Romi yang hendak ke dapur untuk membuat kopi mengangkat kepalanya dan menemukan sosok Barata yang menuruni tangga dengan langkah kasar. Saat sudah mencapai anak tangga paling bawah, Romi memberanikan diri bertanya, “Ada hal urgent, Mas?” Dilihat dari air mukanya, Romi menangkap kemarahan di sana. Barata hanya berlalu, tanpa menanggapinya. Pria itu menuju dapur sambil memanggil Mbok Dami. Romi yang melihat itu hanya dapat mengelus dada. Mas bosnya itu masih marah dan bersikap dingin padanya imbas dari kecerobohannya. Dia yang sebelumnya ingin ke dapur pun, akhirnya mengurungkan niat tersebut. Lebih baik menunggu singa yang sedang marah itu keluar dari sana daripada memaksa ke dapur hanya untuk menerima amukannya. Romi masih sayang nyawanya.“Iya, Mas bos.” Mbok Dami yang sedang berdiskusi dengan koki perihal menu hari ini pun tampak berlari tergopoh-gopoh setelah mendengar suara sang majikan memanggilnya. Bisa dibilang, peran perempuan itu di rumah itu ialah kepala atau pemimpin para
Nesa sudah keluar kamar mandi 15 menit lalu. Kini gadis itu tengah berdiri di depan jendela, memandang gazebo dengan tangan terlipat di dada. Dress pendek berwarna biru muda membalut tubuh mungilnya, sangat pas di badannya. Seakan yang memilih gaun ini hafal detail ukuran lingkar pinggang, dada, dan lengannya. Andai saat ini situasinya berbeda, mungkin Nesa akan sangat menyukai penampilannya. Dress yang sangat indah membuat pesonanya yang biasanya mengintip malu-malu bahkan bersembunyi kini terpancar sempurna.Meskipun marah dan membenci Barata, tetapi dia tak punya pilihan lain selain menggunakan barang-barang di rumah ini yang disiapkan untuknya. Sebab, dia dibawa ke sini tanpa membawa apa-apa selain sepotong baju kurung lusuh yang dipakainya waktu pertama kali datang dan dia tak tahu ke mana pakaian itu sekarang. Kemeja yang dipakainya waktu kembali ke sini pun itu merupakan kemeja pembantu Tuan Wirang yang diikhlaskan kepadanya, maka tak mengherankan kalau kedodoran waktu dia paka
Begitu sampai kamar, Nesa langsung merangkak ke kasur. Tak sabar ingin membuka box yang tergenggam di tangannya. Ternyata box itu sudah dibuka dan ponselnya sudah terisi kartu SIM. Jadi, suaminya itu sungguh tak ingin dia kesulitan. Segala sesuatunya dipermudah. “Tetap saja, Mas Bara. Aku nggak akan tersentuh dengan segala effort yang kamu tunjukkan. Bagaimanapun, aku nggak akan pernah lupa gimana kejamnya kamu memisahkanku dengan Bagus,” ucapnya bermonolog. Lalu dia tak butuh waktu lama membuka aplikasi sosial media yang sudah terunduh. Beruntung, Nesa selalu mengingat alamat em*il dan kata sandi yang digunakannya mendaftar dulu. Nama yang pertama kali dia ketik di kolom pencarian tentu saja nama sang kekasih—Bagus Setya. Hanya lima menit, Nesa sudah menemukan akun yang dimaksud. Tertera di sana Bagus terakhir aktif 10 menit lalu. Jemarinya langsung menari lincah di atas layar, mengetikkan pesan pada akun yang dimaksud. “Hai, Gus. Aku di sini baik-baik saja. Kamu nggak perlu cem
“Mas, baksonya satu mangkok lagi, ya,” ucap seorang pelanggan pada pelayan warung bakso sambil mengacungkan telunjuknya disertai bibir semringah. Tampaknya, perempuan gendut itu ketagihan dengan cita rasa bakso yang barusan rampung disantapnya.Si pelayan mengangguk lalu bergegas ke bilik belakang, tempat si bos meracik pesanan. “Enam, Pak,” ucapnya pada si bos, menyebutkan angka pesanan. Malam ini warung lumayan ramai, mungkin didukung oleh cuaca yang dingin sebab sedari tadi sore hujan mulai turun, dan sekarang intensitas curahnya tampak lebat.Si bos mengangguk. “Oke,” jawabnya pada pegawainya yang baru beberapa hari ini dia pekerjakan. “Amri mana, Gus? Kok dari tadi kamu yang bolak-balik?”“Oh, dia sedang riweh di cucian, Pak,” jawab Bagus. “Malam ini sepertinya dewi keberuntungan sedang mampir ke sini. Dari tadi sore orang keluar masuk mau cobain bakso joss Bapak.”Iya, pekerja baru di warung bakso itu tak lain adalah Bagus Setya, kekasih Nesa. Semenjak Andre—orang suruhan Barata
Nesa berjalan mondar-mandir di dalam kamar, sambil matanya tak lepas dari layar ponsel. “Kenapa aku diblokir,” gerutunya dengan resah. “Apa Bagus mengira yang kirim pesan ke dia itu bukan aku? Jadi dia bersikap hati-hati.”Kepala Nesa disesaki beragam prasangka. Dia takut, khawatir, dan cemas. Jika memang Bagus memblokirnya karena dikira si pengirim pesan bukan dirinya lantas bagaimana caranya supaya dapat meyakinkan kekasihnya itu bahwa dialah yang mengirim pesan supaya tetap dapat berkomunikasi? Nesa rasanya ingin mengerang frustrasi. Semua terasa sulit. Sebelumnya dia berpikir, dengan dia menggenggam ponsel maka otomatis juga menggenggam kemudahan. Akan tetapi, nyatanya tak sesuai ekspektasi. “Terus gimana ini ... langkah apa yang harus ku tempuh. Rasa-rasanya aku ingin menyerah kalau sudah mendapati jalan buntu begini, tapi mengingat Bagus ... itu nggak mungkin. Pasti dia juga sedang berjuang keras di sana. Memperjuangkan hubungan kami.”Langkahnya terhenti dan kini menghadap ce
Keesokannya, Nesa benar-benar memasak menu sarapan untuk dirinya dan Barata. Karena pria itu bukan orang yang spesial baginya, jadi dia memasak asal-asalan dan sama sekali tak ingin membuat Barata terkesan. Menu yang dipilih pun sederhana dan pasaran, yaitu nasi goreng dengan toping telor ceplok. Bahkan, dia tak ingin repot-repot mencicipi rasanya—apakah kurang garam atau bahkan terlalu asin, gadis yang melapisi pakaiannya dengan apron biru muda itu hanya mengandalkan feeling-nya. Beberapa jarak di belakangnya, Barata memperhatikan tiap gerakannya dengan bibir tersungging. Pria itu tampak begitu menikmati pemandangan tak biasa yang terpampang di depannya. Gadis cantik sekaligus lugu menginvasi dapurnya, dan dia terpesona dengan cara si gadis memegang spatula, mengerahkan kekuatan mengaduk nasi yang sudah dibumbui, segala sesuatunya terlihat memesona. Barata dibuat takjub olehnya.Barata baru sadar, apa yang dikatakan Romi benar. Nesa lebih cantik dari—Barata menggeleng. “Ah, apa-apa
Barata masuk ke kamarnya 20 menit kemudian. Langsung berbaring di samping Nesa yang tampak sudah mengembara ke alam mimpi. Lalu dia menumpu pipinya dengan tangan, memandang wajah Nesa dengan ekspresi rumit. Entahlah, Barata sendiri tak tahu apa yang sedang menerpanya. Mungkin ucapan Romi beberapa saat lalu sedikit memengaruhinya. Apakah dia merasa iba pada sosok yang dipandanginya? Benarkah gadis ini begitu menyedihkan? Pertanyaan lain muncul di kepalanya. Apakah keegoisannya pada Nesa begitu keji dan kejam? Kemudian, apakah gadis lugu dan tampak murni ini tak layak mendapat kebahagiaan? Untuk pertanyaan terakhir ini, Barata memiliki jawaban. Nesa sangat teramat pantas mendapat kebahagiaan. Sambil merapikan anak rambut yang melintang di pipi Nesa, Barata berbisik, “Dan bukankah aku sudah berjanji akan menghujanimu dengan kebahagiaan, Nes? Dan itu ku ucapkan bukan sekedar omong kosong.”Barata melihat air mata meleleh dari sudut kelopak mata yang terkatup. Barata terkejut, apakah Nes
“Gus, perempuan nggak cuma satu,” komentar Pak Rohan setelah mendengar Bagus bercerita kisah asmaranya dengan Nesa yang berakhir tragis. “Boleh bersedih karena itu wajar mengingat dua tahun bersama bukanlah waktu yang singkat. Tapi jangan sampai berlarut-larut. Apalagi kalau dampaknya sampai membawa hidupmu ke arah negatif. Sangat disayangkan. Kamu masih sangat muda, Nak. Beneran.”Beberapa menit lalu, Pak Rohan berhasil membuat pemuda itu bersikap terbuka padanya. Kini mereka berdua duduk di depan warung dengan pemandangan langsung ke jalan raya. Sementara Amri, pemuda itu menjauh entah ke mana. Yang jelas, untuk saat ini dia akan menjaga jarak dengan Bagus daripada memicu keributan jika mereka dikumpulkan.Mendengar nasihat panjang Pak Rohan, Bagus hanya bergeming dan menunduk menatap tanah.“Nih, rokok.” Pria kisaran 40-an tahun itu menyodorkan sebungkus rokok di depan Bagus setelah tangannya mengambil satu lalu disulutnya ujung benda itu. “Rokok masih enak, Gus. Sayang banget kal