Buru-buru Nana meninggalkan tempat itu menuju terminal. Kemarin dia hanya beruntung Burhan tidak menemukan dia.
Halte itu terletak tidak begitu jauh dari tempat acara, namun letaknya berlawanan dengan arah rumah.
Jika Burhan berpikir melewati jalan yang berlawanan itu sudah dipastikan dia akan menemukan Nana.
Dengan menempuh perjalanan selama empat jam sampailah Nana di depan rumah mewah warna abu-abu. Nuansa Arab jelas terasa saat dia memasuki pekarangannya.
Beruntung supir travel bersedia mengantar langsung ke alamat yang disebutkan Nana. Suami Zoya mempunyai pengaruh dalam dunia travel. Hampir semua supir mengenal suami Zoya.
Pintu terbuka lebar saat setelah Nana menekan bel. Dari dalam rumah muncul wanita muda mengenakan kaftan dan Khimar berwarna navy.
“Nana ...”
Wanita itu memeluk Nana lalu membawakannya masuk kedalam. Makanan dan minuman sudah tersedia diatas meja. Seperti permintaan Nana dalam pesan semalam, untuk melakukan penyambutan untuknya.
Zoya tidak banyak bicara, tampilan Nana yang hampir mirip gelandangan tidak membuat dia bertanya apa yang menimpa sahabatnya itu.
Dari semalam Zoya sudah menerka-nerka. Nana ada dalam masalah. Dia sangat paham watak Nana. Sahabatnya itu tidak akan pergi sendiri jika hatinya tidak baik.
Zoya hanya menunggu Nana untuk menjelaskan dengan sendirinya. Dia terus memperhatikan kondisi nana yang menyedihkan.
Nana mendaratkan bokongnya pada sofa abu-abu. Menikmati hidangan yang telah tersedia. Perutnya dari siang kemarin tidak diisi. Pikiran yang kalut membuat lupa rasa lapar.
Makanan telah habis separuh. Gelas dalam genggamannya sudah kosong. Tidak sengaja ujung matanya menangkap bayangan Zoya. Tengah memperhatikannya kalap melahap makanan.
Nana tersenyum simpul pandangannya beralih pada Zoya yang berdiri kedua tangannya bersedekap di dada.
“Ups, maaf lupa,” ujar Nana menutup mulut. Merasa bersalah tanpa dipersilahkan dia sudah melahapnya.
“Emangnya berapa lama kau tidak makan. Malu aku, orang kaya kok makan kayak orang kelaparan,” ejek Zoya.
Wajah nana mendadak muram. Awan hitam yang susah payahnya disembunyikan seketika menjadi hujan deras.
Pertahanannya runtuh, bendungan yang dia jaga roboh tak tersisa. Tangisnya semakin menjadi.
“Mami, Tante itu mengapa menangis,” tanya Azzam, anak pertama Zoya. Disusul anggukan oleh keempat adiknya. Anak ketiga Zoya angkat bicara “Siapa yang meninggal Mami.”
Nana menghentikan tangisnya. Tangisannya telah membuat seisi rumah heboh. Tak terkecuali anak-anak Zoya seketika berkumpul mengelilingi Nana.
“Tidak ada apa-apa sayang tadi makanan Tante dicuri kucing liar. Waktu Tante ingin mengejar tangan Tante hampir digigit,” kilah Nana yang malu karena ulahnya menjadi tontonan mereka.
Zoya menahan tawa dan berlalu kedapur. Mengambil air minum untuk Nana yang didepan sudah tandas tidak tersisa setetes pun.
“Makanya Tante lain kali makannya jangan sendirian. Dalam rezeki kita juga ada hak makhluk lain Tan,” ujar Azim. Nana tersenyum penuh arti menatap garang pada Zoya. Dari tadi hanya diam menikmati pemandangan yang langka.
“Astaga, Aku dinasehati bocah Lima tahun,” gumam Nana menepuk wajah dengan kedua telapak tangannya.
“Jangan katakan kami bocah tante! Panggilan aku Azzam, yang itu azim, ini Daffa, yang pegang robot enzio dan paling kecil gian,” seru Azzam ternyata mendengar apa yang dilakukan nana.
“Sudah anak-anak, naik lah ke kamar kalian. Lanjutkan apa yang kalian kerjakan tadi. Teman Mami ini mau istirahat. Dia akan tinggal beberapa hari bersama kita. Besok kalian boleh bermain dengan Tante baik hati ini,” perintah Zoya.
“Hore.” Jawab mereka serentak naik ke lantai atas.
“Mereka nurut, ya?” tanya Nana.
“Alhamdulillah, mereka nurut dan patuh meski aktif luar biasa,” jawab Zoya.
Nana masih menatap anak-anak Zoya hingga mereka hilang di balik pintu kamar. “Kapan rumahku akan seperti ini. Semoga Bella cepat hamil. Dan malaikat kecil akan meramaikan rumah."
“Hei, melamun nanti ayam tetangga semua mati,” Zoya menepuk pundak Nana.
“Sembarangan,” cibir Nana.
“Mari, kita ke kamar tamu. Kamu harus istirahat dan bersihkan dirimu yang sangat menyedihkan itu. Gunakan pakaian yang ada dalam lemari, itu memang sengaja disediakan untuk tamu,” jelas Zoya.
“Terima kasih untuk semuanya,” ungkap Nana setelah sampai dalam kamar. Zoya hanya tersenyum jalan keluar menutup pintu kamar.
Nana mencium aroma tubuhnya sendiri. “Bau sekali, wajar dia mengatakan Aku mirip g*landangan.”
Nana bergegas masuk kamar mandi melepas apa saya yang melekat pada tubuh langsingnya. Membuangnya di tong sampah. Dia tidak ingin menggunakan lagi.
Nana berharap kesedihannya akan sirna bersama barang yang dibuangnya sampai di tempat pembuangan akhir.
Bella menguatkan hati harus segera bicara pada Burhan semalaman Nana tidak pulang. Entah dimana Nana saat ini, Bella sudah tidak bisa menunggu lebih lama tanpa melakukan apapun.
“Kak Nana kau di mana? Tidak tahukah kakak aku sangat kepikiran, kalau memang mau pergi mengapa tidak mengajakku sekalian. Aku tidak betah di rumah ini jika kakak tidak ada.” Bella ingin mencari sendiri namun tidak tahu harus mencari kemana. Dia tidak hafal daerah sini, selama ini dia hanya bolak balik antara rumah dan panti tidak pernah berjalan sendiri. Paling kemall itu pun bersama Nana dan tidak berminat memperhatikan jalanan sekitar. Nana memang tidak pernah membatasi aktivitasnya bahkan Nana selalu menyarankan untuk jalan-jalan sekedar keliling komplek. Paling tidak Bella hafal jalanan kompleks yang banyak tikungan, kurang hafal saja dia nyasar. Tapi memang dasar Bella yang terbiasa berdiam diri dalam rumah keluar saat ada keperluan tidak mengindahkan anjuran Nana. Sekarang barulah dia menyesal yang buta dengan lingkungan sekitar.Hati Maya kembali tersayat entah untuk keberapa kalinya.“Tunggu sebentar Nduk,” sahut Mbah Ipeh yang sedang melayani pasiennya dari dalam gubuknya.Tempat Nana terjatuh memang tidak begitu jauh dari tempat tinggal wanita tua itu.Itu sebabnya Maya membawanya kesana. Untuk mendapatkan pertolongan pertama. Sebelum nanti dibawa kerumah sakit yang berjarak cukup jauh dari desa.Maya sudah yang sudah beberapa kali kesana. Tentu sangat hapal jalannya yang masih dipenuhi semak belukar.Ya, wanita itu juga salah satu pasien dukun kampung itu. Yang terkenal mempunyai ilmu hitam yang tinggi.Dalam satu kedipan mata bisa membunuh korbannya. Mereka yang datang kesana pasti mempunyai dendam.“Ini siapa Maya,” tanya Mbah Ipeh keluar menemuinya yang duduk diamben menangku Nana.Sesaat pengguna jasanya pergi dari sana. Dari penampilan bisa ditebak wanita itu merupakan bukan wanita yang baik.“Ini anak tiri saya, Mbah. Itu tadi siapa?” tanya Maya penasaran.“Dia itu yang kerja diwarung dekat kebun it
“Sudah Tante, ayo kita pulang. Jangan buat keributan disini,” bisik Tary yang masih mencekal lengan Maya.“Iya bawa Tantemu, pergi dari sini,” celetuk Bella.“Tunggu dulu Tary, urusanku belum selesai. Burhan harus bertanggung jawab pada apa yang terjadi padamu,” tolak Maya.Burhan melirik kearah Tary, benar dipergelangan tangan kirinya ada luka yang masih diperban.Maya tidak bohong, tapi untuk apa gadis itu melukai diri sendiri. Sebesar apa harapan gadis itu yang dia patahkan.Bella mencubit perut Burhan, saat tahu mata Burhan tidak beralih dari gadis baru datang itu.“Sakit tau,” bisik Burhan menggosok bekas cubitan Bella.“Itu akibatnya tidak bisa menjaga mata,” tekan Bella nada sepelan mungkin.Tary menggunakan seluruh tenaganya untuk membawa Maya pergi dari sana. Maya pun yang hampir terpojok pasrah mengikutinya.Nana berbalik dan merangkul Bi Siti. Pertahanannya roboh seiring perginya Maya dan Tary.“Menangislah luapkan semua kesedihanmu saat ini. Esok kau harus berjanji tidak a
“Maya Cahayadiningrat , saya Nayla Rahmawati binti Abdul Razak. Putri tunggal dari ibu Rahayu. Apa anda mengenali saya. Mama Maya yanby terhormat,” sanggah Nana menggeram.Nana sudah tidak tahan lagi untuk tidak mengangkat suara. Wanita yang dia panggil Mama itu. Semakin mengelunjak tidak berpikir kalimatnya melukai banyak orang.“Nayla Rahmawati, Nanaku sayang Nanaku malang. Kamu mengenali Mama, Nak,” tanya Maya mata mengarah pada wanita yang berusaha tenang.“Apa kurang cukup yang Mama berbuat pada saya dulu, hingga sekarang Mama ingin merampas suami saya.” Nana berdiri mengikis jarak dengan wanita yang dikiranya malaikat.“Baguslah kau sudah tahu, jadi tolong minta suamimu menikahi Tary. Sama yang kau lakukan pada pelakor itu, Mama yakin kalian akan bisa hidup damai. Mama tidak merampas, kau cukup berbagi saja.” Maya menyentuh pipi mulus Nana.“Kembalikan rahim saya,” tekan Nana singkat menepis tangan Maya.“Na, kamu sayang Mama-kan. Bisa kamu mengabulkan permintaan Mama ini,” buju
Tary dari tadi bolak balik dibrankar. Dia SEO diri diruang itu sang Tante sedang mencari makan.“Kita sudah bisa pulangkan, Tante. Aku bosan berada disini,” rutuk Tary saat Maya baru masuk ditangan menenteng kantong plastik. Berisi makanan dan buah yang dibelinya. Pada pedagang yang menjajakan jualannya sekitar rumah sakit.“Harusnya sebelum kau mengiris nadimu. Siapkan mentalmu untuk betah berada disini,” ketus Maya. “Ini makanlah, agar kau punya banyak tenaga untuk menghadapi perceraian orang tuamu.”“Mereka akan berpisah, Tante. Mereka sungguh tidak menganggap keberadaanku,” lirih Tary meraih mangkuk berisi bubur ayam yang sodorkan Maya.“Kamu harus buktikan pada ayah dan ibumu. Kamu bisa sukses tanpa campur tangan mereka,” ungkap Maya membangun semangat dari putri semata wayang kakaknya.“Aku harus membujuk Burhan untuk menyemangati Tary. Tak masalah jika harus memohon asal dia bersedia membantu,” batin Maya.Maya mengatakan pada Tary akan pulang sebentar. Dia harus segera bicara
“Selamat pagi nenek,” sapa Bella mengendong bayinya melintasi dapur.Bayi mungil itu akan berjemur dibawah cahaya matahari pagi.“Eh, cucu nenek sudah wangi,” sahut Bi Siti mendekati Bella.“Yang lain belum bangun, Bi.” Tanya Bella.“Belum, hawa dingin enak buat tidur. Tapi Bibi gak bisa bangun ninggi hari.” Bi Siti mengambil alih baby Zizi.“Aku juga. Makanya kami sudah wangi, Nek.”“Biar Bibi yang jemur cucu sayang ini, Bundanya mamam dulu. Isi bensin yang banyak supaya mik Zizi banyak.” Bi Siti mengecup pipi gembul bayi mungil itu.Bi Siti berjalan kehalaman belakang. Tempat yang lantang terkena sinar matahari.Sedang Bella menikmatinya sarapannya. Yang hambar dilidahnya, seret ditelan.Pikiran tertuju pada Nana, wanita sebaik itu harus mengalami banyak cobaan. Semalam hanya beberapa jam saja dia dapat terlelap.Mandul, kata itu terus mengusiknya. Dia sangat prihatin, andai bisa. Ingin dia donorkan rahimnya untuk Nana.Kakak madunya itu telah memberikan banyak. Namun dia tidak mamp
Nana harus bisa punya anak walau hanya satu orang. Anak itu adalah ahli waris sah atas harta peninggalan mendiang orang tua Kakak madunya ini.Bella sangat paham anaknya tidak ada hak untuk mendapatkan semua ini. Baby Zizi tidak ada hubungan darah dengan sang pemilik harta.“Selain itu dia pesan apa lagi?” tanya Burhan menengahi.“Gak ada hanya itu, dia mengatakan kalau bisa secepatnya. Mengingat umur Nana yang tidak muda lagi. Usia produktifnya tinggal sedikit lagi,” jelas Ferdi.“Menurutmu bagaimana, Dik. Abang rasa sebaiknya kita periksa saja. Kamu mau ya,” ujar Burhan penuh harap.“Aku akan pikirkan lagi, Aku sudah tidak berharap lagi. Toh, sekarang sudah ada Zizi. Dan itu sudah cukup,” timpal Nana berusaha meredam perasaannya.‘MANDUL'Rangkaian lima huruf sangat horor bagi mereka yang dapatkan predikatnya.Tidak terkecuali Nana, nyalinya seketika menciut. Kehadiran anak bagi orang yang telah berumah tangga.Hal yang paling penting, saat bertemu dengan siapa pun yang pertama dita