Anti dan Agam menjadi salah satu di antara tamu yang hadir. Mereka duduk di belakang dan ikut berdiri menyambut kedatangan mempelai. Tak sengaja, pandangan ini bersitatap dengan ayah dari anak-anakku. Dirinya tak berkedip. Segera kupalingkan muka, takut menghilangkan selera makan untuk nanti. Melewati tubuh kedua pasangan tak halal itu, sudut mata ini tak sekalipun ada keinginan melirik.
Lagi, untuk kedua kalinya, netra ini menatap pada orang yang tidak kuinginkan untuk berjumpa. Bedanya, kali kedua ini, menimbulkan debar syahdu dalam hati. Sesosok tampan dan rupawan dengan penampilan sederhana hari ini. Hanya mengenakan kemeja batik lengan panjang. Dia memandang diriku tanpa kedip.
Akupun sama dengannya. Hingga sebuah senggolan dari tangan Rena menyadarkan diriku dari kegiatan saling tatap.
“Udah, Mbak. Nanti kesandung, lho!” bisik Rena.
“Dia kenal juga sama Weni, Ren?”
“Aku yang suruh Weni buat ngundang,” jawab
Mata ini sedikit mengantuk. Selain lelah, mungkin efek bulu mata palsu yang kupakai. Kutundukkan kepala sebentar dan bersandar pada kursi kosong di depanku. Dan ketika hampir terlelap, kudengar orang bercakap-cakap di depanku.Rupanya, Mas Agam belum pulang dari sini. Mereka pasti tidak tahu, bahwa yang berada di salah satu kursi deret belakang adalah aku.“Mas, aku pulang aja, ya? Gak usah ke rumah sakit. Aku lelah kalau tiap hari harus bolak-balik ke sana. Uangku juga habis, Mas. Kalau di rumah, kan, bisa masak,” ucap Anti.Mas Agam diam saja, tidak menjawab sama sekali.“Kenapa kamu bisa begitu sayang sama Aira, sih, Mas? Sepertinya, sama anak juga, kamu gak segitunya.” Perempuan itu berdecak. “Ingat, Mas, anak-anakku saja ikut sama bapak mereka. Kenapa aku malah harus ngurus keponakan kamu? Bahkan, sebelum kita menikah.”Mas Agam membuang napas kasar. “Aku capek bahas ini, Anti. Berhentilah protes tenta
Penilaian akhir semester untuk anak sekolah jenjang Sekolah Dasar dan Taman Kanak-kanak dilaksanakan secara serempak. Aku sudah meminta Fani untuk booking hotel di Bali. Rencananya, kami akan membawa mobil ke Pulau Dewata itu, agar tidak harus menyewa transportasi di sana. Sudah bisa dipastikan, tarifnya sangat tinggi. Dinta dan Danis sangat bahagia mengetahui hal itu. Aku tidak memberi syarat khusus untuk piknik kali ini. Kurasa, apa yang dialami mereka sangatlah berat. Tak perlu menambah beban dengan menuntut agar mendapat nilai terbaik saat tes nanti. Biarlah hidup anak-anak memgalir begitu saja. Yang penting aku terus memberikan pemahaman etika dalam bertingkah laku. Siang itu, selepas pulang mengajar, aku mengoreksi hasil tes anak-anak didikku. Sengaja kubawa ke rumah agar bisa mengerjakannya sambil bersantai. Di tengah kesibukanku, bel rumah berbunyi. Dengan malas, kuberanjak untuk membuka pintu. Sesosok laki-laki baya bersama dengan pria yang seumuran
Telunjuknya selalu diarahkan padaku saat berbicara. Menandakan diri ini begitu salah dan rendah di hadapannya.“Terus, Mbah inginnya bagaimana? Mbah ke sini maunya apa?” tanyaku sengaja mengalah, tapi bukan berarti aku akan mengabulkan keinginannya.“Ya, minta supaya kamu itu memberikan Agam bagian dari harta yang dikumpulkannya di sini.” Intonasi yang keluar dari mulut pria ini, selalu palan dan terarah, tapi menusuk.“Mbah, kalau ada yang Mas Agam kumpulkan di sini, pasti saya kasih. Tapi, memang tidak ada yang Mas Agam beli, Mbah. Yang dikatakan Pak Hanif, itu bohong. Masa iya, Simbah tidak malu, minta-minta barang yang bukan miliknya?”“Kok, aku bingung? Kata Hanif, Agam yang beli. Kata kamu, kamu yang beli. Yang benar itu yang mana? Wong kok senenge minta bener semua. Siapa yang salah kalau seperti ini?”“Memang kenyataannya seperti itu. Yang ada, Mas Agam beli tanah juga yang di sana
“Kalau di pinggir jalan begitu, biasanya laku mahal, ya, Gun?” Pandangannya menoleh pada ojeknya.Yang ditanya iya-iya saja. Posisi duduknya kembali ditegakkan. Tangan kanan lelaki itu meremas mulut dan hidung. Semakin terlihat wibawanya di mataku.“Yawes, kamu saya maafkan. Ya, kan, saya itu tidak akan marah sama kamu? Asalkan kamu itu jujur. Sudah, tidak apa-apa. Tak doakan Gusti Allah mengampuni dosamu, Nia.”“Nggeh, Mbah. Aamiin yaa robbal alamiin.” Kuusapkan kedua telapak tangan ke muka untuk mengaminkan doanya.Ya Rabb, semoga Engkau benar-benar memberikan ampunan padaku.“Tak ke sana, ya? Sebelah mana? Bisa jalan kaki atau harus naik motor?”“Naik motor saja, Mbah. Soalnya agak jauh,” jawabku. “Sebenarnya saya ingin membuatkan bengkel untuk sampingan Mas Agam. Rencananya mau buat kejutan.”Kami berdua bangkit bersamaan. Kupersilahkan kakek Mas Agam me
AntiAku dan Mas Agam adalah sepasang kekasih sejak masih berseragam abu-abu. Kami berdua dijuluki pasangan paling serasi pada masanya. Tak ada hari tanpa kami lewati bersama, kecuali saat salah satunya harus izin karena sesuatu hal.Uang sakuku berarti uang saku Mas Agam, begitupun sebaliknya. Tidak ada rahasia antara satu sama lain. Banyak impian yang kami rangkai bersama, membayangkan indahnya maghligai rumah tangga yang kelak akan kami arungi bersama.Gaya pacaran kami, sudah lebih dari batas normal cinta remaja kala itu. Aku dan Mas Agam sering melewati waktu hanya berdua, di saat rumahku atau rumah Mas Agam dalam keadaan sepi.Selepas lulus SMA, hubungan kami masih dekat. Jarak yang ditempuh dari rumahnya menuju tempat tinggalku hanya tiga puluh menit. Saat itu, baik aku maupun Mas Agam, belum memiliki arah maupun tujuan dalam hidup.Beberapa bulan kemudian, dirinya berpamitan untuk merantau ke Jakarta untuk mengais rezeki dengan membantu pam
Januari menjadi masa hujan selalu turun sepanjang hari. Namun, kami tetap berangkat, karena sepatutnya menjalankan tugas sebagai abdi negara. Rintik hujan yang turun sepulang mengajar itu, menciptakan hawa dingin. Berada di atas kendaraan dan memakai satu mantel bersama orang yang dicintai mengundang tubuh ini untuk merapat pada punggung Mas Agam. Aroma parfum menguar, laksana magnet untuk semakin menempel. Tanpa malu, kulingkarkan lengan pada perut lelaki yang masih berstatus bujangan ini.“Anti, jangan nakal!” ucapanya, malah emakin membangkitkan hasrat untuk mendekat.“Kangen,” jawabku, manja.Aku paham apa yang dirasakan mantan kekasihku saat itu. Empat tahun bukanlah waktu yang sebentar untukku mengenal pribadinya, termasuk juga perihal itu.“Kita jangan pulang dulu, ya, Mas,” pintaku masih dengan nada manja.Tanpa kusadari, Mas Agam berkendara sangat lama. Kita berhenti di sebuah villa. Di sanalah, untuk pe
Mas Tohir sampai membatalkan jadwal berlayar dan memilih pulang. Semua ATM disita. Aku sudah tidak punya apa-apa, karena gajiku selalu habis untuk menunjang penampilan. Keluargaku juga berada di pihak Mas Tohir. Ditambah lagi, anak semata wayangku dibawa Mas Tohir ke rumah orang tuanya, sampai saat ini aku tdak boleh menemui.Hendak dilaporkan ke polisi, Pak Hanif membayar denda sejumlah dua puluh juta, menggunakan uang yang akan digunakan untuk beribadah umroh.Singkat cerita, kami digugat cerai oleh pasangan masing-masing, tanpa diberikan harta gono-gini. Diperparah dengan turunnya surat mutasi kerja menjadi staff TU di salah satu kecamatan, sanksi atas perbuatan amoral yang telah kami lakukan. Sedangkan Mas Agam menjadi staf UPT di kecamatan lain.Sedikit penyesalan hadir dalam relung hati ini, manakala mengingat kehidupanku yang dulu bergelimang harta, kini harus serba menghemat pengeluaran. Mas Agam berjanji langsung menikahiku, setelah masa idah sele
Liburan ke Bali sudah usai. Saatnya kembali menjalani rutinitas seperti sebelumnya. Dan tentang permintaan bapak, aku belum terlalu memikirkannya. Biar saja mengalir sesuai takdir yang Allah gariskan. Dan malam ini, kami baru pulang dari mal. Anak-anak puas bermain di sana. “Mbak, makan di alun-alun, yuk?” ajak Fani yang duduk bersama Dinta di belakang. “Boleh, tuh.” Aku mengangguk setuju. “Fan, kamu gak ingin belajar nyetir? Buat gantian kalau kita pergi bareng.” “Iya, nih. Tante Fani kenapa gak bisa nyupir? Kan, ketinggalan jaman. Ibu aja, yang udah mau tua, bisa nyupir.” Pertanyaan polos Danis mengundang tawa keras adik semata wayangku. Mendengar aku dikatakan mau tua, tentu saja gadis itu bahagia. “Danis pinter banget, sih? Ibu udah mau tua, ya? Bener banget, tuh. Tapi, gak inget umur, dandannya suka heboh banget kalau keluar rumah.” Gadis yang duduk di sebelah Dinta tertawa terus. “Tapi, gak apa-apa. Ibu tinggal sendiri, jadi haru