Benar, Elena menabrak sebuah pohon yang tak bersalah.
“Ah, sial! Benar-benar sial! Kenapa pohon itu ada di sana, sih?! Seharusnya dia menyingkir dan membiarkan ku lewat dengan tenang,” jeritnya murka.
Dia keluar dari mobil dengan susah payah dan menendang ban mobil itu ketika melihat asap mengepul dari mesin di balik kap mobil. Elena menoleh ke sekitarnya dan mendelik pada mobil mati di depannya untuk di salahkan. “Kenapa kau harus berhenti di sini, bodoh? Coba kau lihat? Apa ada orang lain di sini? Tidak! Tidak ada, sial. Sekarang, apa yang harus kulakukan karena kesalahanmu itu, hah?!” rutuknya memaki mobil yang tak bergerak di depannya.
Elena jongkok di tepi jalan dan merogoh ponselnya di dalam tas selempang kecil yang dia kenakan. Bibirnya seketika mengerucut sempurna saat melihat ponselnya yang hanya menyala sekejap sebelum akhirnya mati seutuhnya. Baterai ponselnya habis.
Sudah kuduga, minggu memang hari tersial dalam hidupku,” gerutu Elena jengkel. “Kenapa harus ada hari minggu di dunia ini? Siapa sih pembuat hari libur sialan yang malah membuatku mengalami kemalangan seperti ini?” desisnya geram. Dia memaki entah pada siapa, yang pasti sekarang kemarahannya sedang membumbung tinggi dan butuh sesuatu untuk disalahkan.
Elena menoleh ke arah kanan saat melihat ada cahaya dari kejauhan. “Jika aku tidak menghadangnya sekarang, maka aku akan tetap di sini sampai pagi, itu pun jika tidak ada berandalan yang menemukanku di sini dan memperkosaku. Tetapi jika aku menghentikannya, kemungkinan dia adalah orang cabul dan mesum yang tetap bisa membuatku dalam bahaya. Bukankah itu berarti tidak berbeda?” gumam Elena membuat pertimbangan.
Elena meringis ketika merasakan kepalanya bertambah sakit. Dia tidak punya pilihan lain. “Tidak-tidak, kakak pasti akan menolongku. Kakak, bantu adikmu yang manis ini,” mohonnya sambil mengatupkan tangannya di depan dada. “Oh aku lupa, Tuhan, bantu hamba-Mu yang malang ini.”
Gadis itu segera bangkit dengan susah payah dan berdiri di tengah jalan dengan senyum lebar yang teramat ramah. Tepat setelah mobil itu berhenti, Elena pergi ke jendela. Dia mengetuk jendela kaca di samping kursi kemudi. Tak lama kemudian orang yang memegang kendali mobil itu menurunkan jendelanya. Seorang pria berjas dengan tampang dingin menatapnya.
“Permisi, Sir. Maaf mengganggu perjalananmu yang menyenangkan, apa aku boleh menumpang mobilmu? Mobilku rusak, kau lihat itu, di depan sana? Aku menabrak pohon sialan yang entah sejak kapan di sana. Kumohon, kau bisa membawaku sampai ke jalan raya, setelah itu aku bisa pergi sendiri. Apa boleh seperti itu, Sir?” tanya Elena dengan sopan dan setengah melantur.
Pria itu menoleh ke belakang, Elena juga ikut menengok ke arah sana. Matanya berusaha mengintip siapa yang ada di sana namun karena gelap, Elena tidak bisa melihat siapa itu. Tetapi dia yakin itu adalah pemilik mobil yang asli. Setelah mendapat persetujuan, pria itu segera membuka pintu belakang. Elena tersenyum lebar. Gadis itu segera masuk dengan tergesa dan tak sabar karena sebenarnya pakaiannya yang tipis ini membuat tubuhnya kedinginan.
Elena menutup pintu dan tersenyum lebar. “Terima kasih, Sir. Maaf merepotkan,” katanya pada orang yang duduk disampingnya.
“Kau bau alkohol.”
“Ah, iya. Aku baru saja keluar dari pesta ulang tahun yang diadakan temanku, Erlan. Itu pesta yang menyenangkan. Mereka semua sangat bergembira dan mengasyikkan. Ya, walaupun beberapa dari mereka menyebalkan tetapi itu tidak masalah. Aku bersenang-senang dengan sangat baik. Ah, benar. Maaf, Sir. Sepertinya aku terlalu banyak bicara,” celoteh Elena malu saat sadar kebiasaan banyak bicara miliknya lepas kendali. Sebenarnya orang-orang disekitarnya menyukainya karena ini namun dia lupa, jika orang asing belum tentu suka. Mereka pasti akan terganggu.
“Kau benar. Kau sangat berisik.”
Nahkan, sudah Elena duga. Dia pasti akan merusak suasana dalam sekejap. Ya, itu bukan hal yang asing. Dia sudah sering mengalami ini.
Elena meringis guna merespon ucapan pedas pria itu. “Oh, benar. Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf, seharusnya aku tidak terlalu banyak bicara di saat kita baru saja bertemu.” Elena diam. Dia melirik pria di sampingnya dengan seksama dan mengernyit kala menyadari sosok itu cukup tampan. Walaupun hanya terkena sedikit sorot lampu dari jalan tetapi dia bisa melihat dengan jelas jika pria itu memiliki rahang yang menggoda. Lekuk wajahnya dari samping juga sempurna. Hidungnya mancung dan bibirnya tebal juga seksi. Dia memiliki alis yang tebal. Jangan lupakan juga beberapa tato yang tergambar disekitar leher pria itu.
“Wah, gila. Dia sangat seksi. Bahkan wajahnya jauh melebihi aktor yang ada di film itu. Kenapa dia tidak jadi artis saja dan membuatku bisa melihat tubuhnya dengan jelas,” lirihnya tanpa sadar kala mengingat film dewasa yang dia lihat beberapa malam yang lalu.
Akan tetapi celotehan lirih Elena itu sampai terdengar oleh pendengaran tajam pria asing itu. Dia menoleh dan membuat Elena membekap mulutnya sendiri. Dia tersenyum malu dan menunduk karena memikirkan kemungkinan pria itu mendengar ucapannya yang terdengar seperti rayuan. Tangannya sibuk memainkan jemarinya dengan gugup.
“Apa kau pekerja malam?” tanya pria itu tanpa aling-aling yang berhasil mengejutkan gadis itu dan sang supir pribadi di depannya. Dia diam-diam mengasihani gadis itu karena akan menjadi korban selanjutnya. Tuannya selalu menanyakan itu setiap kali bertemu seseorang yang menarik untuk dijadikan mainan.
Elena mendelik. Dia menatap tajam pria itu. “Jaga bicara anda, Sir!” ancamnya sinis.
“Apa kau baru saja melotot padaku?” tanya pria itu dengan nada dingin.
“Aku melakukannya karena kau menghinaku. Aku bukan pekerja malam. Apa anda menanyakan itu pada setiap perempuan yang ada temui? Itu tidak sopan, Sir!” hardiknya galak.
Pria itu menyeringai. “Kau berani menantangku, bocah?” ujarnya rendah.
“Aku bukan bocah. Lagipula, aku tidak menantangmu. Kau saja yang merasa seperti itu,” balas Elena angkuh.
Pria di balik stir menahan napas saat merasakan aura kelam dari tuannya yang mendadak mengudara. Dia lagi-lagi mengasihani gadis yang baru saja menumpang di mobil mereka. Tuannya itu orang gila. Dia sangat benci pada orang yang berani menantangnya. Tuannya ini Leonard Cale Parvez. Consigliere dari keluarga Benigno yang terhormat di Italia.
“Semoga kau baik-baik saja, Nona,” tutur pria itu setelah turun dari mobil. Menyisakan Leon dan juga Elena di dalam sana.
Didalam mobil BMW mewah keluaran Jerman yang terparkir di tepi jalan kecil di kota Manhattan itu mengeluarkan aura yang mencekam. Sang singa yang terusik sebab merasa kekuasaannya di ganggu sementara sang kelinci tidak merasa melakukan apapun kecuali bertahan hidup. Mereka berdua dipertemukan dan bentrok dalam keadaan yang sepertinya tengah memihak si singa. “Nona, apa kau baru saja menantangku?” Leon kembali bertanya dengan suara yang mengerikan. Leon bergerak mendekati Elena yang seketika mundur hingga terpojok di sudut kursi mobil. “Apa kau tahu apa hukuman untuk orang yang berani menantangku, Nona?” Dia semakin dekat memojokkan Elena diantara kedua tangannya yang bertumpu pada bagian pintu dan kursi mobil. Elena semakin dibuat kecil dibawah Leon. “Dia harus mati,” bisiknya tepat ditelinga Elena. Gadis itu mengigil ketakutan. Dia tak menyangka jika pria itu akan tersinggung hanya dengan ucapannya yang sebenarnya tidak memancarkan perlawanan berarti. Lagipula, dia melakukannya
Beberapa jam kemudian di Kota Napoli, Italia. Elena terbangun dengan rasa sakit yang luar biasa dikepalanya. Gadis itu terduduk di tempat tidur dan memegang kepalanya dengan mata yang masih terpejam malas. Dia kesulitan untuk bangun. “Ah sial, kenapa rasanya sakit sekali? Sebenarnya berapa banyak bir yang sudah kuminum tadi malam,” keluh Elena pelan sembari memarahi diri sendiri karena lagi-lagi kelewat bersemangat. Dia ini sangat bodoh jika soal minum tapi masih saja tetap melanjutkan kebodohannya. Yah, mau bagaimana lagi. Dia ini kan gila. Dengan setengah sadar, Elena berusaha meraih gelas yang ada di meja kecil tepat di samping tempat tidurnya seperti biasa karena minum air putih di pagi hari adalah kebiasaannya sejak kecil. Dia mengernyit aneh ketika yang dia temukan justru sebuah benda asing, benda yang bentuknya lebih mirip seperti pistol yang sering dia lihat di film. Elena membuka matanya dan terkesiap kaget dengan apa yang dia pegang. “Apa-apaan ini?” pekiknya kag
Hari pertama Elena di mansion Leon. “Hei, bangun!” “Ibu ... Hentikan, aku masih mengantuk,” racau Elena sambil memeluk bantal yang dia pegang lebih erat. Semalam, Leon melepaskan ikatan yang menjerat tubuh Elena setelah gadis itu tidur. Untungnya, gadis itu tidak bangun. Tetapi Leon heran karena gadis itu sangat santai dan bisa tertidur dalam sekejap. Elena hanya takut di awal saja, setelah itu sikapnya jadi kurang ajar. Dia tidak peduli dengan semua siksaan yang diterimanya.Elena perlakuan Leon dengan kalem. Sialan, dia meremehkannya! Leon pikir gadis ini masokis makanya dia tenang saja saat ditampar dan dipukul, tetapi tidak, dia meringis kesakitan saat Leon mencoba mematahkan lengan Elena dengan memutarnya wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan adanya ciri bergairah. Dia menunjukkan raut wajah tersiksanya, tak ada emosi aneh yang keluar dari wajahnya selain kesakitan. Itu menyebalkan! Dia ingin melihat Elena meraung dan memohon ampun padanya tetapi Elena tidak juga menu
Provinsi Grosseto, Tuscany, Italia. Pertemuan dua kolega di sebuah rumah kecil namun nyaman yang terbuat dari kayu di daerah peternakan tampak sedikit berbeda dari biasanya. Suasana yang seharusnya menenangkan karena embusan angin segar di sekitar yang di kelilingi pepohonan rindang dan tanah lapang yang luas berwarna hijau tak berlaku, sebab, ketegangan yang mengudara karena salah satu dari mereka mengubah perjanjian yang telah disepakati di pembicaraan pertama. Bagi Leon, kesepakatan seperti itu tidaklah bermoral. Orang yang mudah ingkar janji berarti adalah orang yang bisa berkhianat kapan saja dan itu bukanlah orang yang menyenangkan untuk dihadapi. Leon, pria dengan jas hitam dipadukan kemeja putih bermerek terkenal dan dasi berwarna merah maroon ini tampak tampan. Celana hitam yang agak kecil membuatnya semakin menarik. Dia menyugar rambutnya ke belakang dan tersenyum sinis. Sementara Johan, pria dengan jas putih dengan dibalut kemeja putih motif bunga. "Kau mengubah ke
Suara tembakan menggema kuat di ruangan itu. Peluru dari revolver yang tadi dilontarkan melaju mengenai tepat di ulu hati salah satu penjaga. Dia ambruk dengan mata melotot. Sementara yang lain segera mendekat, memberi perlindungan pada tuannya. "Kau gila, Leon!" sentak Dante sambil melempar pistol lain di sakunya pada pria itu. "Kau selalu saja seperti ini. Apa kau mau aku mati mendadak, hah?" Leon menerima pistol hasil lemparan Dante dan menatapnya datar. "Kau tidak akan mati semudah itu. Tekad bertahan hidupmu jauh lebih besar dariku," balas Leon santai. Mendengar jawaban dari Leon membuat Dante meradang.Sialan! Pria ini sedang menghinanya. Keduanya lantas kembali fokus menembak musuh yang tersisa. Ada sekitar enam orang tersisa sekalian Johan. Salah satu dari mereka berhasil mendekat dan menghantamkan meja kecil pada Leon. Pria itu dengan gagah menangkis serangan darinya menggunakan kursi yang ada di sisinya. "Woah, kau nyaris mati!" celetuk Dante sambil melilit leher seora
Hari kedua di mansion Leon. Leon, pria sinting. Elena semakin memahami makna kata itu. Ratapan kesedihan dan juga permohonan ampun dari korbannya adalah kesukaan Leon. Leon selalu marah saat dia bungkam. Seperti yang terjadi tadi malam. "Kenapa kau tidak memohon padaku, berengsek?! Cepat memohonlah! Kau harus meminta untuk dilepaskan! Jangan terus memintaku untuk membunuhmu, sialan! Kau memuakkan! Akh, dasar jalang kecil yang menjengkelkan!" Usai berteriak seperti itu, Leon menamparnya dengan kuat hingga membuat kepala Elena pusing. Elena yang tak kuasa melawan akhirnya diam dan menutup matanya. Dia memilih untuk tidur dengan tubuh penuh luka ketimbang melihat Leon yang sinting. Sebelum benar-benar terlelap, dia bisa mendengar Leon memakinya berulang kali.Kemudian, dipagi cerah seperti ini, Leon sudah bersiap menyiksanya kembali. Dia membangunkannya secara paksa. "Bangun! Apa kau tuli? Kubilang bangun, sial!" Leon melakukannya dengan kasar. Dia menarik tubuh ringkih Elena dari
Pria itu membawanya menuruni tangga belakang mansion menuju lapangan terbuka. Elena reflek mengangkat tangannya untuk menutupi matanya karena silau, sudah dua hari ini dia tidak melihatnya. Elena mengedipkan matanya dan berjalan dengan terseok-seok menahan rasa sakit karena Leon menyeretnya dengan tidak berperasaan. Yah, memang sejak kapan Pak Tua itu punya hati? Bukankah dia itu manusia tanpa hati yang melakukan apapun demi kepuasan dirinya sendiri? Elena menganga melihat pagar besi yang besar terpasang melingkar dengan diameter yang lebar, mungkin sekitar empat puluh lima meter atau lebih. Didalamnya tumbuh pohon-pohon besar dan dibawah ada beberapa batang pohon tergeletak sementara bagian depan ada sungai dengan jembatan kecil sebagai penghubung. Tempat itu juga dipasang atap, mirip seperti kurungan super besar. Perasaan Elena tidak enak.Dia melirik Leon yang tersenyum. “Aku ingin memperkenalkanmu pada dua temanku, Nona.” Leon membuka kandang itu dan mendesak Elena untuk mas
Mimpi, sebuah angan atau gambaran visual yang tercipta di saat kita sedang tertidur. Sulit di jelaskan makna sebenarnya apa itu mimpi. Namun, yang pasti selain dari imajinasi yang kita miliki, mimpi juga bisa tercipta akibat kenangan di masa lalu. Mimpi yang berasal dari ikatan kenangan justru lebih mengerikan dari semua mimpi yang di miliki. Baik itu buruk ataupun baik. Mimpi baik akan membuat suasana hati menjadi membuncah dan terkadang lupa jika itu terjadi dulu hingga tak bisa terulang kembali. Kemudian saat mimpi itu buruk maka efeknya akan timbul secara berlebihan dan cukup merepotkan. Sama seperti yang kini di alami Leon. Pria itu baru menutup matanya beberapa menit namun kilasan menyakitkan yang terjadi padanya dulu timbul begitu saja. Hal ini membuatnya merasakan sakit kepala dan juga kelelahan akibat napasnya yang terengah sebab melakukan respirasi terlalu cepat. Jantungnya berdebar dengan kecepatan tidak normal dan berhasil menyakitinya. Dia mengusap kasar wajahnya d