Pemandangan yang begitu menenangkan tetapi tak bisa menjadi obat kesendirian. Kesadaran yang tersisa semakin menyiksa sehingga pria itu beranjak dari tempatnya. Langkah kaki berjalan meninggalkan balkon dan kembali memasuki kamar yang masih menyala terang. Lirikan mata tertuju pada ranjang king size dimana Naya sudah merebahkan diri memeluk mimpi.
Melihat itu, ia tak ingin mengganggu. Lagipula pada kenyataannya pernikahan mereka berdua hanya di atas kertas tanpa ada ikatan hati, apalagi ikatan batin. Setelah mengambil minuman dari lemari yang menjadi wadah kulkas mini. KIng kembali ke balkon untuk menikmati malam sambil meneguk minuman yang bisa menghilangkan segala pikiran serta beban hati.Semribit angin malam tak mempengaruhi pria itu karena suhu tubuhnya semakin panas akibat minuman. Sebotol sampanye tandas tak tersisa berpindah ke dalam perut yang dihabiskan selama dua jam sebagai teman kesendirian. Entah sudah berapa lama ia menikmati tekanan karena menyimpan rasa yang kian membakar kedamaian, hingga samar-samar pandangan mata melihat langkah kaki sedang berjalan menghampirinya."Jangan mendekat!" King berusaha mencari sandaran tetapi tubuh lemah akibat minuman malah sempoyongan karena tidak kuat menopang bobot raganya sendiri.Niat hati menolak seseorang yang berusaha membantunya. Akan tetapi justru berakhir jatuh ke dalam dekapan hangat yang menyambut raganya tanpa keluhan, "Kenapa aku yang harus menikahi gadis itu ...," Racauan King cukup menyentak kesadaran Naya. Dimana wanita itu berusaha menahan beban berat tubuh suaminya yang memang bisa dikatakan begitu tak sebanding dengan tubuhnya sendiri. Apa yang terjadi dan kenapa keluhan yang keluar dari bibir King terdengar begitu menyedihkan. Apakah sang mantan kekasih memiliki masalah pelik?Seharusnya saat ini, hanya ia yang merasa diperlakukan tidak adil, tapi kenapa justru King meracau hal sama? Bukan lagi menjadi rasa penasaran sesaat karena baru beberapa jam setelah menikah dan sikap aneh King sukses semakin menarik perhatiannya. Meski begitu ia tak tahu harus melakukan apa dan memulai darimana.Perlahan Naya merebahkan tubuh King ke atas ranjang seraya menahan kepala suaminya agar tidak jatuh terlebih dahulu. Meski terasa begitu berat hingga keseimbangan tak bisa dijaga, "astaghfirullah, maaf gak sengaja," Naya mengusap kening King setelah kepala keduanya saling bertabrakan akibat tak mampu menahan bobot raga suaminya.Niat hati ingin bangun dari posisinya yang cukup intens tanpa jarak dari raga sang suami. Apalagi ia berada di atas tubuh King yang masih meracau tak jelas, tapi tiba-tiba ada tangan yang merengkuh pinggang dan tanpa di sengaja King menariknya hingga ia tak bisa berkutik. Aroma alkohol yang tercium cukup menusuk hidung bersambut deru yang mengusik sisa ketenangannya."King!" Naya memanggil King dengan lirih seraya berusaha melepaskan cengkraman tangan yang melingkar di pinggangnya.Namun sayang, King semakin memeluknya erat seolah tengah menikmati pelukan guling nan empuk. Pria itu benar-benar terbuai akan kehangatan yang tanpa dia sadari telah mencuri ketenangan sang istri. Malam kian menjelaga berteman arak awan nan temaram. Semilir embusan angin yang menerpa menyusup menghantarkan kesunyian malam.Suara detak jantung kian terdengar begitu jelas seiring waktu bersambut deru napas teratur dari wanita yang lelah berusaha melepaskan diri dari pelukan sang suami. Tangan kekar enggan tuk mengalah hingga perlahan mulai merenggang, lalu sepenuhnya melepaskan raga Naya di atas ranjang."Kamu memang istriku, tapi bukan milikku. Sampai kapanpun, pernikahan ini hanya sebatas status yang tidak bisa kulepaskan sampai dia kembali. Istirahatlah! Mulai besok hidupmu akan berubah, Naya."King beranjak dari tempatnya dengan begitu hati-hati agar Naya tidak terbangun. Langkah kaki berjalan menjauh dari ranjang. Jujur hati merasa tak pantas untuk mempermainkan perasaan banyak orang, hanya saja ia tak bisa berdiam diri ketika melihat permohonan kecil dari orang yang sangat dirinya cintai.Sakit hati akan kenyataan yang harus dijalani. Akan tetapi ia tak selemah itu hingga menyerah oleh keadaan, apalagi menurut para emosi hati. Ditutupnya pintu kamar tanpa menimbulkan suara, lalu melanjutkan perjalanan menuruni anak tangga karena ia ingin merenung sekali lagi.Suasana kediaman Matthew begitu sunyi senyap seakan tak berpenghuni. Bagaimana tidak sepi seperti kuburan, jam dinding saja menunjukkan pukul tiga dini hari. Sudah pasti seluruh penghuni tengah terlelap menikmati alam mimpi masing-masing kecuali para penjaga yang bertugas menjaga keamanan.Menghela napas panjang untuk kesekian kalinya dengan rasa malas yang menyapa. Entah kenapa ia tak bisa tenang, apalagi di dalam kepala seperti terjadi perang perbatasan yang tidak berkesudahan. Ramai melebihi suara pendemo yang berteriak-teriak meminta harga BBM diturunkan oleh pemerintah."Sampai kapan aku sibuk memikirkan hal sama?" tanyanya pada diri sendiri.King benar-benar aneh. Pertanyaan yang dirinya ajukan akan memiliki jawaban sama bahkan meski esok ditanyakan lagi. Maka jawaban tak mungkin berubah. Hanya saja ketika hati masih mempermasalahkan tindakan, tentunya berakhir ketidakpastian. Ada keraguan yang tak bisa dia singkirkan dan itu mengubah persepsi dalam ketidaknyamanan.Di tengah kegundahan hati bersatu dengan kemelut pikiran tiba-tiba terasa ada tangan yang menyentuh pundak kanannya. Aroma parfum yang cukup familiar membuatnya enggan menoleh melihat siapa yang datang, tetapi ia tak bisa melarang ketika seseorang itu ikut duduk di tangga menyisakan jarak sepuluh senti di antara mereka berdua."Apa kamu siap mengambil alih tempatnya?" Satu pertanyaan meluncur tanpa rasa sungkan menyatakan sisa harapan yang tidak pernah ia bayangkan.Di tengah kekaguman akan ciptaan Sang Penguasa Alam tiba-tiba dikejutkan suara keras ketukan pintu kasar. Entah yang mengetuk pintu tak memiliki sopan santun atau memang sedang terburu-buru. Apapun alasannya, satu hal pasti sudah membangkitkan rasa kesal dari dalam hati. "Ck! Ganggu orang seneng aja," gerutunya tetapi tetap melangkah mendekati papan kayu yang setinggi hampir dua meter. Lalu, ia putar knop meski rasa malas menyapa, "Elo, gak bisa sabar dikit gitu jadi human?""Halah, rumah sendiri ini, suka-suka aku donk." timpal si pendatang seraya melemparkan sebuah dokumen bersampul transparan ke penghuni kamar yang berdiri menghalangi pintu. Bukannya tidak paham, apalagi tak mengerti akan situasi apalagi waktu. Baginya pekerjaan lebih penting daripada harus memeluk sikap kalem. Sebab tidak hari tanpa tekanan sang majikan dan seluruh penghuni tempat mereka berpijak tentu sangat hapal peraturan di luar kepala masing-masing. Lalu, untuk apa dia merasa sungkan? "Gue gak peduli. Poko
Penantian yang dinantikan nyatanya hanya memakan waktu kurang dari sepuluh menit hingga seorang pria dengan perut nan buncit datang menghampiri. Nama pria itu ialah Pak Didit yang memiliki peran penting karena bertanggung jawab atas setiap bangunan sebelum pindah ke tangan pemilik sah. Menurut informasi, pria satu itu juga tinggal tak jauh dari perumahan elit tetapi tidak menjadi salah satu pemilik unit sebab perusahaan telah menyediakan rumah berbeda. "Selamat malam, Tuan. Maaf udah buat Anda nungguin saya lama. Mari saya antar ke kediaman Anda sembari membicarakan prosedur terakhirnya!" Pak Didit tanpa basa-basi langsung mengajak King untuk meninggalkan parkiran. Meski mereka berdua terpisah di kendaraan berbeda sepanjang perjalanan menuju kediaman sang pemilik properti. Bangunan berlantai tiga dengan desain modern dimana dari luar tampak deretan dinding kaca tertutup tirai. Akan tetapi dengan pagar setinggi satu meter lebih membuat pandangan dari luar tidak bisa melihat secara me
Namun, apa gunanya mengkhawatirkan seseorang yang selalu siap menjalani lika-liku kehidupan. Bukan karena tuannya itu memiliki kekuasaan tetapi ia percaya akan setiap langkah sang atasan selalu berdasarkan perhitungan. Selain itu, tanggung jawab yang harus ia penuhi adalah memastikan keamanan dari pasien. Tentu saja tidak ada tempat untuk dirinya bersantai. Oleh karena itu, kaki melangkah kembali masuk ke dalam rumah sakit tapi bukan ke ruang ICU melainkan ke salah satu lorong dimana ruangan dokter yang menangani Mrs. varsha berada. Ia harus memastikan pengaturan yang diinginkan atasannya terpenuhi tanpa mengalami masalah apapun. Sementara di sisi lain, King sendiri fokus menyetir dimana perjalanan malam akan sangat membosankan karena tak ada teman sepermainan. Bagaimana kesunyian begitu enggan meninggalkan kesendirian di tengah hiruk pikuk kendaraan yang juga berlalu lalang di luar sana. Sesaat fokus teralihkan pada kerlap-kerlip lampu jalan yang menjadi bintang jalanan. "Kenapa o
Kekacauan di jalan raya itu tak bisa dihindari bahkan kemacetan pun kian menjadi. Akan tetapi tidak menghalangi laju kendaraan beberapa ambulans yang meninggalkan lokasi kejadian kecelakaan. Suara sirine terdengar mengaung membelah jalanan yang mana membuat orang-orang pemilik kendaraan lain membiarkan tanpa mengeluh sebab mereka tahu nyawa di dalam kendaraan milik rumah sakit sedang dipertaruhkan. Begitu juga dengan para perawat yang sudah berusaha sekuat tenaga untuk memberikan pertolongan pertama pada pasien. Hingga pada akhirnya mereka hanya bisa menunggu sampai di rumah sakit untuk melanjutkan pengobatan dari pasien yang mengalami kecelakaan. Jarak yang ditempuh memerlukan waktu kurang dari tiga puluh menit dan itu pun tanpa halangan selain berpacu pada waktu. Pihak rumah sakit langsung menyambut para pasien begitu mobil ambulans berhenti di lobi. Kemudian mengeluarkan satu per satu brankar diterima oleh beberapa dokter berbeda. Penanganan telah berpindah tangan tetapi peng
Aya tersenyum meski rasa di dalam dada terasa panas membara. Entah kenapa ia tiba-tiba memikirkan sesuatu yang tidak seharusnya. Mungkin karena beberapa hari terakhir lebih banyak memiliki waktu senggang atau sebatas terlalu memikirkan banyak hal secara bersamaan. Apapun alasannya, ia merasa kehilangan semangat. "Gak kok, Suamiku. Yuk, kita ke bawah buat sarapan." ajak Aya dengan manja dimana ia menggandeng tangan kanan suaminya. Langkah kaki berjalan bersama menyusuri lantai marmer menuju anak tangga yang ada di depan sana. Terkadang sikap menghadirkan kebenaran tanpa kata-kata. Bahkan tidak setiap pernyataan bisa menjadi fakta yang sebenarnya. Begitu juga dengan perasaan dimana selalu terpancar dari tatapan mata. Bagi mereka yang peka, maka perubahan sekecil apapun bisa terasa. Namun, seringkali manusia melupakan hal paling sederhana yaitu berusaha terbuka pada pasangan sendiri. Raga pemilik jiwa bukan seorang peramal, sebab itu agar pasangannya memahami isi hati dan pikiran, ten
Setelah kepergian sang istri, akhirnya King beranjak dari tempat tidur. Pria itu tidak ingin membuat Naya terbawa perasaan hanya karena keberadaannya. Terlebih lagi hubungan mereka hanya sebatas di atas kertas. Sejak awal adalah orang asing, maka sampai kapanpun akan tetap asing. Begitulah pikirnya yang mana sesuai dengan fakta tanpa melupakan kebenaran. Ia pun tidak berniat untuk mengingkari janji yang telah ia buat secara sadar walau demi kepentingan diri sendiri. Jika belenggu emosi bisa ia hindari, lalu apa gunanya untuk menghadirkan kesempatan mengenal satu sama lain? Langkah kaki menyusuri anak tangga dengan santainya dan tatapan mata fokus ke depan tidak teralihkan oleh hal lain. Sejujurnya, dia enggan untuk tetap tinggal di rumah Matthew. Akan tetapi mengingat situasi lebih baik menjaga jarak untuk memastikan tidak ada kecurangan. Apalagi tindakan di luar batas yang hanya untuk mengancamnya. "Selamat pagi, Tuan Muda. Mau bibi buatin teh atau kopi?" Seorang pelayan langsung