Share

Istri Manja Dokter Garang
Istri Manja Dokter Garang
Author: Senchaaa

BAB 1

Besar pasak daripada tiang.

***

"Aku bukan orang jahat jadi tolong lindungi aku kali ini saja."

Rezan tidak terpengaruh, ia berniat membukakan pintu namun sekali lagi, Ratu menggagalkannya. Ia tarik tangan Rezan kemudian melingkarkan tangan pria itu ke tubuhnya, Ratu melompat cepat dan melilit pinggang laki-laki itu dengan kakinya. Ratu mencium paksa sang dokter yang masih terkejut, berusaha terus mendobrak pertahanan Rezan yang tampak ingin menyudahi ciuman mereka. Punggung Ratu membentur tembok, kini ia terkunci di sana dengan tubuh Rezan masih mengimpitnya dalam dekapan panas.

Rezan pun tampaknya mulai malas melakukan perlawanan, ia biarkan saja Ratu melakukan apa yang ia mau tanpa berniat melayani. Ratu mengecup leher pria itu dan kembali mencium bibir Rezan, apalagi ketika pintu berhasil dibuka, gadis itu semakin memperdalam ciumannya dan menyembunyikan wajahnya di balik wajah Rezan. Orang-orang yang membuka paksa ruangan itu langsung salah tingkah disuguhi pemandangan yang tidak senonoh. Rezan berbalik, menatap dingin orang-orang itu.

"Ada apa?" tanyanya.

***

Satu hari sebelumnya ...

Mulut Ratu menganga membaca laporan tagihan bulan ini yang melebihi ambang batas kemampuan dompetnya. Tidak seharusnya dia terlena dengan barang-barang yang sebenarnya tidak gadis itu butuhkan. Inilah kekurangan Ratu, dia suka kalap kalau sudah dipertemukan dengan tas, sepatu, pakaian, dan aksesoris yang menyilaukan matanya. Ratu tidak bisa tidur tenang jika tidak membawa pulang barang-barang yang melambai-lambai cantik ke arahnya sepanjang mata memandang. Alhasil, gadis itu lupa bahwa keadaannya sekarang sama sekali berbeda dengan keadaannya yang dulu.

Ratu sudah jatuh miskin, bisnis orang tuanya bangkrut sehingga menyisakan banyak hutang yang melilit gadis itu dan adiknya sampai sekarang. Terhitung sudah tiga tahun sejak orang tuanya meninggal dalam kecelakaan dan gadis itu menjalani kehidupan sebagai orang serba kekurangan tapi jiwa sosialitanya tak kunjung padam. Ratu ingin mengubah kebiasaannya tapi ia tak sanggup, gadis itu selalu memegang teguh prinsip bahwa ia dilahirkan sebagai RATU dan akan tetap hidup seperti itu apa pun kondisinya. Prinsip yang sungguh tidak mawas diri memang tapi mau bagaimana lagi, Ratu benar-benar tidak sanggup meninggalkan gaya hidupnya yang dulu.

"Seratus juta? Gila, tagihan kartu kredit gue banyak banget. Bego, bego, bego! Gaji lo jadi bartender berapa sih, Ratu. Bisa-bisanya lo kalap di momen kayak gini."

Ratu menempel lembar tagihan itu ke permukaan jidatnya, beberapa detik kemudian kepala itu pun terjun membentur meja makan yang terbuat dari kayu. Gadis itu tidak meringis, sakit di keningnya tak seberapa dibanding rasa frustrasi yang tengah menyerang gadis itu saat ini. Bagaimana tidak frustrasi, hari ini adalah jatuh tempo tagihan hutang kedua orang tuanya. Ia harus mencicil warisan hutang itu sebesar 5 juta per bulan. Belum uang sewa rumah yang akan jatuh tempo empat hari lagi. Gadis itu memeriksa isi kulkasnya pun sudah tandas, ia harus segera belanja untuk persediaan satu bulan ke depan sedangkan sekarang, Ratu tidak memegang uang sepeser pun.

"Mati aja lo, Tu, mati!" gumam Ratu sambil terus menjedotkan kepalanya pada meja sampai keningnya memerah.

"Masa gue jual lagi sih tas yang baru gue beli, itu kan limited edition," galau Ratu sambil menimbang keputusan dalam kepalanya.

Jika dihitung-hitung, belanjaan Ratu kalau dijual kembali mungkin akan menghasilkan uang sebesar 50 juta. Sedangkan 50 juta lagi tidak akan kembali karena Ratu menghabiskannya untuk senang-senang. Sekali lagi, gadis ini adalah definisi dari manusia tidak tahu diri. Dia dan hedonismenya sungguh menyusahkan.

Tok tok tok!

Ratu terperanjat dari kursi lalu sembunyi di bawah meja sampai ia meringis tanpa suara karena tak sengaja lututnya terbentur kaki meja.

"Mampus, itu pasti si Bandot dan antek-anteknya. Astaga, kagak bisa apa bikin orang lega dikit. Hobi banget bikin gue jantungan."

Ratu memeluk lututnya sambil merapatkan bibir, ia tahan desakan ingin batuk yang mengusik kenyamanannya sampai mata gadis itu berair dan dadanya sesak. Keadaan ini sungguh menyiksa. Bagai buah simalakama, kalau Ratu batuk maka ia akan mati di tangan para lintah darat. Jika menahan batuk, mungkin gadis itu akan mati karena sesak napas. Mending yang mana? Mati di tangan rentenir atau mati karena menahan batuk? Oh, sungguh, keduanya bukan alasan elite untuk mengakhiri hidup. Tidak keren sama sekali, pikir Ratu.

"Kak, ini Nayla, kakak ada di dalam?" seru seseorang di luar sana.

Mendengar suara sang adik memanggil, Ratu pun bernapas lega lantas ia batuk-batuk keras. Segera gadis itu berlari membukakan pintu lalu menarik Nayla masuk dan mengunci kembali pintu berwarna cokelat itu. Dengan tergesa Ratu mendorong tubuh Nayla agar lebih masuk dan menyuruh adiknya duduk di kursi yang menghadap meja makan.

"Kenapa gelap banget, Kak?" tanya Nayla mendapati ruangan di sana gelap gulita, hanya sebuah lilin yang menyala terang di atas meja.

"Sengaja, biar disangka rumah ini kosong sama tetangga. Si Bandot pasti datang sebentar lagi."

Nayla terdiam, menyaksikan ekspresi panik kakaknya lekat dalam temaram cahaya lilin di sekitar mereka. Tiga tahun sudah Nayla melihat kakaknya kepanikan seperti ini, setiap akhir bulan maka Ratu kehilangan momen untuk bernapas lega. Seolah setiap detik ada peluru yang siap menembak isi kepalanya, dia begitu sigap, waspada, dan terkadang ketakutan. Nayla tidak tega.

"Hutang kita pada mereka seberapa banyak, sih, Kak? Sudah tiga tahun Kakak mencicil tapi belum lunas juga."

Sejak awal, Nayla memang tidak pernah diberitahu nominal hutang yang diwariskan orang tua mereka. Ratu selalu menanggungnya sendiri dan berkata bahwa hutang itu tidak terlalu banyak dan sebentar lagi akan lunas. Awalnya Nayla percaya, makanya dia tidak pernah terlalu ambil pusing masalah itu tapi akhir-akhir ini—seiring dengan seringnya para rentenir menagih ke rumah kontrakan mereka, Nayla mulai curiga bahwa hutang kedua orang tuanya tidak sekecil seperti apa kata Ratu.

"Setahun lagi lunas, Nay. Kamu enggak usah khawatir. Eh, kamu sudah makan?"

Nayla menggeleng lalu menyimpan kantung keresek yang dibawanya di atas meja.

"Aku beli nasi Padang buat kita berdua, kita makan sama-sama ya," kata Nayla lalu berdiri untuk mengambil alat makan.

"Nay, kakak kan sudah bilang, kamu jangan beliin jajanan apa pun buat Kakak. Itu uang jajan kamu, pakai buat keperluanmu, jajan yang enak dan mahal di kampus. Jangan terlalu irit kayak orang susah," ceramah Ratu benar-benar lupa diri. Nayla menanggapinya dengan senyum tipis.

"Aku cuma mau makan malam bareng Kakak aja. Sebentar lagi kan Kakak berangkat kerja, pulang subuh, terus paginya sudah kerja lagi sama kak Surya. Akhir-akhir ini kita jadi jarang ketemu karena kakak semakin sibuk. Jangan terlalu banyak ngambil kerjaan, Kak, kasihanilah tubuh Kakak."

"Yang penting kan sehat, toh selama ini kakak kuat-kuat aja, Kok."

"Tapi tetep aja Kak—"

"Udah, Nay, enggak apa-apa, kok. Kakak kuat. Gimana belajar kamu di kampus?"

"Biasa aja, Kak. Kerjaan Kakak gimana?"

"Ya, gitu-gitu aja."

"Inget ya Kak, jangan sampai—"

"Iyaaa ... jangan sampai membiarkan tamu mata keranjang bertindak kurang ajar sama Kakak, itu kan yang mau kamu bilang?"

"Iya, Nay khawatir banget sama Kakak. Bisa enggak, Kakak berhenti kerja di kelab malam?"

"Enggak bisa, Nay, kamu tenang aja. Kakak enjoy kok kerja di sana. Kamu tahu kan dari dulu Kakak suka clubing. Pokoknya kamu fokus aja sama kuliah kamu, belajar yang rajin dan jangan sampai beasiswa itu hangus karena nilai-nilai kamu turun. Inget ya, Nay, kamu satu-satunya harapan Kakak saat ini."

Nayla termangu diam, ia menatap kakaknya dengan pandangan menerawang. Pada akhirnya Nayla tersenyum tipis hingga ia mendapat elusan lembut di kepalanya.

Aku ingin membantumu, Kak.

***

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Nauva Silvia Dewi
Bener bener yah Ratu seklai shopping langsung ngabisiin duit, mana boro2 inget tagihan lagi wkwk
goodnovel comment avatar
Fatima Jea
siap Kak, terima kasih masukannya.
goodnovel comment avatar
Puruhito
Sedikit masukan..yg berwenang dan bertugas mengelola peralatan bedah selama operasi berlangsung disebut perawat instrumen,,bukan dokter muda.....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status