Sebuah tarikan pelan di bajunya yang diiringi rengekan, membuat Jingga mengalihkan tatapannya dari pemandangan laut, ke arah Oliver yang duduk di babychair di sampingnya.“Ada apa, Sayang?” tanya Jingga dengan lembut seraya merapikan rambut Oliver yang terbang tersibak angin.Mengerti pertanyaan ibunya, anak itu menunjuk-nunjuk piring kosong di hadapannya, sementara mulutnya penuh dengan buah pisang yang tengah ia kunyah.“Ooh... mau tambah lagi pisangnya?”Oliver mengangguk cepat. Jingga terkekeh pelan melihat tingkah putranya yang hobi makan pisang itu.Jingga mengupas satu buah pisang dan memotongnya menjadi potongan kecil, lalu ia taruh di piring Oliver. Sejenak Jingga memandangi anak itu yang tampak bersemangat. Matanya bersinar ceria, membuat Jingga tersenyum karena sorot matanya mengingatkannya pada Davin.Apa kabar pria itu sekarang?Jingga menghela napas berat.Ternyata pergi ke Bali tak lantas membuat ia lupa pada Davin. Tapi justru Jingga semakin merindukannya.Namun di bal
Davin berhasil menemukan lokasi Jingga dan Amarylis setelah ia meminta bantuan seseorang yang ahli di bidangnya. Ia tiba di restoran itu dan langsung disuguhi pemandangan yang membuat dadanya terasa terbakar.Bagaimana tidak?Di meja yang ada di dekat pagar pembatas sana, Jingga terlihat sedang duduk dengan seorang pria, ada Oliver di tengah-tengah mereka.Keduanya mengobrol dengan serius dan tampak akrab, sesekali Jingga mengangguk sambil tersenyum antusias, membuat Davin mengepalkan tangan menyaksikannya.Tanpa tunggu lama Davin segera melangkahkan kakinya mendekati meja tersebut. Lalu berhenti dan berkata, “Aku cari ke mana-mana. Ternyata... istriku sedang asyik mengobrol di sini, ya?”Ia memperhatikan wajah Jingga yang seketika berubah kaget, sepasang mata indahnya yang Davin rindukan itu kini terbelalak.“Bagaimana? Apakah menyenangkan mengobrol dengan pria lain di sini, Sayang?” tanya Davin lagi, ia sempat melirik dingin pada pria bule—yang juga tengah menatapnya penuh keherana
Di meja kosong, ia duduk sendirian di tengah ingar bingar club malam. Matanya mengedar ke sekeliling, lalu mengembuskan napas kasar begitu ia menemukan tiga orang pria yang terus mengikutinya ke manapun ia pergi.“Selamat malam, Pak Vincent,” sapa bartender yang menyerahkan pesanannya. “Ini minuman pesanan Anda.”Vincent mengamati bartender yang amat dikenalinya itu, lalu mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam saku jaketnya. Di antara telapak tangan dan bungkus rokok itu terselip kertas.“Pak Danish ada?” Vincent bertanya mengenai teman Davin pada bartender yang masih berdiri di sampingnya itu.“Pak Danish baru saja keluar beberapa menit yang lalu. Ada yang ingin Anda sampaikan?”Vincent melirik tiga pria mata-mata itu. Setelah memastikan mereka tidak melihat ke arahnya dan asyik mengobrol, Vincent menyerahkan secarik kertas tadi pada sang bartender.“Berikan ini pada Pak Danish kalau kamu bertemu dia. Pastikan pesan ini sampai ke tangannya. Ini sangat penting.”Bartender mengangguk,
Davin membuka matanya pagi itu. Dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Oliver yang tertidur nyenyak, berbaring miring menghadapnya. Davin tersenyum, ia mendekatkan hidungnya ke mulut Oliver yang setengah terbuka. Harum mulut bayi yang khas membuatnya candu.“Kita berhasil melewati hari itu, Nak,” bisik Davin, “mamamu selamat dan kamu akan tumbuh besar didampingi dia.”Sudut bibir Oliver tersungging dalam tidurnya, entah karena dia sedang bermimpi indah atau karena dia mendengar dan mengerti akan ucapan ayahnya barusan. Davin ikut tersenyum.Harum aroma kopi yang menguar, membuat Davin segera turun dari ranjang dan melangkah keluar kamar.Ia mendapati Jingga sedang menggiling biji kopi, membuat hati Davin terasa penuh dan bahagia memandanginya.Rasanya seperti sudah lama sekali ia tidak menjalani pagi hari yang menyenangkan seperti hari ini.“Selamat pagi,” sapa Davin dengan suara serak seraya melingkarkan kedua tangan ke perut Jingga.“Oh? Hai, selamat pagi. Tidurmu nyenya
Davin menggendong Oliver dengan satu tangan, sementara tangan yang lainnya menempelkan ponsel di telinga kanannya. Langkahnya terayun menuju pantai.“Ya Tuhan, Mas... kamu itu kemana saja, sih? Kenapa tiba-tiba menghilang tanpa ngasih kabar ke Mami? Kamu tahu di sini Mami sampai khawatir dan sakit kepala mikirin kamu?”Davin mengembuskan napas kasar mendengar ucapan ibunya yang berlebihan di seberang telepon. Ia tersenyum sejenak pada Oliver, sebelum menjawab, “Aku lagi ada perlu yang sangat penting, Mi. Dan ini urusanku, Mami nggak perlu lagi ikut campur.”“Mas... lalu gimana dengan Chelsea? Apa kamu memikirkan perasaan dia setelah kamu campakkan malam itu?”“Menantu Mami itu Jingga, bukan Chelsea,” tegas Davin, “seharusnya Mami lebih memikirkan perasaan istriku dibanding wanita lain."“Mas! Kamu sendiri tahu kalau bagi Mami Chelsea itu—““Begini saja,” sela Davin sambil terus melangkah di atas pasir. “Besok aku akan pulang. Aku minta tolong Mami undang Chelsea dan keluarganya makan
“Kamu gugup?”“Aku nggak gugup,” sanggah Jingga.Davin tersenyum. Ia mengelus belakang kepala Jingga dengan lembut. Lalu ibu jari tangan yang satunya lagi menyentuh dagu Jingga dan sedikit menariknya ke bawah, membuat Jingga menghentikan kegiatannya yang tengah menggigit bibir.“Jelas-jelas kamu gugup,” ucap Davin lagi dengan tatapan lembut. “Tangan kamu dingin, dan kebiasaanmu selalu menggigit bibir seperti ini kalau sedang gugup.”Akhirnya Jingga mengangguk seraya mengembuskan napas pelan. Ia menatap pria yang duduk di sampingnya dengan setelan semi formalnya—kemeja hitam yang digulung hingga siku dan celana hitam.“Aku memang masih gugup ketemu... orang tua kamu,” aku Jingga, “apalagi setelah kecelakaan yang menimpa kamu. Sepertinya kepercayaan mereka sama aku semakin menipis, atau bahkan nggak ada sama sekali.”Davin menarik kepala Jingga mendekatinya, lantas dikecupnya kening wanita itu cukup lama. “Jangan gugup. Selama ada aku di sisi kamu, kamu akan baik-baik saja. Ayo, kita tu
“Kamu, Chelsea, adalah dalang di balik kecelakaan itu. Kamu sengaja menyuruh seseorang untuk mencelakai istriku!”Tak ada yang tidak terkejut di ruangan itu kala mendengar ucapan Davin yang tegas dan tajam.Chelsea terkesiap, matanya terbelalak penuh kepanikan dan kebingungan. Ia membuka mulut, hendak membela diri, tapi Davin tidak memberinya kesempatan.“Kamu benar-benar lebih buruk dibanding dugaanku,” desis Davin dengan rahang mengeras."Dia tidak tahu apa-apa!" protes Emran, berusaha untuk melindungi anaknya."Tetapi Om tahu, bukan? Om tahu apa yang Chelsea rencanakan dan Om diam membantu menyembunyikannya," Davin menatap tajam ke arah Emran dan Nita. "Om juga bertanggung jawab atas perbuatan ini."Emran tersentak karena tudingan yang dilontarkan oleh Davin. Wajah Emran memerah, menahan amarah. “Kamu tidak bisa bicara sembarangan, Davin! Kamu tidak memiliki bukti dan saya bisa melaporkanmu atas pencemaran nama baik!”Davin tersenyum samar. “Apa menurut Om... saya tipe orang yang a
Jingga menghapus sisa make up nya di depan cermin lebar. Bahkan dari dalam kamar mandi inipun Jingga masih bisa mendengar suara Davin yang tengah menelepon seseorang di kamar mereka. Entah siapa yang Davin hubungi, tapi Jingga yakin suaminya sedang memiliki urusan penting terkait kasus Chelsea dan ayahnya.Jingga mencuci muka dengan air yang mengalir dari keran. Ia menutup keran itu, lalu berdiri terpaku menatap wajahnya yang basah di depan cermin.Sebegitu bencinya kah Chelsea terhadapnya? Jingga bertanya-tanya dalam hati.Sampai-sampai Chelsea rela melakukan hal keji untuk melenyapkannya?Jingga lantas keluar dari kamar mandi dan melihat Davin masih menelepon. Tak ingin mengganggu pria itu, Jingga mengganti pakaiannya terlebih dulu di walk in closet dan kembali ke kamar dengan pakaian tidur. Setelah mengaplikasika skin care rutinnya, barulah Jingga naik ke tempat tidur.Dan pada saat yang sama, Davin menoleh ke arah Jingga. “Cukup sampai di sini dulu pembahasannya. Saya lanjutkan be