi jalan kaki, seandainya dia langsung lari, seandainya dia bisa pergi. Kata seandainya kini terus saja terngiang dibenaknya dan menjadi hiburan untuk dirinya yang bodoh. 

Melihat Elena yang memalingkan wajah dan terus menangis membuat Leon menggeram. Dia memegang pipi Elena dan membuatnya kembali melihatnya. “Jangan palingkan wajahmu saat menangis dariku! Kau harus melihatku saat menderita! Apa kau mengerti?!” bentak Leon kasar. 

Elena mengedipkan matanya yang kabur dan meringis kesakitan. “T-tuan hentikan. Kau menyakitiku,” rintih Elena perih. 

“Memang itu yang kulakukan, bodoh. Aku akan menyiksamu sampai kau mati.”

“Kenapa?Kenapa kau lakukan ini padaku, Tuan?!” sentak Elena marah. 

“Entah. Aku hanya senang saja,” balas Leon tidak peduli. Dia mengambil tali yang ada diatas meja kemudian mengikat tangan Elena di atas kepala gadis itu dengan sangat erat. Dia juga mengikatkan tali itu pada salah satu sudut ranjang. “Nah, begini lebih baik.”

Elena yang mendengar itu mendelik. 

Pria ini sakit jiwa, apanya yang lebih baik? Dia menyakitinya, sialan, apa-apaan ini? Elena memejamkan matanya, dia berusaha mengusir rasa takutnya dan menguatkan dirinya. 

Leon bilang dia menyukainya jika menangis maka dia akan membuat Leon membencinya. 

Dia harus membuat pria itu pergi kemudian memikirkan cara bagaimana keluar dari tempat ini. Itu adalah pilihan yang terbaik. Sudah cukup baginya untuk bersedih, dia harus berjuang jika ingin hidup. 

“Lebih baik? Kau gila! Kau benar-benar gila! Kau pria gila sialan! Seharusnya aku tidak menghentikanmu! Dasar gila! Pria gila, berengsek! Mati saja kau!” damprat Elena marah. 

Leon menampar Elena dengan kasar. “Tutup mulutmu, jalang! Beraninya kau menyebutku gila,” desisnya geram. Dia tidak suka disebut gila lima kali karena itu mengingatkannya pada sang ibu terkutuk yang sangat dia benci. 

Elena meringis merasakan panas dan pedih yang beradu menjadi satu di pipi kanannya. Elena bahkan bisa merasakan rasa asin darah yang ada di mulutnya, sepertinya giginya tak sengaja mengigit lidahnya sendiri karena kaget. 

Elana menyeringai, dia mengangkat kepalanya dan menatap tajam Leon. “Memang apa salahku? Kau memang gila. Kau ini sakit jiwa dan sinting,” ujarnya menantang. 

Leon melihat mata cokelat itu dengan geram. Lagi-lagi dia bermusuhan dengan bola mata berwarna itu. “Sialan, sialan, sialan!” Leon memukul Elena lagi. “Jangan tatap aku dengan mata itu atau aku akan mencongkelnya sekarang juga?!” ancamnya beringas. 

Elena kembali mengangkat wajahnya. “Bunuh saja aku sekarang juga,” tantangnya dingin. 

Leon diam. Ah, sialan. Mangsanya kali ini tidak seperti yang lain. Mereka semua terus memohon ampun padanya bahkan menawarkan diri memberikan tubuhnya tetapi Elena malah melawannya.

Ini menyebalkan, apa yang harus dia lakukan untuk membuatnya semakin tersiksa?

Sementara Elena menyeringai dalam hatinya. Hah, memang dia pikir dia bisa menaklukannya dengan mudah? 

Dasar idiot! 

Perang akan dimulai. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status