Share

Bab 6. Ketakutan Nesa

Barata sampai di desa Nesa setelah empat jam perjalanan. Dia langsung disambut sang mertua dengan informasi yang sangat tidak dia harapkan.

“Nesa tidak ada di sini, Tuan.” Raharja berbicara dengan takut. Khawatir menantu kayanya itu akan murka padanya.

“Panggil saja Bara, saya menantu Bapak sekarang.” Di luar perkiraan, justru menantunya itu bersikap jauh dari kata murka. Barata tampak mampu mengendalikan emosi.

Bara lantas memeriksa rumah yang hanya sepetak itu untuk memastikan. Dia mengetatkan rahang, istrinya memang tak ada di sana. Ke mana gadis itu pergi? Selama perjalanan pun netranya menyisiri jalan kalau-kalau melihat istrinya. Tetapi, sekadar bayangannya pun tak dia dapati. Barata menjadi semakin khawatir.

“Pemuda itu ... pacar Nesa, di mana rumahnya?” Barata bertanya dengan nada tak sabar. Melihat ikatan emosi Nesa dan Bagus malam itu, instingnya berkata kalau sewaktu-waktu Nesa pergi ke rumah pemuda itu untuk menemuinya atau mungkin saat ini Nesa memang sudah berada di sana mencari keberadaan Bagus.

Raharja sempat terkejut beberapa saat. Bagaimana Tuan Barata tahu tentang pemuda tak berguna pacar putrinya itu. Ralat, mantan pacar sebab sekarang anak gadisnya itu sudah menjadi Nyonya Barata. Itu membuat wajahnya menjadi semringah. “Mari saya antar, Nak Bara,” ucapnya.

Hanya perlu waktu 13 menit untuk sampai di rumah Bagus yang keadaannya tak jauh berbeda dengan rumah Nesa. Sebab itulah Raharja menentang hubungan mereka. Baginya, menikahkan sang putri dengan Bagus takkan dapat memperbaiki skala kehidupan mereka dan dia teramat bosan hidup dalam kemiskinan.

Seorang perempuan kisaran seusia Mbok Dami membuka pintu setelah rumahnya mendapati ketukan.

“Di mana anakmu menyembunyikan Nesa?” Raharja langsung melayangkan tuduhan. Sepasang matanya bertemu dengan sepasang netra yang menyorot sama sinisnya dengannya. Dia dan orang tua Bagus memang tak pernah akur.

“Nesa? Bocah tak tahu malu itu?” Ibu Bagus menunjukkan kesinisan. Barata mencoba bersabar mendengar kalimat buruk yang ditujukan untuk istrinya. “Memangnya dia hilang? Cih! Gadis macam apa yang kamu besarkan, Raharja?” cemoohnya.

Barata langsung maju, tak menginginkan drama itu berkelanjutan. “Bu, saya Bara suami Nesa. Kedatangan saya ke sini ingin meminta pertolongan Ibu kalau-kalau istri saya ke sini,” kata Barata dengan sopan lalu menyodorkan beberapa lembar uang. “Tolong diterima.”

Ibu Bagus itu sontak membelalak dan tangannya tanpa menunggu lama menerima lembaran merah itu. “Apa yang harus saya lakukan?” tanyanya dengan mata berbinar. Sesungguhnya, dia dan Raharja tipe orang yang sama—matanya langsung hijau jika dihadapkan uang.

Raharja yang melihat itu memasang wajah pongah, tak menyembunyikan rasa bangganya sebab telah mendapatkan menantu kaya. Pasti sebentar lagi keberuntungannya itu tersiar di seantero desa.

“Ibu punya hape? Kalau punya tolong hubungi saya jika Nesa berkunjung ke rumah Ibu dan tahan dulu dia di sini selama saya belum datang.” Barata, meskipun dia tuan tanah dan bergelimang harta, jika berhadapan dengan orang tua—tak melupakan sopan santunnya. Terkecuali dalam kondisi tertentu, jika orang itu kurang ajar dan menginjak harga dirinya, dia pun tak segan melunturkan kesopanannya.

“Saya nggak punya hp, tapi saya akan meminjam milik tetangga kalau-kalau Non Nesa ke sini,” tutur Ibu Bagus dengan kalimatnya yang berangsur manis. Karena uang, kesinisanya pada Nesa beberapa saat lalu menguap seketika.

“Cih! Dasar penjilat!” Raharja membatin mendapati momen itu.

Barata mengangguk pada perempuan di depannya lalu meminta kertas dan meminjam pulpen untuk meninggalkan nomor HP-nya di sana. “Di mana anak Ibu? Apakah dia ada di rumah?” Barata hanya berpura-pura, sejatinya dia tahu pemuda yang membuatnya berang itu tak berada di rumah. Romi melaporkan padanya kalau Bagus dibuang jauh dari letak desanya berada.

Ibu Bagus menggeleng. “Dari dua hari yang lalu Bagus nggak pulang. Mungkin dia diperlukan bosnya di rumahnya. Bagus itu, selain kerja konter dia juga dipekerjakan juragan kelapa, Tuan. Anak saya itu memang bisa melakukan pekerjaan apa saja. Jika Tuan membutuhkan pekerja, sangat bisa Bagus mengisi lowongan itu.” Mata Ibu Bagus berbinar-binar dengan harapan.

“Cih! Sepertinya telingaku akan dipenuhi jilatan menjijikkan perempuan ini.” Raharja mendengkus muak.

Sementara Barata, tentu saja dia takkan mengabulkan harapan perempuan yang melahirkan mantan kekasih istrinya itu. Begitu bodohnya dia jika menempatkan Bagus dan Nesa dalam satu wilayah. Jika itu terjadi yang ada hanyalah bencana. Jadi, dia tak menanggapi perkataan Ibu Bagus. Dia justru berpesan, “Tolong kalau Nesa ke sini, Ibu bisa menahan lidah Ibu untuk berkata sinis padanya. Saya sangat tidak suka istri saya diperlakukan buruk.”

Meski berat hati, perempuan itu berusaha menyembunyikan keberatannya. Dia mengangguk dengan senyuman manis. “Bagaimanapun, Nesa itu sudah saya anggap putri saya sendiri, Tuan. Saya sering bercengkrama akrab dengannya saat dia ke sini.” Sepertinya, perempuan itu mendadak amnesia dengan sikapnya tatkala mendengar nama Nesa beberapa menit lalu. Dampak kertas bergambar nyatanya sangat telak.

“Sudahlah. Tidak perlu banyak menjilat, Suhana! Aku muak mendengarnya!” Raharja yang tadi hanya mencibir dalam hati, kini memuntahkan cibiran itu. Suhana ini begitu tak tahu malu!

“Kalau begitu, saya permisi.” Barata mengakhiri pertemuan itu dan langsung menuju mobilnya. Raharja menyusul setelahnya.

“Saya langsung pulang. Hubungi saya segera kalau Nesa pulang.” Barata berpesan setelah mengantarkan mertuanya itu sampai depan rumahnya. Dia kemudian segera berkendara pulang. Dalam perjalanan, pikiran Barata dipenuhi dengan kekhawatirannya terhadap Nesa. Dia pun tak menyangka, di malam pengantinnya yang seharusnya merupakan momen bahagia, tetapi yang dia dapatkan justru kehilangan seorang istri.

•••

“Ndah, Indah,” teriak seorang bapak yang baru saja memasuki rumahnya yang sederhana. “Sini Bapak kenalin kamu teman baru, Ndah.”

Gadis yang dipanggil namanya itu segera muncul di ruang tamu, lalu tersenyum pada Nesa yang duduk di salah satu kursi tamu. “Bapak, dia siapa?” bisiknya setelah mencium punggung tangan sang ayah.

“Dia Nesa,” jawab lelaki bernama Agung itu. “Temani Non Nesa selama di sini, Ndah.”

Indah yang notabene jarang memiliki teman itu mengangguk antusias. “Oke, Pak. Jadi Mbak Nesa akan tinggal di sini?”

“Dua hari, Ndah,” jawab Agung. “Setelah itu Non Nesa akan Bapak antar pulang. Bapak juga nggak sengaja bertemu Non Nesa.” Dia melirik Nesa seolah meminta izin untuk bercerita pada putrinya dan Nesa mengangguk samar sebagai jawaban.

“Loh, memangnya Bapak bertemu Mbak Nesa di mana?”

“Di tepi jalan dekat hutan. Ceritanya rumit, Ndah. Ini juga bisa jadi pelajaran buatmu. Jangan percaya sama orang asing ntar diculik kayak Non Nesa ini.”

“Diculik? Siapa, Pak?” Dari dalam ruang TV tiba-tiba muncul seorang wanita yang merupakan istri Pak Agung.

“Ini, Bu. Bapak menemukan gadis yang berhasil lolos dari penyekapan penculik. Jaman sekarang ternyata masih marak soal begituan,” jawab Pak Agung.

Bu Agung yang semakin penasaran sontak saja langsung mencecar suaminya setelah menelisik penampilan Nesa. Jika diperhatikan, Nesa yang cantik dan lugu memang cocok menjadi target penculikan. “Di mana lokasinya, Pak? Kok Ibu jadi ngeri. Takut kalau terjadi juga dengan Indah.”

“Di tengah hutan yang sebelum Desa Pandanan itu lho, Bu.”

“Loh hutan itu. Bukannya di sana itu rumahnya tuan tanah yang tersohor itu?”

Nesa yang sedari tadi diam, jantungnya langsung berdetak kencang dan tampak gelisah saat mendengar itu. Hal tersebut tak luput dari perhatian Indah.

“Tuan tanah siapa, Bu?”

“Itu loh, Pak, Tuan Barata.”

Jantung Nesa semakin berdetak tak keruan. Bagaimana jika orang-orang ini tahu cerita sebenarnya? Apakah akan tetap menolongnya atau justru mengembalikannya pada sang tuan tanah yang telah menjadi suaminya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status