Share

BAB 2

"Kenapa itu muka sepet amat?" tanya Surya setelah menghampiri karibnya di konter bar.

Pengunjung sedang agak sepi jadi gadis itu bisa sedikit santai sekarang.

"Kepala gue mau meledak rasanya, Ya."

"Lo cari penyakit sih, udah gue bilang jangan belanja banyak-banyak. Lo malah kalap kayak orang kesetanan, pening kan lo sekarang tagihan kartu kredit membengkak.”

"Bukan cuma itu, Ya. Gue juga lagi dikejar-kejar rentenir selama satu minggu tetakhir. Belum bayar hutang bulan ini. Enggak ada proyekan lagi gitu yang bisa bikin gue dapet uang gede dengan cepat. Kagak apa-apa deh, gue rela menemani aki-aki mabuk juga. Nanti tinggal gue kasih obat tidur aja, selamat deh gue kayak biasanya."

"Belum ada kalau sekarang-sekarang, sebenarnya gue ngeri tahu biarin lo jadi guide mereka, takut lo tiba-tiba dijebol aki-aki kan gue yang repot."

"Gue pemegang sabuk hitam taekwondo, Ya, lo kagak usah khawatir. Gue juga mikir sebelum bertindak. Males banget dih main sama aki-aki, kalau sama cogan mah masih bisa dikondisikan."

Surya langsung memukul kepala kawannya dengan ponselnya.

"Otak lo tuh, ya, di saat lagi stres mikirin hutang juga masih sempet-sempetnya bayangin bercocok tanam sama cogan."

"Ya kan kalau Kuyaaaa!"

Surya atau yang sering disebut Kuya oleh Ratu ini adalah seorang manajer di tempat Ratu bekerja sekarang. Ia dan Ratu sudah berteman sejak di bangku kuliah, mereka satu circle, satu selera, dan memiliki akhlak yang sebelas dua belas. Itulah yang membuat keduanya betah berteman lama-lama.

"Udah, kagak usah kebanyakan berandai-andai, lu kerja aja yang bener malam ini. Nanti gue mintain kasbon ke Mami supaya gaji lo dibayar di muka. Biar itu lintah darat kagak ngincer lu mulu, seenggaknya untuk bulan ini."

"Uuhhh, makasih Kuyaku, bangga banget gue punya temen banyak jasanya kayak lo."

"Dih, jijik!" balas Surya sambil melengos pergi meninggalkan Ratu yang kembali melanjutkan pekerjaannya.

"Ratu, lu dipanggil tamu di VIP 1, tuh!" ujar salah seorang pelayan.

"Gue?"

"Iya."

"Buat apa?"

"Enggak tahu, samperin aja dulu. Orangnya agak rewel, bahaya kalau dia lapor ke Mami."

"Oke, thanks."

Walaupun awalnya sempat ragu dan bertanya-tanya, akhirnya Ratu memutuskan untuk menemui tamu itu agar semua dahaga penasarannya tuntas.

***

"Bagaimana saturasi oksigennya?"

"Saturasi oksigennya sudah kembali normal, Dok."

"Oke, kita lanjut, pisau bedah!" kata dokter itu sambil menengadahkan tangannya namun benda yang dia minta tak kunjung ia dapatkan.

"Pisau bedah!" tekan sang dokter dengan volume suara meninggi membuat orang-orang di dalam ruang operasi itu tersentak.

Kini ketegangan yang melingkup di sana tidak hanya bersumber dari situasi operasi melainkan dari kemarahan sang dokter yang terkenal perfeksionis dan bejat dalam menghukum orang-orang yang menurutnya salah atau lalai. Dokter muda yang kena amuk itu pun langsung meminta maaf karena kurang fokus. Ia segera mengambil pisau bedah yang diminta seniornya namun tanpa sengaja dokter muda itu menjatuhkannya ke lantai.

Trang!

Tiga puluh detik terbuang untuk sebuah kelalaian yang tidak perlu. Rezan, dokter senior yang memimpin operasi itu pun langsung menatap nyalang juniornya. Dengan tangan gemetar, sang dokter muda mengambil pisau bedah baru. Sayangnya bukannya diterima, Rezan justru mengambil pisau itu lalu dilempar ke sembarang arah sampai terdengar bising yang khas. Semua orang di sana tertegun, tak bersuara.

"Keluar!" kata Rezan penuh tekanan dan amarah.

"Ma—maafkan saya, Dok, saya—"

"KELUAR!!!"

Jantung semua orang nyaris copot, apalagi orang yang kena amuk Rezan, rasanya ia seperti kehilangan separuh jiwanya. Dengan langkah gontai dan rasa syok, dokter muda itu pamit dan keluar dari ruang operasi. Sisa tim yang ada di dalam sana pun kembali melakukan tugas mereka masing-masing dengan lebih fokus.

Dua jam kemudian...

"Dokter Rezan ngamuk lagi?"

"Justru aneh kalau dia tidak mengamuk, si Adit memang sembrono, sih. Sudah tahu sedang praktik dengan dokter killer malah tidak fokus, ya harus bisa terima akibatnya."

"Hihhh, aku tidak bisa membayangkan setegang apa suasana di ruang operasi tadi."

"Lebih menegangkan daripada segala jenis ujian pokoknya."

"Dokter Rezan kapan berubah ya, padahal kalau dia mau sedikit lebih lembut saja pada orang lain, aku yakin dia akan jadi dokter idola."

"Sekarang pun meski dengan keangkuhan level langit ketujuh, dia masih dikagumi banyak orang."

"Ah, benar juga, dasar kaum good looking."

Brukk!!

Seseorang menabrak sekumpulan suster dan dokter yang tadi bergosip di koridor lantai empat itu.

"Hati-hati kalau jalan dong, Mbak!" tegur salah seorang perawat pada orang yang tadi berlari kesetanan dari arah lift sampai menabrak mereka semua.

"Maaf, maaf, saya tidak sengaja!" ujar orang itu kemudian lanjut berlari lagi sambil memegangi pergelangan tangannya yang dibalut perban.

“Aduhh, ini gue harus lari ke mana lagi? Mana mereka masih ngejar,” batin Ratu risau.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nauva Silvia Dewi
kalo panik gini keknya Ratu nih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status