Pagi yang dingin kemudian berubah menjadi pagi yang panas. Sully harus menggulung kaus oblong yang dikenakan Wira karena keinginannya membelai dada dan punggung Wira. “Cepat, Mas. Sebentar lagi Ayah bangun. Kalau mau ke halaman belakang pasti lewat depan kamar.” Ucapan Sully terputus-putus. Antara bicara terburu-buru dan sentakan tubuh Wira yang membuatnya harus mengatur napas. “Cep-pat, Mas. Aduh ….” Perkataan Sully tenggelam. Ia memeluk erat leher Wira ketika puncak kenikmatan menggulungnya.Sejurus kemudian Wira meraih sepasang tangan Sully untuk dibawanya ke atas kepala wanita itu. Gerakannya pun semakin cepat. Setelah meringis dan menyentak beberapa kali akhirnya Wira terkulai di atas tubuh Sully. Cengkeramannya di tangan Sully perlahan mengendur. Napasnya juga perlahan semakin teratur. Dan ia sedang memejamkan mata dengan bibirnya berada di leher Sully ketika wanita itu menepuk lengannya. “Mas! Mas! Geser …. Mas berat.”Wira kembali meringis saat melepaskan tubuhnya. “Mas ke kam
Ruang makan yang tadinya dipenuhi dengan suara denting sendok beradu piring, juga selentingan obrolan santai pengisi waktu makan siang, seketika terhenti. Semua orang memandang Sully yang memegangi tangan Wira sambil mengatur napas.“Bagus baru sampai, Lis. Baru mau makan,” kata Bu Dahlia. “Lis dari mana? Pasti lewat kebun kelapanya Erizal. Suaminya bukan dikasih makan malah diminta manjat pohon kelapa. Makan.” Suara Bu Dahlia terdengar lebih tegas. Tangannya menunjuk Sully, lalu ke meja makan.Sully cemberut menyeret langkahnya ke meja makan. “Tadi Lis jumpa Lina. Bang Erizal katanya mau bikin takik. Ibu tahu, enggak? Takik itu pijakan di pohon kelapa. Di Girilayang namanya itu. Lina mau memamerkan Bang Erizal manjat pohon. Mas Wira pasti lebih jago. Lis yakin,” sungut Sully.Wira diam saja mengikuti langkah Sully kembali ke meja makan. Sejenak ia mengabaikan serabut wajah bertabur titik keringat, meski tetap cantik yang bersungut-sungut di depannya. Wira lapar. Ia menarik kursi dan
“Trauma?” ulang Sully.“Jangan naik motor lagi, Lis.”Trauma? Apa Wira membicarakan soal kegugurannya karena berada di boncengan Subardi? “Jadi, mau naik apa? Mobil Ayah enggak bisa parkir di halaman. Biasa memang selalu dititip di pesantren depan.” Sully memperlihatkan wajah penyesalan. Kepalanya celingukan mencari siapa pun yang bisa ditanyainya soal kendaraan lain.“Mas ada simpan nomor handphone taksi yang ngantar Mas ke sini. Mobil pelabuhan itu,” jelas Wira.Sully mengangguk ketika Wira meletakkan ponsel di telinganya dan tak lama bicara dengan seseorang. Sepuluh menit menunggu tanpa mengatakan apa pun karena sibuk dengan pikiran masing-masing, akhirnya Wira kembali ditelepon.“Supirnya sudah di depan. Ayo ….” Tangan Wira terulur menunggu sambutan Sully.Sully menyambut tangan Wira dengan langsung memeluk lengan pria itu. Sepanjang jalan, mereka sesekali merenggangkan tubuh karena langkah yang harus menghindari genangan air.“Lihat sendiri, kan? Jalanan mulai dari rumah kamu ke
Entah apa yang ingin dibuktikan Sully sore itu. Yang jelas matanya berbinar-binar. Adegan Wira membuka kaus oblong dan mendapat tepukan tangan dari hampir semua wanita di kebun kelapa Erizal, sangat membuat Sully puas hati. Ia terus tersenyum-senyum sampai Sari menariknya mendekat.“Dari awal Lis bertemu dengan Bagus, pasti memang udah suka duluan. Sulis jarang suka sama cowo. Makanya sekali suka, Sulis langsung mau diajak menikah. Ya, kan?” Sari berbisik dengan mata memandang Wira yang sedang melipat kausnya dengan asal dan meletakkannya di bawah pohon.Sully tertawa. “Waktu itu cuma mikir dapat tempat tinggal gratis. Kebetulan aja yang ngajak nikah orangnya ganteng. Lama-lama makin ganteng karena makin cinta. Yang penting, kan, cinta.”“Yang penting cinta,” ulang Sari. Bagaimana mungkin adiknya yang tidak pernah memikirkan cara memberi makan anak-anak, menyekolahkan, juga memenuhi kebutuhan hidup malah diberi suami yang paling mapan di antara suami mereka semua. Tanpa sedikit pun ra
Wajahnya pun tak sempat ia basuh. Hanya mengenakan pakaian yang buru-buru ia sambar dari sandaran kursi kerjanya. Sully yang penasaran dengan ujaran-ujaran di luar rumahnya segera menghambur keluar. Ternyata hampir seluruh warga gang sekitar rumahnya bermunculan. Mereka yang selama ini hidup bertetangga dengan bagian depan rumah menghadap tembok pesantren, pagi itu terkagum-kagum karena dalam sekejab saja alat berat meratakan jalan bagian depan rumah. Menutup banyaknya kubangan air yang selama ini menampung becek.“Itu Sulis! Pasti baru bangun,” kata seorang wanita tua yang bertetangga dengan mereka selama puluhan tahun. Wanita itu berseru dari luar pagar.“Baru bangun, Lis? Bagaimana kalau menikah dengan orang sini? Bisa enggak makan suami kita kalau jam segini baru bangun.”Sully menyipitkan mata memandang komentator perempuan lainnya. Wanita satunya teridentifikasi sebagai kakak perempuan Erizal. Ternyata semburat jingga langit pagi tidak menyurutkan niat nyinyir siapa pun juga. Sul
Menegakkan tubuh, membusungkan dada, mengibaskan rambut, bahkan berbicara sendiri ketika memilih pakaian di lemari sudah dilakukan Sully untuk mengalihkan fokus Wira dari layar komputer. Nyatanya pria itu bergeming. Tatapannya benar-benar lurus ke depan. Sully mendengkus tanpa suara. Tinggal satu yang belum dilakukannya. Melepas handuk dan memakai pakaian dalam dengan gerakan lambat.“Jeans dan kaus aja kayanya udah pas buat kejutan kado kedua.” Suaranya sengaja dibuat lebih keras agar Wira bereaksi.Karena Wira terlihat semakin memusatkan konsentrasi, Sully menggerutu dengan suara sangat halus. “Entah kapan bisa peka dengan maunya istri. Aku itu enggak perlu kado-kadoan. Tapi peka aja …. Tiap disenggol langsung bereaksi gitu. Kesal. Ck.” Sully melepaskan handuk.Suara handuk yang jatuh ke lantai, refleks membuat mata Wira kembali melirik Sully. Konsentrasi yang sesaat lalu mati-matian dikumpulkannya mendadak buyar.Dalam hitungan sepersekian detik, fokusnya sudah berpindah ke betis S
“Ternyata jadi juga. Saya kira Bapak iseng-iseng aja kemarin. Pagi tadi saya ditelepon. Katanya mau dikasih fee. Berkat Pak Bagus juga. Terima kasih, Pak.”Wira mengangguk. “Bukan karena saya, kok.” Lalu ia tertawa kecil.Sully ikut tersenyum ketika bertukar pandang dengan supir dari spion tengah. Usai senyum sedetik, Sully kembali mengerucutkan mulutnya. Kenapa Wira lebih kenal dengan para penduduk kampungnya ketimbang ia yang lahir di sana?“Semoga Ayah suka, ya.” Wira berbisik sambil meremas tangan Sully.Berat rasanya bagi Sully untuk tidak ikut tersenyum. Wira sedang berusaha menyenangkan hati ayahnya. Walau pagi tadi pria itu dinilainya sangat tidak peka, tapi sepertinya pagi itu harus ada pengecualian. Sialnya, hangat napas Wira yang menerpa leher membuat ia semakin bergidik. “Memangnya mau ke mana?” tanya Sully dari barisan kursi penumpang. Tubuh Wira dan Bu Dahlia yang mengimpit membuat Sully tenggelam di antaranya.“Ibu kira Sulis udah tahu,” kata Bu Dahlia.Sully menggeleng
“Aku sampai lupa harus menghubungi siapa lebih dulu. Temanku yang di ibukota atau … Oky duluan, ya? Atau teman sesama content creator yang terakhir kali kontak sama aku? Aku enggak sabar, Mas,” ucap Sully berapi-api. Wira mengulas senyum tipis disertai anggukan. “Terserah kamu mau menghubungi siapa lebih dulu. Kita bisa bicarakan sebelum sampai di sana.” Sully mengeluarkan ponsel. “Sebentar aku lihat dulu. Sebelum aku kabur ke Girilayang … aku ada janji dengan Rachel, terus mau ketemuan sama Atta Petir, terus lusanya aku ada janji ngisi podcast Deddy Buldozer.” Sully sibuk menggulir ponselnya. Melewatkan kebahagiaan kecil yang harusnya ia lihat. Ia tersadar ketika tangannya dicolek Wira. “Semua bisa kamu temui nanti. Lihat itu. Ayah Ibu duduk di bawah pohon. Apa dulunya Ayah juga bisa manjat pohon kelapa? Ayah lihat ke atas pohon dari tadi.” Sully ikut memandang ke sebuah pohon di mana ayah dan ibunya sedang duduk. Ayahnya menengadah ke puncak-puncak pohon kelapa di dekat mereka.