Share

7. Menantang Bahaya

"Besok gue kuliah pagi, Bang. Kalau dosennya ada semua kuliah sampe jam 3 sore, udah itu gue izin buat latihan sama anak-anak di studio," kata Kinan ketika makan malam tiba.

Langit memutuskan untuk tak memberi tahu istrinya jika ia melihat chat dari nomor tak dikenal. Namun bukan Langit namanya jika tak memiliki tindakan preventif.

"Ok, besok saya anter sebelum ke kantor. Pulangnya saya jemput, bilang aja jam berapa selesainya dan dimana tempat latihannya," sahut Langit berusaha setenang mungkin agar tak terlihat mengetahui sesuatu.

Hati Langit resah luar biasa karena isi chat dari seseorang yang ia yakini itu Jodi. Bahaya mengintai istrinya, rasanya ingin sekali ia melarang Kinan keluar rumah.

"Ihhh...enggak usah dianter segala, gue pake motor aja. Nanti pulangnya juga...."

"Bisa nurut enggak? Saya bilang saya yang antar dan saya juga yang jemput, ngerti?" Langit memotong ocehan Kinan.

Jika sudah seperti itu Kinan tak berkutik. Entah kemana perginya julukan Kinanti si pembangkang, setelah menikah ia begitu tunduk pada suaminya. Kharisma Langit memang tak terbantahkan, ia mampu mematahkan apapun alibi yang istrinya buat.

Tak ada sanggahan lagi dari Kinan, ia memilih kamar sebagai tempat persembunyiannya dan musik adalah pelampiasannya. 

Keesokan harinya Kinan bersiap lebih dulu, hatinya bertanya-tanya mengapa Langit belum turun dari kamarnya karena biasanya sang suami lebih dulu ada di meja makan dibanding dirinya.

"Bang, are you ok?" teriak Kinan ke arah tangga yang terhubung dengan kamar lelaki tampan bersorot mata tajam.

"Iya, bentar lagi turun," teriak Langit dari atas. Yang Kinan tidak tahu, suaminya sedang koordinasi dengan Fajar untuk mencari tahu dimana studio tempat Kinan latihan dengan bandnya.

Langit tak sempat sarapan karena khawatir Kinan terlambat masuk kuliah pagi. Namun kini istri muda belianya itu sudah mulai paham tugasnya.

"Aaa...Bang!" titah Kinan yang ternyata membuatkan roti panggang selai kacang favorit Langit.

Ada rasa canggung dan terkejut yang dirasakan Langit karena inisiatif Kinan untuk membuatkannya sarapan dan dibekal dijalan.

Langit membuka mulutnya tanpa suara, sulit rasanya mengucapkan terima kasih pada istrinya itu. Sudut bibir kanan lelaki berseragam coklat itu terangkat tanpa Kinan sadari.

"Nih minumnya, papermint tea. Masih anget kok, tadi gue cari tumbler tahan panas biar hangatnya tetap terjaga," ucap Kinan seraya menyodorkan tempat minum berwarna hitam berlogo kedai kopi mahal asal Amerika.

Kali ini Langit harus membalas baiknya Kinan pagi itu, "Thanks, istri kecil."

Puncak kepala Kinan diusap Langit pelan, membuat mahasiswi semester 4 itu menahan nafas. 

"Jangan gini ah, Bang. Nanti gue baper gimana? Lo mesti inget sama Naura yang masih setia nungguin lo," sahut Kinan dengan wajah merona.

"Naura masa lalu saya, kamu masa depannya," balas Langit dengan mode datar.

Melirik lelaki yang keren dibalik kemudi dengan seragam dinas yang pas membentuk tubuh, Kinan kembali berucap, "Masa depan karena tanggung jawab dan komitmen ya, Bang."

"Karena itu esensi pernikahan, Kinan. Nanti juga kamu paham, jodoh itu sudah dipilihkan Tuhan yang terbaik buat kita. Kalau Tuhan pilih kamu buat saya, ya berarti kamu yang terbaik. Sesimpel itu," Langit begitu santai menjawab.

Ia tak tahu ada soda gembira di perut Kinan yang sedang membuncah mendengar apa yang baru saja dikatakannya.

"Sampai, udah ini langsung masuk kelas. Jangan lupa kabari saya nanti dimana latihannya, nanti sore saya jemput kamu."

Kinan tersadar dari lamunannya, seraya melepas seat beltnya.

"86, Bos. Gue pamit ya, Assalamualaikum"

Ditariknya punggung tangan Langit kemudian Kinan menciumnya dengan takzim. Ia tempelkan bibir dan dahinya pada sang suami.

Bohong besar jika Langit merasa biasa saja yang ada seluruh sistem pencernaan bak menabuh perkusi berjamaah.

"Waalaikumsalam, hati-hati."

Ingin rasanya Langit menarik kepala Kinan dan mencium puncak kepalanya tetapi apa yang baru saja sang istri lakukan membuatnya sulit berpikir jernih. Hatinya begitu bahagia hanya karena perempuan 19 tahun itu mencium punggung tangannya.

'Gila...baru dia cium tangan aja gue udah blank.'

Begitu pula dengan Kinan yang hari itu merasa kasmaran lagi, tak ada ungkapan cinta dari sang suami tetapi ia rasakan Langit begitu peduli padanya. Hati yang selama hampa seolah terisi kembali. Semoga bukan karena perkara sarapan perlakuan manis lelaki berdada bidang itu.

"Happy banget kayaknya pengantin baru," sapa Ale.

Kinan melotot, ia melirik kanan dan kiri khawatir ada yang melihatnya.

"Berisik lo, Al. Gimana kalau ada yang denger."

Ale, sahabat dari kecil sekaligus bassis White Panther hanya terbahak melihat kepanikan Kinan. Mencintai dalam diam adalah pilihan Ale entah sampai kapan apalagi kini secret admirer nya sudah milik lelaki lain yang lebih pantas dibanding dirinya.

"Latihan lo tar sore, persiapan manggung weekend ini. Keren nya kita bisa jadi band pembuka band sekelas Red Cherry."

"Iyaa, gue semangat banget buat latihan nanti."

"Laki lo ngizinin? Baik juga, kirain bakal kayak kanebo kering mulu."

"Ngizinin laahh, laki gue mah baik banget, Al."

"Yaa...jangan kasih jatah kalau enggak ngizinin mah, simpel aja."

Harusnya ada cermin karena Kinan merasa wajahnya panas dan sudah pasti pipinya memerah bak kepiting rebus dan Ale terbahak puas sekali.

"Anak kecil berisik, jangan tau dulu tentang jatah. Kencing lo aja belum lurus," ucap Kinan seraya berlalu.

Sore menjelang, Kinan selesai perkuliahan langsung menuju studio untuk latihan persiapan menjadi band pembuka Sabtu pekan ini. Namun gelisah melanda karena ponselnya mati, ia sulit menghubungi suaminya. 

"Kenapa sih lo?" tanya Ale melihat sahabatnya resah.

"Hp gue mati, tadi pagi gue janji mau ngabarin Bang Langit. Lo punya nomornya enggak? Biar gue chat dia dari hp lo."

"Diiihhh...kapan lo ngasih nomor hp laki lo ma gue, Kinan. Udah nanti sampe studio charge aja, pasti anak-anak bawa juga."

Namun tetap saja itu tak membuat hati Kinan tenang. Sudah terbayang bagaimana marahnya sang suami ketika ia tak ada kabar.

Sampai di studio semua sudah berkumpul, latihan pun dimulai dan sialnya tak ada yang membawa charger handphone. Kinan berusaha fokus walaupun tetap ada pikiran yang mengganggunya.

"Al, tar anterin gue balik ya," pinta Kinan disela lagu kedua yang baru saja selesai ia bawakan.

Ale memberikan jempolnya tanda setuju.

Selesai berlatih semua bubar kecuali Bang Edo dan Ale. Terlihat sekali ada yang road manager nya itu pikirkan.

"Kenapa sih, Bang Edo? Kayak abis didatengin debt collector gitu," gurau Kinan yang sedang bersiap pulang menanti Ale yang sedang menambal ban motornya yang tiba-tiba kempes.

"Enggak apa-apa, Nay. Cuma ini ditungguin si bungsu di rumah," jawab Bang Edo yang selalu memanggil Kinan dengan nama panggung.

Kinan percaya saja, "Ya udah pulang aja atuh, gue enggak apa-apa kok. Paling bentar lagi Ale juga dateng, ta, tambal ban kan disitu doang deket."

Dengan rasa bersalah Edo meninggalkan Kinan dan berkata dalam hatinya.

'Maafin gue, Nay. Setelah ini gue bakal mundur dari White Panther karena gue biarin lo dalam bahaya.'

Edo dalam ancaman Jodi setelah sebelumnya keluarganya yang jadi jaminan jika ia tak ikut memuluskan rencana jahat lelaki setengah mafia itu.

'Ale kemana sih, ini udah mau maghrib juga. Mending gue tunggu di dalem deh, kata Mama dulu enggak boleh diluar kalau mau malem gini takut ada sandekala.'

Handphone nya tak nyala, ia mencoba memetik gitar klasik yang ada disana. Tak lama terdengar deru motor yang ia kira Ale.

Bersiap Kinan mengambil tote bag nya tetapi alangkah terkejutnya ia ketika seseorang mendatanginya.

"Selamat malam, Annaya ku sayang. Apa kabarnya, Cantik."

Jodi kembali, Kinan bergetar ketakutan. Mantan kekasihnya terus mendekat.

'Abang, tolongin Kinan.' Jerit Kinan memanggil suaminya yang ia harapkan mampu didengar.

Diluar studio, Ale mencari Kinan karena terkihat studio sudah sepi. Hanya ada dua laki-laki kekar yang sedang nongkrong di depan.

Ale pikir sahabatnya itu sudah pulang lebih dulu, ia kembali memutar motornya tanpa curiga apapun.

"Enggak ada yang bisa nolongin lo, Sayang. Bajingan itu juga enggak akan bisa nemuin istri cantiknya ini. Selamanya lo milik gue, Kinan. Enggak ada yang boleh hak patenin lo selain gue," ucap Jodi menakutkan.

Tak ada suara dari Kinan, hanya air mata yang terus meluruh.

"Pasrah banget lo, Cantik. Makin pengen gue setelah selama ini kalau gue maen sama cewek lain selalu bayangin lo yang ada dibawah gue. Dan sekarang mimpi itu bakal nyata, enggak masalah lah lo bekas pake bajingan itu yang penting benih gue nanti yang ada disana."

Jodi dan dunia tak tahu bahwa sampai hari ini kesucian Kinan masih terjaga dengan baik. Dalam pelukan Langit pun tak terjadi apa-apa walaupun Kinan tahu, suaminya menahan hasratnya mati-matian jika sedang memeluknya.

"Cuma Bang Langit yang boleh sentuh gue, bukan yang lain apalagi lo," ucap Kinan berani.

Jodi bertepuk tangan ketika mendengar suara Kinan, "Gilaaa...baru kenal aja udah sebucin ini lo, gue aja yang udah lama sama lo enggak pernah dibucinin segininya. Punya dia gede? Coba lo bandingin sama punya gue nih."

Kinan menutup kedua matanya ketika Jodi menanggalkan pakaiannya satu persatu. Sial baginya belt merk mahalnya sulit terbuka dan itu kesempatan bagi Kinan. Ia beranikan diri menendang senjata andalan sang mantan kekasih dan berusaha membuka pintu yang terkunci.

Kemeja dusty pink yang dikenakan Kinan ditarik Jodi hingga sobek dibagian lengan atas, ditamparnya pipi mulus putri kesayangan Billy Rayadinata itu hingga mengeluarkan darah di sudut bibir kanannya.

Tak menyerah, ketika rambut Kinan ditarik paksa. Ia berbalik dan mengambil gitar yang cukup berat disamping kanannya. Alat musik petik klasik itu dipukulkan Kinan pada kepala Jodi hingga terjatuh.

Kinan berhasil kabur, berlari sekencangnya dan kedua bodyguard Jodi melihat perempuan yang sudah tak beraturan itu berlari.

Sial bagi keduanya, Kinan berlari ke arah masjid. Dimana adzan maghrib berkumandang, banyaknya bapak-bapak yang akan shalat berjamaah. Kinan berlindung sementara.

"Neng, kenapa?" sapa seorang ibu bermukena putih.

Kinan memeluk wanita paruh baya itu, "Ibu, tolongin saya. Saya dikejar orang jahat, dia mau macem-macem sama saya."

Ibu tersebut memeluk Kinan, menutupnya dengan mukena.

"Ayo di dalam, mereka enggak mungkin berani masuk masjid."

Sadar posisinya terancam dan tak mungkin mengejar Kinan ke dalam masjid, Jodi dan kedua kacungnya meninggalkan studio.

"Neng, orang mana? Tinggal dimana?" sapa Ibu dan ternyata banyak pula bapak-bapak yang ikut berjaga.

Satu ibu lainnya membawakannya teh manis hangat, tubuh Kinan masih bergetar hebat. Air matanya sudah mengering tetapi jejaknya masih terlihat.

"Saya Kinan, Bu. Saya abis latihan di Studio 55, mau telepon suami saya tapi lowbat. Sampe orang tadi hampir...."

"Udah, Neng. Jangan diterusin, Ibu tau kelanjutannya. Hayu di rumah Ibu aja nunggunya, tas sama hp nya Neng dimana?"

"Masih disana, Bu. Saya enggak berani kesana," sahut Kinan lemah.

Para karang taruna setempat dimintai tolong DKM Masjid Al-Furqon untuk mendatangi studio tersebut untuk mengambil tas dan ponsel Kinan.

"Tasnya mah ada ini, Pak. Handphone nya juga ada tapi kayaknya abis dibanting," kata seorang lelaki seusia Ale.

Tote bag merek terkenal berinsial MK itu diberikan sang pemuda pada Kinan.

"Lho, ini kan Naya White Panther. Beneran kan?"

Kinan hanya tersenyum dan menunduk kembali. Ibu penolong tadi langsung paham bahwa yang ia temukan ini adalah public figure. Langsung saja kerumunan anak muda itu dibubarkan agar sang vokalis kembali tenang.

"Neng, mau nelepon suami? Ini pake hp ibu aja," tawar sang ibu.

Kinan menggeleng, "Nomornya saya enggak hafal, Bu."

Sementara di kantor pemerintah provinsi Jawa Barat ada seorang laki-laki yang khawatir dengan istrinya yang tak ada kabar berita.

"Jar, coba kamu cari tau di grup. Kali aja ada info dimana bandnya Kinan kalau latihan," titah Langit yang terus mondar mandir.

"Udah, Bos. Tapi katanya tempat latihan mereka pindah-pindah, studio yang biasa dipake lagi renov," jawab Fajar.

Langit semakin tak menentu, feelingnya mengatakan ada sesuatu yang terjadi.

"Bos, ini ada kontaknya Ale. Dapet dari temen, Pak Bos mau nelepon dia?"

"Ale siapa?" kata Langit panik.

"Ale bassis bandnya Bu Kinan," jawab Fajar.

Disalinnya nomor handphone itu dan Langit langsung menekan tombol hijau.

"Hallo."

"Hallo, Ale? Ale, saya Langit. Apa Kinan sama kamu?"

"Lho, kirain udah pulang, Bang. Tadi emang bareng saya, hpnya Kinan lowbat dan dia enggak bawa charger. Dari tadi juga gelisah katanya enggak bisa hubungi Abang, terus tadi janjian sama saya mau pulang bareng tapi saya nambal ban dulu. Pas balik ke studio udah sepi," ternag Ale.

"Ya Allah, Ale. Terus dia sekarang dimana? Tadi latihan studio mana?" tanya Langit lagi.

"Studio 55, Bang. Jalan Kecapi, pokoknya sejajaran mesjid. Abang mau kesana saya anter," tawar Ale.

"Ketemu disana aja!"

Menutup teleponnya, Langit menuju basement. Ditemani Fajar yang tahu lokasi persisnya dan ia ambil alih kemudi karena bosnya sedang kalut.

Tak sampai 30 menit, keduanya sampai di studio. Terlihat studio sudah sepi tetapi banyak remaja pria yang bergerombol.

"Malem, Dek. Mau tanya apa liat perempuan yang kira-kira usianya..."

Belum sempat Langit melanjutkan bicara, seorang lelaki muda memotongnya.

"Naya White Panther?"

"Iyaaa..." sambar Fajar.

"Tadi Maghrib sempet rame disini soalnya Naya ada percobaan pemerkosaan kayaknya, Kang," jelas pemuda tadi.

Runtuh dunia Langit, darahnya seolah berkumpul dibawah kakinya.

"Sekarang dimana Naya nya?" tanya Fajar karena bosnya sudah pucat pasi.

"Di rumah Bu Entin, itu tuh yang ada warung."

Gegas Langit berlari menuju warung yang ditunjukkan para pemuda karang taruna tadi.

"Permisi, Bu. Apa benar rumah Bu Entin? Saya Langit, tadi kata adek-adek disana..."

"Ohh...Aa suaminya Neng Naya?"

Langit mengangguk dan dipersilahkan masuk oleh Bu Entin.

Terlihat Kinan sedang bersandar di sofa merah yang sudah memudar warnanya, "Ya Allah, Kinan."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status