LOGINRayden mengira apa yang ia lakukan adalah keputusan yang tepat. Dalam benaknya, ia baru saja menyelamatkan Anya dari makanan yang menurutnya gagal total, meskipun ia sendiri yang memasaknya. Ia hanya sedang malas keluar unit apartemen, apalagi memesan makanan. Lalu mencoba memasak sendiri, dan gagal.Namun ada satu hal yang luput dari perkiraannya. Anya merajuk.Perempuan itu tak berkata apa-apa. Diam membisu. Sikap yang sama sekali baru bagi Rayden, dan justru itulah yang membuatnya gelisah.Anya duduk di ujung sofa, tubuhnya sedikit menyudut, seakan menjaga jarak. Matanya menatap layar televisi dengan fokus yang dibuat-buat. Tayangan berganti, suara terus mengalun, tetapi Rayden tahu perempuan itu sama sekali tidak sedang menonton.“Sebentar lagi, makanan yang saya pesan datang.”Hening. Tidak ada jawaban dari Anya yang terlihat menekukkan wajahnya.“Kamu marah?”Perlahan Anya mendongak menatap laki-laki itu.”Menurut Bapak saya bagaimana?”Rayden tertegun dengan jawaban perempuan i
Deru napas mereka berdua tak beraturan setelah Rayden melepaskan tautan bibir mereka berdua. Untuk beberapa saat mereka berdua saling berpandangan sampai Rayden mengalihkan pandangannya ke arah perut Anya.Tangannya yang telah menyingkap baju perempuan itu, mengusap perut yang sudah sangat membentuk. Rayden memandangi dengan lekat, membayangkan bayi mungil dari darah dagingnya lahir.Namun, pikirannya langsung terngiang dengan perkataan sang papa. Entah mengapa hal itu membuatnya was-was, merasa apa yang orang tuanya katakan bukan gertakan semata.“Jangan kabur-kaburan seperti ini lagi,” ucap Rayden dengan napas yang menderu berat.Seakan terhipnotis dengan manik abu-abu kehijauan laki-laki itu, Anya mengangguk patuh.Rayden kembali duduk ke posisinya dan kembali menyalakan mobilnya, sementara Anya segera menutup kembali perutnya. Ia tertunduk malu sambil mengusap cairan basah di bibirnya yang sebelumnya saling bertautan. Anya masih bisa merasakan aroma mint yang menempel di bibirnya.
Anya memandangi sejenak pantulan dirinya di cermin. Rambutnya telah terikat rapi, pakaiannya pun sudah berganti. Setelahnya ia melangkah keluar dari kamar mandi.Di meja kecil dekat brankar, makanan telah tersaji. Sepertinya petugas rumah sakit baru saja mengantarkannya. Padahal Anya sebenarnya sudah diperbolehkan pulang karna kondisinya membaik, dan yang paling ia syukuri, kandungannya baik-baik saja.Ia mengangkat nampan berisi bubur tersebut dan membawanya ke sofa. Meski nafsu makannya belum sepenuhnya kembali setelah semalaman muntah banyak, Anya tetap berniat menghabiskannya. Sayang jika dibiarkan, lagipula tubuhnya tetap membutuhkan tenaga.Di sela-sela Anya menyuapkan bubur yang terasa hambar dengan potongan daging ayam, perhatiannya teralihkan oleh kemunculan David.Laki-laki itu langsung tersenyum begitu melangkah masuk ke dalam ruangan. Anya pun mengangkat wajahnya dan membalas sapaan tersebut dengan senyum tipis.“Saya ke sini untuk menjemput Anda. Tuan Rayden berhalangan,”
Anya menunduk, rasa malu dan tak enak hati menyesaki dadanya ketika melihat brankar yang terlihat kotor dan menjijikkan akibat muntah yang tak sempat ia tahan. Cairan itu membasahi sprei dan menodai lantai, membuatnya ingin lenyap seketika. Ia melirik Rayden dengan wajah pucat, namun laki-laki itu tak menunjukkan raut terganggu sedikit pun, meskipun sebelumnya mengomel. Dengan nada tenang, Rayden memanggil petugas rumah sakit yang masih berjaga di malam itu. “Tolong ganti semuanya. Sprei, selimut, bersihkan juga lantainya.” Dua petugas itu segera mengangguk. Salah satunya menarik sprei yang kotor, sementara yang lain berjongkok membersihkan lantai dengan sigap. “Jangan makan terlalu banyak lagi. Lihat sendiri akibatnya. Semua yang kamu makan terbuang percuma,” ucap Rayden dengan nada datar, namun sarat teguran. Anya yang duduk di sofa hanya mampu mengangguk pelan. Pandangannya tertuju ke lantai, bahunya sedikit menegang. Ia tak sanggup membalas, apalagi menatap mata tajam lak
Lebih dari satu jam Anya menunggu-nunggu makanan itu datang, namun tidak ada tanda-tanda. Rayden pun keluar dari ruangan ini, entah ke mana laki-laki itu pergi.Sampai pintu ruangan itu terbuka dan tampak sosok Rayden muncul sambil menenteng plastik putih. Senyuman Anya tentu langsung mengembang, namun ia berusaha menyembunyikan rasa bahagianya.Laki-laki itu meletakkan semua makanan yang ia bawa ke atas meja. Tak lupa mengambil piring yang tersedia di ruangan itu.“Habiskan ini dulu, baru saya berikan makanan lainnya,” ucap Rayden. Anya mengangguk patuh.Perempuan itu langsung duduk bersandar di brankar, ia langsung menyambut piring berisi sate itu dari tangan Rayden. Tanpa menunggu lama, Anya langsung menyantapnya dengan lahap. Tidak memberikan jeda sedikitpun untuk mulutnya kosong, terus ia masukkan.Namun, gerakkan Anya terhenti ketika merasakan sesuatu. Perlahan ia mendongak dan pandangannya langsung bertemu dengan Rayden yang tengah menatap ke arah dirinya.“Maaf Pak…,” Anya men
Kelopak mata perempuan itu tampak mengerucut dan perlahan terbuka dengan pelan. Anya menyipitkan matanya ketika matanya langsung bertemu dengan cahaya lampu di langit-langit.Ia menatap ke sekeliling ruangan, ingatannya seketika menerawang pada kejadian ia terjatuh ditangga, dan sekarang ia berada di sini.Kening Anya mengernyit ketika ia merasa tangan kanannya terasa berat, begitu menoleh ia terkejut melihat sosok Rayden tertidur di samping brankarnya, dengan kepala bersandar di sisi brankar.Apa jangan-jangan Rayden yang membawanya ke sini? Perlahan Anya menarik tangannya yang digenggam oleh laki-laki itu dengan hati-hati. Pandangannya kembali terpaku pada sosok Rayden, semakin ia telisik laki-laki itu mengenakan pakaian formalnya. Sepertinya Rayden baru pulang, dan langsung membawanya ke sini.Anya memegang bagian keningnya yang terasa ngilu. Pasti ini bekas luka karna ia jatuh dari tangga tadi. Beberapa menit, Anya diam dalam kesunyian ruangan itu.Ia memegang perut bawahnya, mer







