“Dia jadi datang kan, nak? Ini udah lama banget loh, kalian gak lagi berantem kan?”
Tika—wanita tua berusia 62 tahun—terlihat cemas saat sosok yang sejak tadi mereka tunggu-tunggu tidak hadir juga. Mulai terdengar bisik-bisikan dari arah tamu undangan yang sejak 2 jam lalu menunggu. Bahkan, beberapa dari mereka terang-terangan menunjukkan sikap kecewa. Meskipun mereka masih bertahan untuk duduk, namun tidak dengan sebagian lagi yang benar-benar sudah keluar dari aula.
Hari ini, lebih tepatnya sejak 2 jam lalu, seharusnya acara sudah dimulai. Harusnya sudah terdengar suara teriakan heboh dari para tamu undangan untuk menyerukan mempelai agar berciuman.
Sedangkan mempelai pria—Ragata Wijaya—terlihat tenang duduk di jejeran kursi orang tuanya. Seolah dia memang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Wajahnya tenang, namun menggambarkan banyak misteri di dalamnya.
“Nak, kamu buat masalah apa sama Melisa? Atau jangan-jangan dia kecelakaan lagi, coba kamu cek dulu nak. Ini sudah 2 jam, ayah segan kepada tamu undangan kita!” Hadi—sang ayah—ikut cemas.
Begitu juga dengan pihak dari mempelai perempuan. Kedua orang tua Melisa sejak tadi berjalan mondar-mandir karena sama-sekali tidak ada balasan dari pesan yang sudah ratusan kali mereka layangkan pada nomor Melisa.
Yuni dan Juan, kedua orang tua Melisa terlihat sangat cemas. Yuni melangkah mendekati Ragata yang hanya diam, tidak melakukan apa-apa, dan tidak terlihat cemas sama-sekali. Disentuhnya tangan anak muda yang menjadi menantu dambaannya sejak dulu.
“Nak, ada masalah apa sebenarnya? Kenapa Melisa ga datang-datang, dan kamu kelihatan tenang banget?”
Ragata hanya tersenyum, mencoba untuk terlihat tetap teguh. Dia melepaskannya sentuhan calon ibu mertuanya itu dari tangannya. Ditatapnya pergelangan tangannya, jam yang melingkar di sana sudah menunjukkan pukul 15, dan itu sudah 3 jam penantian mereka. Melisa benar-benar tidak hadir, dan menepati perkataannya.
Sebelum berdiri, Ragata menatap kedua orang tuanya. Sosok yang mungkin akan kecewa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
“Nak…kalian tidak berpisah kan?” bisik Tika pelan, mengusap punggung Raga dengan sabar, “Eric juga tidak datang, bukannya dia yang seharusnya mengantar Melisa nak?”
Helaan nafas Ragata terasa berat, dia melepas sentuhan ibunya. Lalu menatap semua keluarga dan juga para tamu undangan yang mulai bertanya-tanya. Akhirnya, lelaki itu maju dan berdiri di podium. Mic sudah ada di depan mulutnya saat ini.
“Terima kasih atas semua tamu undangan yang hadir saat ini, saya Ragata Wijaya, lelaki yang harusnya sudah mengucapkan janji sucinya sejak 2 jam lalu, mungkin. Namun…aku hanya ingin mengatakan maaf kepada semua orang yang hadir di tempat ini, karena mempelai wanita lebih mencintai teman saya, meski sudah menyatakan komitmennya. Sekali lagi, saya mohon maaf atas hal ini!”
Begitu mendengar ucapan Ragata, semua keluarga saling menatap satu sama lain. Ragata menuruni podium yang terasa hanyut dengan bisikan yang terdengar sangat jelas. Kini Ragata berdiri di hadapan kedua orang tuanya.
“Ma…”
“Nak…kenapa kamu tidak bilang?” Tika berseru pelan dengan mata yang berkaca-kaca.
“Apa maksudmu nak, kenapa dengan putriku?” Juan menatap Ragata, “apa dia…apa dia berselingkuh maksudmu?”
“Pah….” Ragata yang sudah sangat kenal dengan keluarga Melisa hanya bisa menundukkan wajahnya, tubuhnya bergetar saat mengatakan kalimat tadi. Saking dekatnya, Ragata bahkan memanggil Juan—ayah Melisa—dengan sebutan ayah.
“Nak…kenapa tidak mengatakannya? Aku tidak punya wajah di hadapanmu saat ini!” Juan dan Maudi sudah terisak.
Hari pernikahan yang harusnya di banjiri dengan tangis haru, malah dibanjiri dengan tangis kecewa dan rasa malu. Ragata hanya diam, tangannya menyeka air mata yang mengalir dari pelupuk matanya. Hatinya sudah hancur sejak semalam, persis di saat dia melihat dengan jelas bahwa tunangannya dan sahabatnya sendiri bercinta di dalam ruangan kerja gadis itu.
Flashback
“Dia gak jawab bro?” Angga menatap Ragata yang sejak tadi mencoba menghubungi Melisa—tunangan lelaki itu.
“Gak, apa dia lagi operasi ya?”
Dengan sigap, Angga yang juga sahabat Ragata memeriksa jadwal dokter Melisa. Sayangnya, tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu sibuk malam ini. Terlebih, seingat Angga, gadis itu juga meminta cuti untuk fokus pada pernikahan mereka.
“Kosong, baiknya lo periksa aja deh ke ruangannya. Tadi pagi gue lihat dia masuk kerja, mungkin memeriksa beberapa data!”
“Mungkin gue harus periksa kali ya!” Raga tersenyum, “apa gue perlu bawa makanan sekalian gak?”
“Makan di luar aja. Tapi lo harus tau Ga, kalo cewek mau nikah, bisanya plin-plan. Antara sedih atau bahagia, dia memikirkannya dengan baik-baik. Jadi, gak usah terlalu memaksa kalo Melisa butuh waktu. Istri gue juga gitu pas kami mau nikah, gue bahkan sampai menyewa bodyguard buat ngejagain Vira, jaga-jaga kalo dia berubah pikiran dan kabur. Kan gak lucu, udah nyewa gedung mahal-mahal, udah nyebar undangan, tapi ujung-ujungnya gak jadi nikah!”
Raga tertawa sambil menepuk bahu Angga.
“Ada-ada aja lo, Melisa kan udah pacar gue sejak jaman kuliah dulu. Gak mungkin lah dia mau kabur, ada-ada aja lo!”
“Ya kan gue cuman bilag aja. Ya udah deh, lo cabut aja. Kalo mau bawa makanan, tadi gue beli pizza juga, mungkin lo bisa bawa itu sekalian sama minuman. Mungkin lo sama dia bisa bicara santai dulu sebelum pulang!”
“Gue baru bisa pulang besok bego, hari ini jadwal gue yang jaga!”
“Udah…” Angga mengibaskan tangannya, mengusir Ragata dari hadapannya, “khusus malam ini, biar gue yang jaga. Gue ngehargain lo karena besok hari penting buat lo. Jadi…lo harus cukup tidur, biar gak salah ngucapin janji suci lo besok!”
“Hahahah…lo emang sahabat gue yang terbaik. Kenapa gue gak nikahin lo aja sih?” goda Raga.
“Ogan goblok, gue masih normal. Pigi sono, atau ntar gue berubah pikiran nih!”
“Iya…iya, lain kali biar gue yang jaga. Gue cabut dulu!”
Dengan perasaan senang, Ragata melangkah menuju lift dan memencet angka 10. Tempat dimana ruangan kekasihnya, yang besok akan resmi menjadi istrinya itu berada. Melisa adalah dokter bedah, dan mereka sudah menjalin hubungan kurang lebih 7 tahun lamanya. Mereka kenal saat menjadi mahasiswa dulu, dan karena sama-sama menyukainya, akhirnya mereka menjalin hubungan.
Dan setelah memantapkan harinya, Ragata memberanikan diri untuk melamar Melisa beberapa bulan lalu. Dan mengatakan ingin menikahi gadis itu 1 minggu lalu. Setelah restu dari semua pihak keluarga, akhirnya tangga yang ditentukan adalah besok.
Ahhh
“Faste Rick, gue mau datang.”
“Lo sempit banget!”
“Faster…punya lo gede banget sialan!”
Wajah Melisa berkeringat saat benda tajam Erick memasuki liang hangatnya. Nafasnya ngos-ngosan, memenuhi ruangan kerjanya. Dia tidak lagi peduli, jika ada orang yang mendapati mereka sedang bercinta di rumah sakit.
“Shit, lo nikmat banget!” umpat Erick
Tangan Ragata yang hampir mengetuk ruangan kerja milik Melisa mendadak berhenti mendengar suara-suara desahan dari dalam. Tubuh Ragata mendadak panas dingin, dia mendorong sedikit pintu Melisa yang kebetulan tidak dikunci agar matanya bisa melihat dengan jelas apa yang sebenarnya tengah terjadi di dalam ruangan kekasihnya itu. .
Rasanya panas. Tubuh Ragata mendadak kaku melihat apa yang terjadi di meja kerja gadis itu. Ragata mundur satu langkah, dia berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang dia lihat tidaklah benar. Namun, mendengar suara desahan wanita dari dalam, membuat Ragata menelan ludahnya kasar.
Kekasihnya, sosok yang tinggal hitung hari akan menjadi istrinya dan sahabatnya—Erik, sedang bercinta di dalam?
Brugh
Makanan yang tadi Ragata bawa terjatuh beserta botol kaca berisi wine halal yang tadinya dia persiapkan untuk menemani acara bincang-bincang santai mereka. Demi apa? Bahkan Ragata sendiri, yang sudah menjadi kekasih Melisa, selama 7 tahun tidak pernah melakukan hal itu kepada wanita itu. Dia punya prinsip yang sejak dulu dikatakan oleh ayahnya.
“Sialan, ada yang datang?” Melisa dan Erick yang tadinya berada di tengah kenikmatan itu mendadak berhenti.
Erick menarik miliknya yang masih menancap di milik Melisa. Lalu memungut pakaian mereka, mengenakannya dengan cepat.
“Rambut lo bagusin!” ujar Erick, menatap Melisa yang kacau karena perbuatan mereka tadi.
“Rik, jangan-jangan itu, Ragata!”
“Udah, gue bakal tanggung jawab. Lagi pula kita kan udah berkali-kali kayak gini, masa lo takut sih ketahuan sama dia?”
Melisa menahan tangan Erick yang hendak menuju ke arah pintu, dia menggeleng. Namun Erick menarik tangannya paksa, dan menatap kesal Melisa.
“Lo mau hubungan kita diam-diam aja? Sekali ketahuan, ya biarin aja. Gue bakal nikahin lo kalo kita ketahuan!”
Erick melangkah menuju pintu keluar, dan benar dugaan mereka berdua. Ragata masih berdiri seolah kehilangan jiwanya di depan pintu. Tatapan Erick tertuju pada makanan dan juga minuman yang berserak di depan pintu. Tatapannya pada Ragata terlihat tidak bersalah.
Tubuh Melisa kaku, dia menatap Raga yang menatapnya tanpa ekspresi.
“Ga…gue…gue bisa jelasin!” Melisa hendak mendekati Raga, namun Erick menahan lengan Melisa.
“Lo mau jelasin apa? Dia sudah tahu semuanya, emang lo pikir dia mau bekas gue?”
“Erick!” kesal Melisa, “lo apa-apaan sih?”
“Maksud lo yang apa? Kita bercinta dan lo pikir ada laki-laki yang mau nerima bekas?” suara Erick meninggi.
“Diam!” ujar Ragata dengan tatapan tidak bisa dijelaskan, lelaki itu menatap Melisa dan juga Erick bergantian, “jadi…lo berdua sering ngelakuin gini?”
“Ga…” Melisa mencoba menyentuh Ragata, sayangnya lelaki itu menepis tangan gadis itu kasar, “lo emang cowok berengsek, dan lo emang cewek murahan. Gue percaya sama lo berdua, tapi lo…” Ragata mengepalkan tangannya, “SIALAN…MATI AJA LO BERDUA!”
Brughh
Erick yang tidak siap dengan gerakan mendadak Ragata terlempar ke belakang. Melisa berteriak karena terkejut dan juga panik.
Ragata tidak berhenti, dia memukul wajah Erick berkali-kali.
“Stop Ga, stop. Ini salah kami berdua, Erick gak salah, lo…”
“Minggir jalang!”
Bruk—Melisa terjatuh dan menabrak tembok karena dorongan Ragata yang cukup keras.
“Sialan, lo jangan berani-berani main tangan sama cewek bangsat!”
Brugh—tubuh Ragata terpelanting. Dia menatap Erik yang hampir menghajar wajahnya. Beruntung sebuah tangan menahan pukulan itu lebih dulu.
Angga menarik tubuh Erick ke belakang, Andreas muncul dan membantu Ragata untuk bangkit berdiri.
“Sialan, lepasin gue, Angga. Lo gada hubungannya dengan semua ini, lo…”
“Diam…lo bawa Melisa pergi, dan jangan pernah datang kemari lagi. Lo benar-benar bajingan, tau ga?” Angga berteriak marah.
“Tau apa lo hah?” teriak Erick, menarik paksa tangannya dari Angga.
Ragata hanya diam, dia menatap Melisa dalam. Gadis yang sejak dulu menjadi kepercayannya, gadis yang selalu dia puji, gadis yang dia cintai tulus dari relung hatinya yang paling dalam. Gadis yang seharusnya menjadi teman sampai akhir hayat. Sosok…yang juga menghancurkan semuanya.
Melisa bangkit, dia menyeka luka di wajahnya. Berjalan mendekati Ragata yang hanya diam saja.
“Ga…maaf. Gue…gue tau gue salah, tapi…ini adalah keputusan gue. Maaf, dan besok lo gak bakal liat gue lagi.” Ujar Melisa sambil menangis.
“Jangan pernah gue liat lo, sampai gue melihat lo sama dia, detik itu juga gue bakal ngebunuh lo berdua, berengsek!”
“Gue…minta maaf, Ga!”
“Lo gak salah, tapi lo cewek murahan!” seru Ragata kasar.
Melisa sudah terisak, dia menatap Ragata untuk sekali lagi. “Erick, kita pergi!”
Tubuh Ragata terjatuh ke lantai usai mereka berdua sudah menghilang di balik pintu lift. Tangannya memukul dadanya berulang kali, sungguh rasanya seperti mimpi. Ragata merasa bahwa apa yang baru saja terjadi tidaklah nyata.
Sedangkan Andreas dan Angga hanya bisa menatap tanpa tahu apa yang terjadi. Namun mendengar perkataan Ragata yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya, cukup memberikan mereka sebuah klue. Sepertinya Melisa memang bermain api di belakang Ragata, seperti dugaan mereka selama ini. Sebab, beberapa kali Angga memang mendapati Erick dan Melisa berduaan di dalam parkiran mobil. Dia diam, karena merasa itu bukanlah urusannya, dan tidak mau berburuk sangka.
“Ga…”
“Gue…gue harus apa?” teriak Ragata berteriak marah dengan air mata yang membasahi wajahnya.
Benar memang seorang lelaki dilarang menangis. Namun, kali ini perasaan Ragata benar-benar hancur. Wanita yang sejak dulu dia cintai menghianatinya, padahal besok adalah hari pernikahan mereka.
Andreas dan Angga hanya diam saja, tidak bisa mengatakan apa-apa. Jika mereka di posisi Ragata, mungkin tidak hanya pukulan yang akan melayang, namun bisa jadi nyawa juga ikut melayang. Angga dan Andreas menjadi saksi seberapa bucin Ragata pada Melisa.
Dokter genius itu terkadang seperti orang bodoh karena menuruti semua permintaan Melisa. Sayangnya, dia dihancurkan oleh gadis pujaannya juga.
“Ga…ayo jangan di sini. Gue nemenin lo mabuk, jangan lakukan hal bodoh, tolong!” ujar Andreas.
Ragata berhenti menangis, tangannya mengeluarkan darah karena memukul lantai dengan emosi sejak tadi. Tatapan Ragata kosong, seolah itu bukanlah dirinya.
“Gue butuh waktu sendiri, lo berdua pergi aja!”
“Ga…lo jangan sendirian.”
“Lo dengar gak sih bajingan? Gue gak butuh lo, gue butuh sendirian!” teriak Ragata marah, menatap Andreas dan Angga dengan tatapan emosi.
Tangan Ragata mengepal, bersiap untuk melayangkan pukulan jika permintaannya tidak dituruti. Sayangnya, Andreas dan Angga bukanlah tipikal yang meninggalkan teman di saat butuh. Keduanya ikutan duduk di depan pintu, dan menatap Ragata yang menundukkan wajahnya.
Berjam-jam seperti itu. Hingga pada akhirnya Angga pergi lebih dulu karena ada panggilan darurat dari perawat. Kini tinggal Andreas, dia menatapi seperti apa Ragata yang menjadi seperti orang bodoh dan kehilangan akal sehat.
“Hahah…gue emang gak beruntung ya!” guman Ragata, membuat Andreas yang tadi hampir tertidur kembali terjaga.
Lelaki itu menelan ludah kasar saat menatap tatapan Ragata yang tertuju padanya.
“Gue bego ya?” tanya Ragata.
“Raga…lo…lo…lo gak…Raga!” teriak Andreas panik saat Ragata terjatuh saat mencoba berdiri, “sialan, make acara pingsan lagi. Mana berat lagi, arghhhh, help!” teriak Andreas mencoba untuk membawa tubuh Ragata ke atas sofa.
“Sialan, sepertinya lo harus gue seret!” Andreas berseru dengan langkah yang sigap, tangannya menarik kaki Ragata dan menarik lelaki itu ke arah sofa. Tidak peduli jika setelah sadar dia akan diomeli sepanjang saat.
Yang penting, Ragata harus diobati dulu.
Resort ramai. Mereka memutuskan menginap di resort karena semalaman penuh, Bali diterjang hujan. Bahkan pagi ini, gerimis masih terlihat menyelimuti tempat wisata. Namun tetap saja ada rombongan yang berkunjung, bahkan sang sopir terlihat baru keluar dari mobil usai memarkirkan bus besar di parking area hotel.Jarum jam sudah menunjuk ke arah pukul 09.00, dan Pandu yang baru saja memarkirkan mobil hanya bisa berceloteh ringan. Bahkan sosok yang membuatnya bangun pagi-pagi buta untuk menuju bandara I Gusti Ngurah Rai, tidak mengatakan apa-apa setelah mobil tiba di parkiran hotel.Langsung membuka pintu mobil, dan pergi begitu saja. Membuatnya kesal setengah mati. Pandu lekas mengikuti Ragata yang sudah menghilang di balik lift. Memang ya, kalau sudah mencintai seseorang, tidak ada kata bertahan berpisah. Kekesalan Pandu selain itu, karena baru tahu Rindu juga harus pulang malam ini. Itu artinya rencana mereka ke Lombok juga tertunda.Di tengah langkahnya yang hendak menuju kamar Rindu
Pandu POVMungkin, orang-orang tidak tahu seberapa besar arti dari sebuah persahabatan. Bagiku, bertemu dengan dua manusia yang meskipun sedang sibuk makan seperti pork dan tidak menyisakan bagianku, aku tetap menyayangi mereka tulus dari lubuk hatiku.Hari sedang cerah di luar, terlihat jelas dari gorden ruang tamu yang berterbangan dan cahaya yang menembus sehingga ruang tengah terang benderang.Kami sedang liburan di Bali, mumpung ada weekend, dan aku pun bisa mengambil jatah libur. Awalnya Rindu mengatakan tidak bisa ikut, tapi dengan segala akal yang aku punya, jadilah dia diberikan kesempatan.Sudah beberapa bulan berselang. Bayi imut yang dulu tidak bisa memanggilku kini sudah mulai mengenaliku. Walau tidak bisa mengeluarkan suara. William sedang berada di pangkuanku. Dan lihatlah, dia benar-benar menggemaskan.Setidaknya itu menghilangkan rasa kesalku pada induknya yang sibuk makan di hadapanku. Tidak ada bedanya dengan Miquel. Mereka berdua benar-benar menikmati hidangan itu t
Pandu sudah mulai membaik, itu sebuah kemajuan besar. Chika sedang duduk sambil mengamati wajah lelaki yang sedang tertidur itu. Sejak semalam, dia tidak pulang. Bersikeras untuk merawat Pandu. Bahkan rela melewatkan seminarnya, padahal itu adalah kesempatan besar untuk Chika. “Kau tidak kerja hari ini, Chika?”Xavier akhirnya bisa menghilangkan pikiran buruk sangkanya setelah melihat bagaimana Chika merawat sang adik. Sambil meletakkan secangkir teh di atas meja, Xavier mengambil duduk tidak jauh dari kedua orang itu. Udara di rumah sakit amat sangat dia benci. Tapi karena itu adalah Pandu, mau tidak mau Xavier harus mengesampingkan egonya.“Saya shift malam, kak.”“Panggil nama saja, tidak usah terlalu formal. Toh juga aku dengan Pandu hanya beda menit lahirnya.”Chika mengangguk, sambil meneguk isi gelas berisi teh Rosella itu. Sepertinya homemade. Dari rasanya Chika bisa tau. Jemari Pandu mulai bergerak, membuat Chika bersemangat. Tapi menunggu sepersekian menit, tidak ada tanda-
Suasana rumah sakit di pagi hari sedikit berbeda daripada sebelumnya. Perbedaan itu paling terasa pada Chika. Sejak tadi dia hanya memantau kehadiran sosok yang sudah menghantuinya belakangan ini. Bahkan nomornya saja tidak bisa di hubungi. Dan Pandu tidak masuk sudah beberapa hari. Gimana gak panik coba?Begitu melihat sosok Rindu yang berjalan dengan tenang, Chika berlari. Menarik tangan Rindu yang hampir saja menghindarinya lagi.“Rin, gue tau lo pasti tau kenapa Pandu gak ngangkat nomor gue kan? Please, I need a hand right know, dia gak balas pesan gue udah dua hari ini. Something happened?”Ekspresi datar Rindu membuat Chika menghela nafas. Dia sudah berusaha menjelaskan bahwa malam itu adalah sebuah kesalahpahaman. Tapi tak satupun yang percaya padanya. Miquel dan Rindu, hanya diam saja.“Rin, kalo emang Pandu gak seberarti itu buat gue, ngapain juga gue rela nungguin dan mau ngasih tahu kalo malam di club itu adalah kesalahan? Tapi karena gue suka sama dia, makanya gue mau nge
Suasana club mulai ramai. Chika duduk di salah satu sofa, tidak jauh darinya ada seorang lelaki yang tengah meneguk cocktailnya. Malam itu adalah ulang tahun dari salah satu teman Chika, dan seperti biasa bagi kaula muda. Mereka merayakannya di club.“Chika, lo yakin mau ngelanjutin hubungan lo sama dia? Atau lo emang cuman kasihan sama usaha bokap lo?”“Kevin, please deh gak usah bahas soal itu.”“Lo belom move on dari gue?” Kevin menyeringai. Dia tahu Chika belum menerima Pandu, karena itu hanyalah alibi semata.“Kev, lo itu cowok berengsek tau gak sih? Buat apa mertahanin manusia sampah kayak lo. Mending lo jauh dari sini.”“Aigoo…kalian berdua ini seperti kucing dan tikus saja. Setiap bertemu pasti akan berdebat, apa tidak ada kegiatan yang bisa kalian berdua lakukan selain ini?” Gangga menyela sambil menatap Kevin datar. Dia adalah salah satu teman kuliah Chika, dan juga kenal baik dengan Kevin.Chika hanya menghela nafas. Beberapa dari teman mereka sudah mulai mabuk, dan sudah b
“Mas, aku mau kerja lagi.”Ragata langsung berhenti mengetik di tuts keyboardnya. Diam beberapa menit, lalu berjalan mendekati sang istri yang sedang menatapnya sambil berdiri. Seolah Rindu sedang laporan padanya. Ragata tersenyum, mengambil tangan sang istri dan membawanya duduk di sofa.Bukannya ingin membatasi ruang gerak sang istri. Ragata justru senang jika sang istri tetap produktif. Sebab, Ragata tahu istrinya itu hanya merasa bosan. Jika masalah finansial, Ragata yakin mereka tidak kekurangan. Dia memberikan Rindu Black cardnya, dan bebas mau dibelanjakan untuk apa saja.“Kalo kita sama-sama kerja, nanti yang jaga William siapa sayang? Kalo dia udah umur 4 tahun, baru nanti bisa sekolah atau di jaga sama ibu. Dia baru jalan satu setengah tahun, kamu gak kasihan sama dia?”Wajah Rindu sedikit ditekuk. Tapi tidak mengurungkan niat wanita itu untuk membujuk sang suami. “Tapi kalo di rumah terus, aku bosan banget, Mas. Aku bisa ambil shift pagi, terus nanti William di jaga sama i