Setelah kepergian Reza dari ruangan itu, Dion pun merangkul pundak Nia dan menuntunnya kembali ke dalam kamar Dion. Ketika sampai, barulah Dion melepas tangganya."Terima kasih, Tuan." Nia menunduk sebagai ucapan terima kasih. Jika tidak ada Dion, mungkin kini tangannya sudah patah--dicengkram kuat oleh manusia tak punya hati, seperti Reza.Dion hanya mengangguk. Namun, matanya terus tertuju pada pergelangan tangan Nia yang membiru. Bahkan, baru disadarinya bahwa di sudut bibir Nia juga tampak bercak darah. Seketika, rasa kasihan timbul dalam diri Dion. Dion pun mengambil kotak obat lalu mengobati Nia dengan tangannya sendiri."Tuan, saya bisa sendiri." Nia merasa tak enak hati saat menyadari perlakuan Dion yang begitu lembut mengobatinya.Mendengar penolakan Nia, Dion hanya menatap tajam wanita itu--membuat nyali Nia menciut dan memilih diam membiarkan Dion mengobatinya."Tuan, saya minta maaf. Karena, saya sudah membuat ketidaknyamanan barusan. Terutama, pada Dila."Sayangnya, Di
"Sudah, ayo kita makan!" Nia pun menarik Dila untuk duduk di karpet, kemudian memberikan minuman agar lebih baik."Mami, nanti kita main yang itu, ya." Dengan bersemangat, Dila menunjukkan sebuah ayunan yang ada di taman tersebut."Makan dulu. Napasnya juga sudah ngos-ngosan begitu," kata Nia sambil mengisi piring dengan nasi dan lauk. Kemudian, dia mulai menyuapi Dila.Dila pun membuka mulutnya--mengunyah dengan baik, hingga akhirnya Zaki menangis."Anak Ibu...." Nia pun meletakan sejenak piring di tangannya, kemudian memeluk Zaki.Nia berbalik badan, memberikan asi pada anaknya."Sini biar Papi yang menyuapi." Dion yang tahu putrinya itu sudah sangat lapar, menawarkan bantuan. Meski demikian, Dion tidak menyalahkan Nia sebab pria itu pun kasihan pada bayi kecil yang kini sedang kehausan di pelukan ibunya.Kini Dila pun kembali makan dengan lahapnya--sampai akhirnya, Dila meminta Dion untuk menyuapi Nia."Papi, suapi Mami juga."Nia terkejut, tak menyangka jika Dila memintanya untuk
Liana tidak bisa membiarkan anaknya terus-menerus seperti ini, memohon kepada Nia untuk menerimanya, bahkan sudah beberapa hari ini terus saja mengejar pembantu hina itu.Kini kakinya sudah kembali berdiri tegak, tidak membutuhkan kursi roda lagi. Apa lagi bantuan seseorang, dirinya sudah sembuh dari stroke ringan yang dialaminya.Sehingga untuk kali ini akan berbicara langsung pada Reza, menghentikan aksi gilanya tersebut.Tetapi bagaimana reaksi Reza? Sampai saat ini pun tidak perduli pada apa yang diucapkannya.Bahkan dengan terang-terangan menolak apa yang dikatakannya."Reza, cukup! Mama, tidak mau melihat mu terus memohon pada wanita rendahan itu! Jangan pernah lagi untuk memohon kepadanya!" tegas Liana.Liana sengaja mendatangi Reza ke perusahaan, berbicara langsung agar tidak ada yang mendengar perdebatan mereka jika berbicara di rumah.Dia pun tidak ingin malu karena yang menjadi perdebatan mereka adalah Nia, siapa wanita itu? Dia hanya seorang pembantu tetapi mampu membuat k
"Kamu benar-benar anak yang memalukan! Kapan kamu tidak berulah!" seru seorang pria yang tengah terbakar api kemarahan--menatap wajah sang anak yang kini duduk bersimpuh di bawah kakinya.Pria tersebut tampak begitu kecewa dengan apa yang telah di perbuat oleh anaknya, hamil dengan pria lain dan menikah dengan pria lainnya sungguh sangat tidak masuk akal."Pa, nggak begitu...." Raya mencoba untuk membela dirinya, sekalipun yang keluar dari mulutnya hanya sebuah kebohongan."Pergi dari sini!""Pa, Raya tetap anak kita." Kini, sang Ibu mencoba untuk menyadarkan suaminya. Namun, tatapan mata pria itu malah mengarah pada istrinya dengan tajam, membuat sang istri tak berani berbicara lagi."Kau pun boleh pergi dari sini jika tak setuju! Ini adalah ulahmu juga yang selalu membebaskannya!" Deg!Situasi memanas. Raya kembali mencoba meredam murka sang ayah dengan mengulang kembali alasan awalnya, "Pa, ini anak Reza." "Pergi dari sini!"Sayangnya, pria bernama Farhan itu tak mau mendengarnya
"Maaf, Tuan. Ada apa, ya?"Nia akhirnya berhasil menyusul Dion ke kamar dengan buru-buru--seperti apa yang diperintahkan oleh Dion barusan."Buatkan aku kopi!""Baik, Tuan." Nia pun segera menuju dapur, menyediakan secangkir kopi untuk Dion. Kemudian kembali ke kamar setelah selesai. Dia meletakkannya pada meja dan Dion pun mulai menyeruputnya.Nia berdiri tidak jauh dari Dion. Kedua tangannya saling meremas--menantikan komentar terhadap kopi buatannya.Tetapi, tak ada komentar sama sekali. Dion tampak santai dan bergerak mengambil ponselnya yang berdering terus menerus.Akhirnya, Dion menjawab panggilan tersebut dengan dengan malas--karena yang menghubunginya adalah Niko."Dion! Kau di mana?" tanya Niko dari sebrang sana.Dion sampai menjauhkan ponselnya dari telinga karena suara Niko yang begitu keras."Dion, aku ingin menanyakan Nia! Apa kau sudah menemukan data wanita itu? Data yang aku minta beberapa hari yang lalu?" Niko masih saja membicarakan hal itu. Padahal, tak pernah sek
Sesampainya di rumah Nia sudah di sambut oleh Dion, berdiri di ambang pintu utama menatapnya dengan tatapan tajam.Mulai dari ujung kaki sampai ujung rambutnya, seakan sedang menahan banyaknya pertanyaannya yang siap terlontar dari mulutnya.Entah pertanyaan seperti apa yang akan didengarnya nanti.Mungkinkah tentang Dila, atau anak itu rewel setelah dirinya pergi barusan, tentunya itu akan menjadi masalah jika saja benar.Banyak sekali kemungkinannya, hingga hati Nia bertanya-tanya.Namun Nia pun tidak terlalu ambil pusing, sebab wajah datar Dion sudah terbiasa dilihatnya, seakan tanpa bisa di sentuh sedikitpun.Sedangkan apa yang tengah sebenarnya dipikirkan oleh Dion, mengapa terlihat begitu kesal.Sampai saat ini pun tak ada yang keluar dari bibir Dion, membuat Nia pun memilih segera berjalan menuju pintu, ingin masuk segera sebab hari pun mulai gelap."Dari mana?" Tanya Dion dengan suara dinginnya.Langkah kaki Nia pun mendadak berhenti, mengurungkan niatnya sejenak untuk masuk.N
"Dila sudah makan?"Nia tampak begitu perhatian terhadap Dila, menanyakan apa saja yang dilakukan oleh putri seharian ini tanpa dirinya.Terutama, menanyakan makan dan minum obat yang tak boleh terlambat. Ini adalah hal utama!"Udah, Mami...." Dila pun memeluk Nia, layaknya anak kandung yang sangat merindukan ibunya.Begitu juga, dengan Nia yang sangat merindukan Dila.Terdengar aneh, tetapi itulah yang terjadi. Keduanya seperti memiliki ikatan layaknya ibu dan anak kandung."Mami, besok kalau ke rumah Nenek lagi Dila ikut, ya.""Dila mau ikut?""Iya.""Nanti, Mami minta izin sama Papi. Terus, kita jenguk Nenek.""Asik!" Dila berlompatan kegirangan saat Nia menjanjikannya untuk ikut menjenguk Farah walaupun entah kapan.Saat Nia dan Dila sedang sibuk dengan pembicaraan mereka, tiba-tiba Dion muncul, hingga membuat Nia diam dan tak berani berbicara dengan Dila."Papi, Dila ikut, ya! Kalau Mami pergi ke rumah Nenek lagi, oke?!" seru Dila dengan riangnya."Mamimu itu jalan-jalan bersama
Dion masih betah berlama-lama di ruang kerjanya. Padahal, dia hanya duduk diam saja di sana--tanpa berganti pakaian sama sekali.Meskipun malam semakin larut, tetapi tetap tidak ada keinginan dalam dirinya untuk melakukan apa pun.Sesaat kemudian, Dion pun mengacak rambutnya. Sungguh, pria itu bingung dengan dirinya sendiri.Hingga akhirnya, Dion memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya. Beristirahat mungkin bisa membuat dirinya lebih baik.Namun, sesampainya di kamar, Dion malah melihat Nia sedang duduk di sudut kamar sambil menangis.Sontak membuat Dion bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi pada wanita tersebut? Bahkan, sampai Nia tak menyadari kehadirannya sama sekali.Mungkinkah karena dirinya yang terlalu kasar tadi, hingga membuat wanita itu bersedih?"Ehem...." Dion pun berdehem.Mendengar suara pria itu, Nia pun tersadar. Segera Nia mengusap air matanya dengan gerakan cepat."Tuan...." Nia pun bangkit, sambil meremas pakaiannya.Masih dengan wajah sembab dan mata yang ber