Isakan Sully mulai reda ketika ayahnya sudah tak berada di ruang tamu. Hal itu diikuti oleh kesadarannya akan sekeliling. Ia baru menyadari siapa saja yang berada di sana, situasi di ruang tamu, juga bagaimana penampilannya saat itu. Ia masih memakai celana pendek. Sedikit di atas lutut, tapi bukan celana ketat membentuk tubuh. Celana pendek yang mirip celana pendek pria disertai kaus oblong. Pakaian longgar yang menenggelamkan tubuhnya itu pun kadang masih dikatakan tidak sopan oleh ayahnya. Tapi Sully sudah biasa. Ayahnya pun mungkin sudah biasa. Menegur, tapi sering diabaikan olehnya. Kalau sudah ditegur masalah berpakaian di rumah, Sully biasanya selalu mengelak dengan tameng yang sama. “Ayah, kan, suka kalau Lis pakai begini. Ayah bilang mirip anak laki-laki.” Padahal ucapan ayahnya itu adalah ucapan ketika ia duduk di bangku SD. Tidak cocok lagi dipakai saat ia sudah remaja yang menuju dewasa. Sully sedikit memutar tubuhnya. Tatapannya langsung beradu dengan Wira. Kali ini ia
“Siapa nama lengkapmu tadi?” Pak Anwar menatap lurus menantu bungsunya.“Bagus Prawira.”“Sekolahmu apa?” Nada suara Pak Anwar datar. Seakan sedang mengomentari sesuatu yang membosankan. Paparan Wira soal kekayaannya tadi tidak memengaruhi pria tua itu.“Saya lulusan Teknologi Pertanian.”“Mmmm … petani. Kerja atau bertani sendiri?”“Sebelum bertemu Sulis, saya kerja di PT. Agro Insani sebagai Kepala Bagian Tanaman. Itu adalah salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit terbesar di Riau. Saya juga pemegang beberapa hak paten varietas unggul kelapa sawit yang dibudidayakan PT. Agro Insani. Sederhananya … saat bekerja sebagai Kepala Bagian Tanaman, saya juga sebagai pemegang saham. Saya memulai usaha dari sedikit peninggalan almarhumah ibu saya dan hasil dari menjual varietas unggul dari benih yang saya patenkan. Setelah bapak saya … Pak Gagah Sahari meminta saya kembali ke desa untuk memperbaiki tatanan ekonomi petani yang sangat memprihatikan, saya memutuskan menjual saham di Agro I
Wira menggeleng lemah. “Saya menyukai Sulis, lalu saya mencintainya. Terlebih sekarang. Saya semakin mencintai istri saya. Saya enggak ada maksud seperti yang Ayah bilang barusan. Saya cuma enggak mau Sulis ikut memikirkan hal berat yang sedang saya jalani. Saya mau Sulis duduk santai di rumah dan melakukan apa yang dia sukai.” “Banyak alasanmu. Padahal sejak pertama kau pasti tahu kalau Sulis bukan wanita yang bisa duduk diam aja, kan?” Wira mengangguk membenarkan ucapan ayah mertuanya. Sejak awal ia memang mengetahui kalau Sully adalah wanita yang tak bisa diam. Ia sendiri bahkan mengagumi kemauan keras Sully membuat segala macam untuk ia dan bapaknya. “Saya memang tidak menyekolahkannya terlalu tinggi. Sulis cuma lulusan SMA. Semasa sekolah pun dia bukan murid yang terlalu cemerlang. Tapi … kalau kau tak mau menceritakan apa pun kepada wanita yang kau nikahi, itu artinya kau anggap dia tak berhak tahu soal apa yang kau lakukan. Dan itu artinya kau tak cukup percaya pada anak pere
“Mas, cepat …,” rengek Sully, mengabaikan Wira yang risi karena tatapan tajam empat wanita di dapur. Ia sibuk mengawasi Pak Anwar seolah-olah pria tua itu bisa melarikan diri sewaktu-waktu. Tangannya mendekap lengan Wira, berusaha menyeret pria itu agar segera mendatangi Pak Anwar. “Ayah enggak ke mana-mana,” lirih Wira, sedikit meringis, sedikit tersenyum pada Bu Dahlia. “Ayah bisa aja pergi sewaktu-waktu. Nanti kalau Ayah pergi … urusannya malah makin kacau.” Sully terus menyeret Wira keluar dari dapur. Wira semakin cemberut. Kalau tidak karena Bu Dahlia yang sedang memelototi mereka saat itu, rasanya ia ingin sekali menyentil dahi Sully. Setelah melewati wawancara berbelit-belit dari ayah mertuanya, tak bisakah istrinya itu memberi waktu bernapas? “Tunggu,” kata Wira, melepaskan tangan Sully yang menggelayuti, disertai sedikit kesengajaan mengabaikan wanita itu. Kekesalannya beberapa saat yang lalu pun belum hilang. Bayangan orang tua Erizal datang melamar Sully masih segar di i
“Semua yang ada dalam kopermu? Apa isinya?” Pak Anwar melirik koper Wira dengan sorot tak yakin.“Surat-surat penting, pakaian, juga beberapa benda-benda pribadi saya.”“Kau yakin itu bakal membuat Erizal dan keluarganya terkesima?” Pak Anwar sengaja bicara dengan nada menyepelekan. Ia sedikit senang dengan ketidaksukaan Wira pada Erizal. Ucapan Sully yang mengatakan suaminya adalah lelaki pendiam nyatanya tidak terbukti malam itu. Pak Anwar melihat Wira sebagai laki-laki yang lumayan banyak bicaranya.“Kalau pernikahan ini bisa diundur beberapa hari, saya yakin bisa membuat keluarga Erizal terkesima. Tapi pasti Sulis enggak akan mau. Mmmm … sebelum saya menikah…menikah kembali dengan Sulis maksudnya, apa saya bisa ngobrol sebentar dengannya? Saya rasa kami perlu bicara.”Pak Anwar meletakkan akta pernikahan dan mengambil buku nikah bertuliskan SUAMI-ISTRI dan membalik-baliknya dengan wajah malas. “Saya sudah janji paling lama satu jam lagi sudah tiba di rumah Pak Ramli. Kalau mau bic
Drama hari itu ternyata belum usai. Mata mengantuk dan tubuh yang lelah ingin segera berbaring ternyata tak bisa dijadikan alasan untuk menunda pernikahan yang kedua kali. Ditambah dengan ketukan di pintu sudah terdengar dua kali. Membuat Wira semakin diburu karena semua anggota keluarga pihak mertua sedang menantikan keputusannya.Wira mencoba mengabaikan wanita bergaun motif bunga-bunga merah yang setengah berjongkok di dekat koper. Sepasang tangan Sully sesekali masih menepuk-nepuk handuk di kepalanya. Sebenarnya itu pemandangan sederhana yang dirindukan Wira.“Ayo, cepat, Mas ….”Wira mengerling Sully yang menatapnya dengan sepasang mata memohon. Sebenarnya sangat menggemaskan. Ditambah aroma wangi segar yang menguar dari rambut basah. Kalau tidak karena sedikit rasa jengkel, ia pasti akan memeluk dan mencium istrinya itu. Wira bangkit dari ranjang dan memegangi kedua bahu Sully untuk memindahkan wanita itu menggantikan posisinya di tepi ranjang.“Mas sudah bilang enggak ada bawa s
Sebuah kehampaan yang tidak ada hubungannya dengan perampokan yang barusan dilakukan oleh istri, sedang diresapi dalam-dalam oleh Wira. Sedikit kehilangan, terampas, sedikit keterpaksaan, tidak bisa marah, jengkel, namun disertai dengan rindu dan sayang yang teramat sangat. Entah perasaan apa itu. Wira menggeleng lemah menatap pantulannya dalam balutan pakaian pilihan ayah mertua. Kemeja krem lengan panjang yang kekecilan, juga selembar kain sarung bermotif kotak-kotak perpaduan krem dan biru.Setelah huru-hara kedatangannya ke rumah mertua, Wira baru terlepas dari teror setelah menyerahkan sebuah buku cek yang ditandatangani dan semua isi kopernya sebagai maskawin. Sully lalu menyerahkan sebuah handuk merah dan memintanya membersihkan diri sebelum berganti pakaian. Kini ia berdiri di depan cermin kamar Sully. Menatapi penampilan aneh yang diinginkan sang ayah mertua darinya.“Bagian lengannya kependekan. Kalau ada jam tangan pasti bagus. Pantas ayahnya nyebut dia setan kecil.” Gumama
Nada suara malas-malasan dari seorang pria yang hari itu gagal melamar istrinya, membuat Wira menegakkan tubuh dan merapikan kain sarung yang terlipat rapi di bagian depan. Jelas kalau pria yang didaulat sebagai saksi pernikahan mereka malam itu benar-benar menyukai istrinya. Pria bernama Erizal itu tak melihat Wira sama sekali. Hanya melirik Sully sekilas kemudian menatap ayahnya. Dia adalah pendatang di daerah itu. Sully adalah istrinya dan perkara harus menikah kembali malam itu juga bukan kehendaknya. Kenapa pria bernama Erizal itu terlihat antipati terhadap dia? Ia merasa tidak mencuri Sully dari laki-laki mana pun. Wira berdeham pelan. Ia harus tenang. Tak mau menampakkan kekesalannya, Wira memandang Pak Ramli. “Sudah bisa dimulai, Pak?” “Oh, bisa…bisa. Kalau kamu enggak mau jadi saksi Ayah minta suaminya Utami datang. Pak Muhajir sebentar lagi pasti sampai.” Pak Ramli sedikit tergagap karena pertanyaan Wira. Meski malas, ternyata Erizal tak bisa mengabaikan tatapan tajam ayah