Share

Istri Mungil Dosen Tengil
Istri Mungil Dosen Tengil
Author: Thesa

1. Selingkuh

“Dia jadi datang kan, nak? Ini udah lama banget loh, kalian gak lagi berantem kan?”

Tika—wanita tua berusia 62 tahun—terlihat cemas saat sosok yang sejak tadi mereka tunggu-tunggu tidak hadir juga. Mulai terdengar bisik-bisikan dari arah tamu undangan yang sejak 2 jam lalu menunggu. Bahkan, beberapa dari mereka terang-terangan menunjukkan sikap kecewa. Meskipun mereka masih bertahan untuk duduk, namun tidak dengan sebagian lagi yang benar-benar sudah keluar dari aula.

Hari ini, lebih tepatnya sejak 2 jam lalu, seharusnya acara sudah dimulai. Harusnya sudah terdengar suara teriakan heboh dari para tamu undangan untuk menyerukan mempelai agar berciuman.

Sedangkan mempelai pria—Ragata Wijaya—terlihat tenang duduk di jejeran kursi orang tuanya. Seolah dia memang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Wajahnya tenang, namun menggambarkan banyak misteri di dalamnya.

“Nak, kamu buat masalah apa sama Melisa? Atau jangan-jangan dia kecelakaan lagi, coba kamu cek dulu nak. Ini sudah 2 jam, ayah segan kepada tamu undangan kita!” Hadi—sang ayah—ikut cemas.

Begitu juga dengan pihak dari mempelai perempuan. Kedua orang tua Melisa sejak tadi berjalan mondar-mandir karena sama-sekali tidak ada balasan dari pesan yang sudah ratusan kali mereka layangkan pada nomor Melisa.

Yuni dan Juan, kedua orang tua Melisa terlihat sangat cemas. Yuni melangkah mendekati Ragata yang hanya diam, tidak melakukan apa-apa, dan tidak terlihat cemas sama-sekali. Disentuhnya tangan anak muda yang menjadi menantu dambaannya sejak dulu.

“Nak, ada masalah apa sebenarnya? Kenapa Melisa ga datang-datang, dan kamu kelihatan tenang banget?”

Ragata hanya tersenyum, mencoba untuk terlihat tetap teguh. Dia melepaskannya sentuhan calon ibu mertuanya itu dari tangannya. Ditatapnya pergelangan tangannya, jam yang melingkar di sana sudah menunjukkan pukul 15, dan itu sudah 3 jam penantian mereka. Melisa benar-benar tidak hadir, dan menepati perkataannya.

Sebelum berdiri, Ragata menatap kedua orang tuanya. Sosok yang mungkin akan kecewa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

“Nak…kalian tidak berpisah kan?” bisik Tika pelan, mengusap punggung Raga dengan sabar, “Eric juga tidak datang, bukannya dia yang seharusnya mengantar Melisa nak?”

Helaan nafas Ragata terasa berat, dia melepas sentuhan ibunya. Lalu menatap semua keluarga dan juga para tamu undangan yang mulai bertanya-tanya. Akhirnya, lelaki itu maju dan berdiri di podium. Mic sudah ada di depan mulutnya saat ini.

“Terima kasih atas semua tamu undangan yang hadir saat ini, saya Ragata Wijaya, lelaki yang harusnya sudah mengucapkan janji sucinya sejak 2 jam lalu, mungkin. Namun…aku hanya ingin mengatakan maaf kepada semua orang yang hadir di tempat ini, karena mempelai wanita lebih mencintai teman saya, meski sudah menyatakan komitmennya. Sekali lagi, saya mohon maaf atas hal ini!”

Begitu mendengar ucapan Ragata, semua keluarga saling menatap satu sama lain. Ragata menuruni podium yang terasa hanyut dengan bisikan yang terdengar sangat jelas. Kini Ragata berdiri di hadapan kedua orang tuanya.

“Ma…”

“Nak…kenapa kamu tidak bilang?” Tika berseru pelan dengan mata yang berkaca-kaca.

“Apa maksudmu nak, kenapa dengan putriku?” Juan menatap Ragata, “apa dia…apa dia berselingkuh maksudmu?”

“Pah….” Ragata yang sudah sangat kenal dengan keluarga Melisa hanya bisa menundukkan wajahnya, tubuhnya bergetar saat mengatakan kalimat tadi. Saking dekatnya, Ragata bahkan memanggil Juan—ayah Melisa—dengan sebutan ayah.

“Nak…kenapa tidak mengatakannya? Aku tidak punya wajah di hadapanmu saat ini!” Juan dan Maudi sudah terisak.

Hari pernikahan yang harusnya di banjiri dengan tangis haru, malah dibanjiri dengan tangis kecewa dan rasa malu. Ragata hanya diam, tangannya menyeka air mata yang mengalir dari pelupuk matanya. Hatinya sudah hancur sejak semalam, persis di saat dia melihat dengan jelas bahwa tunangannya dan sahabatnya sendiri bercinta di dalam ruangan kerja gadis itu.

Flashback

“Dia gak jawab bro?” Angga menatap Ragata yang sejak tadi mencoba menghubungi Melisa—tunangan lelaki itu.

“Gak, apa dia lagi operasi ya?”

Dengan sigap, Angga yang juga sahabat Ragata memeriksa jadwal dokter Melisa. Sayangnya, tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu sibuk malam ini. Terlebih, seingat Angga, gadis itu juga meminta cuti untuk fokus pada pernikahan mereka.

“Kosong, baiknya lo periksa aja deh ke ruangannya. Tadi pagi gue lihat dia masuk kerja, mungkin memeriksa beberapa data!”

“Mungkin gue harus periksa kali ya!” Raga tersenyum, “apa gue perlu bawa makanan sekalian gak?”

“Makan di luar aja. Tapi lo harus tau Ga, kalo cewek mau nikah, bisanya plin-plan. Antara sedih atau bahagia, dia memikirkannya dengan baik-baik. Jadi, gak usah terlalu memaksa kalo Melisa butuh waktu. Istri gue juga gitu pas kami mau nikah, gue bahkan sampai menyewa bodyguard buat ngejagain Vira, jaga-jaga kalo dia berubah pikiran dan kabur. Kan gak lucu, udah nyewa gedung mahal-mahal, udah nyebar undangan, tapi ujung-ujungnya gak jadi nikah!”

Raga tertawa sambil menepuk bahu Angga.

“Ada-ada aja lo, Melisa kan udah pacar gue sejak jaman kuliah dulu. Gak mungkin lah dia mau kabur, ada-ada aja lo!”

“Ya kan gue cuman bilag aja. Ya udah deh, lo cabut aja. Kalo mau bawa makanan, tadi gue beli pizza juga, mungkin lo bisa bawa itu sekalian sama minuman. Mungkin lo sama dia bisa bicara santai dulu sebelum pulang!”

“Gue baru bisa pulang besok bego, hari ini jadwal gue yang jaga!”

“Udah…” Angga mengibaskan tangannya, mengusir Ragata dari hadapannya, “khusus malam ini, biar gue yang jaga. Gue ngehargain lo karena besok hari penting buat lo. Jadi…lo harus cukup tidur, biar gak salah ngucapin janji suci lo besok!”

“Hahahah…lo emang sahabat gue yang terbaik. Kenapa gue gak nikahin lo aja sih?” goda Raga.

“Ogan goblok, gue masih normal. Pigi sono, atau ntar gue berubah pikiran nih!”

“Iya…iya, lain kali biar gue yang jaga. Gue cabut dulu!”

Dengan perasaan senang, Ragata melangkah menuju lift dan memencet angka 10. Tempat dimana ruangan kekasihnya, yang besok akan resmi menjadi istrinya itu berada. Melisa adalah dokter bedah, dan mereka sudah menjalin hubungan kurang lebih 7 tahun lamanya. Mereka kenal saat menjadi mahasiswa dulu, dan karena sama-sama menyukainya, akhirnya mereka menjalin hubungan.

Dan setelah memantapkan harinya, Ragata memberanikan diri untuk melamar Melisa beberapa bulan lalu. Dan mengatakan ingin menikahi gadis itu 1 minggu lalu. Setelah restu dari semua pihak keluarga, akhirnya tangga yang ditentukan adalah besok.

Ahhh

“Faste Rick, gue mau datang.”

“Lo sempit banget!”

“Faster…punya lo gede banget sialan!”

Wajah Melisa berkeringat saat benda tajam Erick memasuki liang hangatnya. Nafasnya ngos-ngosan, memenuhi ruangan kerjanya. Dia tidak lagi peduli, jika ada orang yang mendapati mereka sedang bercinta di rumah sakit. 

“Shit, lo nikmat banget!” umpat Erick 

Tangan Ragata yang hampir mengetuk ruangan kerja milik Melisa mendadak berhenti mendengar suara-suara desahan dari dalam. Tubuh Ragata mendadak panas dingin, dia mendorong sedikit pintu Melisa yang kebetulan tidak dikunci agar matanya bisa melihat dengan jelas apa yang sebenarnya tengah terjadi di dalam ruangan kekasihnya itu. .

Rasanya panas. Tubuh Ragata mendadak kaku melihat apa yang terjadi di meja kerja gadis itu. Ragata mundur satu langkah, dia berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang dia lihat tidaklah benar. Namun, mendengar suara desahan wanita dari dalam, membuat Ragata menelan ludahnya kasar.

Kekasihnya, sosok yang tinggal hitung hari akan menjadi istrinya dan sahabatnya—Erik, sedang bercinta di dalam?

Brugh

Makanan yang tadi Ragata bawa terjatuh beserta botol kaca berisi wine halal yang tadinya dia persiapkan untuk menemani acara bincang-bincang santai mereka. Demi apa? Bahkan Ragata sendiri, yang sudah menjadi kekasih Melisa, selama 7 tahun tidak pernah melakukan hal itu kepada wanita itu. Dia punya prinsip yang sejak dulu dikatakan oleh ayahnya.

“Sialan, ada yang datang?” Melisa dan Erick yang tadinya berada di tengah kenikmatan itu mendadak berhenti.

Erick menarik miliknya yang masih menancap di milik Melisa. Lalu memungut pakaian mereka, mengenakannya dengan cepat.

“Rambut lo bagusin!” ujar Erick, menatap Melisa yang kacau karena perbuatan mereka tadi.

“Rik, jangan-jangan itu, Ragata!”

“Udah, gue bakal tanggung jawab. Lagi pula kita kan udah berkali-kali kayak gini, masa lo takut sih ketahuan sama dia?”

Melisa menahan tangan Erick yang hendak menuju ke arah pintu, dia menggeleng. Namun Erick menarik tangannya paksa, dan menatap kesal Melisa.

“Lo mau hubungan kita diam-diam aja? Sekali ketahuan, ya biarin aja. Gue bakal nikahin lo kalo kita ketahuan!”

Erick melangkah menuju pintu keluar, dan benar dugaan mereka berdua. Ragata masih berdiri seolah kehilangan jiwanya di depan pintu. Tatapan Erick tertuju pada makanan dan juga minuman yang berserak di depan pintu. Tatapannya pada Ragata terlihat tidak bersalah.

Tubuh Melisa kaku, dia menatap Raga yang menatapnya tanpa ekspresi.

“Ga…gue…gue bisa jelasin!” Melisa hendak mendekati Raga, namun Erick menahan lengan Melisa.

“Lo mau jelasin apa? Dia sudah tahu semuanya, emang lo pikir dia mau bekas gue?”

“Erick!” kesal Melisa, “lo apa-apaan sih?”

“Maksud lo yang apa? Kita bercinta dan lo pikir ada laki-laki yang mau nerima bekas?” suara Erick meninggi.

“Diam!” ujar Ragata dengan tatapan tidak bisa dijelaskan, lelaki itu menatap Melisa dan juga Erick bergantian, “jadi…lo berdua sering ngelakuin gini?”

“Ga…” Melisa mencoba menyentuh Ragata, sayangnya lelaki itu menepis tangan gadis itu kasar, “lo emang cowok berengsek, dan lo emang cewek murahan. Gue percaya sama lo berdua, tapi lo…” Ragata mengepalkan tangannya, “SIALAN…MATI AJA LO BERDUA!”

Brughh

Erick yang tidak siap dengan gerakan mendadak Ragata terlempar ke belakang. Melisa berteriak karena terkejut dan juga panik.

Ragata tidak berhenti, dia memukul wajah Erick berkali-kali.

“Stop Ga, stop. Ini salah kami berdua, Erick gak salah, lo…”

“Minggir jalang!”

Bruk—Melisa terjatuh dan menabrak tembok karena dorongan Ragata yang cukup keras.

“Sialan, lo jangan berani-berani main tangan sama cewek bangsat!”

Brugh—tubuh Ragata terpelanting. Dia menatap Erik yang hampir menghajar wajahnya. Beruntung sebuah tangan menahan pukulan itu lebih dulu.

Angga menarik tubuh Erick ke belakang, Andreas muncul dan membantu Ragata untuk bangkit berdiri.

“Sialan, lepasin gue, Angga. Lo gada hubungannya dengan semua ini, lo…”

“Diam…lo bawa Melisa pergi, dan jangan pernah datang kemari lagi. Lo benar-benar bajingan, tau ga?” Angga berteriak marah.

“Tau apa lo hah?” teriak Erick, menarik paksa tangannya dari Angga.

Ragata hanya diam, dia menatap Melisa dalam. Gadis yang sejak dulu menjadi kepercayannya, gadis yang selalu dia puji, gadis yang dia cintai tulus dari relung hatinya yang paling dalam. Gadis yang seharusnya menjadi teman sampai akhir hayat. Sosok…yang juga menghancurkan semuanya.

Melisa bangkit, dia menyeka luka di wajahnya. Berjalan mendekati Ragata yang hanya diam saja.

“Ga…maaf. Gue…gue tau gue salah, tapi…ini adalah keputusan gue. Maaf, dan besok lo gak bakal liat gue lagi.” Ujar Melisa sambil menangis.

“Jangan pernah gue liat lo, sampai gue melihat lo sama dia, detik itu juga gue bakal ngebunuh lo berdua, berengsek!”

“Gue…minta maaf, Ga!”

“Lo gak salah, tapi lo cewek murahan!” seru Ragata kasar.

Melisa sudah terisak, dia menatap Ragata untuk sekali lagi. “Erick, kita pergi!”

Tubuh Ragata terjatuh ke lantai usai mereka berdua sudah menghilang di balik pintu lift. Tangannya memukul dadanya berulang kali, sungguh rasanya seperti mimpi. Ragata merasa bahwa apa yang baru saja terjadi tidaklah nyata.

Sedangkan Andreas dan Angga hanya bisa menatap tanpa tahu apa yang terjadi. Namun mendengar perkataan Ragata yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya, cukup memberikan mereka sebuah klue. Sepertinya Melisa memang bermain api di belakang Ragata, seperti dugaan mereka selama ini. Sebab, beberapa kali Angga memang mendapati Erick dan Melisa berduaan di dalam parkiran mobil. Dia diam, karena merasa itu bukanlah urusannya, dan tidak mau berburuk sangka.

“Ga…”

“Gue…gue harus apa?” teriak Ragata berteriak marah dengan air mata yang membasahi wajahnya.

Benar memang seorang lelaki dilarang menangis. Namun, kali ini perasaan Ragata benar-benar hancur. Wanita yang sejak dulu dia cintai menghianatinya, padahal besok adalah hari pernikahan mereka.

Andreas dan Angga hanya diam saja, tidak bisa mengatakan apa-apa. Jika mereka di posisi Ragata, mungkin tidak hanya pukulan yang akan melayang, namun bisa jadi nyawa juga ikut melayang. Angga dan Andreas menjadi saksi seberapa bucin Ragata pada Melisa.

Dokter genius itu terkadang seperti orang bodoh karena menuruti semua permintaan Melisa. Sayangnya, dia dihancurkan oleh gadis pujaannya juga.

“Ga…ayo jangan di sini. Gue nemenin lo mabuk, jangan lakukan hal bodoh, tolong!” ujar Andreas.

Ragata berhenti menangis, tangannya mengeluarkan darah karena memukul lantai dengan emosi sejak tadi. Tatapan Ragata kosong, seolah itu bukanlah dirinya.

“Gue butuh waktu sendiri, lo berdua pergi aja!”

“Ga…lo jangan sendirian.”

“Lo dengar gak sih bajingan? Gue gak butuh lo, gue butuh sendirian!” teriak Ragata marah, menatap Andreas dan Angga dengan tatapan emosi.

Tangan Ragata mengepal, bersiap untuk melayangkan pukulan jika permintaannya tidak dituruti. Sayangnya, Andreas dan Angga bukanlah tipikal yang meninggalkan teman di saat butuh. Keduanya ikutan duduk di depan pintu, dan menatap Ragata yang menundukkan wajahnya.

Berjam-jam seperti itu. Hingga pada akhirnya Angga pergi lebih dulu karena ada panggilan darurat dari perawat. Kini tinggal Andreas, dia menatapi seperti apa Ragata yang menjadi seperti orang bodoh dan kehilangan akal sehat.

“Hahah…gue emang gak beruntung ya!” guman Ragata, membuat Andreas yang tadi hampir tertidur kembali terjaga.

Lelaki itu menelan ludah kasar saat menatap tatapan Ragata yang tertuju padanya.

“Gue bego ya?” tanya Ragata.

“Raga…lo…lo…lo gak…Raga!” teriak Andreas panik saat Ragata terjatuh saat mencoba berdiri, “sialan, make acara pingsan lagi. Mana berat lagi, arghhhh, help!” teriak Andreas mencoba untuk membawa tubuh Ragata ke atas sofa.

“Sialan, sepertinya lo harus gue seret!” Andreas berseru dengan langkah yang sigap, tangannya menarik kaki Ragata dan menarik lelaki itu ke arah sofa. Tidak peduli jika setelah sadar dia akan diomeli sepanjang saat.

Yang penting, Ragata harus diobati dulu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status