Share

2. Sang Mafia

Benar, Elena menabrak sebuah pohon yang tak bersalah. 

“Ah, sial! Benar-benar sial! Kenapa pohon itu ada di sana, sih?! Seharusnya dia menyingkir dan membiarkan ku lewat dengan tenang,” jeritnya murka. 

Dia keluar dari mobil dengan susah payah dan menendang ban mobil itu ketika melihat asap mengepul dari mesin di balik kap mobil. Elena menoleh ke sekitarnya dan mendelik pada mobil mati di depannya untuk di salahkan. “Kenapa kau harus berhenti di sini, bodoh? Coba kau lihat? Apa ada orang lain di sini? Tidak! Tidak ada, sial. Sekarang, apa yang harus kulakukan karena kesalahanmu itu, hah?!” rutuknya memaki mobil yang tak bergerak di depannya. 

Elena jongkok di tepi jalan dan merogoh ponselnya di dalam tas selempang kecil yang dia kenakan. Bibirnya seketika mengerucut sempurna saat melihat ponselnya yang hanya menyala sekejap sebelum akhirnya mati seutuhnya. Baterai ponselnya habis.

Sudah kuduga, minggu memang hari tersial dalam hidupku,” gerutu Elena jengkel. “Kenapa harus ada hari minggu di dunia ini? Siapa sih pembuat hari libur sialan yang malah membuatku mengalami kemalangan seperti ini?” desisnya geram. Dia memaki entah pada siapa, yang pasti sekarang kemarahannya sedang membumbung tinggi dan butuh sesuatu untuk disalahkan. 

Elena menoleh ke arah kanan saat melihat ada cahaya dari kejauhan. “Jika aku tidak menghadangnya sekarang, maka aku akan tetap di sini sampai pagi, itu pun jika tidak ada berandalan yang menemukanku di sini dan memperkosaku. Tetapi jika aku menghentikannya, kemungkinan dia adalah orang cabul dan mesum yang tetap bisa membuatku dalam bahaya. Bukankah itu berarti tidak berbeda?” gumam Elena membuat pertimbangan. 

Elena meringis ketika merasakan kepalanya bertambah sakit. Dia tidak punya pilihan lain. “Tidak-tidak, kakak pasti akan menolongku. Kakak, bantu adikmu yang manis ini,” mohonnya sambil mengatupkan tangannya di depan dada. “Oh aku lupa, Tuhan, bantu hamba-Mu yang malang ini.”

Gadis itu segera bangkit dengan susah payah dan berdiri di tengah jalan dengan senyum lebar yang teramat ramah. Tepat setelah mobil itu berhenti, Elena pergi ke jendela. Dia mengetuk jendela kaca di samping kursi kemudi. Tak lama kemudian orang yang memegang kendali mobil itu menurunkan jendelanya. Seorang pria berjas dengan tampang dingin menatapnya.

“Permisi, Sir. Maaf mengganggu perjalananmu yang menyenangkan, apa aku boleh menumpang mobilmu? Mobilku rusak, kau lihat itu, di depan sana? Aku menabrak pohon sialan yang entah sejak kapan di sana. Kumohon, kau bisa membawaku sampai ke jalan raya, setelah itu aku bisa pergi sendiri. Apa boleh seperti itu, Sir?” tanya Elena dengan sopan dan setengah melantur. 

Pria itu menoleh ke belakang, Elena juga ikut menengok ke arah sana. Matanya berusaha mengintip siapa yang ada di sana namun karena gelap, Elena tidak bisa melihat siapa itu. Tetapi dia yakin itu adalah pemilik mobil yang asli. Setelah mendapat persetujuan, pria itu segera membuka pintu belakang. Elena tersenyum lebar. Gadis itu segera masuk dengan tergesa dan tak sabar karena sebenarnya pakaiannya yang tipis ini membuat tubuhnya kedinginan. 

Elena menutup pintu dan tersenyum lebar. “Terima kasih, Sir. Maaf merepotkan,” katanya pada orang yang duduk disampingnya. 

“Kau bau alkohol.”

“Ah, iya. Aku baru saja keluar dari pesta ulang tahun yang diadakan temanku, Erlan. Itu pesta yang menyenangkan. Mereka semua sangat bergembira dan mengasyikkan. Ya, walaupun beberapa dari mereka menyebalkan tetapi itu tidak masalah. Aku bersenang-senang dengan sangat baik. Ah, benar. Maaf, Sir. Sepertinya aku terlalu banyak bicara,” celoteh Elena malu saat sadar kebiasaan banyak bicara miliknya lepas kendali. Sebenarnya orang-orang disekitarnya menyukainya karena ini namun dia lupa, jika orang asing belum tentu suka. Mereka pasti akan terganggu. 

“Kau benar. Kau sangat berisik.”

Nahkan, sudah Elena duga. Dia pasti akan merusak suasana dalam sekejap. Ya, itu bukan hal yang asing. Dia sudah sering mengalami ini. 

Elena meringis guna merespon ucapan pedas pria itu. “Oh, benar. Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf, seharusnya aku tidak terlalu banyak bicara di saat kita baru saja bertemu.” Elena diam. Dia melirik pria di sampingnya dengan seksama dan mengernyit kala menyadari sosok itu cukup tampan. Walaupun hanya terkena sedikit sorot lampu dari jalan tetapi dia bisa melihat dengan jelas jika pria itu memiliki rahang yang menggoda. Lekuk wajahnya dari samping juga sempurna. Hidungnya mancung dan bibirnya tebal juga seksi. Dia memiliki alis yang tebal. Jangan lupakan juga beberapa tato yang tergambar disekitar leher pria itu. 

“Wah, gila. Dia sangat seksi. Bahkan wajahnya jauh melebihi aktor yang ada di film itu. Kenapa dia tidak jadi artis saja dan membuatku bisa melihat tubuhnya dengan jelas,” lirihnya tanpa sadar kala mengingat film dewasa yang dia lihat beberapa malam yang lalu. 

Akan tetapi celotehan lirih Elena itu sampai terdengar oleh pendengaran tajam pria asing itu. Dia menoleh dan membuat Elena membekap mulutnya sendiri. Dia tersenyum malu dan menunduk karena memikirkan kemungkinan pria itu mendengar ucapannya yang terdengar seperti rayuan. Tangannya sibuk memainkan jemarinya dengan gugup. 

“Apa kau pekerja malam?” tanya pria itu tanpa aling-aling yang berhasil mengejutkan gadis itu dan sang supir pribadi di depannya. Dia diam-diam mengasihani gadis itu karena akan menjadi korban selanjutnya. Tuannya selalu menanyakan itu setiap kali bertemu seseorang yang menarik untuk dijadikan mainan. 

Elena mendelik. Dia menatap tajam pria itu. “Jaga bicara anda, Sir!” ancamnya sinis. 

“Apa kau baru saja melotot padaku?” tanya pria itu dengan nada dingin. 

“Aku melakukannya karena kau menghinaku. Aku bukan pekerja malam. Apa anda menanyakan itu pada setiap perempuan yang ada temui? Itu tidak sopan, Sir!” hardiknya galak. 

Pria itu menyeringai. “Kau berani menantangku, bocah?” ujarnya rendah. 

“Aku bukan bocah. Lagipula, aku tidak menantangmu. Kau saja yang merasa seperti itu,” balas Elena angkuh. 

Pria di balik stir menahan napas saat merasakan aura kelam dari tuannya yang mendadak mengudara. Dia lagi-lagi mengasihani gadis yang baru saja menumpang di mobil mereka. Tuannya itu orang gila. Dia sangat benci pada orang yang berani menantangnya. Tuannya ini Leonard Cale Parvez. Consigliere dari keluarga Benigno yang terhormat di Italia. 

“Semoga kau baik-baik saja, Nona,” tutur pria itu setelah turun dari mobil. Menyisakan Leon dan juga Elena di dalam sana. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status