Share

Ibu Kandung Rasa Tiri

Keesokan pagi harinya, Helga tidak melihat sosok sang dosen yang sudah menjadi suaminya. Di atas kasur berukuran besar, hanya dirinya yang terbaring di sana. Sedikit mengerang kesakitan, Helga berusaha duduk sambil membungkus penuh tubuhnya dengan selimut putih tebal. Perempuan berumur dua puluh satu tahun itu mengingat-ingat kembali kejadian semalam saat punggung bersandar pada kepala ranjang.

Beberapa detik kemudian memori akan percintaan yang membuatnya kesakitan itu terputar kembali, juga perdebatannya dengan Hadyan. “Sial! Aku tidak percaya kenapa aku bisa ditaklukkan!” Mengacak-acak rambutnya yang sudah tidak rapi, Helga kecewa pada diri sendiri karena sadar kalau semalam kurang mampu menolak sentuhan Hadyan dan sang dosen sukses unboxing dirinya.

“Oke ... semalam aku memang berhasil disentuh, tapi tidak akan ada malam-malam berikutnya!” Ia sungguh-sungguh pada ucapannya.

Meringis ngilu, Helga pelan-pelan turun dari tempat tidur. Ia tak menyangka kalau malam pertama yang konon katanya indah, ternyata penuh air mata kesakitan. Pagi hari ini pun ia masih jalan seperti siput, dan sepasang tangan mencengkeram kuat selimut yang dikenakannya.

“Enak sekali, sudah menyentuhku, tapi tidak mau melepaskan mantan istrinya?!” Helga berdecih, namun tiba-tiba dia memekik. “Aw!” Menghentikan langkah kakinya sejenak karena bagian bawah tubuhnya benar-benar terasa perih.

“Lihat saja nanti, Hadyan! Dosen sok tampan, playboy, berotak cemar!” teriaknya jengkel sebelum masuk kamar mandi dan melepaskan selimut dari tubuhnya, tangan kiri Helga menanggalkan selimut di lantai ketika tubuhnya bersembunyi di balik pintu. Kemudian bunyi pintu dibanting terdengar cukup keras. "Aku balas perbuatanmu!"

Helga tidak tahu, bahwa di kamar itu dirinya tak sendirian. Pria yang disumpah serapahi Helga juga berada di sana. Lelaki gagah yang tengah berganti pakaian di walk in closet sudah mendengar suara istrinya sedari tadi.

Dengan santai ia diam-diam merekam semua ucapan Helga ke dalam telinga dan ingatan. Berpakaian kemeja polos abu-abu lengan panjang yang digulung sampai siku, Hadyan melangkahkan kaki ke pintu walk in closet yang langsung terhubung dengan kamar mandi. Diketuknya pintu kaca buram itu sebanyak tiga kali lalu berkata, "Aku menunggu pembalasanmu, wahai Istri Mudaku ...."

Berlalu dari sana, seringai tipis tampak tersungging di wajahnya. Hadyan keluar dari ruangan itu dan angkat kaki dari kamarnya. Bergegas keluar untuk turun ke ruang makan, Hadyan sama sekali tidak berniat menyapa sang putra yang masih tertidur di ruang sebelah.

Helga yang mendengar jelas bunyi ketukan dan suara Hadyan, tidak ingin darah tinggi. Ia menarik napas dalam-dalam di bawah guyuran shower. "Oke, kita lihat nanti. Kau akan melepaskan mantan istrimu sepenuhnya atau aku yang menangis karena tidak bisa menjauhkan kalian ...," gumamnya. Tangan kanan meraih botol sabun cair pembersih rambut.

Merampungkan kegiatan mandi paginya dalam waktu lima belas menit, Helga yang sudah berada di walk in closet tampil cantik. Walaupun mengenakan celana jeans panjang dan atasan blouse putih gading lengan panjang, perempuan itu tampak memesona. Rambut sepunggung dibiarkan tergerai bebas, dan tersenyum di depan cermin sembari mengoles pelembap bibir.

"Sederhana, tapi tidak memalukan. Setidaknya tidak menor seperti," ucapnya terjeda kala mengingat wajah Ilana. "Ah, sudahlah. Ini masih pagi, aku tidak mau mengingat mantan istri dosenku."

Tepat setelah Helga keluar dari walk in closet, pintu kamar diketuk dua kali. "Permisi," kata yang berasal dari suara perempuan yang sudah Helga kenal, suster Ivander. "Nyonya Helga, saya ingin membangunkan Ivander, Nyonya," katanya lagi.

Tanpa menjawab, Helga membukakan pintu. "Silakan masuk, Sonya." Senyum ramah diberikan, dan suster tersebut mengangguk tersenyum. "Apakah dosen play--eh, maksudku ... apakah suamiku itu sudah di ruang makan?"

"Sudah, Nyonya. Tuan makan begitu saya selesai menyiapkan sarapan." Helga yang di belakang Sonya mengangguk. Dirinya mengikuti langkah kaki suster Ivander sampai tiba di kamar bocah tiga tahun tersebut. "Jika Nyonya lapar, Nyonya bisa turun. Saya yang akan mengurus Ivander, Nyonya."

"Aku ingin dilihat olehnya di pagi hari ini. Apalagi aku sudah menjadi bagian di keluarganya." Helga tersenyum dan melanjutkan, "Sudah seharusnya aku memperlakukan Ivander seperti anakku sendiri, 'kan?"

"Nyonya masih sangat muda, tidak apa-apa kalau belum terbiasa mengurus Ivander."

Helga hanya tersenyum. Akan tetapi, tangannya terulur untuk mengusap rambut Ivander dan tak ragu untuk mendaratkan ciuman sayang ke puncak kepalanya. Sementara Sonya, wanita paruh baya itu menyiapkan pakaian yang akan dikenakan Ivander pagi hari ini.

"Bangun, Ivander ... ayo bersih-bersih dan kita sama-sama turun untuk sarapan," bisik Helga tepat di telinga putra sambungnya. "Mama Helga akan membuat roti cokelat spesial untukmu."

Beberapa detik kemudian ada pergerakan dari tangan bocah itu. Bocah laki-laki tampan itu perlahan membuka matanya dan melihat sosok Helga yang duduk di sampingnya yang masih berbaring. Tanpa berkata-kata, Ivander langsung memeluk leher Helga dan menangis.

"Ada apa Ivander?!" seru Sonya yang sudah meletakkan pakaian Ivander di atas ranjang tuan mudanya. "Nyonya, ada apa dengan Ivander?"

Helga menggeleng sambil mengangkat bahunya. Karena kaget dan cemas, Helga pun memberikan usapan lembut di punggung Ivander. "Kenapa Ivander? Apa kamu mimpi buruk?" tebak Helga sebelum mencium kening Ivander.

Ivander tak langsung menyahut. Masih ada isak tangis yang keluar dari mulutnya, hingga Sonya pun turut mendekat dan mengelus-elus tangan anak majikannya yang memeluk leher belakang Helga. "Aku takut Mama tidak di sini," jawabnya sangat pelan dengan tangan yang semakin erat memeluk Helga.

"Tidak, Mama ada di sini. Buktinya Mama duduk di samping Ivander. Jadi, jangan menangis lagi, Sayang." Helga melepas pelan-pelan kedua tangan Ivander dari lehernya. Tersenyum manis pada bocah tampan itu dan mengusap-usap lembut kedua pipinya yang basah. "Sekarang waktunya Ivander mandi. Ivander sudah bisa mandi sendiri, 'kan?"

Ivander hanya menatap tanpa mengeluarkan suara. Akan tetapi, Sonya yang segera menjawab, "Ivander sudah mandi sendiri, tuan Hans yang sering mengajarinya, tapi saya yang biasanya mengawasi. Apakah kali ini Nyonya ingin mengawasi Ivander mandi?"

"Ivander mau mandi ditemani Mama?"

"Mau, Mama." Kepalanya pun turut mengangguk penuh semangat. Senyumnya tampak mengembang dan tanpa digandeng, Ivander turun dari ranjang. Jari-jari mungilnya melepas satu-persatu kancing baju tidur yang masih melekat.

"Kamu anak pintar, jangan sedih lagi, Mama Helga jadi teman Ivander mulai sekarang." Suster Ivander yang mendengar itu merasa terharu sampai mendongakkan kepala. Sementara Ivander yang sepasang matanya berkaca-kaca, kembali memeluk Helga. Mendekap erat kaki Helga dengan dua tangan mungilnya.

Tidak butuh waktu untuk Ivander mandi saat ditemani Helga. Wanita muda itu juga membantu putra sambungnya berpakaian setelah meminta Sonya untuk menyiapkan tas sekolah Ivander. Mereka bertiga menjauh dari kamar dan bergegas turun ke lantai satu, di mana ruang makan berada.

Pemandangan yang sangat tidak ingin dilihat Helga, kini hadir di depan mata. Pertunjukan suap-suapan dari pasangan yang sudah tidak ada ikatan pernikahan, terpampang saat kakinya menginjak ruangan untuk mengisi perut. Namun, pemandangan itu justru membuat perutnya mual.

Wanita yang baru saja menelan sarapannya dan menyuapi Hadyan, lantas melirik Helga sekilas. Kemudian menatap putra kandungnya dengan wajah berbinar-binar. "Wah, anak Mama tampan sekali! Sini, duduk di samping Mama, Vander!" seru Ilana yang duduk di samping Hadyan.

Bukannya berjalan mendekat, Ivander justru semakin erat menggenggam tangan kanan Helga yang berdiri di sampingnya. Ivander mendongak dan mengatakan, "Mama Helga, ayo kita makan sama-sama, Mama." Suaranya terdengar pelan, namun karena ruang makan tidak ramai, semua orang bisa mendengar.

Helga dengan mengangguk mantap menjawab, "Ayo! Kita makan roti cokelat sama-sama!" Dengan senyum lebar, Helga berjalan maju bersama Ivander. Lalu menarik kursi yang berhadapan dengan Hadyan, untuk dirinya duduk. Sedangkan Ivander didudukkan di samping kanannya, berhadapan dengan Ilana.

Helga tiba-tiba berdeham sebelum berujar, "Ibu kandung rasa tiri." Membuat Ilana yang merasa tersindir mendelik seketika. "Eh, salah bicara. Em, Ivander mau susu rasa apa? Vanila atau cokelat?"

"Cokelat, Mama!"

"Oke!" Helga menoleh ke Sonya yang meletakkan tas sekolah Ivander di kursi sebelahnya. "Tunggu dulu, Mama buatkan di dapur setelah roti cokelat kita jadi."

Ivander dengan santai mengangguk, dan Helga meraih roti tawar untuk Ivander dan dirinya. Sesuai dugaan, Sonya membuatkan salad sayur dan roti isi, ia tahu kalau Ivander tidak terlalu menyukai menu sarapan itu. Jadilah dia menyiapkan roti tawar selai cokelat.

Masih asyik mengoles roti tawar, tiba-tiba terdengar suara yang mengganggu pergerakan jarinya. "Hargailah tamu yang datang, setidaknya menyapa. Apakah itu sulit bagimu?" kata Hadyan yang jelas sekali ditujukan untuknya.

Masih menatap roti tawar, Helga membalas, "Memangnya aku yang tinggal di sini dihargai?" Tatapannya dilemparkan pada Ivander. "Ini roti cokelatnya, Mama buatkan susu dulu."

"Mulai sekarang biasakan dirimu, aku dan suamimu akan terus seperti ini demi menjaga karierku. Semoga kau tidak cemburu." Senyum puas Ilana tersungging dan ucapan itu berhasil mengusik hati Helga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status