“Dia jadi datang kan, nak? Ini udah lama banget loh, kalian gak lagi berantem kan?”
Tika—wanita tua berusia 62 tahun—terlihat cemas saat sosok yang sejak tadi mereka tunggu-tunggu tidak hadir juga. Mulai terdengar bisik-bisikan dari arah tamu undangan yang sejak 2 jam lalu menunggu. Bahkan, beberapa dari mereka terang-terangan menunjukkan sikap kecewa. Meskipun mereka masih bertahan untuk duduk, namun tidak dengan sebagian lagi yang benar-benar sudah keluar dari aula.
Hari ini, lebih tepatnya sejak 2 jam lalu, seharusnya acara sudah dimulai. Harusnya sudah terdengar suara teriakan heboh dari para tamu undangan untuk menyerukan mempelai agar berciuman.
Sedangkan mempelai pria—Ragata Wijaya—terlihat tenang duduk di jejeran kursi orang tuanya. Seolah dia memang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Wajahnya tenang, namun menggambarkan banyak misteri di dalamnya.
“Nak, kamu buat masalah apa sama Melisa? Atau jangan-jangan dia kecelakaan lagi, coba kamu cek dulu nak. Ini sudah 2 jam, ayah segan kepada tamu undangan kita!” Hadi—sang ayah—ikut cemas.
Begitu juga dengan pihak dari mempelai perempuan. Kedua orang tua Melisa sejak tadi berjalan mondar-mandir karena sama-sekali tidak ada balasan dari pesan yang sudah ratusan kali mereka layangkan pada nomor Melisa.
Yuni dan Juan, kedua orang tua Melisa terlihat sangat cemas. Yuni melangkah mendekati Ragata yang hanya diam, tidak melakukan apa-apa, dan tidak terlihat cemas sama-sekali. Disentuhnya tangan anak muda yang menjadi menantu dambaannya sejak dulu.
“Nak, ada masalah apa sebenarnya? Kenapa Melisa ga datang-datang, dan kamu kelihatan tenang banget?”
Ragata hanya tersenyum, mencoba untuk terlihat tetap teguh. Dia melepaskannya sentuhan calon ibu mertuanya itu dari tangannya. Ditatapnya pergelangan tangannya, jam yang melingkar di sana sudah menunjukkan pukul 15, dan itu sudah 3 jam penantian mereka. Melisa benar-benar tidak hadir, dan menepati perkataannya.
Sebelum berdiri, Ragata menatap kedua orang tuanya. Sosok yang mungkin akan kecewa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
“Nak…kalian tidak berpisah kan?” bisik Tika pelan, mengusap punggung Raga dengan sabar, “Eric juga tidak datang, bukannya dia yang seharusnya mengantar Melisa nak?”
Helaan nafas Ragata terasa berat, dia melepas sentuhan ibunya. Lalu menatap semua keluarga dan juga para tamu undangan yang mulai bertanya-tanya. Akhirnya, lelaki itu maju dan berdiri di podium. Mic sudah ada di depan mulutnya saat ini.
“Terima kasih atas semua tamu undangan yang hadir saat ini, saya Ragata Wijaya, lelaki yang harusnya sudah mengucapkan janji sucinya sejak 2 jam lalu, mungkin. Namun…aku hanya ingin mengatakan maaf kepada semua orang yang hadir di tempat ini, karena mempelai wanita lebih mencintai teman saya, meski sudah menyatakan komitmennya. Sekali lagi, saya mohon maaf atas hal ini!”
Begitu mendengar ucapan Ragata, semua keluarga saling menatap satu sama lain. Ragata menuruni podium yang terasa hanyut dengan bisikan yang terdengar sangat jelas. Kini Ragata berdiri di hadapan kedua orang tuanya.
“Ma…”
“Nak…kenapa kamu tidak bilang?” Tika berseru pelan dengan mata yang berkaca-kaca.
“Apa maksudmu nak, kenapa dengan putriku?” Juan menatap Ragata, “apa dia…apa dia berselingkuh maksudmu?”
“Pah….” Ragata yang sudah sangat kenal dengan keluarga Melisa hanya bisa menundukkan wajahnya, tubuhnya bergetar saat mengatakan kalimat tadi. Saking dekatnya, Ragata bahkan memanggil Juan—ayah Melisa—dengan sebutan ayah.
“Nak…kenapa tidak mengatakannya? Aku tidak punya wajah di hadapanmu saat ini!” Juan dan Maudi sudah terisak.
Hari pernikahan yang harusnya di banjiri dengan tangis haru, malah dibanjiri dengan tangis kecewa dan rasa malu. Ragata hanya diam, tangannya menyeka air mata yang mengalir dari pelupuk matanya. Hatinya sudah hancur sejak semalam, persis di saat dia melihat dengan jelas bahwa tunangannya dan sahabatnya sendiri bercinta di dalam ruangan kerja gadis itu.
Flashback
“Dia gak jawab bro?” Angga menatap Ragata yang sejak tadi mencoba menghubungi Melisa—tunangan lelaki itu.
“Gak, apa dia lagi operasi ya?”
Dengan sigap, Angga yang juga sahabat Ragata memeriksa jadwal dokter Melisa. Sayangnya, tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu sibuk malam ini. Terlebih, seingat Angga, gadis itu juga meminta cuti untuk fokus pada pernikahan mereka.
“Kosong, baiknya lo periksa aja deh ke ruangannya. Tadi pagi gue lihat dia masuk kerja, mungkin memeriksa beberapa data!”
“Mungkin gue harus periksa kali ya!” Raga tersenyum, “apa gue perlu bawa makanan sekalian gak?”
“Makan di luar aja. Tapi lo harus tau Ga, kalo cewek mau nikah, bisanya plin-plan. Antara sedih atau bahagia, dia memikirkannya dengan baik-baik. Jadi, gak usah terlalu memaksa kalo Melisa butuh waktu. Istri gue juga gitu pas kami mau nikah, gue bahkan sampai menyewa bodyguard buat ngejagain Vira, jaga-jaga kalo dia berubah pikiran dan kabur. Kan gak lucu, udah nyewa gedung mahal-mahal, udah nyebar undangan, tapi ujung-ujungnya gak jadi nikah!”
Raga tertawa sambil menepuk bahu Angga.
“Ada-ada aja lo, Melisa kan udah pacar gue sejak jaman kuliah dulu. Gak mungkin lah dia mau kabur, ada-ada aja lo!”
“Ya kan gue cuman bilag aja. Ya udah deh, lo cabut aja. Kalo mau bawa makanan, tadi gue beli pizza juga, mungkin lo bisa bawa itu sekalian sama minuman. Mungkin lo sama dia bisa bicara santai dulu sebelum pulang!”
“Gue baru bisa pulang besok bego, hari ini jadwal gue yang jaga!”
“Udah…” Angga mengibaskan tangannya, mengusir Ragata dari hadapannya, “khusus malam ini, biar gue yang jaga. Gue ngehargain lo karena besok hari penting buat lo. Jadi…lo harus cukup tidur, biar gak salah ngucapin janji suci lo besok!”
“Hahahah…lo emang sahabat gue yang terbaik. Kenapa gue gak nikahin lo aja sih?” goda Raga.
“Ogan goblok, gue masih normal. Pigi sono, atau ntar gue berubah pikiran nih!”
“Iya…iya, lain kali biar gue yang jaga. Gue cabut dulu!”
Dengan perasaan senang, Ragata melangkah menuju lift dan memencet angka 10. Tempat dimana ruangan kekasihnya, yang besok akan resmi menjadi istrinya itu berada. Melisa adalah dokter bedah, dan mereka sudah menjalin hubungan kurang lebih 7 tahun lamanya. Mereka kenal saat menjadi mahasiswa dulu, dan karena sama-sama menyukainya, akhirnya mereka menjalin hubungan.
Dan setelah memantapkan harinya, Ragata memberanikan diri untuk melamar Melisa beberapa bulan lalu. Dan mengatakan ingin menikahi gadis itu 1 minggu lalu. Setelah restu dari semua pihak keluarga, akhirnya tangga yang ditentukan adalah besok.
Ahhh
“Faste Rick, gue mau datang.”
“Lo sempit banget!”
“Faster…punya lo gede banget sialan!”
Wajah Melisa berkeringat saat benda tajam Erick memasuki liang hangatnya. Nafasnya ngos-ngosan, memenuhi ruangan kerjanya. Dia tidak lagi peduli, jika ada orang yang mendapati mereka sedang bercinta di rumah sakit.
“Shit, lo nikmat banget!” umpat Erick
Tangan Ragata yang hampir mengetuk ruangan kerja milik Melisa mendadak berhenti mendengar suara-suara desahan dari dalam. Tubuh Ragata mendadak panas dingin, dia mendorong sedikit pintu Melisa yang kebetulan tidak dikunci agar matanya bisa melihat dengan jelas apa yang sebenarnya tengah terjadi di dalam ruangan kekasihnya itu. .
Rasanya panas. Tubuh Ragata mendadak kaku melihat apa yang terjadi di meja kerja gadis itu. Ragata mundur satu langkah, dia berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang dia lihat tidaklah benar. Namun, mendengar suara desahan wanita dari dalam, membuat Ragata menelan ludahnya kasar.
Kekasihnya, sosok yang tinggal hitung hari akan menjadi istrinya dan sahabatnya—Erik, sedang bercinta di dalam?
Brugh
Makanan yang tadi Ragata bawa terjatuh beserta botol kaca berisi wine halal yang tadinya dia persiapkan untuk menemani acara bincang-bincang santai mereka. Demi apa? Bahkan Ragata sendiri, yang sudah menjadi kekasih Melisa, selama 7 tahun tidak pernah melakukan hal itu kepada wanita itu. Dia punya prinsip yang sejak dulu dikatakan oleh ayahnya.
“Sialan, ada yang datang?” Melisa dan Erick yang tadinya berada di tengah kenikmatan itu mendadak berhenti.
Erick menarik miliknya yang masih menancap di milik Melisa. Lalu memungut pakaian mereka, mengenakannya dengan cepat.
“Rambut lo bagusin!” ujar Erick, menatap Melisa yang kacau karena perbuatan mereka tadi.
“Rik, jangan-jangan itu, Ragata!”
“Udah, gue bakal tanggung jawab. Lagi pula kita kan udah berkali-kali kayak gini, masa lo takut sih ketahuan sama dia?”
Melisa menahan tangan Erick yang hendak menuju ke arah pintu, dia menggeleng. Namun Erick menarik tangannya paksa, dan menatap kesal Melisa.
“Lo mau hubungan kita diam-diam aja? Sekali ketahuan, ya biarin aja. Gue bakal nikahin lo kalo kita ketahuan!”
Erick melangkah menuju pintu keluar, dan benar dugaan mereka berdua. Ragata masih berdiri seolah kehilangan jiwanya di depan pintu. Tatapan Erick tertuju pada makanan dan juga minuman yang berserak di depan pintu. Tatapannya pada Ragata terlihat tidak bersalah.
Tubuh Melisa kaku, dia menatap Raga yang menatapnya tanpa ekspresi.
“Ga…gue…gue bisa jelasin!” Melisa hendak mendekati Raga, namun Erick menahan lengan Melisa.
“Lo mau jelasin apa? Dia sudah tahu semuanya, emang lo pikir dia mau bekas gue?”
“Erick!” kesal Melisa, “lo apa-apaan sih?”
“Maksud lo yang apa? Kita bercinta dan lo pikir ada laki-laki yang mau nerima bekas?” suara Erick meninggi.
“Diam!” ujar Ragata dengan tatapan tidak bisa dijelaskan, lelaki itu menatap Melisa dan juga Erick bergantian, “jadi…lo berdua sering ngelakuin gini?”
“Ga…” Melisa mencoba menyentuh Ragata, sayangnya lelaki itu menepis tangan gadis itu kasar, “lo emang cowok berengsek, dan lo emang cewek murahan. Gue percaya sama lo berdua, tapi lo…” Ragata mengepalkan tangannya, “SIALAN…MATI AJA LO BERDUA!”
Brughh
Erick yang tidak siap dengan gerakan mendadak Ragata terlempar ke belakang. Melisa berteriak karena terkejut dan juga panik.
Ragata tidak berhenti, dia memukul wajah Erick berkali-kali.
“Stop Ga, stop. Ini salah kami berdua, Erick gak salah, lo…”
“Minggir jalang!”
Bruk—Melisa terjatuh dan menabrak tembok karena dorongan Ragata yang cukup keras.
“Sialan, lo jangan berani-berani main tangan sama cewek bangsat!”
Brugh—tubuh Ragata terpelanting. Dia menatap Erik yang hampir menghajar wajahnya. Beruntung sebuah tangan menahan pukulan itu lebih dulu.
Angga menarik tubuh Erick ke belakang, Andreas muncul dan membantu Ragata untuk bangkit berdiri.
“Sialan, lepasin gue, Angga. Lo gada hubungannya dengan semua ini, lo…”
“Diam…lo bawa Melisa pergi, dan jangan pernah datang kemari lagi. Lo benar-benar bajingan, tau ga?” Angga berteriak marah.
“Tau apa lo hah?” teriak Erick, menarik paksa tangannya dari Angga.
Ragata hanya diam, dia menatap Melisa dalam. Gadis yang sejak dulu menjadi kepercayannya, gadis yang selalu dia puji, gadis yang dia cintai tulus dari relung hatinya yang paling dalam. Gadis yang seharusnya menjadi teman sampai akhir hayat. Sosok…yang juga menghancurkan semuanya.
Melisa bangkit, dia menyeka luka di wajahnya. Berjalan mendekati Ragata yang hanya diam saja.
“Ga…maaf. Gue…gue tau gue salah, tapi…ini adalah keputusan gue. Maaf, dan besok lo gak bakal liat gue lagi.” Ujar Melisa sambil menangis.
“Jangan pernah gue liat lo, sampai gue melihat lo sama dia, detik itu juga gue bakal ngebunuh lo berdua, berengsek!”
“Gue…minta maaf, Ga!”
“Lo gak salah, tapi lo cewek murahan!” seru Ragata kasar.
Melisa sudah terisak, dia menatap Ragata untuk sekali lagi. “Erick, kita pergi!”
Tubuh Ragata terjatuh ke lantai usai mereka berdua sudah menghilang di balik pintu lift. Tangannya memukul dadanya berulang kali, sungguh rasanya seperti mimpi. Ragata merasa bahwa apa yang baru saja terjadi tidaklah nyata.
Sedangkan Andreas dan Angga hanya bisa menatap tanpa tahu apa yang terjadi. Namun mendengar perkataan Ragata yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya, cukup memberikan mereka sebuah klue. Sepertinya Melisa memang bermain api di belakang Ragata, seperti dugaan mereka selama ini. Sebab, beberapa kali Angga memang mendapati Erick dan Melisa berduaan di dalam parkiran mobil. Dia diam, karena merasa itu bukanlah urusannya, dan tidak mau berburuk sangka.
“Ga…”
“Gue…gue harus apa?” teriak Ragata berteriak marah dengan air mata yang membasahi wajahnya.
Benar memang seorang lelaki dilarang menangis. Namun, kali ini perasaan Ragata benar-benar hancur. Wanita yang sejak dulu dia cintai menghianatinya, padahal besok adalah hari pernikahan mereka.
Andreas dan Angga hanya diam saja, tidak bisa mengatakan apa-apa. Jika mereka di posisi Ragata, mungkin tidak hanya pukulan yang akan melayang, namun bisa jadi nyawa juga ikut melayang. Angga dan Andreas menjadi saksi seberapa bucin Ragata pada Melisa.
Dokter genius itu terkadang seperti orang bodoh karena menuruti semua permintaan Melisa. Sayangnya, dia dihancurkan oleh gadis pujaannya juga.
“Ga…ayo jangan di sini. Gue nemenin lo mabuk, jangan lakukan hal bodoh, tolong!” ujar Andreas.
Ragata berhenti menangis, tangannya mengeluarkan darah karena memukul lantai dengan emosi sejak tadi. Tatapan Ragata kosong, seolah itu bukanlah dirinya.
“Gue butuh waktu sendiri, lo berdua pergi aja!”
“Ga…lo jangan sendirian.”
“Lo dengar gak sih bajingan? Gue gak butuh lo, gue butuh sendirian!” teriak Ragata marah, menatap Andreas dan Angga dengan tatapan emosi.
Tangan Ragata mengepal, bersiap untuk melayangkan pukulan jika permintaannya tidak dituruti. Sayangnya, Andreas dan Angga bukanlah tipikal yang meninggalkan teman di saat butuh. Keduanya ikutan duduk di depan pintu, dan menatap Ragata yang menundukkan wajahnya.
Berjam-jam seperti itu. Hingga pada akhirnya Angga pergi lebih dulu karena ada panggilan darurat dari perawat. Kini tinggal Andreas, dia menatapi seperti apa Ragata yang menjadi seperti orang bodoh dan kehilangan akal sehat.
“Hahah…gue emang gak beruntung ya!” guman Ragata, membuat Andreas yang tadi hampir tertidur kembali terjaga.
Lelaki itu menelan ludah kasar saat menatap tatapan Ragata yang tertuju padanya.
“Gue bego ya?” tanya Ragata.
“Raga…lo…lo…lo gak…Raga!” teriak Andreas panik saat Ragata terjatuh saat mencoba berdiri, “sialan, make acara pingsan lagi. Mana berat lagi, arghhhh, help!” teriak Andreas mencoba untuk membawa tubuh Ragata ke atas sofa.
“Sialan, sepertinya lo harus gue seret!” Andreas berseru dengan langkah yang sigap, tangannya menarik kaki Ragata dan menarik lelaki itu ke arah sofa. Tidak peduli jika setelah sadar dia akan diomeli sepanjang saat.
Yang penting, Ragata harus diobati dulu.
“Jadi, dokter Raga memang diselingkuhi?”Begitulah situasi rumah sakit saat ini. Padahal udah 2 bulan sejak kejadian, tetap saja berita itu masih menjadi pembicaraan hots di rumah sakit. Berita itu menyebar kemana-mana, ada yang merasa kesal, namun ada juga yang merasa senang. Terlebih kaum para wanita baik dari dokter, perawat, bahkan dari beberapa pasien ada yang merasa senang karena dokter idaman mereka tidak jadi memiliki pemilik sah.“Padahal, dokter Melisa biasa aja loh tampangnya. Tapi bisa-bisanya dia seperti itu. Dasar wanita tidak tahu diuntung memang, coba kalo aku jadi pacarnya dokter Raga, mana mau diri ini berselingkuh?”“Diam aja deh, itu masalah mereka. Lo kepo banget sih jadi orang?”“Gue bukannya kepo, cuman mengutarakan pemikiran gue aja!”“Sama aja, lo bisa kena masalah kalo masih ngomongin masalah dokter Raga. Dia senior kita, dan sangat banyak fans. Jadi….”“Jadi kenapa?”Mendadak, sosok 2 perawat itu mengatupkan mulutnya. Angga yang baru saja selesai melakukan o
“Gila, lo yakin mau ke sini?”Ragata masih ragu, dari luar saja sudah terdengar suara musik yang sangat-sangat keras. Bukannya tidak pernah mendatangi tempat seperti ini, namun Ragata sedang tidak mood untuk mengulang kembali kebiasaannya waktu masih kuliah dulu.Sebagai seorang lelaki, dia memang pernah mendatangi tempat-tempat seperti itu.“Musiknya doang yang kegedean, Ga. Dalamnya masih gada apa-apa, lo gak usah mikir yang lain-lain deh. Udah masuk aja, daripada lo balik lagi?”“Ya mending gue balik aja daripada harus di sini!”“Goblok!” Angga meletakkan tangannya di pundak Ragata, dan memaksa temannya itu agar memasuki café di depan mereka. Sudah terlanjur juga lagian, nanggung banget, kang parkir yang nanti tersenyum.“Udah, gak usah sok alim lo. Lagian gue heran deh sama lo, kenapa lo gak pernah nyentuh si mantan sih? Kan kalo dia hamil duluan, ya dia gak bakal selingkuh!”“Ck, bisa diam gak sih? Kenapa sih lo masih bawa-bawa nama dia? Udah gue bilang dari dulu, gue gak mau nye
“Yaelah…Rin…Rindu Senja!” teriakan itu memenuhi lorong kampus. Sedangkan yang dipanggil terus berjalan lurus tidak peduli. Gadis itu menjadi pusat perhatian dari beberapa orang yang juga lewat di koridor, atau hanya sekedar duduk di bangku yang memang disediakan di sana.Fakultas kedokteran selalu sunyi, bahkan di koridornya sekalipun. Sudah horor, makin horor ketika para mahasiswa itu duduk di koridor dengan buku yang tidak lepas dari pandangan mereka.“Rindu, lo kenapa sih? Pagi-pagi udah bete aja jadi orang, niat hidup gak sih lo? Udah fakultas kayak kuburan heningnya, lo malah…yaelah, gue ditinggal kan!” Pandu berdecak sebal saat sang sahabat sudah berpindah lebih dulu.Dia berusaha mengejar lagi, namun seseorang lebih dulu mendaratkan tangan di bahunya. Lekas Pandu menoleh dan mendapati si oleh yang sepertinya tidak tahu permasalahanya pagi ini.“Lo kenapa sih pagi-pagi udah berantem sama mahluk satu itu, Ndu?” Miquel menatap Pandu dengan sorot mata bertanya.“Ck. Lo tau gak sih
Ragata POVTidak ada yang menarik menjadi seorang dokter. Bagiku begitu. Namun, ketika aku mendengar profesi ini diagung-agungkan, apalah kata yang tepat untuk mengatakan pada mereka bahwa profesi mereka entah apapun itu adalah sama pentingnya?“Ga…gue mau serius nanya sama lo!”Itu suara Angga, sudah hafal betul aku dengan suara itu. Terkadang malas mendengarnya, demi apapun. Terlebih saat ini, pintu ruanganku jelas tertutup dan seharusnya dia sadar apa maksud dari hal itu. Aku sedang tidak ingin menerima tamu untuk hari. Rasanya sungguh malas, dan aku ingin menenangkan pikiran sejenak.Tapi sekeras apapun aku melarang, Angga tetaplah Angga. Dia sungguh batu, dan tidak mengerti kata-kata manusia. Tingkah absurd nya dan juga Andreas yang selalu menarik perhatianku untuk menciptakan pil baru, yang bisa melenyapkan kedua mahluk ini.Namun, aku juga sadar tingkah absurd keduanya lah yang bisa membuatku bertahan hingga saat ini. Jujur, sampai detik ini, aku masih trauma dengan yang namany
“Hari ini kita kedatangan dokter tamu lagi!”Salah seorang asisten praktikum mengumumkan hal itu tepat di depan kelas. Rindu, Miquel dan Pandu hanya mengangguk. Karena hal itu memang sudah biasa, tidak ada yang spesial dengan kedatangan dokter tamu, bahkan dari rumah sakit ternama pun.“Eh…gue kebelet lagi!” Rindu berbisik pelan.“Boker?”“Bukan, mau pipis gue!” Rindu menghela nafas, di luar sedang hujan, terlihat dari jendela kaca yang memisahkan luar dengan gedung LAB. Dengan segera Rindu angkat tangan untuk izin.“Kak, dokternya tampan gak?” salah satu mahasiswi bertanya, lalu di sambut dengan tawa oleh circlenya. Pandu hanya memutar bola matanya malas, entah kenapa dia tidak pernah suka jika pada wanita sudah mulai bertindak seperti itu. Apa-apa selalu pandang fisik.“Kenapa, lo sirik?” seru Miquel yang sudah paham betul dengan maksud dari tatapan Pandu yang mengenaskan itu.“Diam ae lo!”“Ada apa…ada apa?” seru Rindu yang baru saja masuk, “lo ngatain gue?”“Ya, katanya cariin Pan
“Prof, saya sudah bisa pulang?”Rindu menghela nafas untuk kesekian kalinya. Bibirnya tidak berhenti mengomel dalam hati, sejak dia mendadak mau menjadi volunteer untuk menggantikan Pandu yang seharusnya ada di posisinya ini. Berkali-kali Rindu menilik sosok yang ada di depannya dengan sabar.Sosok itu tengah sibuk dengan laptopnya dengan tangan yang sejak tadi mengetik. Entah apa yang lelaki itu kerjakan, Rindu Pun tidak tahu.“Siapa suruh kamu jadi pengganti?” Rangga jaketnya, dan beranjak dari tempat duduknya, merapikan laptopnya.“Prof…” Rindu panik saat sosok itu masih tidak memberikan jawaban yang pasti. Ini gimana nasibnya? Masa dia harus melototin kodok yang ada di depannya sih? Sudah 2 jam dia menjadi orang bodoh seperti ini. Mau gimana lagi? Dia sendiri yang sok-sokan menjadi pahlawan kesorean.Satu alis Ragata tertarik.“Ada apa?”“Nasib saya gimana prof, saya kan udah melototin ini kodok sejak 2 jam lalu. Mata saya mulai pegal nih prof!”“Siapa yang nyuruh kamu masih di si
Sudah 1 jam menunggu, namun dosen yang masuk mata kuliah pagi ini tidak kunjung datang. Rindu dan kedua temannya duduk sambil menatap ponselnya masing-masing. Tidak hanya mereka sebenarnya, tapi hampir semua orang tengah berfokus dengan kesibukannya sendiri-sendiri.“Rin, lo ga ke rumah sakit hari ini?”“Iya, tapi habis kelas!”Pandu mengangguk, lalu kembali merebahkan kepalanya. Pagi ini tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, dan dia butuh istirahat. Dan berselang 10 menit kemudian, Bram—sang ketua kelas, mengumumkan bahwa kelas hari ini di cancel.Jadilah Rindu, Miquel dan Pandu berjalan menuju parkiran. Ketiganya harus berpisah karena rumah sakit yang akan mereka datangi juga berbeda.“Lo gapapa naik ojol? Gue anterin aja!” Miquel masih menawarkan.“Kita bedah arah, Miq, mending gue naik ojol aja deh. Lagian udah gue pesen, tinggal bentar lagi kok!”“Apa lo bawa…”“Udah itu, gue duluan ya. Jangan lupa ntar malam kita ke tempat biasa!”“Okey, hati-hati!”Pandu dan Miquel juga lekas m
Miquel dan Pandu menatap Rindu yang terlihat tidak seperti biasanya dengan heran. Gadis yang biasanya selalu menghabiskan banyak waktu untuk membaca lembar demi lembar buku, kini tengah senyum-senyum tidak jelas sambil menatap ke luar jendela. Parahnya, gadis itu juga mengabaikan kedua temannya.Sekali lagi Pandu dan Miquel saling menatap, dan menggeleng karena tidak mendapatkan jawaban atas alasan gadis itu menjadi aneh.“Rindu, lo gak sakit kan?”“Apaan sih pegang-pegang?” Rindu menepis tangan Pandu yang berada di keningnya. Rindu selalu kesal jika disentuh, apalagi di kening.“Ya kan lo dari tadi kayak orang kehilangan tujuan hidup tau gak sih? Senyum-senyum aja dari tadi, kenapa, lo kesambet apaan di jalan tadi? Jangan-jangan arwah nenek moyang di gedung Fakultas teknik nyangkut lagi ke lo!”“Sialan, tuh bibir bisa gak sih di jaga cara ngomongnya?”“Ya kan lo gak jawab senyum-senyum karena apa.” Pandu masih ngotot, mereka berdua terdiam selama beberapa menit sambil menunggu dosen